Friday, October 10, 2008

Menulis Fiksi = Berbohong ! (Sebuah sudut pandang praktisi)

Beberapa bulan yang lalu saya sempat menulis tentang "Membuat fiksi = berbohong?". Sebuah tulisan yang dimaksudkan hanya untuk mendalami fakta tentang fiksi dan kemungkinan tinjauan dari sudut pandang Islam. Ndak berapa setelah saya nulis bahasan tersebut Kompas Minggu, 24 Agustus 2008 menurunkan tulisan Hamsad Rangkuti,Seorang Budayawan dan Cerpenis, yang terdapat isi tulisannya menyebutkan sastra adalah berbohong. Tulisan lengkap dapat dilihat di http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/24/01192460/akrobat.kata-kata.kebohongan.dan.f.rahardi. Disini saya hanya akan mengutip tentang sastra dan kebohongan.



Akrobat Kata-kata, Kebohongan, dan F Rahardi


..Terakhir, dan ini penting, adalah soal kebohongan dalam sastra. Saya pernah mengemukakan bahwa ”sastra = kebohongan”. F Rahardi sebagaimana dia katakan pernah ”meluruskan” (sumpah, kata ”meluruskan” ini dari Rahardi sendiri lho). Maka, ketika penerbit meminta saya memasukkan tulisan Rahardi di buku saya, saya setuju saja agar semua orang bisa membaca tindakan ”meluruskan” itu yang tentu saja tidak ada gunanya. Saya sampai sekarang tetap beranggapan bahwa ”sastra = kebohongan”, dan semua orang saya kira paham maksudnya. Betulkah saya harus menjelaskan kepada Rahardi bahwa kata kebohongan di sana adalah kiasan, perumpamaan, dan sebagainya. Sebagai bukan orang sekolahan yang tak paham teori-teori, saya menyebutkan bahwa sastra = kebohongan.
Meskipun banyak bagian dalam sastra berakar atau mengacu pada kenyataan, sastra adalah fiksi alias kebohongan. Tentu saja kalau saya katakan kebohongan, maka tidak ada kaitannya dengan kebohongan para petinggi atau politisi yang gemar korupsi serta menebar janji palsu. Apakah Sukri benar-benar membawa pisau belati seperti yang digambarkan dalam cerpen saya ”Sukri Membawa Pisau Belati” sama sekali tidak penting. Apakah Garin tua dalam ”Robohnya Surau Kami” AA Navis benar-benar ada dan benar-benar membunuh dirinya gara-gara kata-kata Ajo Sidi, sama sekali tidak penting. Sastra bagi saya adalah sebuah kebohongan kreatif, kebohongan yang indah untuk mengajak pembaca melihat kenyataan dengan lebih baik lagi. Putu Wijaya pernah mengatakan bahwa karya-karyanya adalah sebuah Teror dan F Rahardi menulis Pidato Akhir Tahun Seorang Germo. Bagi saya kedua ungkapan itu bukan fakta. Sebagai seorang sastrawan, saya mengaku dengan jujur bahwa ”sastra = kebohongan” dan saya tidak perlu tersipu atau pura-pura alim untuk membuat macam-macam argumentasi moral yang baik-baik untuk menutupinya atau sekadar ”meluruskannya”. Itu sebabnya, saya tidak pernah menganggap F Rahardi seorang germo karena toh karya sastra = kebohongan. Entah kalau Rahardi sendiri menganggap bahwa dia tidak berbohong dan dirinya memang benar-benar germo.
Sudah ah, saya mau kembali berbohong, eh menulis karya sastra, kebohongan yang indah.

Hamsad Rangkuti Cerpenis, Pemenang Khatulistiwa Award, Penghargaan Khusus Kompas 2001, Mantan Pemred Horison


Monday, July 14, 2008

Membuat fiksi = Berbohong?

Belakangan semakin marak aktivitas penulisan dan pembuatan berbagai model fiksi baik dalam bentuk novel, sinetron, cerpen dsb.

Fiksi pun kemudian laris digunakan sebagai wasilah da’wah. Berbagai kisah dan cerita ”islami” kemudian dibuat. Film, novel dan cerpen yang disebut-sebut ”mengemban misi da’wah” jamak ditemui dengan mudah. Bahkan salah satu film fiksi Islami termasuk ditonton paling banyak sepanjang sejarah perfilman Indonesia. Maka kemudian fiksi Islam membuat sebuah segmen pemasaran yang tidak dapat diremehkan. Kapitalisasi rupiahnya yang menggiurkan membuat para pemodal dunia hiburan berlomba-lomba merancang cerita Islami. Namun ada hal yang mendasar yang belum terselesaikan : bagaiman pandangan Islam terhadap pembuatan cerita fiksi? Bagi ’alim seperti DR. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan dalam link ini menulis cerita fiksi adalah haram. Kapasitas saya dalam tulisan ini bukan hendak merumuskan hukum atau fiqh tentang cerita fiksi. Saya hanya mencoba melakukan pendalaman terhadap cerita fiksi.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia (http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php) fiksi disebut sebagai : 1 Sas cerita rekaan (roman, novel, dsb); 2 rekaan; khayalan; tidak berdasarkan kenyataan. Sementara dalam wikipedia disebutkan : Fiction is the telling of stories which are not real. Semuanya mendefinisikan tentang ketidaknyataan, tentang ketiadaan fakta. Kalau mau dilihat definisi ini mirip dengan definisi kabar bohong (. كذب الخبر) dalam kitab ta’rifat yang ditulis Imam Jurjani dimana beliau mendefinisikan : عدم مطابقته للواقع
Ketiadaan fakta yang sesuai. Gampangnya cerita atau kabar yang tidak ada faktanya..

Dari sini ada sebuah indikasi bahwa pembuatan cerita fiksi adalah perekaan tentang sesuatu yang tidak ada faktanya. Dikantor, di warung, dan dalam ringkup pergaulan lain sering kita bercanda dan kemudian seseorang teman menceritakan sesuatu yang tidak ada faktanya. Semisal ketika si Badu bercerita bahwa dia adalah menantunya Presiden SBY. Maka para audience akan segera menyebut si Badu sebagai pembual, pembohong, tukang ngawaduk (sunda : bohong) dsb. Karena faktanya menantunya Presiden SBY adalah Annisa Pohan yang wanita itu. Indikasi semakin kuat bagi saya, membuat cerita fiksi adalah membuat kebualan, kebohongan, kewadukan, sehingga pelakunya tersebut sebagai pembual, pembohong dan pewaduk (maksa banget..kekekekeke). Ups..saya bukan menetapkan hukum, saya hanya menjalin sebuah indikasi.

Belum lagi kalau kita baca-baca fiksi ”Islami” atau nonton Sinetron/Film Islami, kemungkinan besar kita akan bersua dengan plot-plot cerita yang melibatkan Allah ta’ala. Seorang yang miskin kemudian jadi kaya, seorang preman kemudian jadi shaleh, pertemuan antara pria dan wanita yang berjauhan yang kemudian menjadi pasangan hidup dll, semuanya banyak yang melibatkan Allah. Pertanyaannya adalah, dalam konteks cerita di fiksi tersebut betulkah kejadian dalam plot cerita itu adalah peran Allah? Bukankah itu adalah rekaan penulis dan pembuat cerita? Dalam konteks ketetapan Allah ta’ala dikenallah istilah qadha, maka betulkah pernah ada qadha Allah seperti yang diplotkan dalam cerita fiksi tersebut? Dan ketika Allah ta’ala dilibatkan dalam suatu plot cerita apakah sudah ada izin dari Allah ta’ala? Untuk pertanyaan yang terakhir ini bagi saya agak serius. Ketika dalam suatu hadits Rasulullah menjamin neraka bagi orang yang menisbatkan suatu perkataan yang tidak pernah beliau sebutkan kepada beliau, lalu kira-kira bagaimana dengan orang-orang yang menisbatkan suatu kejadian/qadha palsu kepada Allah ta’ala? Wallahu a’lam.

Sekali lagi ini bukan fiqh tentang fiksi, masih jauh. Semoga ada ’alim yang singgah dan membaca tulisan ini kemudian membuat klarifikasinya.

Wallahu a’lam




Friday, June 13, 2008

Koboi dari AKKBB

Munarman dan anggota laskar sering bicara, kalau pihak AKKBB memulai insiden Monas melalui provokasi yang mereka lakukan. Salah satunya adalah pamer senjata api yang dilakukan oleh pihak peserta aksi AKKBB. Namun pihak AKKBB selalu menyangkal. Namun dengan adanya foto dibawah ini, masihkah AKKBB berkelit?

Friday, May 23, 2008

Penguasa Ingkar Janji

Dagelan dipertontonkan oleh para penguasa negeri ini. Semuanya diawali oleh iklan "peduli" rakyat yang dilakoni Wiranto. Dalam iklannya Wiranto menuntut agar SBY menepati janjinya untuk tidak menaikkan harga BBM tahun ini (2008). Maka langsunglah kalang kabut para pembantu Presiden. Hatta Rajasa dengan sangat yakin menyebutkan bahwa SBY tidak pernah berjanji untuk tidak menaikkan harga BBM.

Kenyataan berkata lain. Metro TV kemudian menayangkan bagaimana SBY menyebutkan tidak akan ada kenaikan BBM tahun 2008.

Belum sempat liat tayangan metro TV tsb? jangan khawatir, silahkan download file janji sby ini. File dalam format rm yang hanya bisa diputar pakai sofware real player. Belum punya filenya? download saja di http://uk.real.com/player/win/


Tuesday, May 13, 2008

KENAIKAN HARGA BBM: KEBIJAKAN TEPAT PENYELAMATAN EKONOMI?

Tepatkah kebijakan kenaikan harga BBM? Dr. Hendri Saparini, ekonom dari Econit dan Tim Indonesia Bangkit menyarikan pemikiran beliau dalam sebuah presentasi yang berjudul : KENAIKAN HARGA BBM:KEBIJAKAN TEPAT PENYELAMATAN EKONOMI? Klik tulisan ini untuk download presentasi beliau




Friday, May 2, 2008

USHUL FIQH : TIDAK ADA HUKUM SEBELUM DATANGNYA SYARA’

TIDAK ADA HUKUM SEBELUM DATANGNYA SYARA’

Segala sesuatu dan perbuatan itu tidak boleh diberi status hukum kecuali apabila terdapat dalil syar’I atas hukum tersebut. Karena tidak ada hukum atas segala sesuatu demikian pula dengan perbuatan bagi orang yang berakal sebelum datangnya syara’. Allah Ta’ala berfirman:

"…dan Kami tidak akan meng`azab sebelum Kami mengutus seorang rasul" (TQS. Al Isra'(17):15)
Allah Ta’ala berfirman:
"…agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu" (TQS An Nisa' (4):165)



Dan karena hukum tidak bisa ditetapkan kecuali salah satu dari dua hal, mungkin syara’ dan mungkin akal. Adapun akal, tidak ada tempat bagi akal disini karena masalahnya adalah masalah mewajibkan dan mengharamkan dan akal tidak mungkin untuk mewajibkan atau mengharamkan, dan hal tersebut memang tidak mengikuti akal tapi mengikuti syara’ maka hukum tersebut tergantung pada syara’. Dengan asumsi bahwa tidak ada hukum sebelum datangnya syara’ maka hukum tergantung pada datangnya syara’ dari Allah, artinya terkait dengan syariat sebagai satu kesatuan tergantung pada kedatangan seorang Rasul, dan dalil syara' apabila terkait dengan masalah yang diinginkan proses istidlal atas masalah tersebut. Adapun terkait dengan Rasul, maka ini tampak jelas pada ayat, karena penafian adzab atas manusia sebelum diutusnya seorang Rasul menunjukkan bahwa mereka tidak dibebani untuk melaksanakan hukum maupun akidah, maksudnya tidak adanya taklif atas mereka dengan sesuatu, dan memang tidak ada pengertian lain selain peniadaan hukum secara pasti atas manusia sebelum Allah mengutus seorang Rasul pada mereka. Berdasarkan ini maka ahlul fatrah yang selamat, yaitu mereka yang hidup diantara lenyapnya risalah dan bangkitnya risalah. Maka hukum atas mereka adalah hukum mereka yang risalah tidak sampai pada mereka, dan itu berlaku sebagaimana orang yang hidup sebelum diutusnya Rasulullah Muhammad SAW. Ini juga berlaku bagi siapa saja yang risalah Sayyidina Muhammad SAW belum sampai pada mereka dalam bentuk yang dapat dilihat, merekapun seperti ahlul-fatrah yang selamat, karena ayat diatas (juga) berlaku untuk mereka, dan mereka dipandang bahwa Rasul belum diutus pada mereka, karena risalah Rasul memang belum disampaikan pada mereka. Maka dosa tidak sampainya risalah tersebut dibebankan pada mereka yang mampu tapi tidak melakukan. Karena itu, sebelum diutusnya seorang Rasul tidak bisa dikatakan bahwa hukum atas sesuatu itu halal maupun haram, karena tidak ada hukum atas sesuatu tersebut, demikian pula dengan perbuatan. Bahkan manusia mengerjakan perbuatan yang ia kehendaki tanpa terikat dengan suatu hukum. Dan dalam pandangan Allah tidak ada sesuatupun sampai Allah mengutus pada mereka seorang Rasul. Dengan begitu keterikatan pada hukum-hukum Allah yang disampaikan oleh seorang rasul itu berdasarkan apa yang disampaikan.

Adapun setelah diutusnya seorang Rasul dan setelah penyampaian risalahnya, dilihat terlebih dahulu. Jika risalah tersebut datang dengan sesuatu tertentu dan mereka diperintahkan untuk mengikuti risalah lainnya sebagaimana yang terjadi pada Sayyidina Isa maka mereka terikat dengan hukum-hukum risalah yang disampaikan pada mereka, mereka wajib mengikuti risalah tersebut dan mereka akan disiksa karena tidak terikat dengan risalah tersebut sampai dengan dihapuskannya risalah ini. Tapi apabila risalah rasul itu datang dengan sesuatu dan tidak berlawanan dengan sesuatu (yang lain) maka mereka terikat dengan apa yang datang saja dan mereka tidak disiksa atas risalah yang tidak sampai pada mereka. Adapun apabila risalah rasul tersebut bersifat umum atas segala sesuatu dan risalah tersebut datang untuk menjelaskan segala sesuatu maka mereka terikat dalam semua hal pada risalah ini. Itu sebagaimana kondisi bersama dengan Sayyidina Muhammad Rasulullah, risalah beliau bersifat umum mencakup segala sesuatu dan risalah tersebut datang untuk menjelaskan segala sesuatu, oleh karena itu tidak ada hukum kecuali apa yang ada di dalamnya. Karena mafhum firman-Nya Ta’ala:


“…dan Kami tidak akan menyiksa sampai Kami mengutus seorang Rasul” (TQS Al Isra' (17):15)

artinya bahwa sesunguhnya Kami akan menyiksa siapa saja yang telah Kami utus pada mereka seorang Rasul dan mereka menyalahi risalah yang dibawa oleh Rasul tersebut. Dan hukum satu-satunya adalah risalah rasul yang disampaikan oleh beliau maka Allah akan menyiksa setiap orang yang menyalahinya. Oleh karena itu tidak ada hukum atas sesuatu maupun perbuatan sampai ada dalil atas sesuatu atau perbuatan tersebut. Atas dasar ini tidak bisa dikatakan bahwa pada dasarnya hukum atas sesuatu maupun perbuatan adalah haram, dengan argumentasi bahwa mengelola milik Allah tanpa idzin-Nya adalah haram sebagai bentuk analog dengan makhluk sebab ayat tersebut secara sharih (menyatakan) bahwa sesungguhnya Allah tidak menyiksa sampai Allah mengutus seorang rasul maka tidak berlaku sampai dijelaskan hukum, juga karena anolog suatu yang hadir (syahid) atas sesuatu yang tidak hadir (gahib) itu sama sekali tidak boleh sebab analog itu dilakukan untuk sesuatu yang tidak hadir atas sesuatu yang hadir dan bukan sebaliknya. Lebih dari itu bahwa makhluk itu saling menimbulkan madharat, sedangkan Allah SWT Maha Suci dari segala manfaat dan madharat. Demikian pula tidak bisa dikatakan bahwa pada dasarnya perbuatan dan sesuatu itu adalah mubah dengan argumentasi bahwa pemanfaatan tersebut bebas dari tanda-tanda yang merusak dan madharat bagi pemilik maka dibolehkan. Tidak bisa dikatakan demikian, karena mafhum ayat tersebut bahwa manusia itu sesungguhnya terikat dengan apa saja yang datang bersama Rasul karena Allah Allah akan mengadzab pelanggaran terhadap yang dibawa oleh Rasul tersebut, maka pada dasarnya adalah mengikuti Rasul dan terikat dengan hukum-hukum dari risalah beliau, dan bukannya pada dasarnya adalah mubah atau dengan kata lain tidak terikat (dengan risalah tersebut). Karena keumuman ayat-ayat hukum menunjukkan atas wajibnya kembali pada syara’ dan terikat dengannya. Allah Ta’ala berfirman:


"…Tentang sesuatu apapun kamu berselisih maka putusannya (terserah) kepada Allah" (TQS Asy-syura (42):10)
Dan firman-Nya:


"…Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya)”(TQS An Nisa'(4):59)

Dan firman-Nya:

"Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri" (TQS An Nahl (16):89)
dan karena rasulullah SAW bersabda, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ad Daruquthni:

“setiap hal yang bukan termasuk dalam urusan kami maka itu ditolak” (HR Ad Daruquthni)

ini semua menunjukkan bahwa pada dasarnya adalah mengikuti syara’ dan terikat dengannya. Dan karena pengambilan manfaat yang terlepas dari tanda kerusakan dan madharat dari pemilik itu bukanlah argumetasi bahwa pada dasarnya boleh. Tidakkah anda perhatikan bahwa zina dengan wanita yang dipastikan tidak bersuami membenarkan bentuk pemanfaatan yang bebas dari yang bebas dari tanda-tanda kerusakan dan madharat bagi si pelaku, tapi itu diharamkan. Dan sesungguhnya bohong untuk bergurau padahal untuk tertawa dan untuk kesenangan bagi keduanya, sementara bagi yang berbohong maupun yang dibohongi tersebut bebas dari tanda-tanda kerusakan maupun madharat bagi sang pemilik, meski begitu berbohong tersebut diharamkan. Terlebih lagi bahwa setelah datangnya syara’ maka bagi sesuatu dan perbuatan ada hukum, maka pada dasarnya di dalam syara’ membahas sesuatu dan perbuatan apakah ada hukum atau tidak, bukan menganggap pada dasarnya sebagai hal yang mubah, dan menetapkan hukum mubah atas perbuatan dan sesuatu berdasarkan akal secara langsung padahal syara’ ada. Demikian pula tidak bisa dikatakan bahwa pada dasarnya atas sesuatu itu adalah tawaqquf dan tidak ada hukum. Karena tawaqquf artinya mengabaikan suatu aktifitas dan mengabaikan hukum syara’ dan itu tentu tidak boleh, karena sesungguhnya yang telah ditetapkan dalam Al Qur'an dan as-Sunnah ketika tidak ada pengetahuan adalah bertanya atas suatu hukum dan bukan tawaqquf dan tidak ada hukum. Allah Ta’ala berfirman:


"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui…"(TQS An Nahl(16):43).
dan sabda beliau SAW pada hadits tayammum, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dawud:

“..mengapa tidak bertanya karena obat orang yang tidak tahu adalah bertanya” (HR Abu Dawud).

ini (semua) menunjukkan bahwa pada dasarnya bukan tawaqquf dan tidak ada hukum. Atas dasar hal tersebut maka setelah diutusnya Rasulullah SAW maka hukum tersebut adalah bagi syara’ dan lebih menjelaskan lagi bahwa tidak ada hukum sebelum datangnya syara’, maka hukum itu ditentukan oleh syara’ atau dengan kata lain tergantung pada adanya dalil syara' atas satu masalah. Oleh karena itu suatu masalah tidak diberi hukum kecuali dari dalil sebagaimana tidak diberikan suatu hukum kecuali setelah adanya syara’. Maka pada dasarnya hendaknya membahas hukum dalam syara’, maksudnya bahwa pada dasarnya hendaknya membahas tentang dalil syara' bagi suatu hukum syara’.
Tinggal satu persoalan. Yaitu apakah syariah Islam itu mencakup seluruh hukum atas fakta yang telah lewat secara keseluruhan, problematika yang sedangn berlangsung secara keseluruhan serta kejadian-kejadian yang mungkin akan terjadi secara sempurna? Jawabnya adalah bahwa tidak satupun kejadian yang terjadi atau problem yang dihadapi atau kejadian yang berlangsung kecuali baginya terdapat hukum. Sungguh syariat Islam itu telah mencakup semua perbuatan manusia dengan cakupan yang sempurna dan menyeluruh. Maka tidak terjadi sesuatu di masa yang lalu, juga sesuatu yang dihadapi dimasa sekarang dan juga kejadian yang terjadi dimasa yang akan datang kecuali bagi setiap sesuatu tersebut ada hukumnya dalam syariat. Allah Ta’ala berfirman:

“dan sungguh Kami turunkan pada kalian al-Kitab yang menjelaskan segala sesuatu” (TQS An Nahl(16):89)

dan Dia Ta’ala berfirman:

“…hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian dien kalian serta Aku sempurnakan atas kalian nikmat-Ku” (TQS Al Maidah(4):3)

maka syariat sama sekali tidak mengabaikan sesuatupun dari perbuatan-perbuatan hamba, apapun itu. Adakalanya ditegaskan dengan dalil bagi perbuatan hamba tersebut dengan nash al-Qur’an dan Hadits, adakalanya dengan meletakkan indikator baik di dalam al-Qur’an maupun Hadits yang mengingatkan pada orang mukallaf atas maksud indokator tersebut di dalamnya serta atas hal yang membangkitkan pensyari'atan hukum tersebut untuk diterapkan atas setiap hal yang di dalamnya terdapat indikator atau sesuatu yang membangkitkan (hukum) tersebut. Dan secara syar’I tidak mungkin terdapat perbuatan hamba yang tidak ada dalil atau tidak ada indikator yang menunjuk pada hukum perbuatan tersebut. karena didasarkan keumuman firman-Nya:

“..sebagai penjelasan atas semua hal...” (TQS An Nahl (16):89)
dan nash tersebut secara sharih (menjelaskan) bahwa Allah telah menyempurnakan dien ini. Maka apabila ada klaim bahwa sebagian fakta lepas dari hukum syara’ dengan pengertian bahwa disana didapatkan sebagaian perbuatan hamba yang syariat mengabaikan sama sekali dengan tidak ada dalil atau tidak diletakkan indikator yang mengingatkan orang mukallaf terhadap maksud indikator tersebut, maka klaim tersebut berarti bahwa disana terdapat sesuatu yang al-Kitab tidak menjelaskannya, dan bahwa dien ini tidak disempurnakan oleh Allah dengan bukti adanya perbuatan yang disebut hukumnya. Maka berarti Islam adalah dien yang kurang. Ini bertentangan dengan nash al-Qur’an, karenanya klaim tersebut adalah klaim yang batil. Bahkan kalau senadainya terdapat hadits-hadits ahad yang riwayatnya shahih dari Rasulullah SAW yang mengandung pengertian yang semacam ini, maksudnya terdapat sebagian perbuatan manusia yang syara’ tidak datang dengan suatu hukum maka hadits-hadits yang semacam ini secara dirayah tertolak karena bertentangan dengan nash yang qath’I tsubut (pasti penetapannya) dan qath’I dalalah (pasti penunjukannya). Karena ayat:

“…sebagai penjelasan atas segala sesuatu”(TQS An Nahl(16):89)
dan ayat:

“…Aku sempurnakan bagi kalian dien kalian” (TQS Al Maidah (4):3)

adalah qath’I tsubut dan qath’I dalalah, maka khabar ahad manapun yang bertentangan dengan ayat-ayat diatas secara dirayah ditolak. Karena itulah tidak halal bagi seorang muslim setelah memahami dua ayat yang qath’I ini untuk menyatakan adanya satu saja peristiwa yang merupakan bagian dari perbuatan manusia yang syara’ tidak menjelaskan posisi hukum peristiwa tersebut, ditinjau dari sudut pandang manapun.
Adapun apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan At-Tirmidzi dari Salman Al Farisi dia menyatakan: Rasulullah SAW ditanya tentang lemak, keju dan kulit yang di samak, beliau menjawab:



“yang halal itu adalah apa yang dihalalkan oleh Allah di dalam kitab-Nya sedangkan haram adalah apa yang diharamkan di dalam kitab-Nya sedangkan apa yang di diamkan maka itu merupakan bagian yang dimaafkan untuk kalian” (HR At Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Sedangkan yang diriwayatkan oleh Abu Darda’ dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda:


“apa yang dihalalkan oleh Allah dalam kitabnya maka itu halal dan apa yang diharamkan oleh Allah maka itu haram. Sedangkan apa yang didiamkan maka itu dima’afkan, maka terimalah apa yang dima’afkan. Sesungguhnya Allah tidak akan melupakan sesuatu, dan selanjutnya beliau membaca: “ dan tidaklah Rabmu itu lupa” (Hadits dikeluarkan oleh Al Bazzar).

Sedangkan apa yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi dari jalur (sanad) Tsa’labah dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda:


“ Sesungguhnya Allah memfardhukan kwajiban-kwajiban maka janganlah kalian menyempitkannya dan Allah telah menetapkan batasan-batasan maka janganlah kalian melampauinya dan ketika Allah diam atas sesuatu itu merupakan rahmat bagi kalian, bukan karena lupa. Maka janganlah kalian membahasnya” (HR Al Baihaqi).
Dari satu sisi hadits-hadits tersebut merupakan khabar ahad dan —dari sisi pengertian—tidak ada pertentangan dengan nash yang qath’I. Artinya hadits-hadits ini tidak menunjukkan adanya sesuatu yang tidak dijelaskan oleh syara’, tetapi hadits-hsdits tersebut menunjukkan bahwa disana ada sesuatu yang Allah Ta’ala tidak mengharamkannya sebagai rahmat untuk kalian, dan Allah mema’afkan serta tidak mengharamkan sesuatu tersebut. Maka topik bahasan hadits-hadits tersebut bukanlah diam dari mensyariatkan hukum-hukum tapi hadits-hadits tersebut diam dari mengharamkan. Pengertian diam dari mengharamkan itu bukan berarti pensyariatan hukum mubah atas semua hal yang syara’ tidak menjelaskannya, tapi sesungguhnya diam ini adalah diamnya pembuat syara' untuk mengharamkan dan diamnya pembuat syara' untuk mengharamkan itu artinya adalah halal, dan termasuk di dalamnya adalah wajib, sunnah, mubah, makruh dan itu diimplementasikan pada hal-hal yang pembuat syara' diam atas hal-hal tersebut saja, bukan pada terhadap setiap hal yang pembuat syara' tidak menjelaskannya. Karena sesungguhnya pengertian hadits-hadits “memaafkan atas segala sesuatu ini” ditilik dari firman-Nya Ta’ala:

"Semoga Allah mema`afkanmu…" (TQS At Taubah(9):43).
dengan dalil nash-nash hadits-hadits tersebut dan juga berdasarkan dalil atas apa yang ditunjukkan oleh konteks pembicaraan hadits-hadits tersebut yaitu larangan untuk mempertanyakan hal-hal yang tidak diharamkan, karena kemudian akan diharamkan. Dari Ibnu Abbas RA, dia berkata: “ hal-hal yang tidak disebut di dalam Al- Qur’an berarti termasuk hal-hal yang Allah mema’afkannya” sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Asy Syatibi dalam kitab Al Muwafaqat. Dan diriwayatkan dari Ibnu Syaibah dalam kitab Mushannafnya bahwa Ibrahim bin Saad bertanya pada Ibn Abbas tentang apa yang diambil dari harta ahli dzimmah? Dia menjawab: dima’afkan. Ath Thabari meriwayatakan dari Ubaid bin Umair (dia menyatakan): "Allah menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram, maka yang apa yang dihalalkan adalah halal dan apa yang diharamkan adalah haram, sedangkan apa yang didiamkan adalah dima’afkan”. Sungguh Nabi SAW tidak menyukai banyaknya pertanyaan atas hal-hal yang hukumnya tidak diturunkan berdasarkan hukum al-bara’atul-ashliyyah (pada dasarnya dibebaskan), karena al-bara’atul-ashliyyah memang merujuk pada pengertian ini. Dan pengertiannya adalah bahwa perbuatan-perbuatan yang bersama dengan al-bara’atul-ashliyyah dimaafkan darinya. Sungguh beliau Alaihish-shalatu was-salam bersabda:


“sesungguhnya perbuatan kriminal yang paling besar yang dilakukan oleh kaum Muslim atas orang Muslim lainnya adalah orang yang bertanya tentang (hukum) sesuatu yang tidak diharamkan atas mereka kemudian diharamkan atas mereka karena banyaknya bertanya padanya” hadits dikeluarkan oleh Muslim.
dan beliau bersabda:


“apa yang aku larang atas kalian maka jauhilah, dan apa yang aku perintahkan atas kalian maka tunaikan semampu kalian”, hadits dikeluarkan oleh Ahmad.
Muslim dan Ahmad telah mengeluarkan (hadits) dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah SAW telah berkhutbah pada kami, beliaupun bersabda:


"wahai manusia Allah telah memfardhukan pada kalian haji, maka berhajilah kalian". lalu bertanyalah seorang laki-laki: apakah tiap tahun wahai Rasulullah? Beliaupun diam, laki-laki tersebut sampai menanyakannya tiga kali, lalu Rasulullah SAW bersabda:


"kalau seandainya aku katakan ya maka menjadi wajib dan kalian tidak mampu melakukannya", kemudian beliau bersabda:


"biarkanlah dengan apa yang aku tinggalkan pada kalian”. Ini semua menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan sabda beliau:“ dan apa yang didiamkan atas sesuatu” maksudnya adalah yang tidak diharamkan. Dan itu dapat ditilik dari sabda beliau dalam hadits yang lain: “…biarkanlah dengan apa yang aku tinggalkan”. Ditegaskan oleh riwayat yang lain pada hadits yang sama yaitu: “dan apa yang dimaafkan atas sesuatu” maksudnya adalah dibolehkan dan tidak diharamkan. Atas dasar hal tersebut sabda Rasulullah: “ dan ketika membiarkan sesuatu” atau sabda beliau "dan apa saja yang didiamkan maka itu dimaafkan" tidak menjadikan pengertian bahwa syara’ tidak menjelaskan hukum sebagian perbuatan hamba, tapi pengertiannya adalah bahwa syara’ tidak mengharamkan sesuatu sebagai rahmat atas kalian, dan hal-hal yang syara’ tidak mengharamkannya sesuatu tertentu yang termasuk kategori hukum diam maka itu tidak diharamkan, maka hukumnya adalah halal. Maka masalahnya adalah berkaitan dengan diamnya beliau SAW, sedangkan diamnya beliau adalah dalil syara’ sebagaimana sabda beliau, perbuatan beliau, dan sama sekali tidak berkaitan dengan tidak adanya penjelasan terhadap hukum sesuatu.

Ini dari sisi pengertian hadits, sedangkan dari sisi penggunaan hadits dalam hukum syara’, sesungguhnya perbuatan orang-orang mukallaf sebagai mukallaf alternatifnya adalah mungkin secara global tercakup dalam khitab taklif, baik itu iqtidha’ atau takhyir dan mungkin tidak. Apabila secara global tercakup dalam khitab taklif maka merupakan keharusan bahwa dalam syariat tersebut ada satu hukum, karena sesuatu tersebut merupakan bagian yang tercakup dalam khitab taklif. Jika secara global tidak termasuk dalam khitab taklif maka konskuensinya adalah ada sebagian mukallaf keluar dari hukum khitab taklif, meski pada waktu atau dalam kondisi tertentu, ini tentu adalah sesuatu yang bathil dari asasnya. Karena kalau kita sebagai mukallaf diwajibkan terikat dengan syara’ maka sama sekali tidak benar untuk keluar dari syara’ dan jika kita diwajibkan oleh syara’ sebagai orang yang bukan mukallaf maka itu merupakan kwajiban yang bathil karena taklif itu bersifat umum sesuai dengan keumuman khitab taklif, maka khitab taklif tersebut mencakup semua keadaan dan setiap waktu. berdasarkan ini adalah tidak mungkin menjadikan (pengertian) sabda beliau Alaihis-salam: “ dan diamnya atas sesuatu” dengan bahwa syara’ tidak menjelaskan hukumnya sebagai konskensi adanya orang-orang dalam keadaan atau waktu tertentu tidak terkategorikan sebagai mukallaf. Maka tidak ada pengertian lain kecuali diam dari pengharaman atas sesuatu. Karena itu maka sesungguhnya hadits tersebut tidaklah menunjukkan bahwa terdapat perbuatan manusia yang syara’ tidak menjelaskanya, dengan demikian gugurlah istidlal tersebut. Dan dengan begitu semakin menguatkan kaidah syara’

الاصل فى الافعال الانسان التقبد بحكم الله

"bahwa pada dasarnya perbuatan manusia itu terikat dengan hukum Allah”
Maka tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk melakukan suatu perbuatan kecuali setelah mengetahui hukum Allah atas perbuatan tersebut yang bersumber dari seruan pembuat syara'. Adapun mubah adalah merupakan salah satu hukum syara' karenanya harus ada dalil yang menunjukkan atas kemubahan tersebut dari syara’, dan tiadanya penjelasan syara’ atas sesuatu bukanlah merupakan dalil atas kemubahan sesuatu apalagi merupakan dalil atas ketidaksempurnaan syariat. Sejatinya dalil yang menunjukkan kemubahan atas sesuatu adalah merupakan penegasan dari pembuat syara' (adanya kebolehan) untuk memilih di dalamnya.

Ini jika berkaitan dengan amal. Adapun yang berkaitan dengan sesuatu, sebenarnya sesuatu itu selalu terkait dengan perbuatan, pada dasarnya sesuatu itu adalah mubah selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Maka pada dasarnya sesuatu itu adalah mubah dan bukan haram, kecuali ada dalil syara’ yang mengharamkannya. Sebab nash-nash syara’ memang telah membolehkan segala sesuatu dan nash-nash ini datang dalam bentuk umum, mencakup segala sesuatu. Dia Ta’ala berfirman:


"Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi…" (TQS Al Hajj(22):65)
pengertian "Allah menundukkan" bagi manusia atas semua yang ada di bumi adalah Allah memubahkan semua hal yang ada di muka bumi. Dia berfirman:

"Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi…" (TQS Al Baqarah (2):168)


Dan firman-Nya:

"Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah…" (TQS Al A'raf(7):31)
Dan Dia berfirman:


"Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya" (TQS Al Mulk(67):15)
Semua ayat yang ada yang memubahkan sesuatu itu datang bersifat umum, keumuman ayat-ayat tersebut menunjuk pada kebolehan atas segala sesuatu. Maka kebolehan segala sesuatu itu datang melalui seruan pembuat syara' yang umum sifatnya. Dan dalil bolehnya segala sesuatu adalah nash-nash syara’ yang memang datang dengan membolehkan segala sesuatu. Ketika syara’ mengharamkan sesuatu tertentu, harus ada nash yang men-takhsis dalil umum tersebut yang menunjukkan adanya pengecualian sesuatu ini dari keumuman yang mubah. Berdasarkan ini maka pada prinsipnya (hukum) sesuatu adalah mubah. Karena itu kita mendapatkan bahwa syara’ ketika mengharamkan sesuatu sungguh telah menegaskan sesuatu tersebut sebagai pengecualian dari umumnya nash. Maka Dia Ta’ala berfirman:

“diharamkan atas kalian bangkai, darah dan daging babi”(TQS Al Maidah (5):3)
dan beliau Alaihis-salam bersabda: “ khamr itu diharamkan karena dzatnya” kitab Al Mabsuth menyebutkannya dari Ibnu Abbas.

maka apa yang ditegaskan oleh syara’ tentang pengharaman sesuatu itu merupakan pengecualian dari keumuman nash, artinya itu merupakan pengecualian dari (hukum) asal. Dan pada dasarnya segala sesuatu adalah mubah. Tidak bisa dikatakan bahwa sesuatu itu tidak mungkin dipisahkan dari perbuatan hamba dan hukumnya datang dari hukum perbuatan hamba maka hukumnya diambil dari perbuatan hamba. Tidak dapat dikatakan demikian, sebab sesuatu itu meski tidak bisa tidak akan selalu terkait dengan perbuatan hamba dan meski dalilnya datang dalam menjelaskan hukum perbuatan hamba, namun sesungguhnya dalil untuk perbuatan hamba ketika diindikasikan dengan sesuatu maka syara’ menjelaskan tentang sesuatu itu tentang keberadaannya yang terkait dengan perbuatan dengan dua hukum saja, dan tidak ada yang ketiga, yaitu antara mubah dan haram dan syara’ sama sekali tidak menjelaskan (hukum) atas sesuatu itu selain kedua hukum diatas. Oleh karena itu tidak bisa dikatakan bahwa hukum sesuatu itu wajib atau mandub dan syara’ membatasi hukum bagi sesuatu itu dengan mubah dan haram saja. Maka sesuatu itu ditilik dari sisi ini (memang) berbeda dengan perbuatan hamba dan hukum perbuatan hamba tidak diambil untuk sesuatu meski dalilnya datang untuk menjelaskan perbuatan hamba. Dari sisi yang lain sesungguhnya keumuman dalil mubah serta penetapan untuk sesuatu tertentu dengan dalil yang pengharaman akan menjadikan bahwa yang mubah itu bersifat umum mencakup segala sesuatu sedangkan pengharaman itu khusus atas hal-hal yang memang diharamkan saja. Dengan demikian maka hukum sesuatu ditinjau dari hukum asalnya dan dari sisi hukum-hukum yang mensifati sesuatu itu memang berbeda dengan hukum perbuatan.

Maka pada dasarnya, hukum sesuatu adalah mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkan, dan pada dasarnya hukum perbuatan itu adalah terikat dengan hukum syara’. Sesuatu itu tidak disifati kecuali dengan halal dan haram berbeda dengan perbuatan, karena seruan pembuat syara' yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan itu menjadikannya terbagi menjadi dua kategori. Pertama, khitabut-taklif dan kedua khitabul-wadh’i. Pembuat syara’ menjadikan khitabut-taklif ada lima macam, yaitu: fardhu, mandub/ sunnah, haram, makruh serta mubah. Sedangkan khitabul-wadh’I juga dibagi menjadi lima macam, yaitu: sebab, syarat, mani’, sihhah dan buthlan dan fasad, serta azimah dan rukhshah.

Walhasil, tidak boleh dinyatakan setelah diutusnya Sayyidina Muhammad SAW untuk manusia secara keseluruhan, terdapat perbuatan atau sesuatu yang tidak ada hukumnya. Juga tidak boleh terdapat hukum atas sesuatu itu apa atau perbuatan itu apa tanpa adanya dalil syara’ karena hukum itu adalah seruan pembuat syara'. Juga tidak boleh dikatakan bahwa setiap hal yang hukumnya tidak dijelaskan oleh syara’ adalah mubah karena mubah itu merupakan hukum syara’. Karena mubah itu adalah seruan pembuat syara’ yang berkaitan dengan perbuatan hamba yang sifatnya pilihan, juga karena klaim bahwa disana ada sesuatu yang tidak dijelaskan hukumnya oleh pembuat syara' itu artinya terdapat sesuatu yang Al Qur'an tidak menjelaskannya, dan itu artinya syariah tidak sempurna. Ini tentu tidak boleh karena bertentangan dengan Al-Qur’an yang qath’I tsubut dan qath’I dalalah. Karenanya maka tidak ada perbuatan yang mungkin dilakukan oleh manusia dan sesuatu yang yang berkaitan dengan perbuatan manusia kecuali bahwa dalam syariat ada hukumnya. Dan memang tidak ada hukum kecuali setelah adanya dalil yang menunjuk pada hal tersebut dari seruan pembuat syara’. Karena tidak hukum sebelum adanya syara’, yang konskuensinya tidak ada hukum sebelum diutusnya Rasul. Dan tidak ada hukum setelah diutusnya seorang Rasul kecuali dengan dalil dari risalah yang datang yang menunjukkan hukumnya.


Diterjemahkan dari Kitab Asy Syakhshiyyah Islamiyyah Juz 3 Karya Syaikh Taqiyuddin An Nabahani

Thursday, April 17, 2008

Memahami Ushul Fiqh : Al Hakim

AL HAKIM

Pembahasan yang paling penting yang berkaitan dengan hukum, yang pertama, yang paling mendesak untuk dijelaskan adalah pengetahuan tentang siapa yang menjadi rujukan sumber hukum, maksudnya siapa al-hakim itu, karena pengetahuan atas hukum dan kategorisasinya tergantung pada pengetahuan tentang al-hakim tersebut. Dan yang dimaksud dengan al-hakim disini bukanlah pemegang kekuasaan yang menerapkan semua hal yang dia memiliki kekuasaan atas hal tersebut, tapi yang dimaksud dengan al-hakim disini adalah yang memiliki otoritas untuk mengeluarkan hukum atas perbuatan dan sesuatu. Sebab apa saja yang ada yang bersifat indrawi tidak akan kaluar dari kategori sebagai perbuatan manusia atau sesuatu yang tidak termasuk perbuatan manusia. Ketika manusia dengan sifatnya sebagai manusia yang hidup di dalam alam semesta ini menjadi obyek bahasan, maka pengeluaran hukum adalah karena manusia dan berkaitan dengannya. Karenanya adalah merupakan keharusan adanya hukum atas perbuatan manusia dan sesuatu yang berkaitan dengan perbuatan manusia tersebut. (Pertanyaannya) adalah siapa satu-satunya yang memiliki otoritas untuk mengeluarkan hukum atas hal diata, apakah Allah atau manusia itu sendiri? Atau dengan ungkapan lain apakah syara’ atau akal? Karena yang menjadikan kita tahu bahwa ini hukum Allah adalah syara’, sedangkan yang menjadikan manusia dapat menghukumi adalah akal. Maka (pertanyaannya) adalah siapa yang yang menghukumi, syara' ataukah akal?


Adapun topik bahasan hukum, maksudnya adalah sesuatu yang dikeluarkan atasnya hukum baik atas sesuatu atau perbuatan adalah hasan dan qabih, karena maksud dikeluarkannya suatu hukum adalah untuk menentukan sikap manusia terhadap suatu perbuatan apakah dia mengerjakannya atau tidak, atau dia memilih antara mengerjakan atau tidak? Serta menentukan sikapnya atas sesuatu yang berkaitan dengan perbuatannya apakah dia mengambilnya atau tidak atau dia memilih antara mengambil dan tidak. Dan penentuan sikap manusia atas hal tersebut tentu tergantung pada pandangan manusia atas sesuatu apakah merupakan suatu yang hasan atau qabih, atau bukan hasan dan juga bukan qabih? Oleh karena itu maka obyek hukum yang dimaksud adalah hasan dan qabih.

Maka (pertanyaannya) adalah apakah hukum atas hasan dan qabih itu ditentukan oleh akal atau syara’? karena memang tidak ada alternatif yang ketiga untuk mengeluarkan hukum ini. Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah bahwa hukum atas perbuatan maupun sesuatu itu adalah adakalanya ditentukan dari aspek faktanya, sesuatu itu apa; dari aspek kesesuaiannya dengan tabiat manusia serta kecenderungan naluriah manusia dan pertentangan sesuatu tersebut dengan kecenderungan naluriah manusia. Ada kalanya dari aspek pujian ketika perbuatan tersebut dikerjakan serta celaan ketika meninggalkannya, atau tidak adanya celaan dan pujian, Atau dengan kata lain ditilik dari aspek pahala dan siksa atas perbuatan tersebut atau tidak adanya pahala serta siksa. Inilah tiga prespektif untuk hukum atas sesuatu: pertama, ditinjau dari faktanya itu apa, kedua dari aspek kesesuaian dan pertentangannya dengan tabiat manusia dan ketiga adalah dari aspek pahala dan siksa, atau pujian atau celaan.

Adapun hukum atas sesuatu ditilik dari aspek yang pertama yaitu dari aspek faktanya itu sendiri itu apa, dan aspek yang kedua yakni dari sisi sesuai dan tidaknya terhadap naluri manusia maka tidak diragukan lagi bahwa itu semua adalah manusia sendiri yang menentukan. atau dengan kata lain ditentukan oleh akal dan bukan syara’. Akal-lah yang memberikan hukum atas perbuatan dan sesuatu pada dua aspek ini, syara’ tidak menentukan hukum atas keduanya. Karena mamang syara’ tidak terlibat di dalamnya. Contohnya pandai itu terpuji sedangkan bodoh adalah tercela memang fakta keduanya gamblang sekali, antara lain adalah kesempurnaan dan kekurangan. Demikian pula dengan penilaian bahwa kaya itu terpuji dan miskin itu tercela dst. Contoh lain misalnya bahwa menyelamatkan orang yang tenggelam adalah terpuji dan mengambil harta secara dzalim adalah tercela maka sesungguhnya tabiat (manusia) menjauhi kedzaliman dan cenderung meluluskan hajat orang yang hampir mati. Demikian pula dengan sesuatu yang manis itu baik sedangkan suatu yang pahit itu tercela dst. Ini semua terpulang pada fakta sesuatu yang dirasakan oleh manusia dan yang difahami oleh akalnya atau terpulang pada tabiat manusia serta fitrahnya, dia merasakannya dan akalnya memahaminya. Oleh karena itu akallah yang menentukan hukum atas sesuatu tersebut baik terpuji ataupun tercela, bukan syara’. Dengan kata lain yang mengeluarkan hukum atas perbuatan maupun sesuatu atas dua hal ini adalah manusia. Manusialah yang menjadi hakim atas kedua hal diatas.

Adapun hukum atas perbuatan dan sesuatu dari sisi pujian dan celaan atas perbuatan maupun sesuatu di dunia serta pahala dan siksa di akhirat tidak diragukan lagi bahwa yang menentukan adalah hanyalah Allah dan bukan manusia, dengan kata lain merupakan wewenang syara dan bukan akal. Seperti terpujinya Iman, tercelanya kekufuran, terpujinya taat dan tercelanya maksiyat, terpujinya berbohong pada saat pertempuran serta tercelanya berbohong pada penguasa kafir di luar peperangan dst. Hal tersebut disebabkan karena realitas akal itu adalah pengindraan, fakta, informasi sebelumnya dan otak. Pengindraan itu adalah bagian penting dari pilar-pilar akal, apabila manusia tidak dapat mengindera sesuatu maka akalnyapun tidak mungkin untuk mengeluarkan suatu hukum atas sesuatu tersebut. Karena akal dalam menentukan hukum atas sesuatu itu terbatas pada sesuatu yang indrawi saja, dan mustahil bagi akal untuk menentukan hukum atas sesuatu yang non indrawi. Sementara kedzaliman apakah termasuk yang terpuji atau tercela memang bukan sesuatu yang indrawi bagi manusia, karena kedzaliman bukanlah sesuatu yang indrawi, karenanya kedzaliman tidak mungkin dirasionalkan; artinya tidak memungkinkan bagi akal untuk menentukan hukum atas kedzaliman tersebut.

Maka hukum apakah kedzaliman itu terpuji atau tercela, meski perasaan manusia secara fitrah menjahui kedzaliman atau ada kecenderungan padanya tetapi perasaan saja tidaklah bermanfaat (untuk memberikan kontribusi) agar akal dapat mengeluarkan hukum atas sesuatu tersebut yang tidak bisa tidak harus termasuk yang indrawi. Oleh karena itu akal tidak mungkin mengeluarkan hukum baik hasan atau qabih atas perbuatan atau sesuatu. Berdasarkan ini maka akal tidak boleh mengeluarkan hukum baik pujian maupun celaaan atas perbuatan-perbuatan atau sesuatu, karena akal tidak bisa mengeluarkan hukum tersebut dan mustahil bagi akal untuk hal itu.

Juga tidak boleh menjadikan kecenderungan fitri manusia untuk mengeluarkan hukum terpuji dan tercala. Karena kecenderungan tersebut akan mengeluarkan hukum terpuji atas hal-hal yang sejalan dengan kecenderungan tersebut dan mengeluarkan hukum tercela atas hal-hal yang berbeda dengan kecenderungan tersebut. Maka kadangkala hal yang sejalan dengan kecenderungan tersebut justru hal-hal yang tercela. Misalnya zina, homoseksual, melakukan penyembahan pada manusia, dan kadangkala hal-hal yang berbeda dengan kecenderungan manusia tersebut justru merupakan bagian dari hal-hal yang terpuji. Misalnya memerangi musuh, sabar atas hal-hal yang tidak disukai serta perkataan yang benar dalam keadaan-keadaan yang dapat mengakibatkan kesakitan yang teramat sangat. Maka menyerahkan hukum pada kecenderungan dan hawa nafsu artinya menjadikan kecenderungan tersebut sebagai standar bagi terpuji dan tercela, itu adalah standar yang salah secara pasti. Oleh karena itu menjadikan hukum berdasarkan pada kecenderungan adalah suatu kesalahan yang jelas. Karena hal tersebut menjadikan hukum secara salah yang bertentangan dengan fakta. Lebih dari itu hal tersebut berarti menjadikan hukum atas terpuji dan tercela berdasarkan hawa nafsu dan syahwat, bukan berdasarkan apa yang seharusnya terjadi.

Karena itu tidak boleh menjadikan kecenderungan yang sifatnya fitrah bagi manuasia tersebut mengeluarkan hukum atas terpuji dan tercela. Selama tidak diperbolehkannya akal untuk mengeluarkan hukum atas terpuji dan tercela, serta tidak diperbolehkan kecenderungan yang bersifat fitriah untuk mengeluarkan hukumnya atas terpuji dan tercela maka tidak boleh menjadikan manusia (hak) untuk mengeluarkan hukum atas terpuji dan tercala, maka yang mengeluarkan hukum atas perbuatan yang terpuji dan tercala adalah Allah dan bukan manusia. Maka yang mengeluarkan hukum atas terpuji dan tercela adalah syara dan bukan akal.

Dan lagi kalau seandainya manusia dibiarkan untuk menentukan hukum atas perbuatan-perbuatan dan sesuatu dengan terpuji dan tercela maka akan berbeda-beda pulalah hukum tersebut dengan adanya perbedaan person dan waktu, bukan termasuk kapasitas manusia untuk menentukan hukum atas terpuji dan tercela yang sifatnya tetap. Karena itu maka Allahlah yang menentukan hukum atas hal tersebut, bukan manusia. Artinya syara’lah yang menentukan hukum, bukan akal. Karena akal memang tidak dapat terlibat dalam menentukan hukum dari prespektif ini. Karena bukti-bukti yang kasat mata menunjukkan bahwa manusia menghukumi sesuatu sebagai suatu terpuji, hari ini, kemudian besok berubah menjadi tercela. Demikian pula ketika menghukumi sesuatu sebagai hal yang buruk kemarin, kemudian hari ini dia menghukumi sesuatu yang sama sebagai sesuatu yang terpuji. Dengan begitu maka hukum atas sesuatu yang sama akan berubah-ubah danm berbeda-beda, dan tidak menjadi hukum yang tetap. Maka terjadilah kesalahan dalam menentukan hukum. Karena itulah tidak diperbolehkan menjadikan akal atau manusia berhak untuk menentukan hukum atas terpuji dan tercela.
Atas dasar hal tersebut adalah merupakan keharusan untuk menjadikan al-hakim atas perbuatan manusia serta atas sesuatu yang berkaitan dengannya dari sisi terpuji dan tercala adalah Allah Ta’ala, bukan manusia. Atau dengan kata lain syaara’lah yang menetukan hukum, bukan akal.

Ini dari prespektif dalil rasional (aqli) atas hasan dan qabih. Sedangkan dari sisi dalil syar’I, sesungguhnya syara' telah mengharuskan peng-hasanan dan peng-qabihan itu dengan mengikuti Rasul serta mencela hawa nafsu. Karena itu adalah termasuk hal yang qath'I secara syar’I, bahwa yang disebut dengan hasan adalah apa yang dihasankan oleh syara’ sedangkan qabih adalah apa yang diqabihkan oleh syara’.

Maka (penetapan) hukum atas perbuatan dan sesuatu dengan terpuji dan tercela adalah untuk menentukan sikap manusia atas perbuatan dan sesuatu tersebut. Untuk sesuatu, berarti menjelaskan apakah boleh baginya mengambil sesuatu tersebut atau diharamkan, dan secara factual tidak ada diskripsi selain itu. Sedangkan untuk perbuatan manusia apakah Allah menuntut manusia untuk mengerjakan atau menuntut untuk meninggalkan atau bahkan memberikan pilihan diantara mengerjakan dan meninggalkan. Tetkala hukum tersebut (dilihat) dari prespektif ini tidak boleh ada kecuali dari syara’, maka merupakan kwajiban hendaknya hukum-hukum perbuatan manusia serta hukum-hukum atas sesuatu di dalamnya dikembalikan pada syara’, bukan pada akal. Maka adalah merupakan kewajiban menjadikan hukum syara’ saja yang berlaku terhadap perbuatan-perbuatan manusia serta segala sesuatu yang terkait dengan perbuatan-perbuatan mereka.

Lebih dari itu sesungguhnya hukum atas sesuatu dari prespektif halal dan haram, dan perbuatan-perbuatan manusia dari prespektif kwajiban, yang diharamkan, yang disunnahkan, yang dimakruhkan atau yang dimubahkan, dan atas perkara-perkara maupun akad-akad dari sisi keberadaannya sebagai sebab atau syarat, atau mani’ atau shahih, dan bathil dan fasid, atau ‘azimah dan rukhshah, itu semua bukan dari prespektif sesuai dan tidaknya dengan tabiat (manusia) dan bukan dari aspek faktanya seperti apa, Tapi dari prespektif terpuji dan tercela atas hal tersebut di dunia serta pahala dan siksa di akhirat. Oleh karena itu maka hukum dalam hal ini adalah wewenang syara’ saja, bukan akal. Maka al-hakim yang sebenarnya atas perbuatan-perbuatan dan atas segala sesuatu yang berkaitan dengan perbuatan, serta perkara-perkara dan akad-akad adalah syara’ saja dan hukum yang ditetapkan oleh akal sama sekali tidak berlaku.


Diterjamahkan dari Kitab Asy Syakhshiyyah Islamiyyah Juz 3 Karya Al 'Alamah Syaikh Taqiyuddin An Nabahani

Monday, April 14, 2008

Buya Kami Bukan Pluralis!

Ya, Buya kami yaitu Buya Hamka bukanlah seorang pluralis seperti yang diocehkan banyak pihak. Dan bahkan demi memperkuat bangunan argumennya tentang pembenaran pluralisme, seorang tokoh yang juga berasal dari ranah Minang sebagaimana halnya Buya Hamka, tanpa tahu malu mencatut nama Buya dan memplintir tafsir Al Azh-har. Padahal, Buya kami bukanlah orang yang gila popularitas dan kekuasaan, sebagaimana yang dipertontonkan para elit sekarang. Mereka tanpa risih dan malu tidak segan-segan bersyahadat bahwa mereka adalah adalah yang pluralis, hanya demi stempel moderat, hanya demi kemenangan di Pilkada. Ingek! Buya kami urang nan luruih, indak sarupo jo urang-urang gadang sarawa nan ado di parpol (Icak-Icak) Islam, indak samo jo angku-angku tele nan mamuta-muta tulisan Buya. Jan dikecek-kan jo Buya kami pluralis ndak, Den tekuih kaniang tu ciek ko!



TOLERANSI, SEKULERISME, ATAU SINKRETISME
Dari Hati ke Hati - HAMKA

Tahun 1968 yang baru kita lalui adalah tahun yang luar biasa. Di tahun 1968 kita berhari raya Idul Fitri samapai dua kali, yaitu 1 Januari 1968 dan 21 Desember 1968.

Maka timbullah inspirasi pada beberapa orang Kepala Jawatan dan juga pada beberapa orang Menteri Kabinet Pembangunan, dan keluarlah perintah supaya peringatan halal bi halal Idul Fitri dan hari Natal digabungkan jadi satu. Diadakan pertemuan serentak disatu tempat, biasanya biasanya dijawatan-jawatan, dan departemen-departem en; "Lebaran-Natal" . Maka tersebutlah perkataan bahwasannya bapak Kepala Jawatan atau bapak Menteri atau bapak Jenderal memulai sambutan beliau, bahwa demi kesaktian Pancasila yang wajib kita amalkan dan amankan, dalam "Lebaran-Natal" ini kita menananmkan dalam hati kita, sedalam-dalamnya, apa arti toleransi. Dan diaturlah acara mula-mula membaca Al Quran, oleh seorang pegawai yang pandai 'mengaji', kemudian itu diiringi oleh seorang pendeta atau pastor yang sengaja diundang, dengan membacakan ayat-ayat injil, terutama yang berkenaan dengan kelahiran 'Tuhan' Yesus. Yesus Kristus Juru Selamat Dunia, Anak Alah Yang Tunggal, tetapi Dia sendiri adalah Alah Bapak juga, menjelma menjadi ke dalam tubuh Santa Maria yang suci, untuk kemudian lahir sebagai manusia.

Tentu saja yang lebih banyak hadir dalam pertemuan "Lebaran-Natal" itu adalah orang-orang Islam dari pada orang-orang yang beragama Kristen. Si orang Islam diharuskan mendengarkan dengan khusyu' bahwa Tuhan Alah beranak, dan Yesus ialah Alah. Sebagaimana tadi orang-orang Kristen disuruh mendengar tentang Nabi MUhammad Saw dengan tenang, padahal mereka diajarkan oleh pendetanya bahwa Nabi Muhammad bukanlah Nabi, melainkan penjahat. Dan Alqur'an bukanlah kitab suci, melainkan buku karangan Muhammad saja.

Kedua belah pihak, baik orang Kristen yang disuruh tafakur mendengarkan Alqur'an, atau orang Islam yang disuruh mendengarkan bahwa Tuhan Alah itu ialah satu ditambah dua sama dengan satu, semuanya disuruh mendengarkan hal-hal yang tidak mereka percayai dan tidak dapat mereka terima. Kemudian datanglah komentar dari protokol, bahwa semuanya itulah yang bernama toleransi, demi kesaktian Pancasila!.

Dan sebagai penutup disuruh kemuka seorang Kyai membaca do'a. Seluruh hadirin yang Islam membaca amin. Pihak Kristen duduk berdiam diri, dan kita tahu apa yang terasa dalam hatinya, yaitu muak dan mual. Kemudian naik pula yang pendeta menyebut do'a-do'a hari Natal, dan semua orang Islam berdiam diri saja, dan kitapun tahu apa yang ada dalam hati mereka.

Pada hakikatnya mereka itu tidak ada yang toleransi. Mereka kedua belah pihak hanya menekan perasaan, mendengarkan ucapan-ucapan yang dimuntahkan oleh telinga mereka. Jiwa, raga, hati sanubari, dan otak tidak bisa menerima. Kalau keterangan orang Islam bahwa Nabi Muhammad Saw adalah Nabi akhir zaman, penutup sekalian Rasul. Jiwa raga orang Kristen akan mengatakan bahwa keterangan orang Islam ini harus ditolak, sebab kalau diterima kita tidak Kristen lagi. Dalam hal kepercayaan tidak ada toleransi.

Sementara sang Pastor dan Pendeta menerangkan dosa waris Nabi adam, ditebus oleh Yesus Kristus di atas kayu palang, dan manusia ini dilahirkan dalam dosa, dan jalan selamat hanya percaya dan cinta dalam Yesus. Telinga orang Islam muntah mendengarkan.

Bertambah mendalam orang-orang yang beragama itu meyakini agamanya, bertambah muntah telinganya mendengar kepercayaan- kepercayaan yang bertentangan dengan akidah agamanya. Barulah mereka menerima semuanya itu dengan toleransi kalau agama itu tidak ada yang dipegangya lagi.

Lantaran itu maka kalau dengan menggabungkan Lebaran dengan Natal, Muhammad Saw menjemput syari'at sembahyang, lalu turun lagi ke bumi menyampaikan perintah itu, jika misalnya pula berdekatan tanggalnya dengan Mi'raj Nabi Isa, yang menurut kepercayaan Kristen, bangkit dari kuburnya setelah tiga hari, lalu naik ke langit dan kini duduk di sisi kanan Alah, Bapaknya yang disurga; kalau hal-hal seperti ini diadakan untuk toleransi, demi kesaktian Pancasila, atau demi mengamalkan dan mengamankan Pancasila, dengan sungguh-sungguh kita katakan bahwa, ini bukan toleransi, melainkan memaksa kedua belah pihak jadi orang munafik, mengangguk-angguk menerima hal yang tak masuk diakal; dengan sengaja dan diatur, supaya membuktikan toleransi.

Baru-baru ini Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, sudah menjelaskan bahwasanya do'a bersama dalam hari-hari peringatan, tidaklah dibolehkan dalam ajaran Islam. Do'a demikian pun tidak akan dapat diterima, karena do'a adalah ibadah dan ada sendiri ketentuannya. Orang Islam meminta kepada Tuhan Allah Yang Satu, yang tidak ada syarikat bagi-Nya, sedangkan Pastor dan Pendeta akan berdo'a meminta kepada Alah Bapak, Alah Putera, dan Alah Roh Kudus.

Semangat toleransi yang sejati, yang logis, yang masuk akal ialah, ketika orang Islam berdo'a, orang Kristen meninggalkan tempat berkumpul. Dan ketika Pastor berdo'a kepada Tiga Tuhan orang Islam keluar.

Zaman akhir-akhir ini sudah ada gejala toleransi paksaan itu, dalam hal-hal resmi atau tidak resmi. Untuk tenggang menggang, seorang Kyai disuruh baca do'a dan untuk menunjukkan Pemerintah berlapang dada, ditambah lagi dengan do'a Katholik. Sesudah itu dengan doa' Protestan, sesudah itu dengan do'a Hindu-Bali. dan dengan do'a secara Budha.

Orang tidak memperhitungkan bagaimana perasaan dari pemeluk agama itu sendiri, atau orang yang tekun utuh dalam agama yang dipeluknya. Terutama orang Islam yang 85% bangsa Indonesia ini terdiri dari mereka.

Yang menganjurkan do'a bersama, atau perayaan 'Lebaran-Natal' , atau barangkali nanti Natal-Maulid, bukanlah orang yang mempunyai kesadaran agama, melainkan orang-orang sekuler, yang baginya masa bodoh, apakah Tuhan satu atau beranak, sebab bagi mereka agama hanya iseng! Atau orang-orang sinkritisme, yang mencari segala persesuaian diantara yang berbeda, lalu dari segala yang sesuai itu mereka membuat sesuatu yang baru.

Gejala seperti ini yang kita lihat sekarang. Dengan setengah paksaan dianjurkan do'a bersama, beribadat bersama, kebaktian bersama diantara orang-orang yang berlainan kepercayaan, dan dikatakan itu semangat Pancasila! Sehingga disadari atau tidak, Pancasila boven alles diatas dari semua agama, dan orang-orang yang sama sekali tidak mengamalkan satu agama, merasa dirinya pemimpin tertinggi, melebihi ulama dan pendeta, kyai dan pastor. Dan barangsiapa yang tidak menyetujui, dituduh anti Pancasila dan tidak toleransi, dan tidak menunjukkan 'kepribadian' Indonesia.

Selama pena ini masih bisa menulis dan mulut ini masih bisa berkata, kita katakan terus terang : "Bukan begitu yang toleransi"!

Bahkan itu adalah merusak agama, memaksa orang menelan sesuatu yang berlawanan dengan inti kepercayaannya. Dan pemuka-pemuka agama yang sadar akan tetap menolaknya. Kita bukanlah menolak Pancasila. Sejak Pancasila diasaskan pada 25 tahun yang lalu, kita sudah menyatakan tidak keberatan.

Tetapi kita tegaskan bahwasannya keselamatan dan keamanan Pancasila itu hanya akan terjamin, apabila umat yang beragama, khususnya umat Islam taat setia melaksanakan agamanya, bukan disuruh pindah dari agamanya menuju suatu kekaburan yang namanya Pancasila. Dan bukan disuruh membuat suatu macam upacara, kebaktian, do'a dan sebagainya bersama-sama dengan pemeluk agama lain yang berlainan akidah dan kepercayaan.

Orang agma lain pun tidak akan dapat menerima suatu upacara baru yang tidak ada dalam agama itu. Dan ini hanya akan akan bisa dilakukan oleh pemeluk-pemeluk agama yang tidak punya pendirian, yang lupa tanggung jawabnya di hadapan Tuhan, karena hendak mengambil muka kepada atasan.

Sehingga pernah terjadi, seorang pembicara di dalam pertemuan besar mengatakan bahwa "Nabi Isa disalib" padahal dia pemuka Islam. Dan pernah terjadi seorang Kyai membaca do'a dihadapan umum, dan do'a itu diambilnya dari "khutbah gunung", pidato Yesus Kristus dalam Injil yang beredar sekarang. Demi toleransi, Kyai tidak membaca lagi do'a yang warid dari ajaran Rasulullah Saw.

Tentu orang-orang seperti itu dapat pujian atasan, dan disambut dengan tepuk tangan oleh orang-orang Kristen, tetapi dia tidak sadar bahwa dengan apa yang dinamainya "toleransi" itu dia telah mengorbankan akidah agamanya. ***

Catatan :
Sikap almarhum Buya Hamka mengenai Natal dan Idul Fitri bersama ini berlanjut menjadi fatwa Majelis Ulama, yang Buya Hamka sendiri sebagai ketuanya; "Natal dan Idul Fitri bersama hukumnya haram". Pemerintah melalui Menteri Agama, Alamsyah Ratuprawiranegara meminta supaya fatwa itu dicabut. Buya Hamka kemudian memilih sikap meletakkan jabatan sebagai Ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia).

sumber :
Dari Hati ke Hati, tentang : Agama, Sosial-Budaya, Politik Oleh Prof.DR.Hamka. Cetakan I, Penerbit Pustakan Panjimas, Jakarta 2002.


Tuesday, April 8, 2008

Memahami Ushul Fiqh

Secara bahasa yang dimaksud dengan al-ashlu adalah sesuatu yang diatasnya dibangun sesuatu yang lain. Baik apakah bangunan tersebut sifatnya indrawi seperti pembangunan tembok diatas fondasi atau yang sifatnya pemikiran seperti membangun ma’lul (hukum yang terdapat ilat) berdasarkan illat dan (sesuatu) yang ditunjuk oleh suatu dalil. Maka ushul fiqh adalah kaidah-kaidah yang fiqh dibangun diatasnya. pengertian fiqh, secara bahasa, adalah faham. Pengertian seperti itu antara lain terdapat dalam firman-Nya Ta’ala :

"…kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu… " (TQS.Hud (11):91)

Sedangkan menurut istilah para ahli syariah yang dimaksud dengan fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syariah yang sifatnya oprasional yang diistimbathkan dari dalil-dalil yang sifatnya rinci. Dan yang dimaksud dengan ilmu tentang hukum-hukum, terkait dengan si alim terhadap fiqh tersebut, bukanlah sekedartahu, tapi pengetahuan yang memungkinkan dia memiliki otoritas atas hukum-hukum syara’ tersebut. Atau dengan kata lain bahwa pengetahuan dan pendalaman tersebut sampai pada level yang dapat mengantarkan si alim terhadap hukum-hukum tersebut memiliki otoritas atas hukum-hukum tersebut. Maka dengan sekedar adanya otoritas tersebut sudah cukup untuk menganggap siapa saja yang sampai pada level tersebut sebagai orang yang layak untuk disebut sebagai orang yang faqih, meski tidak meliputi semuanya. Namun merupakan keharusan baginya untuk memiliki pengetahuan atas hukum-hukum syara’ yang sifatnya cabang, meski secara global, berdasarkan proses kajian dan proses istidlal, dan pengetahuan atas satu atau dua hukum saja tidak disebut sebagai fiqh.

Demikian pula tidak disebut sebagai fiqh ilmu tentang macam-macam dalil yang dapat digunakan sebagai hujjah. Maka ketika aku menyebut fiqh, yang aku maksud adalah kumpulan hukum-hukum oprasional yang cabang sifatnya yang diistimbathkan dari dalil-dali yang bersifat rinci, dan ketika dikatakan bahwa ini adalah kitab fiqh, maka yang dimaksud adalah suatu buku yang didalamnya terkandung hukum-hukum oprasional yang bersifat cabang. Maka ketika dikatakan sebagai ilmu fiqh, yang dimaksud adalah kumpulan hukum-hukum yang sifatnya oprasional. Namun ini hanya khusus untuk hukum-hukum yang sifatnya oprasional. Karenanya secara istilah hukum-hukum cabang dalam masalah aqidah tidak disebut sebagai fiqh, sebab istilah fiqh memang khusus untuk hukum-hukum oprasional, cabang. Artinya (istilah fiqh hanya berkaitan) dengan hukum-hukum yang perbuatan itu dilakukan berdasar pada hukum-hukum tersebut, bukan masalah I’tiqad.

Maka pengertian ushul fiqh adalah kaidah-kaidah yang dibangun diatasnya suatu proses didapatnya otoritas dalam hukum-hukum oprasional berdasarkan dalil-dalil yang sifatnya rinci. Oleh karenanya ushul fiqh itu ditakrifkan sebagai pengetahuan atas kaidah-kaidah yang dapat mengantarkan pada proses istimbath atas hukum-hukum syara’ dari dalil dalil yang bersifat rinci. Sebutan ushul fiqh ini juga berlaku atas kaidah-kaidah itu sendiri. Maka ketika kita menyebut kitab ushul fiqh, maksudnya adalah kitab yang didalamnya termaktub kaidah-kaidah tadi. Dan ketika kita katakan ini ilmu ushul fiqh maksudnya adalah kaidah-kaidah yang mengantarkan pada proses istimbath hukum-hukum syara’ dari dalil-dalil yang sifatnya rinci. Maka pembahasan ushul fiqh adalah pembahasan tentang kaidah-kaidah dan dalil-dalil, pembahasan tentang hukum, sumber-sumber hukum, serta tatacara istimbath hukum dari sumber-sumber ini. Termasuk cakupan ushul fiqh adalah dalil-dalil yang global dan arah penunjukannya atas hukum-hukum syara’, sebagaimana tercakupnya bagaimana kondisi orang yang beristidlal dalam hukum-hukum syara’, namun secara global dan tidak bersifat rinci, atau dengan kata lain pengetahuan tentang ijtihad.

Ushul fiqh mencakup pula tatacara beristidlal, yaitu at-ta’adul dan tarajih terhadap dalil-dalil. Tapi ingat bahwa ijtihad dan tarjih diantara dalil-dalil itu tergantung pada pengetahuan atas dalil-dalil dan arah dalalah dari dalil-dalil tersebut. Karena itulah dua pembahasan ini: dalil-dalil dan arah dalalahnya, merupakan landasan ushul fiqh, disamping pembahasan hukum dan hal-hal yang berkaitan dengan hukum tersebut.
Maka ushul fiqh adalah dalil-dalil fiqh yang sifatnya global, tidak spesifik. Seperti mutlaknya perintah, larangan, perbuatan nabi, ijma’ shahabat serta qiyas. Dengan begitu dalil-dalil yang bersifat rinci tidak masuk dalam pembahasan ushul fiqh, misalnya firman Allah :

“…dan dirikanlah shalat…”(TQS An Nur (24):56)

“…dan janganlah kalian mendekati zina…”(TQS Al Isra'(17):32)

shalatnya Rasulullah SAW di tengah-tengah ka’bah, penetapan perwalian untuk yang dibawah perwalian, dan bahwa wakil berhak mendapatkan upah jika akad perwakilannya berdasarkan upah, diqiyaskan pada hukum karyawan. Itu semua tidak termasuk kategori pembahasan ushul fiqh karena merupakan dalil-dalil yang rinci , spesifik, adapun keberadaannya sebagai contoh dalam pembahasan ushul fiqh bukan berarti merupakan bagian pembahasan ushul fiqh, karena yang dikategorikan sebagai ushul (fiqh) adalah dalil-dalil yang sifatnya global, arah penunjukkan, keadaan orang yang berdalil dan tatacara beristidlal.

Ushul fiqh dibedakan dengan ilmu fiqh karena obyek fiqh adalah perbuatan orang-orang mukallaf , ditinjau dari bahwa perbuatan-perbuatan mukallaf ada yang halal dan haram, sah, batal dan fasad. Sedangkan ushul fiqh obyeknya adalah dalil-dalil sam’I, ditinjau dari sudut pandang bahwa dalil-dalil tersebut diistambathkan hukum-hukum syara’ artinya dari sisi penetapan oleh dalil-dalil tersebut atas hukum-hukum syara’. Maka menjadi keharusan untuk membahas hukum, dan hal-hal yang berkaitan dengannya, dari sisi penjelasan siapa yang memiliki otoritas mengeluarkan hukum, atau dengan kata lain siapa yang berhak mengeluarkan hukum, maksudnya al-hakim, dan dari sisi penjelasan untuk siapa hukum tersebut dikeluarkan, atau dengan kata lain siapa yang dibebani untuk melaksanakan hukum tersebut, mahkum alaihi, dan dari sisi penjelasan hukum itu sendiri, hukum itu apa dan hakikat hukum itu sebenarnya apa. Baru setelah itu diikuti dengan penjelasan dalil-dalil dan arah penunjukan dari dalil-dalil tersebut.

Diterjemahkan dari Kitab Asy Syakhshiyyah Islamiyyah Juz 3 Karya Syaikh Taqiyuddin An Nabahani

Monday, March 17, 2008

Koreksi atas buku WAMY dan buku derivatnya

Allah swt berfirman, artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (al-Hujurat;6).


“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik daripada wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri, dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim.” (al-Hujurat;11).

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (al-Hujurat:12).

Sengaja kami mengutip firman Allah swt di atas untuk mengingatkan, agar kita tidak terjatuh ke dalam kesimpulan-kesimpulan prematur setelah membaca buku terbitan WAMY. Sungguh, setelah kami melakukan kajian mendalam dan jernih terhadap buku WAMY, dan menafikan aspek-aspek emosional dan kepentingan kelompok, buku ini (termasuk derivatnya, misalnya Al-Thariq ila Jamaa’at al-Muslimin) adalah buku yang syarat dengan fitnah dan akan menjatuhkan siapapun yang terlibat dalam “pembuatan, penerbitan dan juga penyebarluasan buku tersebut” ke dalam dosa yang sangat besar. Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa membuat sunnah yang jelek, dia akan mendapat dosanya, dan dosa dari orang yang mengerjakan sunnah yang jelek tersebut hingga hari kiamat, “(lihat dalam Riyadlus Shalihin, Imam al-Nawawiy). Namun demikian, kami sebagai seorang muslim yang selalu ingin memupuk ukhuwah Islamiyyah, sekaligus sebagai refleksi dari amar ma’ruf nahi ‘anil mungkar, tidak akan pernah lelah untuk mengingatkan kaum muslimin terhadap berita-berita sepihak, fitnah, dan syarat dengan kepentingan busuk dan keji itu. Semoga Allah swt meluluhlantakkan musuh-musuhnya, dan memberikan kesadaran kepada kaum muslim yang selama ini terbelenggu dengan informasi sepihak dan beracun itu. Kami menyerukan agar anda melakukan tabayyun. Terutama pihak-pihak yang tidak mengetahui duduk persoalan sebenarnya, dan tidak mengetahui latar belakang lahirnya buku itu, dan sekaligus kesalahan-kesalahan yang terkandung dalam buku tersebut. Tentu, sikap hanya mau menerima informasi sepihak, kemudian memberikan justifikasi secara serampangan terhadap pihak lain –tanpa ada proses tabayyun terlebih dahulu-merupakan sikap gegabah yang tidak sejalan dengan kaedah-kaedah dasar Islam. Alangkah baiknya, jika kita tidak tergesa-gesa memberi justifikasi sebelum kita mendengar keseluruhan informasi dari kedua belah pihak, sikap tabayyun juga akan menghindarkan kita dari berbagai macam fitnah yang justru akan memperlemah kekuatan kaum muslimin itu sendiri.

Kami takut, buku WAMY ini (termasuk pula, buku al-Thariq ila Jaami’ah al-Muslimin, dan juga buku al-Da’wah al-Islamiyyah Faridlah Syar’iyyah wa Dlarurah Basyriyyah), justru akan menimbulkan masalah serius bagi hubungan antar gerakan Islam sendiri. Bahkan, kami menyaksikan dan melihat dengan mata kepala sendiri, buku ini telah disebarluaskan, dan dijadikan buku rujukan di beberapa kuliah di Timur Tengah, dan juga menjadi salah satu rujukan yang disarankan untuk dibaca oleh sebagian kelompok Islam, di negeri ini. sedihnya, buku ini tidak pernah menyebutkan argumentasi balik dari pihak yang dinilai dalam buku itu. Lepas dari apa tendensi pihak yang menyebarkan buku-buku semacam ini, kami hanya mengingatakan kepada siapa saja yang membaca buku tersebut, termasuk pihak yang sengaja menyebarkan, dan mencetak buku ini, untuk bisa berfikir jernih dan mau melakukan tabayyun dari pihak-pihak yang dinilai negatif di dalam buku itu. Kami juga menyeru kepada kaum muslimin yang sudah terlanjur menganggap benar informasi-informasi mengenai gerakan-gerakan Islam (selain Ikhwanul Muslimin) yang termuat di dalam buku WAMY itu, untuk menyadari kesalahannya dan mau melakukan tabayyun kepada Hizbut Tahrir, atau kepada gerakan-gerakan yang dinilai buruk oleh tokoh Ikhwanul Muslimin itu (Jama’ah Tabligh, dll).

Kami ingatkan kepada pihak-pihak yang getol menyebarluaskan buku ini, bila kalian melakukan upaya-upaya pencitraan buruk terhadap gerakan Islam lain (termasuk di dalamnya Hizbut Tahrir) dengan cara-cara murahan seperti itu—bukan dengan mengkritik dan mengkritisi ide-idenya--, maka ingat, jika umat sudah mengetahui duduk persoalan sebenarnya, pasti mereka berbondong-bondong akan meninggalkan anda, dan akan melecehkan cara-cara anda itu.

Muslim sejati bukanlah orang bodoh yang mudah di provokasi oleh berita-berita sepihak. Kaum muslim juga tidak akan mudah percaya begitu saja kepada ucapan-ucapan orang yang menganggap dirinya tokoh, tapi lemah dalam argumentasi dan berdalil. Kami sangat yakin bahwa siapapun yang membaca, dan mengkaji buku ini dengan pembacaan yang jernih, intelektual, tidak tendensius, dan non emosional, akan bersikap bijak, dan tidak gegabah membuat kesimpulan atau malah ikut-ikutan menyebarkan berita fitnah yang sepihak itu! Seharusnya, siapapun yang mendapatkan buku itu, mau melakukan proses tabayyun agar mereka mengetahui kebenaran hakikinya, sehingga tidak mendzalimi pihak yang lain.

Kami juga ingatkan kepada siapapun, lebih baik anda mengkritisi pemikiran-pemikiran Hizbut Tahrir, ketengahkan dalil-dalil anda, dan insya Allah, Hizbut Tahrir sebagai organisasi politik—yang hanya menjadikan Islam sebagai satu-satunya mabda’nya, dan selalu berjuang di jalan Allah tanpa kenal menyerah – akan sangat terbuka dan senang hati menerima dan mengkajinya. Jika ada pendapat yang lebih kuat dan jernih, pasti Hizbut Tahrir akan mengadopsi pendapat itu, dan akan meninggalkan pendapatnya yang lemah. Hizbut Tahrir bukanlah organisasi yang dogmatis. Hizbut Tahrir juga bukan organisasi Politik yang pendapatnya sering mencla-mencle. Hizbut Tahrir bukanlah organisasi politik yang gemar mengutuk dan mendiskreditkankelompok-kelompok Islam lain.

Di salah satu forum yang diadakan di Jakarta, kami pernah membahas buku al-Thariq ila Jamaa’ah al-Muslimin, dan kami telah menjelaskan kesalahan metodologis buku itu. Bahkan kami juga telah mengingatkan agar buku itu tidak disebarluaskan. Sebab, buku itu telah menimbulkan fitnah dan penuh dengan kebohongan. Kami hanya ingin agar ikhwan-ikhwan kami tidak terjatuh kepada dosa dan terjatuh dari tindakan menghalalkan segala cara. Namun, ghafarallahu lana! Buku itu tetap saja masih disebarkan!.

Namun demikian, kami tidak akan memusuhi kelompok Islam lain. Sekiranya kritik HT kepada kelompok lain itu sangat keras, bukan berarti HT memusuhi kelompok itu. Akan tetapi, kritik itu dilakukan agar mereka kembali ke jalan yang benar. Oleh karena itu, Hizbut Tahrir bukanlah organisasi politik dogmatis yang hanya mau menerima berita sepihak. Sungguh, apa yang dinyatakan dalam buku WAMY itu sangat jauh dari kenyataan, dan merupakan FITNAH yang membahayakan bagi pembuat dan penyebar bukunya, dan orang-orang yang termakan provokasinya. Buku itu sama sekali tidak membahayakan Hizbut Tahrir. Bagi Hizbut Tahrir, buku WAMY tidak lebih sekedar ujian dan cobaan yang menimpa HT. Hizbut Tahrir akan selalu bersabar atas celaan dan penghinaan. Hizbut Tahrir hanya mengharapkan keridloan Allah swt. Hizbut Tahrir –sebagai sebuah organisasi politik-tidak akan menyibukkan dirinya untuk menanggapi fitnah-fitnah murahan dan picik itu. Betapa Hizbut Tahrir –semoga Allah memberkahi anda dan kaum muslim-telah distigma dengan berbagai tulisan, semisal, tulisan yang dikeluarkan oleh WAMY, buku al-Thariq ila Jama’at al-Muslimin, dll. Namun, apa pernah Hizb sebagai sebuah organisasi, mengeluarkan bantahan atas fitnah-fitnah dan stigma-stigma itu? Hizb akan menjelaskan bagi mereka yang ingin tabayyun! Sebab, Hizbut Tahrir tidak ingin disibukkan dengan persoalan-persoalan yang sebenarnya malah akan menyelewengkan kaum muslimin dari perjuangannya menegakkan hukum-hukum Allah.

Wahai kum muslimin! Umat sudah terlalu lama menderita akibat diterapkannya aturan-aturan kufur. Lalu, mengapa kita masih saja disibukkan dengan persoalan-persoalan semacam ini? Mengapa kita tidak segera bersatu menegakkan aturan-aturan Allah dengan jalan menegakkan Khilafah Islamiyyah ‘Ala Minhaj al-Nubuwwah?.

Demikianlah, buku itu tidak membahayakan Hizbut Tahrir, akan tetapi justru akan membahayakan orang yang menulis dan pihak yang mau terprovokasi dengan tulisan-tulisan yang termuat dalam buku itu! Sungguh “Fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan”. Siapapun yang melakukan hal itu, kelak wajahnya akan dibakar oleh apai neraka!.
KOREKSI METODOLOGIS ATAS BUKU WAMY

Buku WAMY itu banyak merujuk pada karangan Shadiq Amin, yang berjudul al-Da’wah al-Islamiyyah Faridlah Syar’iyyah wa Dlarurah Basyariyyah. Penyusun buku WAMY itu sangat jarang merujuk kepada buku-buku primer yang dileluarkan oleh HT. Jikalau ada, kutipan-kutipan tersebut cenderung dipreteli, tidak lengkap, dikutip sebagian-sebagian, dan distigma sehingga makna utuhnya menjadi kabur bahkan menyimpang dari makna sebenarnya (makna yang dipahami HT).

Sungguh, buku yang dijadikan rujukan oleh penyusun buku WAMY itu—yakni buku al Da’wah al Islamiyyah Faridlah Syar’iyyah wa Dlarurah Basyariyyah, karangan Shadiq Amin—adalah buku yang secara ilmiah diragukan, bahkan terjadi kekacuan metodologis yang sangat parah. Mulai dari kesalahan pengutipan, pendustaan yang di sandarkan kepada Hizbut Tahrir, dan pengutipan kalimat yang tidak sempurna sehingga makna yang terkandung menjadi kacau dan salah. Bahkan kutipan-kutipan itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan makna yang dikehendaki oleh HIZB. Layaknya orang membaca “Celakalah orang-orang yang mengerjakan Sholat”, namun kalimatnya tidak diteruskan, sehingga maknanya menyimpang sangat jauh. Walhasil kami menyimpulkan bahwa buku WAMY beserta derivat-derivatnya telah gugur secara ilmiah. Sebab sumber rujukannya, yakni buku al-Da’wah al-Islamiyyah Faridlah Syar’iyyah wa Dlarurah Basyariyyah, telah hancur secara akademis.

Agar kaum muslim mengetahui duduk persoalan sebenarnya, sekaligus memahami kesalahan metodologis buku WAMY itu, maka kami akan mengetengahkan fakta-fakta kesalahan, pendustaan serta pemelintiran yang terdapat dalam buku al-Da’wah al-Islamiyyah Faridlah Syar’iyyah wa Dlarurah Basyariyyah, karya Shadiq Amin. Kami ingatkan kembali, bahwa buku karya Shadiq Amin adalah sumber rujukan utama bagi buku WAMY, dan juga al-Thariq ila Jama’at al-Muslimin. Anda bisa membayangkan sendiri, bila rujukannya saja ngacau, lantas betapa lebih ngacaunya buku yang menginduk kepadanya, yakni buku WAMY dan al-Thariq ila Jama’at al-Muslimin itu. Fakta kesalahan metodologis itu tampak pada kenyataan-kenyataan berikut ini:

1. Pendustaan atas nama pendapat Hizb Tahrir. Dr. Shadiq Amin dalam bukunya al-Da’wah al-Islamiyyah Faridlah Syar’iyyah wa Dlarurah Basyariyyah, hal.101 menyatakan, “ Anda akan dapatkan diantara pengemban dakwah mereka (HT red.), orang-orang yang suka meninggalkan dan mengentengkan urusan Sholat. “ Ia juga menyatakan, “HT telah mengabaikan ibadah nawafil dan dzikir… Oleh karena itu. Kita akan dapatkan betapa lemah dan rendahnya ruhiyyah para anggota HT, lemahnya hubungan mereka dengan al-Quran dan Sunnah, dan ketidakterikatan mereka dengan hukum-hukum Syara’.’

Jelas, statement ini sangat bertentangan dengan ide-ide, dan pemikiran-pemikiran HT yang selalu menekankan untuk selalu terikat dengan hukum syara’. Ini juga sangat bertentangan dengan instruksi HT kepada para anggotanya untuk selalu meningkatkan aspek ruhiyyah, dan juga giat dengan ibadah nawafil. Statement ini juga bertolak belakang dengan fakta keanggotaan Hizb Tahrir. Hizb telah menetapkan, muslim yang tidak sholat tidak boleh menjadi anggota HT, wanita yang tidak mengenakan Jilbab tidak boleh menjadi anggota Hizb. Berdasarkan kenyataan ini, lalu apa mungkin ada anggota Hizb yang tidak mengerjakan sholat, sementara HT telah menetapkan bahwa orang yang tidak sholat tidak boleh menjadi anggota HT. Silahkan renungkan sendiri. (Untuk itu anda bisa membaca buku-buku HT, semisal Mafaahim Hizb al-Tahrir, Nidzam al-Islaam,dll ). Dan juga banyak pendustaan-pendustaan lain yang tidak perlu kami ketengahkan semuanya dalam tulisan ini. (Jika anda ingin membaca bantahan dari syabab Hizb, agar anda tidak dibohongi dan disesatkan oleh buku penuh tipuan ini, bacalah risalah karya Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Radd ‘Ala Kitaab, al-Da’wah al-Islamiyyah Faridlah Syar’iyyah wa Dlarurah Basyariyyah karangan Dr. Shadiq Amin,. “Bantahan atas buku al-Da’wah al-Islamiyyah Faridlah Syar’iyyah wa Dlarurah Basyariyyah karangan Dr. Shadiq Amin).

Ini saja sudah cukup untuk membuktikan betapa Dr. Shadiq Amin telah melakukan pendustaan. Anehnya, buku ini malah dijadikan rujukan oleh buku WAMY. lalu, layakkah secara ilmiah buku yang penuh dengan pendustaan ini dijadikan rujukan? Bila rujukannya lemah, maka betapa lemahnya buku yang merujuknya.

2. Pendustaan pengutipan. Pada halaman 105 buku karangan Shadiq Amin itu disebutkan, “Dalam Kitab al-‘Uqubaat, karangan ‘Abdurrahman al-Malikiy disebutkan, “Siapapun yang berzina (man zany) dengan salah seorang mahram yang abadi, seperti ibu, dan saudara perempuan dipenjara 10 tahun.” Bahkan tidak cukup dengan itu, Shadiq Amin juga menyatakan beberapa statement yang ia klaim berasal dari kitab Nidzam al-‘Uqubaat edisi akhir karya ‘Abdurrahman al-Malikiy semoga dirahmati Allah. Perlu anda ketahui, Kitab Nidzam a—‘Uqubaat adalah buku karya salah seorang anggota Hizb yang terkenal fakih, dan cerdas, bernama Dr. ‘Abdurrahman al-Malikiy. Buku ini membahas tentang sistem persanksian di dalam Islam. Statement Shadiq Amin dalam bukunya yang berjudul al-Da’wah al-Islamiyyah Faridlah Syar’iyyah wa Dlarurah Basyariyyah, “Siapapun yang berzina (man zany) dengan salah seorang mahram yang abadi, seperti ibu, dan saudara perempuan dipenjara 10 tahun”, ia (Shadiq Amin) klaim, dikutip dari edisi awal kitab Nidzam al’Uqubaat. Padahal, kitab Nidzam al-‘Uqubaat hanya diterbitkan sekali, sejak tahun 1965, dan tidak ada cetak ulang. Lalu, dari mana ia bisa menyatakan ada edisi awal dan akhir Kitab Nidzam al-‘Uqubat? Jelas ini hanya pendustaan saja. Selain itu, bila anda melihat dalam buku asli karangan ‘Abdurrahman al-Malikiy, anda akan dapatkan bahwa teks aslinya berbunyi, “(Man tazawwaja) Siapapun yang menikah dengan salah seorang mahram yang abadi, seperti ibu dan saudara perempuan, dipenjara 10 tahun” Bukan, “man zany” sebagaimana klaim Shadiq Amin. Lalu, pernyataan yang salah kutip ini ia jadikan senjata untuk menikam Hizbut Tahrir. Shadiq Amin (yang juga dikutip oleh WAMY) menyatakan, bahwa hukuman orang berzina sudah sangat jelas, yakni dirajam, atau dijilid. Oleh karena itu, kasus zina harus dimasukkan dalam bab hudud, bukan ta’zir. Selanjutnya ia berkomentar, apa yang dilakukan oleh HT dengan cukup memenjara 10 tahun bagi orang yang melakukan perzinaan dengan mahram abadi termasuk penyimpangan terhadap hukum syara’.

Sebelumnya perlu kami sampaikan, bahwa kitab Nidzam al-Uqubat meskipun merupakan kitab yang dikeluarkan oleh HT, namun kitab tersebut bukanlah kitab mutabannat (kitab yang diadopsi oleh HT). Sehingga tidak bisa mewakili pemikiran HT dalam masalah ‘Uqubat (persanksian).

Statement yang benar terdapat dalam kitab Nidzam al-‘Uqubat adalah, “Siapapun yang menikah (bukan berzina) dengan salah seorang mahram yang abadi, seperti ibu dan saudara perempuan, dipenjara 10 tahun.” Ada perbedaan mendasar antara “siapa yang berzina” dengan “siapa yang menikahi”. Siapapun yang melakukan perzinaan dengan mahram yang abadi akan dikenai had zina. Oleh karena itu, perzinaan termasuk dalam bab hudud, bukan ta’zir. Akan tetapi untuk kasus orang yang melakukan pernikahan dengan mahramnya yang abadi, berbeda dengan fakta orang yang melakukan perzinaan dengan mahramnya yang abadi. Kasus orang yang melakukan pernikahan dengan mahramnya yang abadi, termasuk dalam akad nikah yang fasid. Al-Mukarram ‘Abdurrahman al-Malikiy berpendapat bahwa orang yang menikahi mahramnya yang abadi tidak boleh dikenai had zina, sebab masih ada syubhat akad yang menghalalkan farji seseorang, meskipun akad itu fasid. Pendapat yang dipegang oleh ‘Abdurrahman al-Malikiy ini senada dengan pendapat ulama Hanafiyyah. ‘Abdul Qadir al-Audah dalam kitabnya (al-Tasyrii’ al-Janaaiy, jus II, hal.363), menyatakan”, Akan tetapi Abu Hanifah sendiri berpendapat, orang yang menikahi ibunya, anak perempuannya, bibi, (mahram abadi), kemudian menyetubuhinya, maka untuk kasus ini tidak dikenai had zina, meskipun mereka mengaku, bahwa mereka mengetahui hal itu adalah tindakan haram. Untuk kasus semacam ini cukup dikenai hukuman ta’zir.” Ia melanjutkan, “Imam Abu Hanifah tidak menjatuhkan had untuk kasus semacam ini karena ada syubhat.” Tampaknya, pendapat Abu Hanifah ini diadopsi oleh Dr. ‘Abdurrahman al-Malikiy dalam kitab Nidzam al-Uqubat. Oleh karena itu, apa yang dinyatakan oleh Dr. ‘Abdurrahman al-Malikiy dalam kitab Nidzam al-Uqubat itu, bukanlah pendapat yang menyimpang. Bahkan penadapat ini merupakan pendapat tangguh yang dipegang oleh Imam Abu Hanifah. Walhasil, pendapat ‘Abdurrahman al-Malikiy tersebut merupakan pendapat yang Islamiy, dan tidak perlu dijadikan bahan untuk menikam saudaranya sendiri.

Juga tentang ciuman. Hizb dikatakan membolehkan mencium wanita asing. Jelas ini merupakan fitnah keji yag ditikamkan kepada HT. Sungguh jika anda membaca buku primer HT yang berjudul al-Nidzaam al-Ijtimaa’iy fi al-Islaam, edisi III, hal.58, anda akan segera sadar, bahwa isi yang terdapat dalam buku WAMY sekaligus buku rujukannya itu (karya Shadiq Amin di atas), penuh dengan kedustaan dan fitnah.di dalam kitab al-Nidzaam al-Ijtimaa’iy fi al-Islaam yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir disebutkan, “Ini berbeda dengan ciuman, ciuman seorang laki-laki terhadap wanita asing yang diinginkannya, atau sebaliknya, adalah ciuman yang diharamkan. Sebab ciuman semacam ini termasuk pembukaan dari zina. Sebab ciuman pada umumnya adalah pembukaan menuju aktivitas zina, meskipun dilakukan tanpa syahwat.” Walhasil, jelaslah, bahwa Hizb sendiri telah mengharamkan seorang laki-laki mencium wanita asing yang bukan mahramnya. Kami bertanya, anda lebih percaya kepada rujukan asli dari Hizbut Tahrir atau buku yang penuh dengan kedustaan itu?.

Walhasil, tidak ada keraguan sedikitpun, buku yang dijadikan rujukan oleh buku terbitan WAMY itu, adalah buku yang penuh dengan tipuan dan pendustaan. Jika rujukannya saja sudah gugur secara metodologis, tentu gugur juga semua buku yang menginduk kepadanya. Walhasil, buku terbitan WAMY tidak ilmiah dan tidak layak dijadikan acuan dan sumber rujukan, dikarenakan rujukannya telah batal secara akademis.

Kami tegaskan kembali, jika buku Shadiq Amin, yang berjudul al-Da’wah al-Islamiyyah Faridlah Syar’iyyah wa Dlarurah Basyariyyah itu dipertanggungjawabkan di depan kajian ilmiah, maka buku itu tidak bernilai ilmiah sama sekali, bahkan batal demi kebenaran ilmiah. Oleh karena itu, untuk menilai apakah buku WAMY bisa dijadikan sebagai rujukan atau tidak, maka tolok ukurnya adalah apakah buku yang dijadikan rujukan dasar buku WAMY itu (buku al-Da’wah al-Islamiyyah Faridlah Syar’iyyah wa Dlarurah Basyariyyah, karya Shadiq Amin) ilmiah atau tidak. Jika tidak, maka gugugrlah keilmiahan buku WAMY tersebut.

Kami mengingatkan dan mengajak kepada pihak-pihak yang selama ini terlanjur mempercayai kebenaran isi buku WAMY itu dan sudah terlanjur menjadikannya sebagai rujukan untuk menilai Hizbut Tahrir, agar mau bersikap obyektif dan mau menerima koreksi dan pembenaran. Sungguh penerimaan anda dengan penuh keikhlasan akan menuntun anda kejalan kebenaran. Kami juga menyarankan kembalilah kepada Islam yang benar, kepada yang sudah terlanjur menyebarkan buku itu, maka tarik dan bekukan buku itu. Jika tidak sungguh adzab Allah sangatlah pedih! Ingatlah sabda Rasulullah saw, tatkala beliau mengingatkan tentang kedustaan, “Barangsiapa yang berdusta maka mereka bukanlah golongan kami. Pembuat makar dan pengkhianat akan dimasukkan ke dalam neraka.” (HR. Tirmidzi dan Abu Na’im dalam al-Haliyah dari Ibnu Mas’ud).

Kami perlu memberitahukan juga bahwa pengarang al-Da’wah al-Islamiyyah Faridlah Syar’iyyah wa Dlarurah Basyariyyah (yang dijadikan sumber rujukan oleh WAMY). Dr. Shadiq Amin, mengarang buku ini dibawah tekanan bangsa Yordania saat itu. Bahkan, penguasa Yordania telah menetapkan buku ini sebagai buku yang harus dipelajari oleh mahasiswa dan dosen pada kuliah Syari’ah di Universitas Yordania. Hal yang perlu dikritisi adalah, (1) Mengapa Pemerintah Yordania sampai menetapkan agar buku ini dipelajari di perguruan tinggi di sana? Sedangkan pada saat yang sama, pengarangnya mengaku sebagai anggota dari gerakan Islam yang meruntuhkan rejim kufur ala pemerintahan Yordan? Betapa kontradiksinya! Kita semua memaklumi bahwa pemerintahan Yordan sangat benci terhadap gerakan Islam yang ingin menerapkan aturan-aturan Allah swt dengan cara menegakkan Khilafah Islamiyyah. Bahkan, setelah Hiizbut Tahrir sering mendapatkan dukungan untuk meraih kekuasaan, pemerintahan Yordania tidak tinggal diam. Lalu, dibuatlah makar untuk menyerang dan menjelek-jelekkan Hizbut Tahrir di hadapan rakyat. Mereka menyuruh orang untuk mengarang buku yang menjelk-jelekkan dan mendiskriditkan HT. Kita mengerti, pemerintahan Yordan sangat anti dengan penerapan Islam yang utuh. Bila pemerintahan Yordan berbaik hati menjadikan buku karangan Shadiq Amin itu sebagai bahan kuliah di Universitas Yordania, tentu maksudnya bulkan untuk menyadarkan kaum muslim dari kelompok dan perjuangan yang benar.
Kita bisa menyimpulkan, pemerintah Yordan menetapkan buku ini sebagai bahan ajar di perguruan tinggi Yordan bukan untuk menyebarkan Islam yang benar, tetapi untuk menikam gerakan-gerakan Islam yang ingin meruntuhkan rejim kufur di sana-yakni HT? Mana mungkin pemerintahan Yordan yang kufur itu mau bersekongkol dengan gerakan yang ingin menghancurkan eksistensi mereka? Bahkan, menjadikan “buku itu” sebagai bahan ajar? Semoga Allah melindungi dan menyadarkan kelompok itu, (2) Setelah ditelusuri dengan jernih dan mendalam, Dr. Shadiq Amin, bukanlah nama sebenarnya. Ia adalah nama samaran dari Dr. ‘Abdullah ‘Azzam, salah seorang pengajar di kuliah Syari’ah di Universitas Yordania, sekaligus seorang mursyid Ikhwan al-Muslimin di Yordania. Pertanyaan selanjutnya adalah, “Kalau buku ini memang ditujukan untuk mengajak kaum muslim menghancurkan rejim kufur, lalu mengapa pada saat yang sama rejim kufur (Yordan) malah menetapkan buku ini sebagai buku rujukan pada kuliah syari’ah di Universitas Yordania? Dan juga kenapa teman-teman Ikhwan di sini juga getol menyebarkan buku yang di absahkan oleh penguasa Yordan yang fasiq dan dzalim itu? Apakah mereka benar-banar bertujuan untuk menyelamatkan umat? Ataukah mereka ingin mengelabui umat agar umat tidak bergabung dengan jama’ah yang benar-benar ikhlas berjuang di jalan Allah, dan ingin meruntuhkan sistem setan? Wahai renungkanlah?

Selesai dengan pertolongan Allah


Monday, February 11, 2008

Studi Analitis-Kritis Diskursus Filsafat Hermeneutika Al-Quran

Oleh : Fahmi Salim, MA


I. Mukaddimah.
Al-Qur’an seperti diyakini kaum muslim merupakan kitab hudan, petunjuk bagi manusia dalam membedakan yang haq dengan yang batil. Dalam berbagai versinya, Al-Qur’an sendiri menegaskan beberapa sifat dan ciri yang melekat dalam dirinya, di antaranya bersifat “transformatif”; yaitu membawa misi perubahan untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan-kegelapan, Zhulumât (di bidang akidah, hukum, politik, ekonomi, sosial budaya dll) kepada sebuah cahaya, Nûr petunjuk ilahi untuk menciptakan kebahagiaan dan kesentosaan hidup manusia, dunia-akhirat. Dari prinsip yang diyakini kaum muslim inilah usaha-usaha manusia muslim dikerahkan untuk menggali format-format petunjuk Allah yang dijanjikan bakal mendatangkan kebahagiaan bagi manusia. Nah dalam rangka penggalian prinsip dan nilai-nilai Qur’ani yang berdimensi keilahian dan kemanusiaan itulah penafsiran dihasilkan

Dialektika antara manusia dengan realitasnya ditengarai turut masuk mempengaruhi proses penafsiran itu. Bukankah Al-Qur’an diturunkan bagi manusia, untuk kemaslahatan manusia dan last but not least untuk “memanusiakan” manusia (bukan menjadikannya makhluk otomatis seperti robot, mesin, hewan ataupun malaikat)? Maka dari diktum itu pula lah, konsep tentang manusia dan identitasnya dalam menjabarkan misi kekhalifahan dan ubudiyyah di muka bumi menjadi faktor determinan dalam proses mengkaji dan memahami teks suci yang diyakini akan memberikan kesejahteraan bagi umat manusia.
Akan tetapi, posisi sentral manusia yang oleh peradaban Barat menjadi tema utama abad pencerahan juga bukan tanpa cela dalam sudut pandang Islam. Manusia dalam kacamata Islam tidak lah hidup dari, oleh dan untuk dirinya sendiri dan terkungkung dalam dunia yang profan ini. Falsafah hidup Islam tidak mengenal mazhab sekularisme yang memisahkan manusia dari dimensi keilahian dan melucuti aspek moral dan nilai dari kegiatan manusia. Falsafah hidup Islam menggariskan perpaduan nilai agama dan dunia, kehidupan manusia untuk misi khilâfah/’imârat al-ardl (keduniaan) dan ‘ubûdiyyah (keakhiratan). Prinsip-prinsip tersebut yang senantiasa harus diindahkan ketika kaum muslim berinteraksi dengan Al-Qur’an.

Dewasa ini pola interaksi kaum muslim dengan Al-Qur’an bukan hanya bercorak hudâ’iy, ijtimâ’iy dan ishlâhiy (mencari petunjuk untuk kebahagiaan), tetapi juga ‘ilmiy (dalam pengertiannya yang luas mencakup intellectual exercise, tidak hanya mencari pembenaran teori-teori sains dengan landasan ayat suci Al-Qur’an), bahkan cenderung filosofis murni dan tak ada kaitannya dengan misi transformatif yang menjadi ciri utama kehadiran Al-Qur’an di pentas kehidupan manusia. Hal ini bisa dilihat terutama dari berbagai kecenderungan (ittijâhât) upaya penafsiran dan penakwilan kitab suci yang terseret ke dalam diskusi panjang apakah manusia (secara umum sebagai pembaca dan penafsir teks) merupakan makhluk historis atau filosofis? Makhluk yang setiap saat berubah (sesuai dengan pengayaan pengalaman hidup) atau yang konstan? Sejauh mana posisi dan peran manusia dalam proses penafsiran; apakah tugasnya hanya menganalisa dan kemudian menerima otoritas tafsir di era pembentukannya ataukah hanya melibatkan pengetahuan dan pengalaman penafsir/pembaca teks sebagai barometer dan menganggap penafsiran otoritas di masa lalu hanya berlaku untuk saat itu (historisitas)? Apakah tugas penafsir kitab suci diarahkan semata untuk menangkap maksud pemilik dan pencipta teks ataukah justru bebas menciptakan maksud dan makna baru seiring dengan jarak waktu yang memisahkan antara pengarang dan pembaca teks, bahkan “kematian” pengarang dianggap “berkah” untuk melahirkan makna-makna segar yang tidak terkungkung oleh kehendak dan maksud pengarangnya?

Pertanyaan filosofis diatas mulai menggerogoti upaya sebagian elit muslim dalam banyak kajian mereka terhadap Al-Qur’an. Persinggungan intens dunia pemikiran muslim (yang tereleminasi dari pergaulan dunia) dengan dunia pemikiran Barat (yang dominan dan hegemonik) telah menyeret wacana ‘Hermeneutika’ masuk ke dalam kajian Al-Qur’an kontemporer. Dunia pemikiran muslim telah kehilangan world view dan jati dirinya ketika berhadapan dengan dunia pemikiran Barat yang notabene hegemonik dan kuat baik secara program/agenda maupun funding untuk tujuan ekspansinya. Sadar atau tidak, elit muslim telah masuk dalam agenda dan propaganda Barat bahwa budaya, teknologi dan bahkan metodologi Barat lebih unggul dan karena itu mesti digugu dan ditiru. Yang sungguh mengkhawatirkan bagi penulis adalah peniruan terhadap metodologi Barat di bidang Humaniora (sastra, psikologi, sosiologi, antropologi, dll) yang terbukti membawa arus sekulerisme yang tidak sesuai dengan falsafah hidup Islam.

Ide dan pemikiran untuk mencari-cari aspek kesamaan-kesamaan (Fiqh al-Muqârabât) antara metodologi Barat dan Islam di bidang kajian humaniora (sastra dan sejarah agama secara khusus, yang terkuak jelas dalam kasus hermeneutika) menjadi trend pada dekade akhir abad 20 dan awal abad 21 ini. Dalam kajian Al-Qur’an, Fiqh al-Muqârabât antara tafsir (terlebih khusus lagi takwil) dengan hermeneutika yang berkembang di Barat (baik dalam studi biblikal/teologis maupun filsafat sastra secara umum) menjadi tak terelakkan.

II. Studi komparatif antara ta’wil dalam tradisi keilmuan Islam dan hermeneutika dalam tradisi filsafat Barat.

Dalam membandingkan terminologi takwil sebagai teori penafsiran khas peradaban Islam dan hermeneutika yang lahir dari rahim dan khas miliu peradaban Barat- Kristen, kita akan bertolak dari pernyataan Mustafa Kaylani yang menerangkan proses transformasi dalam sejarah perjalanan takwil sebagai berikut:

“Dahulu takwil pada awalnya sangat kental bernuansa gramatikal sebatas penjelasan lafal dan susunan kalimat yang telah termakan zaman dengan lafal dan susunan kalimat baru sambil tetap menjaga maknanya yang cocok untuk setiap zaman. Sedangkan jenis takwil kedua (dalam peradaban Barat modern), telah merasuk jauh ke dalam dunia metafor (majaz); hermeneutika adalah takwil semiotis atas tanda-tanda (signs) yang telah terasa asing pada era terkini untuk mendapatkan makna semantik baru yang akan merujuk secara langsung kepada idea pengarang teks” (Wujud al-Nash wa Nash al-Wujud; hlm. 34).

Dari kutipan di atas, kita dapat mencandra dua aliran yang memperebutkan hakikat makna teks. Aliran pertama (tradisionalistik), berupaya membakukan makna dalam petenjuk semantik tertentu dengan cara menjadikan makna itu muhkam yang tidak bisa serampangan ditarik ke dalam wacana metaforis. Tentu saja aliran ini berupaya mempertahankan makna asli suatu teks. Sehingga takwil dalam tradisi aliran pertama difungsikan untuk mengalihkan pemahaman lahir suatu lafal dari makna aslinya kepada makna lain dengan indikasi tertentu yang menyebabkan makna aslinya ditinggalkan. Posisi dasar pemahaman teks adalah lahiriahnya, ia hanya dapat ditinggalkan jika ada indikasi kuat untuk keserasian makna itu dengan tujuan syariah. Dari situ, maka konsep takwil menurut para ahli ushul fiqh berjalin kelindan dengan pembagian tingkatan lafal teks agama:

Setiap bentuk lafal yang hanya menerima satu makna tertentu, ia disebut sebagai Nash; teks. (dari sana kita dapat menyimpulkan bahwa kosakata bahasa Arab mengidentikkan teks dengan pembakuan dan penunggalan makna suatu teks)
Jika bentuk lafal teks dapat menerima lebih dari satu makna/pemahaman yang sama-sama kuat, maka ia disebut sebagai Mujmal; teks global (yang memerlukan perincian)
Jika bentuk lafal teks menerima lebih dari satu makna/pemahaman yang salah satunya lebih kuat dari makna lain, maka makna yang kuat itu disebut Zhahir (teks yang asli) dan makna yang lemah itu disebut Mu’awwal (teks yang dialihkan maknanya). Perubahan dari makna zhahir kepada makna mu’awwal itu mensyaratkan adanya dalil; indikator yang kuat dan memperkuat satu makna atas makna lainnya.

Sedangkan aliran kedua (modernistik) dalam teori pentakwilan telah mengalami lompatan kualitatif dalam tradisi filsafat Jerman, terutama di tangan F.D.E. Schleirmacher (1768-1834 M) yang mengadakan reorientasi paradigma dari “makna” teks kepada “pemahaman” teks. Rasionalitas modern seperti dianut oleh mazhab protestantisme telah mengubah makna literal Bible yang selama ini dianggap oleh mazhab resmi gereja sebagai “makna historis” menjadi “pemahaman historis” yang segala sesuatunya merujuk kepada masa silam. Afiliasi suatu teks kepada masa silam itu menyebabkan kehadirannya di masa kini menjadi sebentuk kecurigaan; mengapa teks yang merespon kejadian masa lalu harus menjadi jawaban problem kekinian?! Tidak kah lebih baik jika teks masa silam itu dienyahkan karena realitas yang terus berubah dari waktu ke waktu?
Rasionalitas protestantisme itu telah menantang otoritas gereja yang selalu mengklaim arti Bible yang sah, serta meneguhkan semangat liberalisasi simbol-simbol otoritas agama yang eksklusif dan tertutup. Akibatnya, metodologi tafsir tradisionalis telah tergantikan dan disaingi metodologi yang lebih humanis dan memberi ruang kesadaran kritis atas keseluruhan sumber teks-teks agama. Semangat liberalisasi dan humanisasi inilah yang ikut andil merobohkan tembok sakralisasi teks sehingga teks agama tak lagi sakral dan bahkan mengalami proses humanisasi. (lihat Isykaliyyat al-Qira’ah fi al-Fikr al-’Araby al-Mu’ashir, hlm. 88)

Schleirmacher telah menubuhkan asas seni pemahaman teks; pemahaman yang selalu terkait mengikuti perkembangan dari setiap orang dan dari satu zaman ke zaman yang lain. Jarak pemisah antara zaman produksi teks dengan zaman pemahaman kekinian sedemikian meluas dan membentang, sehingga diperlukan ilmu yang mencegah kekeliruan pemahaman. Atas dasar itu, Schleirmacher meletakkan kaidah pemahaman teks yang terbatas pada dua aspek utama yaitu: aspek kebahasaan (tata bahasa yang dipakai pengarang) dan aspek kemampuan menembus karakter psikis pengarang. Kedua aspek itu saling melengkapi satu dengan lainnya. (Isykaliyyat al-Qira’ah wa Aaliyyat al-Ta’wil, hlm. 21). Tugas kaedah hermeneutik Schleirmacher-ian itu adalah untuk sejauh mungkin memahami teks seperti yang dipahami pengarangnya dan bahkan lebih baik dari apa yang dipahami oleh si pengarang. Tugas itulah yang kemudian dikenal dengan “Hermeneutical Circle”.

Lingkar hermeneutik itu akan mengubah yang konstan menjadi dinamis dan terus bergerak, dikarenakan teori “makna” dalam teori penafsiran klasik diubah menjadi “pemahaman” yang terkait dengan akal manusia yang terus berkembang dan berubah. Oleh karena itu, pemahaman teks adalah apa yang diinginkan oleh pembaca teks, bukan yang dimaksudkan oleh pengarang teks. Dikarenakan masa kelahiran teks telah menjadi bagian masa lalu, maka tidak ada makna yang tetap seperti sediakala. Lingkar hermeneutik meniscayakan produksi makna-makna baru yang tidak pernah final. Orientasi heremeneutik inilah yang kemudian dikembangkan oleh para filosof aliran eksistensialisme pasca-Schleirmacher.

Adalah Martin Heidegger (1889-1976 M) yang mencoba memahami teks dengan metode eksistensialis. Ia menganggap teks sebagai suatu “ketegangan” dan “tarik-menarik” antara kejelasan dan ketertutupan, antara ada dan tidak ada. Eksistensi, menurut Heidegger, bukanlah eksistensi yang terbagi antara wujud transendent dan horisontal. Sejak abad pencerahan dan humanisme Barat dimulai, eksistensi bersifat tunggal; eksistensi humanisme! Semakin dalam kesadaran manusia terhadap eksistensinya, maka sedalam itu pula lah pemahamannya atas teks; karena itu, teks tidak lagi mengungkapkan pengalaman historis yang terkait dengan suatu peristiwa. Dengan pengalaman eksistensialnya itulah manusia bisa meresapi wujudnya dan cara dia bereksistensi sebagai unsur penegas dalam proses memahami suatu teks.
Pemahaman eksistensialis model Heidegger teraplikasikan secara penuh terhadap semua jenis teks. Amat wajar jika kekhasan teks agama dari sudut pentakwilan menjadi terabaikan. Jika hermeneutika dahulu berarti pentakwilan teks suci yang terpasung oleh makna yang ditentukan pihak otoritas gereja, maka ia kini telah bebas dari belenggu sakralitas dan memungkinkan pentakwilan semua jenis teks, karena bagi hermeneut modern semua teks sama secara hirarkis. Sakralitas teks agama tidak lagi mendapatkan tempat dalam rasionalitas modern.

Resepsi dan pembacaan manusia adalah dasar bagi kebangkitan dan transformasi teks dari sesuatu yang diwarisi antar generasi menjadi warisan masal silam. Ketika kita membaca suatu teks kuno maka teks itu kembali dihidupkan dan berubah dari sesuatu yang tadinya mati dan asing kepada keadaan sesuatu yang hidup saat ini. Dengan demikian, pembacaan dan pemahaman adalah asas bagi transformasi teks dari ketiadaan kepada keefektifan.

Hermeneutika Heidegger kemudian dilanjutkan oleh Hans George Gadamer (1900-2002 M) yang menolak segala bentuk kepastian dan meneruskan eksistensialisme Heidegger dengan titik tekan logika dialektik antara aku (pembaca) dan teks/karya. Dialektika itu mesti difahami secara eksistensialis, karena hakikatnya memahami teks itu sama dengan pemahaman kita atas diri dan wujud kita sendiri. Pada saat kita membaca suatu karya agung, ketika itu kita lantas menghadirkan pengalaman-pengalaman hidup kita di masa silam, sehingga melahirkan keseimbangan pemahaman atas diri kita sendiri. Proses dialektika memahami karya seni berdiri atas asas pertanyaan yang diajukan karya itu kepada kita; pertanyaan yang menjadi sebab karya itu ada. (Isykaliyyat al-Qira’ah wa Aaliyyat al-Ta’wil, hlm. 40)

Filsafat hermeneutika Gadamer meniscayakan wujud kita berpijak pada asas hermeneutis, dan hermeneutika berpijak pada asas eksistensial manusia. Eksistensi yang dibangun Heidegger dan Gadamer terasa idealis yang dipengaruhi logika dialektik Hegellian, yang menyatakan historisitas yang tidak dipersyaratkan wujud materil yang dikendalikan oleh faktor sosial ekonomi. Untuk menautkan proses pemahaman dengan wujud materil, maka telah menjadi keharusan untuk keluar dari metafisika transendent yang khusus dalam konsep eksistensial. Penubuhan asas konsep wujud itu akan mengubah proses pemahaman. Selain itu ia akan disyaratkan dengan prasyarat materil yang akan mengendalikan wujud ini. (Isykaliyyat al-Qira’ah wa Aaliyyat al-Ta’wil, hlm. 44)
Menghadapi dialektika Heidegger dan Gadamer, tokoh-tokoh filsafat hermeneutika seperti: Paul Ricoer (1913-2005 M), Eric D. Hirsch (1928-….), dan Emillio Betti (1890-1968 M) mengajukan teori objektifitas dalam aliran hermeneutika. Mereka berusaha mendirikan hermeneutika sebagai ilmu penafsiran teks yang menekankan metode objektif, sehingga melampaui subjektifitas hermeneutika Gadamer. Hermeneutika, bagi mereka, tidak berdiri atas asas filsafat. Sederhananya, hermeneutika adalah ilmu penafsiran teks atau teori tafsir. (Isykaliyyat al-Qira’ah wa Aaliyyat al-Ta’wil, hlm. 49)

Jika kita kaitkan dengan Dr. Nasr Hamid AbuZayd (1943-…) yang terkenal lewat pendekatan hermeneutiknya dalam membaca teks-teks Islam, maka kita akan menemukan penekanan Nasr Hamid atas prinsip simbol teks yang berafiliasi kepada kondisi sosial dan realitas ketika teks itu diciptakan. Artinya teks adalah produk lingkungan tertentu yang dilingkupi oleh faktor ekonomi-sosial yang menjadi pra-kondisi kelahiran dan kemunculan suatu teks. Oleh sebab itu, realitas yang berdialektik dengan teks mendapat apresiasi dan perhatian serius Nasr Hamid. Untuk menuju arah tafsir yang objektif dan ilmiah atas teks agama, ia berangkat dari simbol sosial dengan penekanan melampaui makna lahiriah teks kepada makna batinnya.
Bagaimana Nasr Hamid meresepsi teks dan cara dia memperlakukannya? Pertama sekali dia mendukung orientasi Gadamer yang berangkat dari posisi penafsir saat ini karena setiap asas epistemologi pemahaman apa saja berawal dari posisi eksistensial. (Isykaliyyat al-Qira’ah, hlm. 49) Kedua, dia mengajukan upaya modifikasi terhadap orientasi hermeneutika Gadamer dengan perspektif materialisme; dua tahap yang saling mendukung itulah, dalam persepsi Nasr Hamid, titik tolak asli bagi upaya pembacaan ulang seluruh dasar agama Islam dan upaya menyingkap kepalsuan pembacaan-pembacaan masa silam atas teks Islam. (Isykaliyyat al-Qira’ah wa Aaliyyat al-Ta’wil, hlm. 49)
III. Perbedaan esensial antara ta’wil dengan hermeneutika.

Takwil dalam tradisi keilmuan Islam mengakui dan tunduk kepada kesucian teks dan keilahian sumbernya, terlebih khusus dalam masalah teks-teks agama. Sedangkan hermeneutika di Barat memperlakukan teks sebagai murni fenomena bahasa, dan tidak mengakui kesucian teks yang menuntut perlakuan khusus.
Takwil dalam tradisi keilmuan Islam mengakui jenis tingkatan lafal, dalam pengertian bahwa di antara jenis-jenis teks itu ada yang bisa menerima takwil seperti lafal “zhahir”, dan ada pula yang hanya menunjukkan satu makna dan tidak dapat ditakwil seperti lafal “nash”. Sedangkan hermeneutika Barat memukul rata semua jenis teks dengan memisahkan mana yang menjadi makna tanda (signifier) dan tujuan dasar teks (significance).

Takwil dalam tradisi keilmuan Islam menekankan makna yang tetap tidak berubah kecuali jika ada dalil lain yang mengharuskan takwil. Dan makna takwil yang baru itu masih dapat diterima oleh lafal zhahirnya dan juga sesuai dengan sirkulasi penggunaan bahasa dan adat kebisaaan yang lazim dalam syariah. Sedangkan hermeneutika di Barat berarti perpindahan orientasi dari “makna” kepada “pemahaman” yang dapat berubah setiap saat sesuai dengan perkembangan pembaca teks. Pemahaman adalah apa yang diinginkan oleh pembaca, bukan yang dimaksudkan oleh pengarang. Pemahaman tidak pernah final, karena selalu memperhatikan dimensi realitas kemanusiaan. Bahkan dalam bentuk ekstrim, hermeneutika menganggap Sunnah (yang berfungsi sebagai penjelas Alquran) sebatas ijtihad manusia dan terbatas pada skup budaya tertentu.
Takwil dalam tradisi keilmuan Islam adalah suatu cara untuk mempertahankan norma keimanan terhadap dasar-dasar keyakinan agama. Ia juga metode yang baik untuk menghilangkan keragu-raguan dan semakin menambah mantap keimanan. Jelasnya, takwil bukanlah alat untuk membatalkan keimanan atau untuk mengosongkan teks agama dari ruh agama seperti yang dipraktekkan dalam filsafat hermeneutika di Barat. (Muhammad ‘Imarah, hlm. 55)

IV. Pengaruh hermeneutika dalam pemikiran agama.
Perlu ditekankan di sini bahwa perspektif hermeneutika filosofis atas pemahaman eksistensial secara umum dan pemahaman teks secara khusus merupakan terobosan mutakhir dan tidak pernah dikenal sebelumnya. Diskusi dan perdebatan seputar sah tidaknya aplikasi hermeneutika juga betul-betul tidak ada presedennya dalam benak para ulama muslim yang masih meyakini keampuhan terminologi tafsir dan takwil klasik dalam memecahkan isu-isu kontemporer. Dengan demikian, tidak memungkinkan kita mencari berbagai perspektif hermeneutika dalam cabang-cabang Islamic Studies yang telah mapan. Sebaliknya, jika kita telusuri dan dalami filsafat pemahaman teks-teks Islam yang telah dikonstruk dan diaplikasikan selama berabad-abad oleh ulama muslim, kita dapatkan kesimpulan yang kontraproduktif dengan perspektif filsafat “pemahaman” Barat.

Pemikiran agama mutakhir saat ini menyaksikan kajian-kajian dan pertanyaan-pertanyaan baru yang memiliki akar dalam filsafat hermeneutika. Di antaranya adalah:
Kemungkinan mengajukan bacaan-bacaan yang berbeda dan tak terbatas bagi teks agama.
Historisitas pemahaman dan keajegan perubahan pemahaman itu sendiri.
Batasan legalitas terlibatnya subjektifitas penafsir dalam proses penafsiran teks.
Pengaruh pra-konsepsi, kecenderungan, dan harapan penafsir teks kepada pemahaman agama.

Sejatinya hermeneutika selalu berpusat pada fungsi penafsiran teks. Meski terjadi perubahan dan modifikasi radikal terhadap teori-teori hermeneutika, tetap saja berintikan seni memahami teks. Pada kenyataannya, hermeneutika pra-Heidegger (sebelum abad 20) tidak membentuk suatu tantangan pemikiran yang berarti bagi pemikiran agama, sekalipun telah terjadi evaluasi radikal dalam aliran-aliran filsafat hermeneutika. Sementara itu, hermeneutika filosofis dan turunannya dalam teori-teori kritik sastra dan semantik telah merintis jalan bagi tantangan serius yang membentur metode klasik dan pengetahuan agama.

Sebelum kita menyinggung tantangan pemikiran yang disebabkan hermeneutika filsafat kontemporer, ada baiknya kita menyimak secara global metode umum dalam pemahaman teks yang selama ini kita kenal:
1- Tugas mufassir adalah menangkap makna teks. Makna teks adalah apa yang dikehendaki oleh pembicara atau pengarang teks. Maksud atau makna yang pasti adalah tujuan utama pengarang teks. Makna yang final itu adalah suatu hal yang objektif dan ril, mufasir berusaha untuk sampai dan menangkap makna itu.
2- Untuk mencapai tujuan di atas, sewajarnya penafsir teks menempuh alur metode yang umum dalam menangkap teks. Hal ini diformulasikan dalam bentuk bahasa teks sebagai jembatan memahami tujuan hakiki atau makna yang diinginkan. Karena pengarang teks menjadikan bahasa sebagai sarana mengungkapkan kehendaknya, maka penafsir teks harus menguasai bahasa serta tata bahasa yang lazim dipakai oleh pengarang. Tanpanya, maka tindakan penafsir yang semena-mena akan mencederai proses pemahaman teks.
3- Kondisi penafsir yang diidealkan adalah sampai kepada pemahaman yang valid dan meyakinkan terhadap kehendak pengarang teks. Meskipun pemahaman yang valid hanya dapat ditangkap melalui bentuk “nash” yang berindikasi pemahaman objektif yang sesuai dengan fakta, dalam bentuk “zhahir”nya pun redaksi teks tetap tidak tercerabut dari objektifitas dan norma asli pemahaman.
4- Jarak waktu yang memisahkan masa penafsir dengan masa teks diproduksi tidak akan menghalangi penafsir untuk menangkap makna hakiki yang dimaksud oleh teks agama. Karena dalam sinaran metode klasik, amat dimungkinkan pemahaman objektif atas teks meski terdapat jarak waktu dan tempat antara pengarang dengan penafsir teks.
5- Perhatian penafsir harus terpusat kepada kesadaran memahami misi teks. Seperti dimaklumi, proses pemahaman teks berporos kepada dua aspek: teks dan pengarang, sehingga tugas penafsir adalah untuk menangkap maksud pengarang melalui fungsi semantik teks. Dalam teori tafsir semacam ini, tidak diperkenankan munculnya pra-konsepsi dan pra-asumsi penafsir, karena hal itu akan mengotori upaya penafsiran, sehingga dikategorikan sebagai tafsir dengan pandangan akal semata yang dicela agama (bil ra’yi al-madzmum).
6- Teori tafsir klasik sangat menentang teori relativitas tafsir. Metode tafsir klasik menolak setiap upaya penafsiran yang merelatifkan dan menyamakan setiap pemahaman sebagai upaya subjektif penafsir. Sebab, teks agama, -menurut teori tafsir klasik- tidak akan menerima segala bentuk penafsiran yang sembarangan. Dengan kata lain, ketika terjadi perbedaan penafsiran sebuah teks, maka otoritas pemahaman tetap berada pada aspek teks dan pengarang teks itu sendiri, alias kewenangan mufasir terabaikan sama sekali.

Demikianlah, dari paparan sekilas di atas, dapat dikatakan bahwa teori penafsiran klasik sebagaimana dalam pembahasan metode takwil dalam cabang ilmu ushul fiqh dan ulumul quran, mulai digugat dan ditantang oleh aliran-aliran hermeneutika filsafat pada abad ke 20. Problem isu hermeneutika filsafat kontemporer telah melontarkan berbagai diktum yang mengkritisi dan berambisi menjadi alternatif pintas bagi kebuntuan dan kebekuan penafsiran teks agama yang rigid, kaku dan kehilangan elan vital “maqashid syariah”. Berikut ini akan kita saksikan bagaimana teori tafsir model hermeneutika mulai merangsek dan menawarkan dahaga intelektual bagi kaum muslim modernis:
1- Pemahaman teks adalah hasil perpaduan antara cakrawala pemahaman penafsir dengan cakrawala makna dalam teks. Intuisi dan cakrawala berfikir setiap penafsir dalam proses pamahaman tidak dicela, karena ia merupakan prasyarat eksistensial bagi tercapainya suatu pemahaman.
2- Upaya pemahaman teks adalah proses tiada henti; seperti halnya pluralitas pemahaman teks tidak mengenal batas-batas. Karena pemahaman adalah: upaya kreatif dan perpaduan antara cakrawala penafsir dengan wawasan teks. Dengan demikian setiap terjadi perubahan dalam diri penafsir berikut cakrawala pikirannya, maka dimungkinkan lahirnya pemahaman baru.
3- Suatu pemahaman objektif atas teks dalam arti pemahaman yang benar-benar sesuai dengan fakta ril, tidak dimungkinkan oleh karena pra konsepsi penafsir adalah syarat tercapainya suatu pemahaman.
4- Tidak ada pemahaman yang tetap dan tidak berubah; tidak dibenarkan pula suatu pembatasan dan finalisasi pemahaman yang tidak bisa berubah-ubah.
5- Tujuan penafsiran teks bukan untuk menangkap maksud pengarang teks. Sebab, penafsir saat ini menghadapi sebuah teks, dan bukannya pengarang teks. Dalam teori filsafat hermeneutika, posisi pengarang tak lebih sebagai salah satu pembaca teks yang tidak berbeda dari penafsir-pembaca teks yang lain. Teks sebagai entitas mandiri dan berdaulat, berdialog dengan penafsir sehingga melahirkan suatu pemahaman, dengan demikian setiap penafsir tidak diharuskan mencari dan menangkap maksud dan tujuan yang ingin diungkapkan si pengarang teks.
6- Tidak ada patokan dan standarisasi dalam menilai salah atau benar suatu penafsiran. Karena sejatinya tidak ada tafsir yang benar dan tunggal. Antitesa dari teori klasik yang mengandaikan maksud pengarang sebagai tujuan penafsiran, hermeneutika filsafat mengakui otoritas penafsir dan mengabaikan tujuan pengarang sama sekali. Karena setiap penafsir di setiap zaman memiliki cakrawala yang khas zamannya, maka terbuka kemungkinan pemahaman-pemahaman baru, yang tidak bisa dikatakan salah satunya lebih baik dan benar dari yang lain.
7- Hermeneutika filsafat sesuai dengan teori relatifitas penafsiran, dan membuka ruang yang sangat luas bagi penafsiran-penafsiran yang radikal sekalipun.

V. Mungkinkah aplikasi hermeneutika atas Alquran?

Para filosof hermeneutika adalah mereka yang sejatinya tidak membatasi petunjuk pada ambang batas tertentu dari segala fenomena wujud. Mereka selalu melihat segala sesuatu yang ada di alam ini sebagai petunjuk atas yang lain. Jika kita mampu membedakan dua kondisi ini satu dan yang lainnya, maka kita dapat membedakan dua macam fenomena: ilmu dan pemahaman. Masalah ilmu dikaji dalam lapangan epistemologi, sedangkan masalah pemahaman dikaji dalam lapangan hermeneutika. Sehingga dengan demikian, baik epistemologi dan hermeneutika adalah ilmu yang berdampingan. Dari sudut ini, Alquran bisa dilihat secara hermeneutis sama dengan kitab atau teks tertulis yang lain, sebab Alquran mengafirmasi kemungkinan melihat segala sesuatu yang ada dari segi petunjuknya atas hal lain. Tidakkah Alquran selalu menyeru kita untuk memikirkan segala sesuatu dan menganggap semua eksistensi dan fenomena sebagai tanda (ayat, signs) bagi keagungan Allah swt.?

Tetapi masalahnya tidak sesimpel itu. Pertanyaaan apakah filsafat hermeneutika dapat diterapkan atas Alquran atau tidak? Dan sejauh apa hermeneutika dapat diaplikasikan atas Alquran?

Meskipun beberapa kaedah hermeneutika dapat dengan mudah diaplikasikan bagi Alquran, namun menurut Musthafa Malakyan, perbedaan Alquran dengan buku-buku atau karya religius atau non-religius dalam dua hal berikut ini mengharuskan kita untuk tidak gegabah dan hati-hati dalam penerapan kaedah hermeneutika atas Alquran. Kedua distingsi penting itu adalah:
Seluruh lafal dan kalimat dalam Alquran, sesuai kepercayaan seluruh kaum muslim, berasal dan diciptakan dari Allah swt. Tidak ada klaim semacam ini bagi kitab selain Alquran. Penyusunan isi Alquran kini tidak sama dengan kronologi turunnya dan urut-urutan sejarahnya. Hemat kami, seluruh kaedah hermeneutika dapat diterapkan baik kepada teks oral atau teks tertulis semuanya jika tidak memiliki dua karakteristik di atas yang hanya dimiliki oleh Alquran. Metode hermeneutika lahir dalam ruang lingkup yang khas dalam tradisi Yahudi-Kristen. Perkembangan khusus dan luasnya opini tentang sifat dasar Perjanjian Baru, dinilai memberi sumbangan besar dalam mengentalkan problem hermeneutis dan usaha berkelanjutan dalam menanganinya. Hal ini berbeda dengan Alquran. Tidak ada alternatif pemahaman selain bahwa Alquran, seluruh redaksi dan maksudnya langsung dari Allah swt. Nabi Muhammad saw menjadi sekadar “Juru bicara ada” (loudspeaker of being). Status otoritatif yang diduduki Alquran tidak pernah dipertanyakan lagi, yang disebabkan dua hal:

1. Alquran sendiri dengan tegas menekankan teori ini dan tidak menyediakan ruang untuk spekulasi. Nabi tidak pernah gagal menarik garis yang tegas antara kata-katanya dan kata-kata dari Alquran.

2. Kaum Muslim tanpa ragu meyakini bahwa di tangan mereka, huruf, kata, kalimat dan sistematika Alquran tetap terjaga seperti keadaannya di masa Nabi.
Dua faktor ini, dan ditambah fakta bahwa Alquran mengandung prinsip-prinsip penafsiran dalam dirinya sendiri, mempersulit tematisasi problem hermeneutis dalam Islam, suatu hal yang di Barat dipaksakan kemunculannya oleh kebuTuhan mendesak. Belum ada seorang pemikir Muslim pun yang pernah mengajukan problem ini sebagai tema utama pemikirannya.

VI. Model aplikasi hermeneutika atas al-Quran ala N.H. AbuZayd (1943-…)

Di antara sekian banyak pemikir modernis muslim, kiranya Nasr Hamid paling pas mewakili sekian banyak suara intelektual yang menuntut segera diterapkannya hermeneutika dalam memahami ulang teks-teks primer agama Islam (Alquran dan Sunnah) sebagai pengganti metode tafsir dan takwil yang telah dikenal dalam literatur ulumul quran. Bahkan dalam perkembangan pemikirannya terkini, setelah dia hengkang ke Belanda karena kasus penolakan promosi guru besarnya di fakultas sastra Universitas Kairo sejak tahun 1995, ia mulai mempromosikan metode dan aplikasi ijtihad terbarunya dalam buku “Dawa’ir al-Khawf fi Khithab al-Mar’ah”.

Dinilai oleh banyak kalangan, bahwa Nasr Hamid mulai serius mengaplikasi metode hermeneutika untuk mendekonstruksi syariah Islam, setelah sebelumnya hanya bergulat dalam perdebatan-perdebatan kebudayaan di forum-forum seminar tentang perlunya hermeneutika bagi “kemajuan” syariah Islam.

Nasr Hamid dan Desakralisasi Nash Alquran

Nasr sangat menekankan aspek desakralisasi teks Alquran ketika bersenTuhan dengan bumi dan pemahaman akal manusia. Bahkan dalam perjalanannya justru aspek historisitas manusia lah yang akan mengkonstruksi teks. Bagi Nasr, teks Alquran yang sakral itu ada di level metafisis dan oleh karena itu di luar jangkauan manusia. Tidak ada yang dapat dipahami darinya kecuali apa yang telah jelas ditegasksan oleh teks secara tersurat dan sesuai dengan kenisbian manusia.

Teks Alquran menurut AbuZayd, sejak diturunkannya pertama kali yang kemudian dibaca oleh Rasul sebagai wahyu, telah otomatis berubah secara kualitatif dari teks ilahi menuju teks pemahaman insani. Dalam terminologi terkaan Nasr, dari tanzil berubah menjadi takwil. Lebih jauh lagi dengan berani AbuZayd berteori bahwa pemahaman Nabi Muhammad saw atas Alquran hanyalah sebatas periode awal gerakan teks Alquran dalam intensitas pergumulannya dengan akal manusia. (Nasr Hamid, Naqd al-Khithob al-Dini, Kairo: Maktabah Madbouli, hal. 125-126)

Alquran, lebih jauh AbuZayd menilai, sebagai teks verbal dari otoritas keagamaan konstan dan tidak berubah, tetapi pada saat ia menyentuh ranah akal manusia sehingga membentuk sebuah konsep dan abstraksi, sejatinya telah kehilangan sifat konstan, terus bergerak dan penandaannya semakin plural.

Beberapa kesimpulan yang dihasilkan oleh teori AbuZayd diatas, di antaranya:
Teks hakiki yang berfungsi secara aktif dalam ranah kemanusiaan dan kesejarahannya adalah teks hasil pemahaman (takwil) manusia, bukannya teks yang ditanzilkan lagi. Ini disebabkan karakter teks Alquran pada level metafisis yang tidak memiliki akses dan efektifitas kemanusiaan.

Teori ini berusaha memanusiawikan teks Alquran, dalam pengertian bahwa petunjuk dan kandungannya adalah hasil pencapaian dan prestasi manusia sebagai makhluk berbudaya. Meski di samping itu juga Nasr mengafirmasi sumber keilahian Alquran di tingkat verbal; sebuah afirmasi yang cukup baik tapi sangat artifisial, karena sedari awal telah menolak pengaruh teks ilahi atas kesadaran dan realitas manusia sekaligus. Karena kesadaran historis, kesiapan faktor waktu dan ruang untuk memproduksi makna teks hanya bisa, bagi Nasr, diterapkan atas teks yang dikonstruksi secara manusiawi. Dalam perspektif ini nilai penting yang ditekankan adalah sistem penandaan berupa takwil manusiawi.

Konsekwensi lain yang dihasilkannya berupa realitas sebagai produsen teks. Dengan kata lain teks suci adalah produk output akumulasi realitas dengan pelbagai symbol dan iklim yang membentuknya. Sesuai dengan alur ini faktor sejati pembentuk teks tak lain adalah realitas manusia yang historis.

Asumsi ini diperparah lagi dengan mengkategorikan pribadi Rasul sebagai penerima teks tanzili ke dalam level nisbi. Sementara itu kaedah relativisme inilah yang menjadi pemicu gerakan realitas dalam membentuk tingkatan dan substansi uji coba manusia dalam pembumian teks. Dengan demikian semua unsur realitas dalam seluruh dimensinya tergolongkan ke dalam corak takwil insani atas teks tanzili. Oleh karena itu takwil yang dihasilkan sejatinya adalah pembenaran dan pantulan dari realitas manusia.
Teori ini juga akan berujung kepada formalitas teks yang menjadi rujukan secara simbolis tanpa efektifitas petunjuk dan petanda wahyu yang konstan. Alias tidak meyakini adanya makna substantif dan objektif dari wahyu tanzili ini. Asumsi ini hanya mungkin diretas oleh teori yang menyatakan bahwa realitas manusia adalah faktor pembentuk yang mengkonstruk sistem petunjuknya sendiri. Dengan hukum realitas yang senantiasa bergerak dinamis, maka demikian pula petunjuk-petunjuk teks selalu berubah dan tidak pernah mandek atau bermakna tunggal. Menurut pandangan ini realitas insani lah yang berhak menentukan substansi dan petunjuk dari teks.

Jika digambarkan maka kita akan mendapati bahwa dialektika antara realitas pembentuk teks tanzili dengan pemahaman akal manusia berupa teks takwili ini akan menghasilkan suatu teks tanzili yang semu dan simbolik belaka yang sewaktu-waktu dapat diabaikan dan dikorbankan. Lihat bagan berikut:
REALITAS → NASH TANZILI →
NASH TAKWILI → REALITAS ═ NASH SIMBOLIK
Superioritas Realitas atas Teks: Sebuah Kritik
Nasr menulis: “Realitas lah yang menjadi pangkal mula teks dan tidak bisa diabaikan. Karena dari realitas teks terbentuk, melalui bahasa dan budaya manusia konseptualisasi teks terjadi, dan melalui dialektikanya dengan efektifitas manusia maka petunjuknya selalu up to date. Maka pangkal, pertengahan, dan ujungnya kembali kepada otoritas realitas manusia!” (Naqd al-Khithob al-Dini, hal. 130)
Jawaban bagi tesis yang diajukan Nasr adalah tidak mungkin nash wahyu dapat mengkonstruk bangunan epistemologi, ontologi dan aksiologi yang kokoh jika dirinya kehilangan komponen-komponen sistem petunjuk yang menyingkap kemauan Allah swt dibalik pesan wahyu. Bukti penting bahwa wahyu memiliki kekokohan dan objektifitas sistem penandanya adalah keberhasilannya melandasi teori dan praktek kemanusiaan sepanjang eksperimen dan historisitas manusia muslim selama berabad-abad.
Maka disini penting sekali untuk dicatat bahwa garis demarkasi antara subjek dan objek dalam kajian teks agama yang sakral, bergerak pada 2 level:
level vertikal, yang di dalamnya mencakup Allah swt (Mursil), wahyu (Risalah), Nabi Muhammad saw (Mursal).

level horisontal, yaitu upaya manusia dalam pembumian risalah ilahi.
Sehingga pada dasarnya jika kita menuruti kerangka diatas, tidak ada problematika isu memanusiawikan teks Alquran dalam pengertian eliminasi karakter petunjuk ilahiyah dari teks tanzili. Problematika ini hanya akan mungkin terjadi jika kita mengeluarkan posisi Rasul (Mursal, atau “recipient” dalam teori komunikasi modern ala Jacobson; al-Mutalaqqi al-Awwal dalam istilah Nasr) dari level vertikal hingga menjadi horisontal. Alias menisbikan penafsiran Rasul atas wahyu Allah dalam proses pembumiannya. Dalam sinaran teori ini Nabi tak lebih dari sekedar robot yang atomistis dan mekanistik berfungsi hanya pada saat tanzilnya wahyu saja, atau serupa kanal yang berguna sebagai penyampai pesan Allah kepada manusia. Pembumian nilai wahyu oleh Nabi diasumsikan masuk kategori nash takwili yang berubah-ubah, dinamis dan tidak harus sesuai petunjuk tanzil ilahiyah.

Posisi Tafsir Nabi dalam Hermeneutika Nasr Hamid

Hal ini bagi penulis akan banyak bersinggungan dengan tugas dan fungsi Nabi dalam mengemban risalah ilahi sekaligus pembumiannya. Hemat kita asumsi ini dapat dikonfirmasikan bahkan dikonfrontasikan “vis a vis” visi Alquran sendiri tentang fungsi kenabian. Allah swt berfirman: “Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman”. (Q.s. al-Nahl: 64)

Aspek humanitas Nabi sebagaimana dinyatakan oleh Alquran bahwa: Dan mereka berkata: “Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) malaikat?” dan kalau Kami turunkan (kepadanya) malaikat, tentulah selesai urusan itu, kemudian mereka tidak diberi tangguh (sedikitpun). Dan kalau Kami jadikan Rasul itu malaikat, tentulah Kami jadikan dia seorang laki-laki dan (kalau Kami jadikan ia seorang laki-laki), tentulah Kami meragu-ragukan atas mereka apa yang mereka ragu-ragukan atas diri mereka sendiri (Qs. Al-An’am: 8-9), tidak sebagaimana yang difahami Nasr, justru tidak menjadi penghalang diperolehnya petunjuk hakiki pesan wahyu (karena Nabi tidak berdiri sendiri dan selalu dibimbing oleh pemilik risalah), bahkan aspek ini menjadi bagian integral dan fundamental dalam sistem komunikasi wahyu yang mengharuskan jalur kemanusiaan dalam proses penurunan dan pembumian wahyu di level realitas manusia.
Lebih jauh Nasr Hamid menyatakan bahwa: “Tidak perlu anggapan yang menyatakan kesesuaian pemahaman Rasul atas nash mutlak sebagai petunjuk hakiki nash, karena jika pun ada, asumsi itu akan menjurus kepada “kemusyrikan” karena telah menyetarakan yang absolut dengan pemahaman yang nisbi (tafsir Nabi), antara yang konstan dengan yang dinamis, maksud Tuhan dengan pemahaman manusia, sekalipun ia seorang Rasul. Anggapan ini akan menaikkan derajat Nabi menjadi Tuhan, dan dengan itu akan mensakralkan pribadi Nabi dengan menutup-nutupi aspek manusiawinya”. (Naqd al-Khithab al-Dini: hal. 126)

Tesis Nasr menimbulkan setidaknya dua kerancuan berpikir: pertama, Nasr dengan ungkapannya telah menganggap bahwa teks ilahi tidak memiliki petunjuk hakiki. Dengan demikian petunjuk teks ilahi akan terbentuk di kemudian hari seiring dengan persinggungan dan dialektika manusia dengan pesan wahyu. Apalagi peran dan posisi penafsiran Nabi oleh Nasr dikelompokkan dalam level horisontal seperti manusia bisaa lainnya. Karena realitas manusia adalah satu-satunya acuan dalam mengkonstruk petunjuk nash, maka wahyu atau nash dalam preposisi Nasr tak lain bertugas memberi insentif dan menggerakkan potensi olah fikir manusia dalam mengkonstruk petunjuk wahyu.

Hemat kami, jika kita dapat mendudukkan aspek humanitas Rasul sesuai proporsi yang adil dan petunjuk nash-nash Qurani sendiri, tidak ada lagi klaim kesenjangan berupa ketidaksesuaian maksud Tuhan dengan pemahaman Nabi atas nash yang ditanzilkan kepadanya. Karena terang sekali bahwa fungsi utama risalah ilahi yang berupa nash-nash verbal dan Rasul pilihan Allah swt adalah untuk membina sistem kehidupan berupa din yang Ia ridhoi, yang untuk memenuhi tujuan itu nash-nash ilahi diturunkan dan Rasul-Rasul pilihan-Nya diutus ke tengah manusia.
Keterangan Alquran menyatakan bahwa dalam menyampaikan wahyu dan menjelaskan petunjuk dan kandungannya kepada manusia, Rasul tidak bekerja sendirian melainkan bekerja menyampaikan dan menjelaskan nash ilahi di bawah bimbingan dan pantauan ilahiyah. Alquran juga menegaskan bahwa proyek ilahi dalam membina sistem agama yang ia ridhoi di bumi dan untuk kemaslahatan manusia tidak cukup sampai taraf pemilihan seorang Nabi dan selesai begitu saja dengan tersampaikannya wahyu kepada manusia. Sehingga petunjuk wahyu dibiarkan berjalan secara otomatis dan terus ber-”evolusi” sesuai dengan perkembangan manusia. Sesuai dengan keterangan dari Alquran, pembinaan sistem agama dimulai dari periode “persiapan” (al-i’dad) sebagaimana tersirat dari keterangan Qs. Thoha: 39, al-Dhuha: 6-8, al-Insyiroh: 1-2, kemudian diikuti oleh fase “pemilihan” (ikhtiyar) sebagaimana dalam Qs. Thoha: 13, lalu fase dukungan dan bimbingan (tasdid ilahi) sebagaimana keterangan Qs. Thoha: 46 dan al-Tawbah: 26, hingga dipungkasi oleh fase pengawasan (riqobah ilahiyyah) agar Nabi dalam menjalankan tugasnya tidak menyeleweng dan jika keliru langsung ditegur dan diluruskan, sesuai keterangan Qs. Al-Haqqah: 43-47. Dari visi qurani tentang pentahapan pembinaan sistem agama Allah tadi dapat dilihat suatu hubungan yang abadi, hangat dan sangat intim antara Allah swt dan Rasul pilihan-Nya. Visi ini setidaknya menjadi kontra produktif dengan teori Nasr, sehingga sulit diterima dan dengan sendirinya tertolak.

Kerancuan berpikir kedua yang ditimbulkan tesis Nasr adalah “cap syirik” (menyekutukan Allah) yang dilontarkannya ketika seorang muslim menyatakan adanya kesesuaian maksud antara yang mutlak (zat ilahi yang dalam hal ini dilambangkan dalam nash tanzili) dengan yang nisbi (untuk menunjuk kepada pemahaman Rasul atas nash ilahi), dan mencampuradukkan antara keduanya. Lontaran semacam ini sungguh tidak relevan. Karena dari segi konstruksi awal, wahyu ilahi berikut penjelasannya adalah berasal dari Allah swt melalui perantara Rasul pilihan-Nya yang dibimbing dan dipantau secara terus-menerus oleh-Nya. Bahkan oleh Alquran ditegaskan bahwa manusia akan dapat sampai kepada stasiun yang mutlak (zat ilahi yang diwakili oleh maksud nash ilahi) dengan menempuh jalur ittiba’ kepada Nabi yang nisbi dan manusiawi itu. Jika mengikuti logika berpikir yang rancu ala Nasr ini bagaimana kita memahami petunjuk untuk mentaati Rasul dengan seizin Allah dalam Qs. Al-Nisa’: 64 atau perintah mentaati Rasul dan sikap ittiba’ kepada Nabi Muhammad saw sebagai indikasi kecintaan hamba kepada rob-Nya dalam Qs. Ali Imran: 31-32. Apakah petunjuk ayat-ayat tadi menyuruh umat muslim pengikut Muhammad saw untuk syirik, menduakan Allah dengan mentaati perintah selain-Nya? Atau bisa jadi pemahaman seperti itu adalah produk aplikasi hermeneutika Nasr sendiri dalam memahami ayat-ayat Alquran….!?
Padahal kekhasan din yang berkarakter ilahiyah ini memasukkan unsur Rasul sebagai bagian penting dari konstruksi risalah agama sesuai izin, restu dan pantauan-Nya. Hal ini misalnya dijelaskan secara gamblang melalui Qs. Al-Jinn: 19-28 “….. Akan tetapi (aku hanya) menyampaikan (peringatan) dari Allah dan risalah-Nya. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya baginyalah neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya…. Supaya Dia mengetahui, bahwa sesungguhnya Rasul-Rasul itu telah menyampaikan risalah-risalah Tuhannya, sedang (sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu persatu.”

Singkatnya, pandangan seperti ini hanya akan bertentangan dan meruntuhkan visi Alquran tentang fungsi kenabian dan risalah dalam pembinaan sistem agama (lihat misalnya petunjuk Qs. Al-Hasyr: 7 dan al-Ahzab: 21)

Dari uraian di atas, jelas sekali jika dipetakan bahwa Nasr Hamid sebelum meluncurkan gagasan perlunya metode hermeneutika dalam menganalisa wacana al-Quran, dia merasa perlu untuk melicinkan jalan ke arah sana dengan cara:

1) Memangkas upaya sakralisasi terhadap kitab suci hakiki yang diturunkan Allah swt kepada Rasul-Nya,
2) Mengajukan tesis bandingan bahwa realitas manusia lah yang mengkonstruk bentuk dan substansi wahyu Ilahi. Realitas manusia lebih superior dari wahyu itu sendiri.
3) Mengerdilkan posisi tafsir Rasulullah atas wahyu Ilahi yang ditanzilkan kepadanya, alias pemahaman Rasul adalah bentuk “primitif” dalam intensitas persinggungan wahyu ke dalam ranah historisitas manusia.

Metode Pembacaan Kontekstual dalam Ayat-ayat Gender

Bagi Nasr Hamid, metode pembacaan kontekstual lebih berguna dan efektif dari pada metode istinbat fikih tradisional yang mengandalkan mekanisme qiyas (memindahkan hukum dari asal ke cabangnya atas dasar kesamaan illat). Metode kontekstual dilakukan melalui dua tahap: pertama, konteks historis-sosiologis-eksternal dari teks, dan kedua, konteks semantik-internal dari teks. Ia berusaha memindahkan cakupan konsep konteks dari luar batasan klasik (seperti ilmu nasikh-mansukh, asbab nuzul, dan ilmu-ilmu bahasa) ke dalam konteks historis-sosiologis turunnya wahyu, untuk tujuan pemilahan hukum syariah antara yang benar-benar ciptaan wahyu dengan yang berasal dari adat dan tradisi sosial religius pra-Islam. (Dawa’ir al-Khawf, hlm. 202)
Nasr Hamid memandang tahap kedua dari metode kontekstual sebagai inti ijtihadnya. Metode pembacaan kontekstual meniscayakan pembedaan antara “makna” dan petunjuk historis yang digali dari konteks, dengan “signifikansi” yang ditunjukkan oleh makna dalam konteks historis-sosiologis di zaman penafsir. Ia kemudian menentukan beberapa tingkatan konteks: ada konteks universal atau sosiologis-historis pada masa pra-wahyu yang mana urgensinya untuk menemukan perkembangan makna semantik dalam struktur teks. Ada juga konteks asbab nuzul atau konteks historis-kronologis wahyu. Ada lagi konteks narasi kisah-kisah, kabar umat-umat masa lalu, yang mana urgensinya untuk memilah mana yang menjadi bagian tasyri’, bagian konteks perdebatan, ancaman atau pelajaran. Konteks terakhir adalah tingkatan konstruksi teks. (Dawa’ir al-Khawf, hlm. 202-203)
Nasr Hamid mencoba mendiskusikan ayat-ayat gender dalam Alquran secara analitis kritis historis. Metode itu jika diterima akan menjadi solusi atas dilemma yang dihadapi pemikiran Islam kontemporer. Ia berkesimpulan bahwa banyak hukum Islam terkait hak-hak perempuan yang menjadi sasaran serangan orang Barat ternyata secara historis bukanlah aturan hukum yang dibawa oleh Alquran. (hlm. 206). Untuk mengetahui posisi Islam sesungguhnya dalam menyikapi hak asasi manusia, terutama hak wanita, sewajarnya dilakukan kajian perbandingan sejarah antara hak wanita di masa pra-Islam dan hak-hak baru yang ditentukan pasca kehadiran Islam. Antara kedua fase tersebut ada area bersama yang menjadi melting-pot antara nilai lama dan baru. Proses kreatif inilah yang dinamakan proses pengembalian makna asli wacana melalui rekonstruksi konteks historis 14 abad silam. Sehingga secara latah kita mengelabui banyak orang bahwa semua hal yang disinggung Alquran tentang wanita adalah tasyri’ padahal bukan..! (hlm. 206)

Dengan pemilahan antara “makna” dan “signifikansi”, teks primer dan sekunder, yang terkait hukum pembagian waris bagi perempun, bagi Nasr Hamid, melalui tahap-tahap yang tidak teratur dan tumpang tindih satu sama lain.
“Makna”: ditafsirkan oleh Abu Zayd secara bebas dan tidak ditunjuk sama sekali oleh teks mantuqnya. Makna bagian waris perempuan 1/2 dari laki-laki adalah: laki-laki tidak boleh diberikan jatah waris lebih dari dua kali lipat bagian perempuan, dan perempuan tidak boleh diberikan jatah waris kurang dari 1/2 bagian laki-laki.
“Signifikansi”: gender equality adalah salah satu tujuan dasar tasyri’. Teks-teks persamaan religius dan humanitas laki-laki dan perempuan adalah teks yang bersifat final dan mengikat (qath’i). dengan demikian teks-teks itu mengizinkan mujtahid untuk menetapkan bahwa gender equality antara laki-laki dan perempuan tidak melanggar batasan dan ketetapan Allah swt.

“Ijtihad”: atas dasar pemikiran di atas, keharusan pemerataan jatah bagian waris laki-laki dan perempuan dengan pertimbangan realitas kontemporer yang mengharuskan demikian. Sehingga, bagi Nasr Hamid, “tidak bisa diterima ijtihad berhenti pada batas yang ditentukan oleh wahyu karena jika tidak demikian maka klaim kecocokan Islam di segala tempat dan waktu akan gugur dan jurang pemisah antara realitas yang terus berubah dan teks-teks yang difahami secara harafiah oleh diskursus agama kontemporer semakin menganga lebar…”

Istidlal dan Generalisasi: hal itu disimpulkan oleh Nasr Hamid sebagai berikut: “… setiap ijtihad yang menghendaki terciptanya persamaan penuh (antara laki-laki dan perempuan) merupakan ijtihad yang mulia dan selaras dengan orientasi tujuan-tujuan umum tasyri’. Sedangkan ijtihad atau takwil yang terpaku pada cakrawala momen historis wahyu, keduanya terjebak ke dalam kekeliruan epistemologis terlepas dari faktor niat baik dan ketulusan dogma. Karena itu, jika batasan dan ketetapan Tuhan yang tidak boleh kita langgar yaitu kita tidak boleh memberikan jatah waris laki-laki lebih dari dua kali lipat jatah perempuan dan kita tidak boleh memberi perempuan kurang dari setengah jatah laki-laki, maka hal itu tidak melanggar ketetapan allah swt. Persamaan artinya adalah persamaan batas maksimal laki-laki dan batas minimal perempuan tidak melanggar apa yang telah dibatasi allah. Secara otomatis pula hal ini mencakup semua bidang fikih Islam yang selama ini dimaknai salah kaprah, berangkat dari gambaran nilai perempuan setengah nilai laki-laki dengan sample masalah warisan. Di antara bidang-bidang itu adalah: kesaksian di depan pengadilan, kelayakan perempuan untuk mengisi bidang yang dikuasainya seperti bidang advokasi dan hakim pengadilan.

Konsep ijtihad yang ditawarkan oleh Nasr Hamid adalah ijtihad di luar pakem teks. Cukup jelas kiranya bahwa tawaran model ijtihad “modern” ala AbuZayd yang berpihak secara total kepada realitas manusia dan meminggirkan teks, semacam kredo atas aliran positifis-liberal yang sama sekali menyingkirkan hakikat dan batasan-batasan teks (batasan-batasan “makna”, dalam istilah Nasr Hamid). Berbeda dengan kredo Nasr Hamid tentang ijtihad modern, di dalam fiqih Islam, ijtihad harus berangkat dari obligasi dan mandatori teks primer Alquran dan Sunnah. Ijtihad tidak dibenarkan dalam masalah yang sudah tegas dijelaskan oleh nash yang sharih atau qath’i, seperti ayat-ayat hukum yang diperjelas oleh ayat atau Sunnah nabi sehingga tidak menerima takwil lain maka tidak diperkenankan ijtihad liberal tanpa batas secara kode etik keilmuan yang sederhana sekalipun. Anehnya, Nasr Hamid dalam banyak kasus, mengkategorikan ayat-ayat hukum sebagai teks sekunder di bawah teks-teks keimanan dan dogma sebagai teks primer..!

Sejatinya usaha reaktualisasi ijtihad yang didengungkan banyak cendekiawan muslim di berbagai kawasan dunia, telah menjadi aksioma dalam usaha pembaharuan Islam (tajdid). Aktualisasi ijtihad sebagai bagian proses hermeneutis dalam sudut pandang Islam terkait erat dengan teks/nash; baik ijtihad dalam arti reinterpretasi internal teks (berupa takwil makna nash, ‘am dan khash, mutlaq dan muqayyad, dll) maupun dalam arti reinterpretasi dengan merujuk kepada hukum teks primer dengan metode qiyas, atau yang bisa dipraktikkan secara luas dalam koridor umum nash melalui perangkat metode qiyas, istihsan, istishhab, ‘urf, dan mashlahat mursalah yang dibingkai oleh maqashid syariah.

Sementara itu, ijtihad yang dilontarkan AbuZayd adalah ijtihad di luar koridor teks; ia bergerak linear di luar teks lewat upaya pembekuan “makna” dan menghidupkan “signifikansi” yang liar dan terus berubah dengan menjadikan ideologi, budaya, dan solusi-solusi pragmatis/sosiologis sebagai pengesah dan rujukan utama. Atau dalam bahasa lain Abu Zayd, ijtihad yang berangkat dari dialektika bottom-up; dari realitas menuju teks. Metode ijtihad yang menjadikan realitas sosiologis sebagai primadona, model Abu Zayd, berangkat dari pentakwilan nash dan berakhir secara tragis kepada pengabaian nash itu sendiri. Mekanisme ijtihad semacam itu berangkat dari diktum wahyu bukan untuk meraih petunjuk darinya, melainkan untuk melampaui dan mengeleminasi wahyu atau syariah dari kehidupan manusia; alias sekulerisasi masyarakat muslim. Ungkapan Abu Zayd bahwa: “Tak bisa diterima suatu ijtihad yang berhenti pada batas-batas yang ditentukan wahyu, sebab hal itu akan merobohkan tesa kecocokan syariah Islam untuk setiap waktu dan tempat”, bagi penulis, tak lebih dari sebuah upaya pengelabuan luar biasa, baik dari segi “makna” ataupun “signifikansi” statemen tersebut. Karena secara manthuq, yang disembunyikan oleh Nasr Hamid lewat statemen itu, ijtihad “modern” yang ia tawarkan adalah bagian tak terpisahkan dari proyek dekonstruksi-kritis atas Islam sebagai sistem yang total mengatur pranata sosial, intelektual dan nilai hidup.

VIII. Upaya modernisasi Islam melalui pembacaan teks agama dengan piranti hermeneutika dan perspektif ilmu humaniora Barat.

Terakhir, penulis kutipkan beberapa buah pikiran termaju dari usaha gencar proyek modernisasi Islam melalui piranti hermeneutika menurut perspektif ilmu humaniora Barat:
Dr. Nasr Hamid Abu Zayd menulis: “…Tanpa menyoal ulang pertanyaan yang dikebiri seputar karakter firman Tuhan, takwil akan tetap sebagai alat pembacaan modernitas dalam teks-teks agama, bukan sebagai alat untuk memahami nash itu sendiri. Sesuai dengan buah pikiran Abu Zayd, pemilahan antara nilai historis dengan nilai eternalis dalam teks Alquran akan membuat kita memahami tujuan firman Tuhan dan petunjuk-petunjuk semantiknya. Dengan pendekatan ini, kita akan menyingkap bahwa hukuman hudud dalam Islam seperti: potong tangan bagi pencuri, cambuk bagi pezina, dll adalah produk nilai dan budaya masyarakat pra-wahyu. Dengan kata lain, nilai eternal Alquran adalah menciptakan keadilan dengan adanya hukuman tindak kriminal, adapun bentuk hukuman dalam Alquran adalah produk sejarah belaka. Tentu saja kita tidak dibenarkan berpihak kepada produk sejarah dengan mengabaikan nilai abadi “eternal” Alquran…”. (dalam DW-World.de.deutsche welle, tsaqafa wa mujtama, 26.11.2005)

Prof. Routhrawd Fyland dari Universitas Bamberg Jerman, ketika mengomentari kontribusi Abu Zayd dalam reformasi agama (Islam) sehingga dianugerahi “Averroes Award for Free Thinking” pada tahun 2005 silam, memuji usaha inokulasi pemikiran yang khas Nasr Hamid Abu Zayd. Ia menjelaskan bahwa konsep teks model Abu Zayd adalah perkembangan mutakhir dari prestasi Yuri Luttman dan Claud Shanon di bidang kritik sastra, yang berangkat dari diktum bahwa Alquran adalah teks peringkat atas. Oleh karena itu kaedah dan undang-undang bahasa dapat diterapkan atas Alquran sebagai teks. Kita harus memahami teks Alquran dengan menganalogikannya seperti transmisi radio yang ditulis dengan kode-kode khusus. Agar penerima/reseptor dapat memahami teks/kode yang sampai kepadanya, pengirim harus mengirimkan teks dengan kode yang difahami oleh reseptor. Di sinilah artinya teks Alquran yang ditanzilkan dalam bentuk wahyu seperti pengiriman pesan bahasa dari Tuhan kepada manusia. Akan tetapi bahasa mampu menyimpulkan makna-maknanya yang halus berdasar dari tradisi manusia penerima pesan yang mencerminkan cakrawala peradaban dan sejarah orang-orang yang berbicara dengan kode tersebut. Sehingga menjadi jelas bahwa firman Tuhan niscaya memakai kode bahasa dan peradaban yang khas bagi para reseptor risalah kenabian yang mula-mula. Nah, oleh karena bahasa dan gambaran manusia abad ke 21 berbeda sama sekali dengan manusia muslim era pertama, maka kewajiban para hermeneut adalah menerjemahkan kehendak dan maksud Tuhan yang terungkap dalam Alquran melalui kode bahasa dan budaya masa 14 abad silam ke dalam bahasa dan konteks pemikiran para pembaca dan pendengar Alquran di masa kini.
Wallahu A’lam bil Shawab