Wednesday, September 23, 2009

Sejarah kekeliruan Dinasti Saud

By : Fadhli Yafas




Kekeliruan yang dilakukan pendiri Dinasti Saud terkait dengan pendirian negara kaumiyah Saudi arabia sesungguhnya telah jamak diketahui oleh bebagai pihak. Beberapa tulisan telah menjelaskan hal tersebut. Tapi kemudian para muqallidin dinasti saud melakukan bantahan-bantahan dan menganggap sumber dari tulisan tersebut berasal dari orang kafir. Maka mari kita lihat dari apa yang ditulis sendiri oleh pihak Saudi.

Ada sedikit sejarah ttg pendirian dari kerajaan saudi di link ini : http://www.saudiembassy.net/Country/History.asp


Link tsb adalah situs resmi kedubes saudi arabia di Amerika. Dalam tulisan itu tercantum :

“Muhammad bin Abdul Wahhab and Muhammad bin Saud formed an agreement to dedicate themselves to restoring the pure teachings of Islam to the Muslim community. In that spirit, bin Saud established the First Saudi State, which prospered under the spiritual guidance of bin Abdul Wahhab, known simply as the Shaikh”


Disitu tercantum Ibnu saud mendirikan negara saudi pertama. Ini dilakukan pada permulaan abad 18. Pada masa ini masih berdiri kekuasaan Islam khilafah Utsmani. Sehingga dengan pendirian negara saudi tersebut, Ibnu Saud telah menyebabkan berbilangnya amir/penguasa bagi kaum muslimin, terutama di wilayah Dir’iyah di tanah Hijaz, tempat negara saudi pertama didirikan. Keberadaan dua negara dalam Islam diharamkan, karena otomatis akan menyebabkan akan berbilangnya jumlah Imam/Amir bagi kaum mu’minin. Rasulullah telah menyebutkan :

إذا بويع لخليفتين فاقتلوا الآخر منهما

Jika di bay’ah dua khalifah, maka bunuhlah yang terakhir di antara keduanya (HR. Muslim. No. 1853)
Berbilangnya dua penguasa ini juga telah disebutkan oleh Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq :

وإنه لا يحل أن يكون للمسلمين أميران فإنه مهما يكن ذلك يختلف أمرهم وأحكامهم وتتفرق جماعتهم ويتنازعوا فيما بينهم هنالك تترك السنة وتظهر البدعة وتعظم الفتنة وليس لأحد على ذلك صلاح

Artinya : sesungguhnya tidak dihalalkan adanya dua pemimpin (amir) bagi kaum muslimin, betapun (baiknya) keadaan itu, tetap saja urusan dan hukum-hukum mereka akan mengalami perselisihan, terpecah belah jama’ah mereka, dan perselisihan terjadi diantara mereka, disanalah sunnah akan ditinggalkan, bid’ah bermunculan, fitnah menjadi besar, sementara tidak seorang pun yang bisa memperbaikinya (Sunan Bayhaqi, juz 8 hal 145)

Selanjutnya dalam situs yang sama disebutkan :

By 1824, the Al-Saud family had regained political control of central Arabia. The Saudi ruler Turki bin Abdullah Al-Saud transferred his capital to Riyadh, some 20 miles south of Diriyah, and established the Second Saudi State. During his 11-year rule, Turki succeeded in retaking most of the lands lost to the Ottomans. As he expanded his rule, he took steps to ensure that his people enjoyed rights, and he saw to their well-being.

The young Abdulaziz was determined to regain his patrimony from the Al-Rashid family, which had taken over Riyadh and established a governor and garrison there. In 1902, Abdulaziz, – accompanied by only 40 followers – staged a daring night march into Riyadh to retake the city garrison, known as the Masmak Fortress. This legendary event marks the beginning of the formation of the modern Saudi state.

Disitu disebutkan penguasa Saudi saat itu, Raja Turki bin Abdullah Al Saud setelah berkuasa selama 11 tahun sejak 1824, berhasil mengambil kembali sebagian besar wilayah yang hilang direbut Ottoman. Demikian pula yang dilakukan penerus dari Raja Turki bin Abdullah Saud yaitu Abdul Azis Ibn Saud. Dia, sebagaimana yang tertulis dalam situs tersebut mengambil alih Riyadh, yang saat itu berada di bawah control Khilafah Utsmani. Disinilah kekeliruan dan penyimpangan dilakukan oleh penguasa Saudi, mereka melakukan perebutan wilayah yang dikuasai oleh Khilafah Utsmaniyyah (yang mereka sebut sebagai Ottoman) yang pada saat itu Khalifahnya adalah Mahmud II. Merebut wilayah dan kemudian memisahkannya dari wilayah kekhilafahan hukumnya haram.

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

Dari Nabi Muhammad SAW beliau berkata barang siapa melihat dari pemimpinnya sesuatu yang tidak disukainya maka bersabarlah, maka barangsiapa yang memisahkan diri dari Al jama’ah meski hanya sejengkal maka dia tidak mati selain dari mati jahiliyah (HR. Bukhari. Hadits no. 7054).

Apa-apa yang dilakukan Ibnu Saud jelas-jelas memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin yang dipimpin seorang Imam yang di bay’ah, dan ini diperparah dengan upayanya merebut kembali (retaking) daerah yang berada di bawah kontrol ke khilafahan Utsmani. Padahal seharusnya, Ibnu Saud dan para pengikutnya menggabungkan diri kedalam jamaah kaum muslimin tersebut dan melakukan bay’ah tha’ah kepada Khalifah. Dan kalaupun dia menemukan kekeliruan dilakukan oleh Khalifah maka yang dia lakukan mestinya adalah bersabar dan melakukan muhasabah lil hukkam, bukannya menentang kekuasaan sah sang khalifah.

Selain itu, telah umum diketahui juga bahwa penguasa Saudi terlibat kontak-kontak intensif dengan kalangan kafir penjajah, terutama dengan Inggris dan Amerika. Hubungan ini telah terjalin sejak awal-awal pembentukan Saudi. Dan hubungan itu terjalin hingga sekarang. Di foto yang ada di link ini http://www.al-bab.com/bys/articles/shipman01pix.htm terlihat gambar-gambar pendahulu dinasti saudi dengan Gilbert Clayton, salah seorang agen Inggris.

No comments: