Monday, April 30, 2007

Senengnya Kaum Ajeb-Ajeb

Ketika kita ngomongin dunia malam tentu semua dah pada paham bahwa kita bukan lagi ngomongin pak hansip yg lagi ngeronda pas orang sedang lelapnya tertidur, tentu udah pada paham yang dimaksud disini adalah kehidupan malam di tempat-tempat hiburan malam seperti diskotik, klub malam, pub, karaoke dan tempat-tempat hiburan lainnya.


Ditempat ini berkumpulah berbagai aktivitas maksiat yang tidak halal seperti ikhtilat (campur baur laki prempuan yg bukan mahrom), minuman keras, zina, narkoba, umbar aurat dsb. Tentu saja tempat-tempat yang kayak gini gak bakal dibolehkan ada dalam padangan Islam. Maka sebagaimana yang disebutkan dalam hadits:

"barang siapa yang melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tangan, jika tidak kuasa maka rubahlah dengan lisan dan jika tidak mampu rubahlah dengan hati itulah selemah-lemahnya iman"

adalah ke-kuduan dan ke-fardhuan tiap orang beriman mesti untuk menolak dan mengusahakan tempat-tempat maksiat tsb tutup selamanya

Salah satu kota yang paling kaya tempat begituan adalah DKI Jakarta. Sampai pemerintahan yang sekarang, Sutiyoso dan Fauzi Bowo, tempat ini masih aman-aman aja sampai sekarang. Seruan berbagai kelompok ummat islam agar tempat-tenpat tidak halal tsb ditutup tidak pernah dihiraukan penguasa DKI. Bahkan temen-temen dari FPI yang paling sering ngegebuk tempat maksiat ini justru disalahkan. Padahal jika penguasa DKI bertaqwa pada Allah, maka tempat tsb tentu umurnya gak panjang, dan temen-temen FPI gak perlu turun tangan. Maka tetaplah tenanglah kaum hedonis berajeb-ajeb ampe dini hari, karena tempat mereka bermaksiat dilindungi ama penguasa.

Sampai suatu saat, ketika partai Islam mengajukan calon gubernur buat DKI. Pelaku ajeb-ajeb sempat khawatir, jangan-jangan gairah hura-hura mereka tidak akan berlangsung lama, mereka khawatir keinginan kelompok Islam bakal diakomodir oleh calon gubernur mendatang yang didukung oleh partai Islam yang menang Pemilu di DKI.

Komendan Adang, dengan dukungan PKS adalah kengerian bagi kaum hura-hura malam. kalau Fauzi Bowo si cincai lah, toh selama jadi Wagub dia gak rese ama dunia malam. Namun sepertinya kaum ajeb-ajeb dapat bernapa lega, karena Adang dan PKS-nya ga seseram yang mereka bayangkan. Ketika Wimar Witoelar dalam suatu acara di TV swasta bertanya pada Adang :
Karena anda dicalonkan oleh sebuah partai yang bermoral tinggi atau diyakini sebagai partai yang mempunyai nilai moral, saya ingin tanya apa anda akan mendukung penutupan tempat-tempat hiburan yang tidak halal walaupun itu mendatangkan penghasilan bagi daerah?

Adang ngejawab :
Pasti saya tidak tutup! (http://www.perspektif.net/indonesian/article.php?article_id=631)



Yess....betapa bahagianya kaum ajeb-ajeb...betapa nestapa pecinta Islam..
Ini adalah pukulan kedua setelah bossnya Playboy Indonesia dibebaskan dari hukuman oleh PN Jaksel.

Selamat datang di Republik Porno..selamat datang di Jakarat Metropolimaksiat....




Saturday, April 21, 2007

POLITIK PEMIKIRAN

Ditulis oleh Hamid Fahmy Zarkasyi

Ketika segelintir ulama dan cendekiawan Muslim menolak RUU APP, mereka tidak hanya membenarkan gambar-gambar dan tarian atau goyang tabu (baca porno), atau bicara halal haram, moralitas atau akhlak bangsa. Mereka tengah memasarkan paham relativisme, hedonisme dan kebebasan (liberalisme). Ketika Aminah Wadud menjadi imam Jumat di sebuah gereja di Amerika, ia tidak sedang mengaplikasikan ijtihad Fiqhiyyahnya. Ia tengah memasarkan paham gender dan feminisme. Pernyataan seorang anak muda Muslim “semua agama sama benarnya”, “tidak ada syariat Islam, tidak ada hukum Tuhan”, bukan pernyataan tentang teologi atau syariat Islam, tapi pelaksanaan proyek globalisasi biaya tinggi. Buku berjudul “Fiqih Lintas Agama” yang terbit dua tahun silam, bukan buku bacaan tentang Fiqih, tapi buku “pesanan” untuk proyek pluralisme agama.


Betulkah mereka bermaksud begitu? Tentu tidak menurut mereka. Tapi betul menurut teori pemikiran Barat postmodern. Dalam bahasa Gadamer itu disebut effective historical consciousness (kesadaran kesejarahan yang efektif). Mereka memahami realitas segala sesuatu sebatas ruang dan waktu kekinian saja. Mungkin, secara pejoratif bisa disebut ghirah tarikhiyyah, yang tidak sejalan bahkan menggeser dan menggusur ghirah diniyyah..

Menurut bacaan Habermas memang betul begitu. Sebab segala sesuatu harus dipahami berdasarkan motif kepentingan sosial (social interest) yang melibatkan kepentingan kekuasaan (power interest). Pemahaman seperti ini sudah sangat jamak dikalangan aktifis liberal dan postmodernis. Mereka sendiri memahami Islam dengan cara yang sama. Islam bagi mereka adalah produk dari sebuah kepentingan dan kekuasaan. Dan karena itu mereka tidak merasa bersalah jika memahami Islam juga untuk kepentingan tertentu. Itulah yang, kalau boleh saya katakan, politik pemikiran.

Benarkah pemikiran liberal itu sarat kepentingan? Benar ! sebab liberal adalah posmodernis dan posmodernis, tulis Akbar S Ahmed, adalah pendukung pluralisme, anti fundamentalisme, banyak protes terhadap tradisi, dan cara berfikirnya eklektik (Akbar S. Ahmed, Postmodernism). Pemikiran bukan untuk pengetahuan, tapi untuk kepentingan (kekuasaan atau politik). Buktinya dari pemikiran mereka tiba-tiba menggalang komunitas, gerakan sosial dan bahkan menjelma menjadi pressure group. Demi “memasarkan” paham pluralisme agama, misalnya, pertama-tama mereka menolak adanya kebenaran mutlak, yang ada hanya kebenaran relatif. Kepentingannya adalah untuk menghilangkan fundamentalisme dan sikap merasa benar. Inilah politik pemikiran.



Politik Pemikiran

Karena itu adalah politik pemikiran, tak heran jika aktifisnya pun menjadi militan dan terkadang emosional. Substansi pemikirannya sarat dengan muatan politik, buktinya ia bersifat responsif dan akomodatif terhadap suatu kepentingan ideologi tertentu (baca: Barat). Niatnya, nampak tidak tulus karena sikap apriori dan kritis mereka terhadap tradisi pemikiran Islam lebih menonjol ketimbang terhadap Barat. Konsep-konsepnya sulit untuk dikategorikan ke dalam gerakan pembaharuan pemikiran Islam karena sifatnya lebih cenderung destruktif daripada konstruktif.

Ketika suatu pemikiran bernuansa politik, aktifitasnya hampir tidak beda dari gerakan politik. Media grafis, media elektronik, film, musik, aksi sosial dan berbagai media lainnya menjadi kendaraan. Pemikiran bukan di dakwahkan, tapi “dijual” ketengah masyarakat untuk suatu kepentingan. Ketika pemikiran bernuansa politik, pernyataan tentang suatu gagasan selalu bermakna ganda. Antara ucapan, ungkapan atau pernyataan bisa berbeda dari makna yang dimaksud. Bahkan terkadang, mengikuti gaya Derrida, makna yang sudah mapan di dekonstruksi sehingga menjadi bermakna baru.

Untuk mendekonstruksi institusi agama, diperkenalkanlah teori dualisme dan relativisme: agama dan pemikian keagamaan adalah dua hal yang berbeda. Yang pertama absolut dan yang kedua relatif. Pemikiran ini secara politis ditujukan untuk memberantas sikap-sikap keagamaan ekslusif, fundamentalis dan absolutis. Jika dualisme pemikiran dianut, maka semua pemikiran keagamaan akan menjadi relatif, yang mutlak hanyalah agama dan yang tahu agama hanya Tuhan. Siapapun boleh berfikir tentang apapun dalam soal agama. Tidak ada kebenaran mutlak, tidak ada yang berhak menyalahkan pemikiran orang lain, tidak ada yang bisa mencegah kemunkaran. Tidak ada lembaga atau kelompok yang boleh mengeluarkan fatwa-fatwa keagamaan. Baik buruk, salah benar tergantung kepada individu. Semua bebas. Inilah politik pemikiran. Jika target ini tercapai, maka paham teologi global (global theology) atau teologi dunia (world theology) akan menemukan jalannya menembus semua agama. Inilah kepentingan politik pemikiran itu.

Kalaupun tidak dengan teori dekonstruksinya Derrida, mereka menggunakan metode aliran sophist (indiyah, la adriyah dan inadiyah). Ketika argumentasi mereka tentang kebebasan menafsirkan agama dengan sebebas-bebasnya mulai nampak lemah, misalnya mereka berkelit dan berlindung dibawah prinsip-prinsip HAM. Ketika ide feminisme tidak bisa mendekonstruksi Fiqih, mereka menggunakan dalih perlunya persamaan dan pemberantasan penindasan dan pelecehan terhadap wanita. Targetnya sama, agar di masyarakat tidak ada lagi yang mempunyai otoritas. Tidak ada yang bisa berkuasa karena agama dan agar agama tidak mengisi ruangan publik.

Jika dibaca dengan cermat buku-buku seperti Clash of Civilizations, karya S.Huntington, Who Are We, karya Bernad Lewis, When Religions Become Evil, karya Richard Kimbal, The End of History, karya Fukuyama, Islam Unveiled: Disturbing Question About the World’s Fastest-Growing Faith, karya Robert Spencer dan lain-lain mengandung fakta-fakta pemikiran yang berimplikasi politik. Yang kurang kritis bisa saja menilai buku-buku itu dengan sikap positif. Mungkin alasannya karena asumsinya baru, analisasnya tajam, argumentasinya valid, pertanyaan-pertanyaannya menantang untuk dijawab dan lain sebagainya. Tapi jika ia mencermati implikasi politik dalam semua asumsi, analisa dan argumentasinya maka ia akan menilai dengan sikap sebaliknya.

Karena tidak semua orang dapat menemukan hubungan antara pemikiran dan target politis dibaliknya, maka tidak heran jika diantara umat Islam ada yang bersikap apatis terhadap wacana-wacana pemikiran yang dikenal “liberal” itu. Padahal pemikiran yang politis itulah yang menjadi bahan kekibijakan strategis.

Dari Pemikiran ke Strategi

Untuk mengetahui bagaimana sebuah pemikiran berubah menjadi kebijakan strategis, kita rujuk sebuah buku yang berjudul Civil Democratic Islam, Partners, Resources and Strategies, (2003), ditulis oleh Cheryl Bernard. Buku ini membahas tentang politik perang pemikiran atau strategi dan taktik pemikiran yang perlu dilakukan Barat untuk menghadapi umat Islam pasca 11 September. Targetnya untuk melawan sesuatu yang tidak jelas “terorisme dan fundamentalisme” dalam Islam. Bahkan setelah menulis buku ini ia menulis buku lain berjudul “U.S. Strategy in the Muslim World After 9/11 (2004), The Muslim World After 9/11 (2004), dan Three Years After: Next Steps in the War on Terror (2005). Sudah tentu tulisan-tulisannya itu merujuk kepada pemikiran, pandangan dan gambaran tentang ummat Islam yang ditulis oleh cendekiawan sebelumnya. Jargon science for science, yang konon dipegang Barat secara konsisten ternyata tidak. Karya-karya tentang Islam yang diwarnai oleh bias kultural dan sentimen keagamaan, misalnya digunakan untuk kepentingan eksploitasi dan bahkan kilonialisasi. Pemikiran sekularisme, demokrasi, liberalisme yang di suntikkan kedalam pemikiran ummat Islam bukanlah murni pemikiran, ia telah berubah bentuk menjadi politik pemikiran. Pemikiran ini tidak menjadi ilmu tapi menjelma menjadi kebijakan politik.

Cheryl Bernard adalah sosiologis yang pernah menulis novel-novel feminis yang memojokkan ulama dan menyatakan wanita dalam Islam itu tertindas. Jilbab menurutnya diambil dari pemahaman yang salah terhadap al-Qur’an, dan merupakan simbol pemaksanaan dan intimidasi. Suaminya adalah Zalmay Khalilzad, blasteran Afghan-Amerika yang menjadi asisten khusus Presiden George W Bush dan Ketua Dewan Keamanan Nasional (National Security Council (NSC) khusus untuk teluk Persia dan Asia Barat-Daya. Selain itu ia pada tahun 1980 bekerja dibawah Paul Wolfowitz pada Policy Planning Council. Pada saat terjadi perang terhadap Iraq tahun 1991, Zalmay menjadi sekretaris menteri pertahanan.



Cheryl Bernard menulis ini dibawah proyek penelitian sebuah lembaga swadaya masyarakat di Amerika lembaga itu bernama Rand Corporation. Sebuah lembaga riset yang mengklaim sebagai lembaga independen yang membuat “analisa obyektif dan solusi efektif terhadap persoalan yang dihadapi oleh masyarakat ataupun individu diseluruh dunia”. Lembaga ini dibiayai oleh Smith Richardson Foundation. Di lembaga ini Cheril menulis untuk Divisi Riset Keamanan Nasional (National Security Research Division) dimana suaminya bekerja. Tujuan dari buku ini adalah untuk membuat suatu laporan dan usulan dalam rangka membantu kebijakan pemerintah Amerika, khususnya dalam soal pemberantasan ekstrimisme, dan pengembangan bidang sosial, ekonomi, politik melalui proses demokratisasi. Yang jelas divisi ini bertugas memberi saran-saran kepada pemerintah Amerika bagaimana menghadapi “fundamentalisme” dalam Islam dan menyebarkan pemikiran liberal ketengah-tengah umat Islam.



Sebuah saran tentunya berdasarkan pertimbangan dan dasar pemikiran tertentu. Pemikiran mana yang menjadi asasnya, ia pilih sejalan dengan kepentingannya. Berdasarkan pemikiran itu ia memberi masukan kepada pemerintah Amerika, pertama tentang nilai-nilai mana dalam Islam yang bisa diseret kedalam nilai-nilai Amerika. Kedua tentang peta masalah-masalah umat Islam dalam konteks nilai-nilai Amerika. Dan akhirnya muncullah saran-saran agar isu-isu seperti demokrasi dan HAM, poligami, hukuman bagi kriminalitas, keadilan, masalah minoritas, pakaian wanita, hak-hak suami-istri dsb. masuk kedalam pemikiran umat Islam. Saran-saran itu, seperti yang akan lihat dibawah ini, dilaksanakan dengan baik di Indonesia.



Strategi Politik Pemikiran

Politik pemikiran Cheryl nampak jelas ketika ia mengemukakan suatu strategi yang bertujuan untuk merobah dunia Islam agar sesuai dengan “tatanan” dunia internasional kontemporer, Amerika Serikat dan Barat. Tujuannya adalah:



To encourage positive change in the Islamic world toward greater democracy, modernity, and compatibility with the contemporary international world order, the United States and the West need to consider very carefully which elements, trends, and forces within Islam they intend to strengthen (hal x)



Karena tujuannya untuk mem-Barat-kan umat Islam, maka ia hanya memilih elemen-elemen dan nilai-nilai Islam yang sesuai dengan Barat saja untuk dikembangkan. Ini tentu untuk memuluskan jalannya modernisasi, westernisasi dan Amerikanisasi. Bahkan lebih praktis lagi Bernard menyarankan agar Barat memberikan “bantuan” bagi pengembangan nilai-nilai Barat tersebut kedalam pemikiran ummat Islam. Bantuan itu kini telah mengucur ke berbagai LSM-LSM di Indonesia.



Tidak hanya menyeret nilai-nilai Islam kedalam nilai-nilai Barat, Cheryl Bernard juga membuat kategori kelompok-kelompok umat Islam dengan bahasa kultural Barat. Kelompok Islam dalam laporan itu dibagi menjadi Muslim sekularis, Tradisionalis, fundamentalis dan modernis (dalam kelompok terakhir ini termasuk Muslim liberal). Muslim modernis misalnya, dinisbahkan kepada Muslim yang bekerja untuk Barat dan yang mendukung masyarakat demokratis modern. Sementara itu Muslim fundamentalis radikal (the radical fundamentalists) adalah mereka yang anti demokrasi Barat, nilai-nilai Barat secara umum, dan Amerika Serikat khususnya; pokoknya tujuan dan visi kelompok ini tidak sesuai dengan Barat. Jadi standar klasifikasi ini adalah Barat, dan bukan berdasarkan realitas umat Islam. Memang, inilah strategi pemikiran.



Dari pemikiran dan gambaran tentang umat Islam yang salah itu Cheryl mengusulkan saran-saran strategi pemikiran kepada pemerintah AS. Saran-saran strategis itu dibagi menjadi dua A. Dasar-dasar strategis dan B. akifitas khusus untuk mendukung strategis tsb



Saran-saran strategis yang diberikan Cheryl kepada pemerintah AS adalah sbb: 1) Ciptakan tokoh atau pemimpin panutan yang membawa nilai-nilai modernitas 2) Dukung terciptanya masyarakat sipil (civil society) didunia Islam.3) Kembangkan gagasan Islam warna-warni, seperti Islam Jerman, Islam Amerika, Islam Inggeris dst. 4) Serang terus menerus kalompok fundamentalis dengan cara pembusukan person-personnya melalui media masa. 5) Promosikan nilai-nilai demokrasi Barat modern 6) Tantang kelompok tradisionalis dan fundamentalis dalam soal kemakmuran, keadilan sosial, kesehatan, ketertiban masyarakat dsb. 7) Fokuskan ini semua kepada dunia pendidikan dan generasi muda Muslim.



Untuk memperkuat dan mempercepat pembangunan masyarakat sipil Islam yang demokratis dan modern Cheryl Bernard mengusulkan strategi sbb: 1) Dukunglah kelompok modernis, perluas visi mereka tentang Islam sehingga mengungguli kelompok tradisionalis. Kemudian angkat mereka secara publik sehingga menjadi figure Muslim kontemporer. 2) Dukunglah kelompok sekularis kasus per kasus. 3) Kembangkan lembaga-lembaga dan program-program sekuler dibidang sosial dan kultural 4) Dukung kelompok tradisionalis secukupnya sekedar dapat berlawanan dengan fundamentalis dan dapat menghindari persatuan kedua kelompok ini. 5) Musuhi kelompok fundamentalis secara energik dengan menyerang kelemahan mereka dalam pemahaman dan ideologi keislaman mereka, seperti membuktikan korupsi, kebrutalan, kebodohan, bias mereka dan kesalahan mereka dalam mengamalkan Islam serta ketidak mampuan mereka dalam memimpin dan memerintah.



Untuk mendukung mendukung langkah-langkah strategis tersebut Cheryl juga memberikan saran-saran taktis sbb:

1) Pertama-tama dukung kelompok cendekiawan modernis (liberal). Dorong mereka menulis untuk publik dan anak muda. Terbitkan dan sebarkan kerja-kerja mereka dengan bantuan biaya. Masukkan ide-ide mereka ini kedalam kurikulum pendidikan Islam. Usahakan agar pandangan mereka tentang masalah-masalah mendasar dalam penafsiran agama dapat dibaca oleh masyarakat dan agar berkompetisi dengan kelompok fundamentalis dan tradisionalis.



2) Dukung kelompok tradisionalis dalam menghadapi fundamentalis. Publikasikan kritik-kritik kelompok tradisionalis terhadap tindak kekerasan dan ektrimisme kelompok fundamentalis. Pupuk terus perselisihan antara tradisionalis dan fundamentalis, dan jangan sampai mereka bersatu. Upayakan agar pemikiran tradisionalis mendekati modernis. Kalau perlu didiklah kelompok tradisionalis agar dapat melawan fundamentalis. Fundamentalis biasanya lebih superior dalam retorika, tapi tradisionalis masih agak tertinggal. Tingkatkan jumlah kelompok modernis (liberal) dalam institusi tradisionalis.



3. Hadapi dan lawan fundamentalis. Tantanglah penafsiran mereka tentang Islam dan tunjukkan ketidakakuratannya. Bongkar jaringan mereka dengan kelompok-kelompok illegal. Publikasikan segala konsekuensi dari tindak kekerasan mereka. Tunjukkan juga ketidak mampuan mereka untuk memimpin, untuk mencapai perkembangan positif bagi Negara dan masyarakatnya. Kemudian sebarkan hal ini kepada generasi muda, kepada masyarakat tradisionalis yang taat, minoritas Muslim di Barat dan kepada para wanita. Hindarkan rasa respek atau pemujaan terhadap kekerasan yang dilakukan kelompok fundamentalis, ekstrimis dan teroris. Juluki mereka sebagai pahlawan jahat, penakut dan tidak waras. Doronglah para wartawan untuk menginvestigasi korupsi, kemunafikan dan tindak amoral dalam kelompok fundamentalis dan teroris. Pecah belahlah kelompok fundamentalis.



4. Dukunglah kelompok sekularis dengan secara hati-hati. Dorong kelompok ini agar mengakui fundamentalisme sebagai musuh bersama. Hindarkan agar kelompok sekularis ini tidak beraliansi dengan kekuatan anti AS yang didorong oleh nasionalisme atau ideologi kiri. Dukunglah ide bahwa dalam Islam agama dan Negara dapat dipisahkan dan ini tidak membahayakan keimanan tapi malah memperkuat keimanan. Posisikan sekularisme dan modernisme sebagai pilihan bagi ummat Islam. Upayakan agar dikalangan ummat Islam tumbuh kesadaran dan ketertarikan kepada sejarah dan kultur pra-Islam dan non-Islam. Bantulah kelompok ini dalam mengembangkan organisasi sipil yang independent agar mereka dapat mengembangkan diri melalui proses politik. (hal.48)



Lebih lanjut Cheryl Bernard memberi masukan tentang langkah praktis yang perlu dilakukan untuk mendukung strategi dan taktik diatas. Kegiatan-kegiatan yang ia usulkan adalah sbb: 1) Rebut atau rusaklah "monopoli" kelompok fundamentalis dan tradisionalis dalam menjelaskan dan menafsirkan Islam. 2) Cari kelompok modernis / liberal yang dapat membuat website yang menjawab berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan perilaku harian dan kemudian menawarkan pendapat Muslim modernis tentang hukum-hukumnya. 3) Doronglah cendekiawan Modernis / liberal untuk menulis buku teks dan mengembangkan kurikulum dan berilah bantuan finansial. 4) Gunakan media regional yang populer, seperti radio, untuk memperkenalkan pemikiran-pemikiran Muslim modernis / liberal agar membuat dunia internasional melek tentang apa arti Islam dan dapat berarti apa Islam itu.



Meski disini tidak dapat dihadirkan bukti bahwa Amerika menerima dan melaksankan saran-saran Cheryl Bernard, tapi kita bisa saksikan saran-saran Cheryl Bernard di implementasikan di Indonesia secara perlahan-lahan tapi pasti. Fenomenanya jelas. Muslim pendukung Barat dipromosikan media masa menjadi tokoh baru. Kini istilah civil socity sudah sering keluar mulut cendekiawan Muslim dan akrab ditelinga mahasiswa. Konsep civil socity pun dianggap sepadan dengan konsep masyarakat madani. Modernis dan Liberal Muslim pendukung Barat adalah pembela aliran “sesat”, atau aliran-aliran sempalan. Muslim yang tidak sejalahn dengan liberal, sekuler, demokrasi Barat, akan segera dicap teroris, fundamentalis dan anti Barat. LSM-LSM kini tidak lagi berorientasi pada pemberdayaan masyarakat, tapi lebih kepada pembaratan masyarakat. Proposal proyek untuk “mengekspor” kemiskinan masyarakat ke Negara-negara Barat tidak laku lagi. Sementara proposal untuk menjual paham masyarakat sipil, demokrasi, gender, liberalisme, pluralisme agama, multikulturalisme dan semacamnya tidak lagi mencari bantuan Barat, tapi dicari-cari Barat untuk dibantu. Bahkan yang paling keras mengkritik ajaran Islam dan tradisi pemikiran Islam serta membawa gagasan-gagasan “aneh” kini mudah mendapat dana dan biasiswa dari Barat. Inilah barangkali yang disindir al-Baqarah (Q.S. 2:41, 79, 173), Ali Imran (Q.S. 3:77,187, 199), al-Mai’dah (Q.S. 9:44), al-Tawbah (Q.S. 9:9) dan al-Nahl (Q.S. 16: 95). sebagai “menjual” ayat-ayat Tuhan dengan harga murah. Well done Mrs. Cheryl !!


Tuesday, March 27, 2007

Islam di Papua, Sejarah yang Terlupakan

Islam masuk lebih awal sebelum agama lainnya di Papua. Namun, banyak upaya pengaburan, seolah-olah, Papua adalah pulau Kristen. Bagaimana sejarahnya?

Upaya-upaya pengkaburan dan penghapusan sejarah dakwah Islam berlangsung dengan cara sistematis di seantero negeri ini. Setelah Sumetera Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, dan Maluku diklaim sebagai kawasan Kristen, dengan berbagai potensi menariknya, Papua merupakan jualan terlaris saat ini. Papua diklaim milik Kristen!

Ironis, karena hal itu mengaburkan fakta dan data sebenarnya di mana Islam telah hadir berperan nyata jauh sebelum kedatangan mereka (agama Kristen Missionaris). Berikut catatan Ali Atwa, wartawan Majalah Suara Hidayatullah dan juga penulis buku “Islam Atau Kristen Agama Orang Irian (Papua)” tentang Islam di Bumi Cenderawasih bagian pertama:


***

Menurut HJ. de Graaf, seorang ahli sejarah asal Belanda, Islam hadir di Asia Tenggara melalui tiga cara: Pertama, melalui dakwah oleh para pedagang Muslim dalam alur perdagangan yang damai; kedua, melalui dakwah para dai dan orang-orang suci yang datang dari India atau Arab yang sengaja ingin mengislamkan orang-orang kafir; dan ketiga, melalui kekuasan atau peperangan dengan negara-negara penyembah berhala.

Dari catatan-catatan yang ada menunjukkan bahwa kedatangan Islam di tanah Papua, sesungguhnya sudah sanggat lama. Islam datang ke sana melalui jalur-jalur perdagangan sebagaimana di kawasan lain di nusantara.

Sayangnya hingga saat ini belum ditentukan secara persis kapan hal itu terjadi. Sejumlah seminar yang pernah digelar seperti di Aceh pada tahun 1994, termasuk yang dilangsungkan di ibukota provinsi Kabupaten Fakfak dan di Jayapura pada tahun 1997, belum menemukan kesepakatan itu. Namun yang pasti, jauh sebelum para misionaris menginjakkan kakinya di kawasan ini, berdasarkan data otentik yang diketemukan saat ini menunjukkan bahwa muballigh-muballigh Islam telah lebih dahulu berada di sana.

Aktivitas dakwah Islam di Papua merupakan bagian dari rangkaian panjang syiar Islam di Nusantara. Menurut kesimpulan yang ditarik di dalam sebuah seminar tentang masuknya Islam ke Indonesia, Medan 1963, Islam masuk ke Indonesia sudah sejak abad ke-7 dan ke-8 Masehi. Di mana daerah pertama yang didatangi oleh Islam adalah pesisir Utara Sumatera, dan setelah berkembangnya para pemeluk Islam, maka kerajaan Islam yang pertama di Indonesia ialah Kerajaaan Perlak, tahun 840.

Perkembangan agama Islam bertambah pesar pada masa Kerajaan Samudera Pasai, sehingga menjadi pusat kajian Agama Islam di Asia Tenggara. Saat itu dalam pengembangan pendidikan Islam mendapatkan dukungan dari pimpinan kerajaan, sultan, uleebalang, panglima sagi dan lain-lain. Setelah kerajaan Perlak, berturut-turut muncul Kerajaan Islam Samudera Pasai(1042), Kerajaan Islam Aceh(1025), Kerajaan Islam Benua Tamiah(1184), Kerajaan Islam Darussalam(1511).

Sebagian ahli sejarah berpendapat bahwa sebelum tahun 1416 Islam sudah masuk di Pulau Jawa. Penyiaran Islam pertama di tanah jawa dilakukan oleh Wali Songo (Wali Sembilan). Yang terkenal sebagai orang yang mula-mula memasukkan Islam ke Jawa ialah Maulana Malik Ibrahim yang meninggal tahun 1419. Ketika Portugis mendaratkan kakinya di pelabuhan Sunda Kelapa tahun 1526, Islam sudah berpengaruh di sini yang dipimpin oleh Falatehan. Putera Falatehan, Hasanuddin, pada tahun 1552 oleh ayahnya diserahi memimpin banten.

Di bawah pemerintahannya agama Islam terus berkembang. Dari Banten menjalar ke Sumatera Selatan, Lampung dan Bengkulu. Juka di pula Madura agama Islam berkembang.

Pada pertengahan abad ke-16 penduduk Minangkabau memeluk Islam begitu juga di Gayo Sumatera Utara. Ketika Sultan Malaka terakhir diusir oleh Portugis, ia menetap di Pulau Bintan, yang kala itu sudah menjadi negeri Islam(1511).

Pada tahun 1514, sebagian penduduk Brunai di Kalimantan sudah memeluk agama Islam. Bahkan pada tahun 1541, raja Brunai sendiri masuk Islam. Di Kalimantan Barat, Sambar, yang menjadi bawahan negeri johor, penduduknya sudah masuk Islam pada pertengahan abad ke-16. Di bagian selatan Kalimantan yang tadinya merupakan wilayah kekuasaan Kejaraan Majapahit, setelah Majapahit ditaklukan oleh Kerajaan Islam Demak. Masuknya Islam di Banjarmasin sekitar tahun 1550, dan pada tahun 1620 di Kotawaringin telah terdapat seorang raja yang memeluk agama Islam.

Pada tahun 1600 Kerajaan Pasir dan Kutai telah menjadi daerah Islam. Seabad kemudian menyusul Kerajaan Berau dan Bulungan. Di Sulawesi raja Goa tahun 1603 masuk Islam. Selanjutnya raja Goa mengislamkan daerah-daerah di sekitarnya seperti Bone[1606], Soppeng[1609], Bima(1626), Sumbawa(1626) juga Luwu, Palopo, mandar, Majene menjadi daerah Islam.

Di wilayah Sulawesi Utara mulai dari Mandar sampai Manado pada pertengahan abad ke -16 menjadi bawahan Kerajaan Ternate yang rajanya adalah seorang Muslim. Atas ajakan raja Ternate, raja Bolaang Mongondow memeluk Islam. Terus ke timur di kepulauan Maluku pada mula abad ke-16 telah memiliki kerajaan Islam yakni kerajaan Bacan. Muballigh dari kerajaan Ini terus mendakwahkan Islam ke kawasan tetangganya di Papua melalui jalur perdagangan.

Sejak Zaman Kerajaan Majapahit

Seorang Guru Besar Bidang Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang, Dr. Moehammad Habib Mustofo, yang sekaligus Ketua Asosiasi Ahli Epigrafi Indonesia (AAEI) Jawa Timur menjelaskan bahwa dakwah Islam sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit. Apalagi dengan diketemukanya data artefakt yang waktunya terentang antara 1368-1611M yang membuktikan adanya komunitas Muslim di sikitar Pusat Keraton Majapahit, di Troloyo, yakni sebuah daerah bagian selatan Pusat Keraton Majapahit yang waktu itu terdapat di Trowulan.

Situs Islam di Troloyo sudah dikenal sejak abad XIX, namun para ilmuwan meragukan kepentingan nisan-nisan itu sebagai salah satu sumber primer yang penting berkaitan dengan islamisasi di Jawa. L.W.C. van den Berg, pada laporannya tertanggal 1 Februari 1887 tentang data epigrafi Arab di Situs Troloyo meragukan keasliannya, karena tulisan Arabnya yang kasar dan banyak salah tulis. Selanjutnya ia berpendapat bahwa inskripsi Arabnya dengaja ditambahkan kemudian pada artefak yang berisi tahun saka itu (Damais, 1957:365).

Pendapat lain dikemukakan oleh Veth, yang memperkirakan bahwa nisan-nisan tersebut berasal dari bagu candi. N.J. Krom menyatakan sittus Troloyo tidak mempunyai nilai arkeologis(Krom, 1923:184).

Sikap para sarjana terhadap temuan di Troloyo tersebut mulai berubah sejak tahun 1942. W.F. Stuterheim yang menjabat sebagai kepala Oudheidkundig Diens, menjelang

penduddukan Jepang di Indonesia mengajak L.C. Damais ke Situs Troloyo. Stuterhem mengharapkan temuan Damais, yang seorang antropolog berkebangsaan Perancis itu akan menambah pengetahuan baru dalam arkeologi Islam. Hasil penelitian Damais itu baru dipublikasikan pada tahun 1957.

Dari hasil penelitian Damais didapat pandangan yang menarik karena di sana didapati suatu interaksi antara komunitas Muslim saat itu dengan para penganut Hindu-Budha di bawah pemerintahan Majapahit.

Kesimpulan tersebut didasarkan atas studi huruf Jawa kuno dalam konteks makam Islam di daerah Troloyo tertulis tahun 1368-1611M. Kajian tentang huruf yang terdapat pada nisan Islam di Troloyo tersebut dapat disimpulkan bahwa bentuk angka Jawa kuno dipengaruhi oleh bentuk tulisan Arab yang serba tebal dan besar.

Kajian leh L.C. Damais dan de Casparis dari sudut paleografi membuktikan bahwa telah terjadi saling pengaruh antara dua kebudayaan yang berbeda (yakni antara Hindu-Budha-Islam) pada awal perkembangan Islam di Jawa Timur. Melalui data-data tersebut, Habib ingin menjelaskan bahwa sesungguhnya dakwah Islam sudah terjadi terjadi jauh sebelum keruntuhan total kerajaan Majapahit yakni tahun 1527M. Dengan kata lain, ketika kerajaan Majapahit berada di puncak kejayaannya, syiar Islam juga terus menggeliat melalui jalur-jalur perdagangan di daerah-daerah yang menjadi kekuasaan Majapahit di delapan mandala (meliputi seluruh nusantara) hingga malaysia, Brunei Darussalam, hingga di seluruh kepulauan Papua.

Masa antara abad XIV-XV memiliki arti penting dalam sejarah kebudayaan Nusantara, di mana pada saat itu ditandai hegemoni Majapahit sebagai Kerajaan Hindu-Budha mulai pudar. Se-zaman dengan itu, muncul jaman baru yang ditandai penyebaran Islam melalui jalar perdagangan Nusantara.

Melalui jalur damai perdagangan itulah, Islam kemudian semakin dikenal di tengah masyarakat Papua. Kala itu penyebaran Islam masih relatif terbatas di kota-kota pelabuhan. Para pedagang dan ulama menjadi guru-guru yang sangat besar pengaruhnya di tempat-tempat baru.

Sebagai kerajaan tangguh masa itu, kekuasaan Kerajaan Majapahit meliputi seluruh wilayah Nusantara, termasuk Papua. Beberapa daerah di kawasan tersebut bahkan disebut-sebut dalam kitab Negarakertagama, sebagai wilayah Yurisdiksinya. Keterangan mengenai hal itu antara disebutkan sebagai berikut:

"Muwah tang i Gurun sanusanusa mangaram ri Lombok Mirah lawan tikang i Saksakadi nikalun kahaiyan kabeh nuwati tanah i bantayan pramuka Bantayan len luwuk teken Udamakatrayadhi nikang sanusapupul".

"Ikang sakasanusasanusa Makasar Butun Banggawai Kuni Ggaliyao mwang i [ng] Salaya Sumba Solot Muar muwah tigang i Wandan Ambwan Athawa maloko Ewanin ri Sran ini Timur ning angeka nusatutur".

Dari keterangan yang diperoleh dalam kitab klasik itu, menurut sejumlah ahli bahasa yang dimaksud "Ewanin" adalah nama lain untuk daerah " Onin" dan "Sran" adalah nama lain untuk "Kowiai". Semua tempat itu berada di Kaimana, Fak-Fak. Dari data tersebut menjelaskan bahwa pada zaman Kerajaan Majapahit sejumlah daerah di Papua sudah termasuk wilayah kekuasaan Majapahit.

Menurut Thomas W. Arnold : "The Preaching of Islam”, setelah kerajaan Majapahit runtuh, dikalahkan oleh kerajaan Islam Demak, pemegang kekuasan berukutnya adalah Demak Islam. Dapat dikatakan sejak zaman baru itu, pengaruh kerajaan Islam Demak juga menyebar ke Papua, baik langsung maupun tidak.

Dari sumber-sumber Barat diperoleh catatan bahwa pada abad ke XVI sejumlah daerah di Papua bagian barat, yakni wilayah-wilayah Waigeo, Missool, Waigama, dan Salawati, tunduk kepada kekuasaan Sultan Bacan di Maluku.

Catatan serupa tertuang dalam sebuah buku yang dikeluarkan oleh Periplus Edition, di buku “Irian Jaya”, hal 20 sebuah wadah sosial milik misionaris menyebutkan tentang daerah yang terpengaruh Islam. Dalam kitab Negarakertagama, di abad ke 14 di sana ditulis tentang kekuasaan kerajaan Majapahit di Jawa Timur, di mana di sana disebutkan dua wilayah di Irian yakni Onin dan Seran

Bahkan lebih lanjut dijelaskan: Namun demikian armada-armada perdagangan yang berdatangan dari Maluku dan barangkali dari pulau Jawa di sebelah barat kawasan ini, telah memiliki pengaruh jauh sebelumnya.

....Pengaruh ras austronesia dapat dilihat dari kepemimpinan raja di antara keempat suku, yang boleh jadi diadaptasi dari Kesultanan Ternate, Tidore dan Jailolo. Dengan politik kontrol yang ketat di bidang perdagangan pengaruh kekuasaan Kesultanan Ternate di temukan di raja Ampat di Sorong dan di seputar Fakfak dan diwilayah Kaimana

Sumber cerita rakyat mengisahkan bahwa daerah Biak Numfor telah menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Sultan Tidore.

Sejak abad ke-XV. Sejumlah tokoh lokal, bahkan diangkat oleh Sultan Tidore menjadi pemimpin-pemimpin di Biak. Mereka diberi berbagai macam gelar, yang merupakan jabatan suatu daerah. Sejumlah nama jabatan itu sekarang ini dapat ditemui dalam bentuk marga/fam penduduk Biak Numfor.

Kedatangan Orang Islam Pertama

Berdasarkan keterangan di atas jelaslah bahwa, masuknya Islam ke Papua, tidak bisa dilepaskan dengan jalur dan hubungan daerah ini dengan daerah lain di Indonesia. Selain faktor pengaruh kekuasaan Kerajaan Majapahit, masuknya Islam ke kawasan ini adalah lewat Maluku, di mana pada masa itu terdapat kerajaan Islam berpengaruh di kawasan Indonesia Timur, yakni kerajaan Bacan.

Bahkan keberadaan Islam Bacan di Maluku sejak tahun 1520 M dan telah menguasai beberapa daerah di Papua pada abad XVI telah tercatat dalam sejarah. Sejumlah daerah seperti Waigeo, Misool, Waigama dan Salawati pada abad XVI telah mendapat pengaruh dari ajaran Islam. Melalui pengaruh Sultan Bacan inilah maka sejumlah pemuka masyarakat di pulau-pulau tadi memeluk agama Islam, khususnya yang di wilayah pesisir. Sementara yang dipedalaman masih tetap menganut faham animisme.

Thomas Arnold yang seorang orientalis berkebangsaan Inggris memberi catatan kaki dalam kaitannya dengan wilayah Islam tersebut: “…beberapa suku Papua di pulau Gebi antara Waigyu dan Halmahera telah diislamkan oleh kaum pendatang dari Maluku"

Tentang masuk dan berkembangnya syi'ar Islam di daerah Papua, lebih lanjut Arnold menjelaskan: “Di Irian sendiri, hanya sedikit penduduk yang memeluk Islam. Agama ini pertama kali dibawa masuk ke pesisir barat [mungkin semenanjung Onin] oleh para pedagang Muslim yang berusaha sambil berdakwah di kalangan penduduk, dan itu terjadi sejak tahun 1606. Tetapi nampaknya kemajuannya berjalan sangat lambat selama berabad-abad kemudian..."

Bila ditinjau dari laporan Arnold tersebut, maka berarti masuknya Islam ke daerah Papua terjadi pada awal abad ke XVII, atau dua abad lebih awal dari masuknya agama Kristen Protestan yang masuk pertama kali di daerah Manokwari pada tahun 1855, yaitu ketika dua orang missionaris Jerman bernama C.W. Ottow dan G.J. Geissler mendarat dan kemudian menjadi pelopor kegiatan missionaris di sana. (Ali Atwa, penulis buku “Islam Atau Kristen Agama Orang Irian (Papua).”



Liberalisme dalam Epistemologi Islam

Oleh: Henri Shalahuddin
Dosen STID M. Natsir dan peneliti INSISTS Jakarta

Dalam rangka ulang tahun JIL yang ke-6, DR. Luthfi Assyaukanie,pendiri JIL menulis artikel bertema "Dua Abad Islam Liberal" di kolom Bentara Kompas, 2/3/07. Dalam tulisannya, Luthfi sangat memuji paham liberalisme dan memberinya beberapa justifikasi dalam Islam. Bahkan dengan merujuk pemikiran Albert Hourani, Luthfi menandai kedatangan Napoleon Bonaparte untuk menjajah Mesir (1798) sebagai awal era
liberal bagi bangsa Arab dan kaum Islam. Era liberal baginya adalah awal era kebangkitan kesadaran kaum muslim, di mana umat Islam bebas mengartikulasikan kesadaran budaya dan peradaban mereka. Sehingga sejak 1798, Islam liberal genap berusia 209 tahun. Kebebasan menurut Luthfi adalah faktor utama kemajuan bangsa.
Hilangnya kebebasan berarti hilangnya kebangkitan sebuah bangsa. Kebebasan berfikir sebagai perluasan arti kata liberal, kemudian disetarakan dengan konsep ijtihad dalam Islam. Artikel ini secara singkat akan membahas paham liberal dalam wacan Barat dan
epistemologi Islam.


Makna Liberal
Ensiklopedi Britannica 2001 Deluxe edition CD-ROM, menjelaskan bahwa kata liberal diambil dari bahasa Latin liber, free. Liberalisme secara etimologis berarti falsafah politik yang menekankan nilai kebebasan individu dan peran negara dalam melindungi hak-hak warganya. Makna senada juga terdapat dalam Wikipedia, the free
encyclopedia.

Sejarah liberalisme --termasuk juga liberalisme agama, adalah tonggak baru bagi sejarah kehidupan masyarakat Barat dan karena itu, disebut dengan periode pencerahan, (Western Enlightenment). Perjuangan untuk kebebasan mulai dihidupkan kembali semasa zaman Renaissance di Italia. Paham ini muncul ketika terjadi konflik antara pendukung- pendukung negara kota yang bebas (free city states) melawan pendukung
Paus.

Liberalisme lahir dari sistem kekuasaan sosial dan politik sebelum masa Revolusi Perancis, sistem merkantilisme, feudalisme dan Gereja Roman Katolik. Liberalisme pada umumnya meminimalkan campur tangan negara dalam kehidupan sosial. Sebagai satu ideologi, liberalisme bisa dikatakan berasal dari falsafah humanisme yang mempersoalkan kekuasaan Gereja semasa zaman Renaissance dan juga dari golongan
Whings semasa Revolusi Inggris yang menginginkan hak untuk memilih raja dan membatasi kekuasaan raja; menentang sistem merkantilisme dan bentuk-bentuk agama kuno dan berpaderi. Liberalisme anti-statis, seperti yang diperjuangkan oleh Frederic Bastiat, Gustave de Molinari, Herbert Spencer, dan Auberon Herbert, adalah aliran ekstrim
yang dikenal dengan anarkisme (tidak ada pemerintahan) ataupun minarkisme (pemerintahan yang kecil yang hanya berfungsi sebagai "the nightwatchman state"). Liberalisme selalu menentang sistem kenegaraan yang didasarkan pada hukum agama.

Oxford English Dictionary menerangkan bahwa perkataan liberal telah lama ada dalam bahasa Inggris dengan makna "sesuai untuk orang bebas, besar, murah hati (befitting free men, noble, generous)" dalam seni liberal. Pada awalnya, liberalisme bermaksud "bebas dari batasan bersuara atau prilaku", seperti bebas menggunakan dan memiliki harta, atau lidah yang bebas (liberal with the purse, or liberal tongue),
dan selalu berkaitan dengan sikap yang tidak tahu malu. Bagaimanapun,bermula sejak 1776-1788, oleh Edward Gibbon, perkataan liberal mulai diberi maksud yang baik, yaitu "bebas dari prejudis dan bersifat toleran". Maka pengertian liberal pun akhirnya mengalami perubahan arti dan berkembang menjadi kebebasan secara intelektual, berpikiran luas, murah hati, terus terang, sikap terbuka dan ramah
(intellectually independent, broad-minded, magnanimous, frank, open,
and genial).

Prinsip dasar liberalisme adalah keabsolutan dan kebebasan yang tidak terbatas dalam pemikiran, agama, suara hati, keyakinan, ucapan, pers dan politik (an absolute and unrestrained freedom of thought, religion, conscience, creed, speech, press, and politics). Di samping itu, liberalismme juga membawa dampak yang besar bagi sistem
masyarakat Barat, di antaranya adalah mengesampingkan hak Tuhan dan setiap kekuasaan yang berasal dari Tuhan; pemindahan agama dari ruang publik menjadi sekedar urusan individu; pengabaian total terhadap agama Kristen dan gereja atas statusnya sebagai lembaga publik, lembaga legal dan lembaga sosial.

Dalam liberalisme budaya, paham ini menekankan hak-hak pribadi yang berkaitan dengan cara hidup dan perasaan hati. Liberalisme budaya secara umum menentang keras campur tangan pemerintah yang mengatur sastera, seni, akademis, perjudian, seks, pelacuran, aborsi, keluarga berencana (birth control), alkohol, ganja (marijuana) dan barang-
barang yang dikontrol lainnya. Negara Belanda, dari segi liberalisme budaya, mungkin adalah negara yang paling liberal di dunia. Sedangkan liberalisme ekonomi mendukung kepemilikan harta pribadi dan menentang peraturan-peraturan pemerintah yang membatasi hak-hak terhadap harta pribadi. Paham ini bermuara pada kapitalisme melalui
laisse-faire (pasar bebas).

Kerancuan Epistemologi

Merujuk apa yang telah didefinisikan di atas, sebenarnya pemakaian istilah "Islam Liberal" sangat rancu, bahkan cenderung kontradiktif baik dari sisi etimologi, terminologi maupun epistemologi. Dari sisi etimologi tidak satupun kata "Islam" berkonotasi pada makna kebebasan seperti yang dijelaskan pada makna kata "Liberal". Sebab kebebasan dalam Islam senantiasa merujuk pada kata "ikhtiyar", yaitu kebebasan
memilih yang berakar pada kata "khair" (baik). Dengan demikian,kebebasan dalam Islam hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat baik,sehingga seorang Muslim tidak dibebaskan untuk berbuat yang tidak baik.

Sedangkan istilah "Islam Liberal", seperti yang dipaparkan oleh DR.Ugi Suharto dalam situs mufti selangor, pertama kali digunakan oleh para penulis Barat seperti Leonard Binder dan Charles Kurzman. Binder menggunakan istilah 'Islamic Liberalism', sementara Kurzman memakai istilah 'Liberal Islam'. Secara tersirat keduanya mempercayai bahwa Islam itu banyak; 'Islam Liberal' adalah salah satunya. Jadi
istilah 'Islam Liberal' yang dimaksudkan disini adalah "Pemikiran Islam Liberal" yang merupakan satu aliran berfikir baru di kalangan umat Islam. Dalam konteks Indonesia sebuah disertasi yang ditulis oleh Greg Barton pada tahun 1995 tentang munculnya pemikiran liberal di kalangan pemikir Indonesia. Disertasi yang aslinya bertema: "The
Emergence of Neo-Modernism: A Progressive, Liberal Movement of Islamic Thought" ini, lalu diterbitkan dalam edisi Indonesia atas kerjasama Paramadina, Yayasan Adikarya Ikapi, dan Ford Foundation pada tahun 1999.

Sebenarnya, analisa Luthfi tentang Islam Liberal lebih cenderung menyamakan problem Barat terhadap agamanya lalu melimpahkannya kepada Islam. Penggantian makna liberal dengan maksud yang sangat positif, seperti yang terjadi dalam perkembangan makna istilah ini di Barat, juga dilakukan Luthfi dengan menyandingkannya dengan konsep ijtihad. Padahal prinsip ijtihad dalam Islam bertentangan dengan paham
liberal. Sebab kebebasan berijtihad tunduk pada beberapa kaedah dan persyaratan yang telah disepakati oleh kaum Muslimin, seperti kaedah: "la ijtihada fi l-qath'iyyat" (tidak ada ijtihad dalam masalah yang bersifat pasti), terlebih dalam pokok-pokok masalah ibadah dan akidah.

Kesimpangsiuran sejarah Islam Liberal, adalah bukti bahwa aliran ini tidak memiliki akar dalam sejarah Islam. Ahmad Sahal, seperti yang dikutip oleh Dawam Rahardjo, menisbahkan pemikiran Islam liberal dimulai sejak Umar bin Khattab, yang sering berbeda pendapat dengan Rasulullah mengenai masalah-masalah dunia. Jika klaim Sahal ini benar, maka usia Islam liberal bukan 2 abad, tetapi seusia dengan agama Islam itu sendiri, yaitu 15 abad.

Pemikiran Islam liberal sebenarnya berakar dari pengaruh pandangan hidup Barat dan hasil perpaduan antara paham modernisme yang menafsirkan Islam sesuai dengan modernitas; dan paham posmodernisme yang anti kemapanan. Upaya merombak segala yang sudah mapan kerap dilakukan, seperti dekonstruksi atas definisi Islam sehingga orang
non Islam pun bisa dikatakan Muslim, dekonstruksi Al-Qur'an sebagai kitab suci, homoseksual, aturan waris dan sebagainya. Islam liberal sering memanfaatkan modal murah dari radikalisme yang terjadi di sebagian kecil kaum Muslimin, dan tidak segan-segan mengambil hasil kajian orientalis, metodologi kajian agama lain,
ajaran HAM versi humanisme Barat, falsafah sekularisme, dan paham-paham lainnya yang berlawanan dengan Islam.

Dengan mengamati coraknya, maka dapat disimpulkan bahwa pemikiran Islam liberal adalah pemikiran liberal yang ditujukan kepada agama Islam. Oleh karena itu akan banyak membawa konsekwensi serius bila Islam Liberal dikategorikan sebagai bagian dari pemikiran atau madzhab Islam. Dengan demikian adanya liberalisme dalam Islam,
sejatinya memperkuat hipotesa Ibnu Khaldun (1332-1406M) bahwa bangsa pecundang gemar meniru bangsa yang lebih kuat, baik dalam slogan, cara berpakaian, cara beragama,gaya hidup serta adat istiadatnya.

Thursday, March 22, 2007

Pertarungan Islamis vs Nasionalis dalam Pilkada DKI, Adakah?

Pertarungan pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta akhirnya mengerucut pada dua nama, Fauzi Bowo dan Adang Dorojatun. Fauzi diusung oleh banyak partai, seperti PDIP, Golkar, Demokrat hingga partainya orang kristen PDS. Sementara Komendan Adang diusung sama PKS. Polarisasi ini kemudian oleh beberapa media disebut sebagai pertarungan antara kubu nasionalisme dan kubu Islamis. Benarkah cukup layak disebut sebagai pertarungan ideologi?

Banyak komen yang berlalu lalang di media yang seakan-akan membenarkan sinyalemen diatas, namun tentu bukan hal seperti itu yang mampu mendefinisikan secara kuat adanya pertarungan ideologi ini. Bahkan keberadaan kubu-kubu ini pun perlu dipertanyakan, benarkah ada kubu ideologi Islam dalam Pilkada DKI.

Terkait dengan kubu ideologi Islam, mestinya ditetapkan dulu sebuah kondisi sehingga sebuah kubu bisa disebut kubu ini dan kubu itu. Dalam konteks kubu Islam mestinya minimal ada kondisi berikut :
a. Komitmen sang calon terhadap Islam,penyebarannya dan penerapannya
b. Visi, Misi dan kejelasan program yang secara cristal clear menjadikan Islam sandarannya, tidak sekedar menggunakan ungkapan-ungkapan bias yang bisa diterima semua aqidah dan ideologi, termasuk terutama kesiapan untuk menerapkan Islam sebagai asas dan aturan masyarakat.

Namun,belum apa-apa Pak Adang udah membantah dirinya sebagai penopang ideologi Islamisme (http://www.gatra.com/artikel.php?id=103190), so, calon usungan PKS ini sepertinya cukup berat untuk diharapkan akan menerapkan syariah Islam di DKI jika dia menang, sebagaimana yang banyak diomongin ama banyak orang. Well, dari sini saja polarisasi kedua kubu sebenarnya tidak sejauh utara selatan, bahkan bisa jaraknya sedekat antara selatan dengan tenggara.

Hmmm, sepertinya kubu-kubuan itu gak signifikan deh. Kalau cuma karena ada partai Islamnya mah, di kubu Fauzi Bowo juga ada kok Partai Islamnya seperti PPP, PKB dll, wah, bahkan lebih banyak dibanding yang dimiliki Adang yah !