Tuesday, March 27, 2007

Liberalisme dalam Epistemologi Islam

Oleh: Henri Shalahuddin
Dosen STID M. Natsir dan peneliti INSISTS Jakarta

Dalam rangka ulang tahun JIL yang ke-6, DR. Luthfi Assyaukanie,pendiri JIL menulis artikel bertema "Dua Abad Islam Liberal" di kolom Bentara Kompas, 2/3/07. Dalam tulisannya, Luthfi sangat memuji paham liberalisme dan memberinya beberapa justifikasi dalam Islam. Bahkan dengan merujuk pemikiran Albert Hourani, Luthfi menandai kedatangan Napoleon Bonaparte untuk menjajah Mesir (1798) sebagai awal era
liberal bagi bangsa Arab dan kaum Islam. Era liberal baginya adalah awal era kebangkitan kesadaran kaum muslim, di mana umat Islam bebas mengartikulasikan kesadaran budaya dan peradaban mereka. Sehingga sejak 1798, Islam liberal genap berusia 209 tahun. Kebebasan menurut Luthfi adalah faktor utama kemajuan bangsa.
Hilangnya kebebasan berarti hilangnya kebangkitan sebuah bangsa. Kebebasan berfikir sebagai perluasan arti kata liberal, kemudian disetarakan dengan konsep ijtihad dalam Islam. Artikel ini secara singkat akan membahas paham liberal dalam wacan Barat dan
epistemologi Islam.


Makna Liberal
Ensiklopedi Britannica 2001 Deluxe edition CD-ROM, menjelaskan bahwa kata liberal diambil dari bahasa Latin liber, free. Liberalisme secara etimologis berarti falsafah politik yang menekankan nilai kebebasan individu dan peran negara dalam melindungi hak-hak warganya. Makna senada juga terdapat dalam Wikipedia, the free
encyclopedia.

Sejarah liberalisme --termasuk juga liberalisme agama, adalah tonggak baru bagi sejarah kehidupan masyarakat Barat dan karena itu, disebut dengan periode pencerahan, (Western Enlightenment). Perjuangan untuk kebebasan mulai dihidupkan kembali semasa zaman Renaissance di Italia. Paham ini muncul ketika terjadi konflik antara pendukung- pendukung negara kota yang bebas (free city states) melawan pendukung
Paus.

Liberalisme lahir dari sistem kekuasaan sosial dan politik sebelum masa Revolusi Perancis, sistem merkantilisme, feudalisme dan Gereja Roman Katolik. Liberalisme pada umumnya meminimalkan campur tangan negara dalam kehidupan sosial. Sebagai satu ideologi, liberalisme bisa dikatakan berasal dari falsafah humanisme yang mempersoalkan kekuasaan Gereja semasa zaman Renaissance dan juga dari golongan
Whings semasa Revolusi Inggris yang menginginkan hak untuk memilih raja dan membatasi kekuasaan raja; menentang sistem merkantilisme dan bentuk-bentuk agama kuno dan berpaderi. Liberalisme anti-statis, seperti yang diperjuangkan oleh Frederic Bastiat, Gustave de Molinari, Herbert Spencer, dan Auberon Herbert, adalah aliran ekstrim
yang dikenal dengan anarkisme (tidak ada pemerintahan) ataupun minarkisme (pemerintahan yang kecil yang hanya berfungsi sebagai "the nightwatchman state"). Liberalisme selalu menentang sistem kenegaraan yang didasarkan pada hukum agama.

Oxford English Dictionary menerangkan bahwa perkataan liberal telah lama ada dalam bahasa Inggris dengan makna "sesuai untuk orang bebas, besar, murah hati (befitting free men, noble, generous)" dalam seni liberal. Pada awalnya, liberalisme bermaksud "bebas dari batasan bersuara atau prilaku", seperti bebas menggunakan dan memiliki harta, atau lidah yang bebas (liberal with the purse, or liberal tongue),
dan selalu berkaitan dengan sikap yang tidak tahu malu. Bagaimanapun,bermula sejak 1776-1788, oleh Edward Gibbon, perkataan liberal mulai diberi maksud yang baik, yaitu "bebas dari prejudis dan bersifat toleran". Maka pengertian liberal pun akhirnya mengalami perubahan arti dan berkembang menjadi kebebasan secara intelektual, berpikiran luas, murah hati, terus terang, sikap terbuka dan ramah
(intellectually independent, broad-minded, magnanimous, frank, open,
and genial).

Prinsip dasar liberalisme adalah keabsolutan dan kebebasan yang tidak terbatas dalam pemikiran, agama, suara hati, keyakinan, ucapan, pers dan politik (an absolute and unrestrained freedom of thought, religion, conscience, creed, speech, press, and politics). Di samping itu, liberalismme juga membawa dampak yang besar bagi sistem
masyarakat Barat, di antaranya adalah mengesampingkan hak Tuhan dan setiap kekuasaan yang berasal dari Tuhan; pemindahan agama dari ruang publik menjadi sekedar urusan individu; pengabaian total terhadap agama Kristen dan gereja atas statusnya sebagai lembaga publik, lembaga legal dan lembaga sosial.

Dalam liberalisme budaya, paham ini menekankan hak-hak pribadi yang berkaitan dengan cara hidup dan perasaan hati. Liberalisme budaya secara umum menentang keras campur tangan pemerintah yang mengatur sastera, seni, akademis, perjudian, seks, pelacuran, aborsi, keluarga berencana (birth control), alkohol, ganja (marijuana) dan barang-
barang yang dikontrol lainnya. Negara Belanda, dari segi liberalisme budaya, mungkin adalah negara yang paling liberal di dunia. Sedangkan liberalisme ekonomi mendukung kepemilikan harta pribadi dan menentang peraturan-peraturan pemerintah yang membatasi hak-hak terhadap harta pribadi. Paham ini bermuara pada kapitalisme melalui
laisse-faire (pasar bebas).

Kerancuan Epistemologi

Merujuk apa yang telah didefinisikan di atas, sebenarnya pemakaian istilah "Islam Liberal" sangat rancu, bahkan cenderung kontradiktif baik dari sisi etimologi, terminologi maupun epistemologi. Dari sisi etimologi tidak satupun kata "Islam" berkonotasi pada makna kebebasan seperti yang dijelaskan pada makna kata "Liberal". Sebab kebebasan dalam Islam senantiasa merujuk pada kata "ikhtiyar", yaitu kebebasan
memilih yang berakar pada kata "khair" (baik). Dengan demikian,kebebasan dalam Islam hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat baik,sehingga seorang Muslim tidak dibebaskan untuk berbuat yang tidak baik.

Sedangkan istilah "Islam Liberal", seperti yang dipaparkan oleh DR.Ugi Suharto dalam situs mufti selangor, pertama kali digunakan oleh para penulis Barat seperti Leonard Binder dan Charles Kurzman. Binder menggunakan istilah 'Islamic Liberalism', sementara Kurzman memakai istilah 'Liberal Islam'. Secara tersirat keduanya mempercayai bahwa Islam itu banyak; 'Islam Liberal' adalah salah satunya. Jadi
istilah 'Islam Liberal' yang dimaksudkan disini adalah "Pemikiran Islam Liberal" yang merupakan satu aliran berfikir baru di kalangan umat Islam. Dalam konteks Indonesia sebuah disertasi yang ditulis oleh Greg Barton pada tahun 1995 tentang munculnya pemikiran liberal di kalangan pemikir Indonesia. Disertasi yang aslinya bertema: "The
Emergence of Neo-Modernism: A Progressive, Liberal Movement of Islamic Thought" ini, lalu diterbitkan dalam edisi Indonesia atas kerjasama Paramadina, Yayasan Adikarya Ikapi, dan Ford Foundation pada tahun 1999.

Sebenarnya, analisa Luthfi tentang Islam Liberal lebih cenderung menyamakan problem Barat terhadap agamanya lalu melimpahkannya kepada Islam. Penggantian makna liberal dengan maksud yang sangat positif, seperti yang terjadi dalam perkembangan makna istilah ini di Barat, juga dilakukan Luthfi dengan menyandingkannya dengan konsep ijtihad. Padahal prinsip ijtihad dalam Islam bertentangan dengan paham
liberal. Sebab kebebasan berijtihad tunduk pada beberapa kaedah dan persyaratan yang telah disepakati oleh kaum Muslimin, seperti kaedah: "la ijtihada fi l-qath'iyyat" (tidak ada ijtihad dalam masalah yang bersifat pasti), terlebih dalam pokok-pokok masalah ibadah dan akidah.

Kesimpangsiuran sejarah Islam Liberal, adalah bukti bahwa aliran ini tidak memiliki akar dalam sejarah Islam. Ahmad Sahal, seperti yang dikutip oleh Dawam Rahardjo, menisbahkan pemikiran Islam liberal dimulai sejak Umar bin Khattab, yang sering berbeda pendapat dengan Rasulullah mengenai masalah-masalah dunia. Jika klaim Sahal ini benar, maka usia Islam liberal bukan 2 abad, tetapi seusia dengan agama Islam itu sendiri, yaitu 15 abad.

Pemikiran Islam liberal sebenarnya berakar dari pengaruh pandangan hidup Barat dan hasil perpaduan antara paham modernisme yang menafsirkan Islam sesuai dengan modernitas; dan paham posmodernisme yang anti kemapanan. Upaya merombak segala yang sudah mapan kerap dilakukan, seperti dekonstruksi atas definisi Islam sehingga orang
non Islam pun bisa dikatakan Muslim, dekonstruksi Al-Qur'an sebagai kitab suci, homoseksual, aturan waris dan sebagainya. Islam liberal sering memanfaatkan modal murah dari radikalisme yang terjadi di sebagian kecil kaum Muslimin, dan tidak segan-segan mengambil hasil kajian orientalis, metodologi kajian agama lain,
ajaran HAM versi humanisme Barat, falsafah sekularisme, dan paham-paham lainnya yang berlawanan dengan Islam.

Dengan mengamati coraknya, maka dapat disimpulkan bahwa pemikiran Islam liberal adalah pemikiran liberal yang ditujukan kepada agama Islam. Oleh karena itu akan banyak membawa konsekwensi serius bila Islam Liberal dikategorikan sebagai bagian dari pemikiran atau madzhab Islam. Dengan demikian adanya liberalisme dalam Islam,
sejatinya memperkuat hipotesa Ibnu Khaldun (1332-1406M) bahwa bangsa pecundang gemar meniru bangsa yang lebih kuat, baik dalam slogan, cara berpakaian, cara beragama,gaya hidup serta adat istiadatnya.

No comments: