Thursday, August 30, 2007

Battle Of Thought : Dr. Ugi Suharto V.S Taufik Adnan Amal, Quran Edisi Kritis versi Jaringan Islam Liberal Untuk Apa?

Di dalam buku Wajah Liberal Islam di Indonesia terbitan Jaringan Islam Liberal (2002:78) dimuat sebuah tulisan berjudul "Edisi Kritis Alquran", karya Taufik Adnan Amal. Tulisan itu memberikan gambaran bahwa masih ada persoalan dengan "validitas" teks Alquran yang oleh kaum Muslim telah dianggap tuntas. Taufik Adnan Amal, dosen mata kuliah ulumul Quran di IAIN Alauddin Makassar, menulis: "Uraian dalam paragraf-paragraf berikut mencoba mengungkapkan secara ringkas proses pemantapan teks dan bacaan Alquran, sembari menegaskan bahwa proses tersebut masih meninggalkan sejumlah masalah mendasar, baik dalam ortografi teks maupun pemilihan bacaannya, yang kita warisi dalam mushaf tercetak dewasa ini.


Karena itu, tulisan ini juga akan menggagas bagaimana menyelesaikan itu lewat suatu upaya penyuntingan edisi kritis Alquran." Rencana penulisan "Edisi Kritis Quran" atau "Quran Edisi Kritis" versi kelompok Islam Liberal itulah yang pernah saya kritik, melalui dialog langsung dengan saudara Taufik Adnan Amal. Ada baiknya dialog itu saya turunkan kembali dalam website ini, agar dapat diperoleh gambaran yang memadai tentang upaya yang sudah pernah dicoba oleh para orientalis tersebut.

8 Januari 2002 (9 : 23 AM)

Ugi Suharto:

Salam khusus untuk Bung Taufik Adnan Amal. Saya sedang menulis sebuah artikel dalam Bahasa Malaysia mengenai Mushaf Usmani untuk Bulletin al-Hikmah yang diterbitkan oleh ISTAC. Diantara yang saya tulis sebagaiberikut:

"Usaha Taufik Adnan Amal dari Indonesia untuk mengeluarkan Qur'an Edisi Kritis (QEK) sebenarnya merupakan satu langkah mundur menghabiskan usianya mengekori para Orientalis tua yang dahulunya pernah mempunyai "ambitious project" tetapi telah gagal." Hal ini dinyatakan sendiri oleh Gerd-R. Puin:

"The plan of Bergstrasser, Jeffery and later Pretzl to prepare a critical edition of the Qur'an was not realized, and the collection of variants derived from real old codices failed to survive the bombs of World War II"(Lihat, The Qur'an as Text, Leiden: 1996, h. 107)

A. T. Welch dalam Encyclopaedia of Islam juga menulis mengenai keyakinan Orientalis yang semakin kendor dalam projek ini:

"Western scholarship has not reached a consensus on what value this mass of allegedly pre-Uthmanic variants has for our knowlwdge of the history of the Kur'an. Confidence in the variants declined during the 1930s as they being collected and analysed." (EI2, V 407b)

Begitu juga kata John Burton dalam EQ yang mengomentari keputus-asaan para Orientalis untuk meneruskan projek mereka:

"Interest has focused principally on the Qur'an as a literary monument and the labors of many outstanding experts might have resulted in a scholarly edition of the entire text. Such a project was, indeed, planned in the earlier years of the century by G. Bergstasser, A. Jeffry and others but was frustrated by the outbreak of the second world war." (Lihat, Encyclopaedia of the Qur'an, Leiden: 2001, h. 361)

Abu Ubayd (w. 224/838) pernah berkata:

"Perbuatan Utsman mengumpulkan dan menyusun al-Qur'an akan senantiasa diambil perkiraan, karena ia merupakan sumbangannya yang paling besar. Memang di kalangan orang-orang yang menyeleweng ada yang mencelanya, namun kecacatan merekalah yang tersingkap dan kelemahan-kelemahan merekalah yang terdedah."(Lihat, Tafsir al-Qurtubi, bagian Mukaddimah, 1: 84).

Herr Taufik, was ist ihr Kommentar?
Auf Wiederh?ren.....

(Ugi Suharto, ISTAC)


8 Januari 2002 (8 : 15 PM)

Taufik Adnan Amal:

Mas Ugi, saya tidak akan banyak berkomentar. Tetapi anda terlalu jauh membandingkan upaya pembuatan Quran Edisi Kritis (QEK) dengan yang dilakukan kalangan orientalis. Sebaiknya, sebelum anda merampungkan tulisan anda untuk ISTAC itu, anda baca dulu buku saya, Rekonstruksi Sejarah al-Quran, untuk memahami gagasan inti saya. Demikian pula, anda bisa mengontak teman-teman di JIL untuk mendapatkan makalah saya di TUK, "Menggagas Edisi Kritis al-Quran", supaya anda tidak terlalu dini menyimpulkan upaya QEK. Saya juga ingin meminta maaf kepada para jamaah islib, karena tidak bisa membalas posting-posting mereka yang menyangkut saya selama sebulan terakhir ini, karena sedang "nyepi" ke Maluku Utara, dan bersama beberapa teman dari FkBA yogya melakukan "wisata konflik" di berbagai bekas pusat kerusuhan disana -- sampai ke pedalaman Halmahera Utara.

Salam,
Taa

9 Januari, 2002 (9 : 47 AM)

Ugi Suharto:

Bung Taufik, terima kasih atas respon singkatnya. Saya ingin melanjutkan dialog kita.Kalau memang upaya Anda itu tidak sama dengan, dan tidak meniru-niru, apa yang ingin dibuat oleh orientalis itu, sepatutnya Anda tidak menggunakan istilah mereka "A Critical Edition of the Qur'an" alias Qur'an Edisi Kritis (QEK). Gunakan dong istilah yang lain, yang lebih kreatif.

Istilah QEK adalah istilah yang sudah mapan dikalangan orientalis yang menekuni bidang al-Qur'an dan merujuk kepada usaha mereka untuk membongkar Mushaf Usmani, baik dari segi susunan surah-surahnya, kronologinya, qiraahnya, jumlah surah dan ayat-ayatnya dan lain-lain. Pokoknya ingin "deconstruct", meminjam Derrida, Mushaf Usmani sehingga menjadi mushaf lain.

Saya sekali lagi ingin mengutip, dan ini dari Arkoun, bahwa QEK yang saya sebutkan memang bertujuan begitu, dan upaya itu sudah tidak diminati lagi oleh para orientalis kawakan pasca Noldeke-Blachere.

"Hence, the battle for a critical edition of the text of the Qur'an including most notably a chronological ranking of the suras (SEE CHRONOLOGY AND THE QUR'AN), is not as persistent as it was in the period between T. Noldeke and R. Blachere." (Encyclopaedia of the Qur'an, Leiden 2001, 1: 420b.)

Kalau memang upaya Anda itu berbeda dengan usaha orientalis yang sudah gagal itu, maka itu bukan QEK namanya, dan dari segi ilmiah Anda tidak berhak menggunakan nama itu. Kecualilah kalau Anda sendiri tidak ambil pusing tentang penggunaan istilah yang mana dengan istilah-istilah itu ilmu dan disiplin ilmu dapat berdiri dan dapat dibedakan satu sama lain. Otherwise, it will lead to a confusion.

Bung Taufik, sekian dulu dari saya.
Danke sch?n. Antworten Sie, bitte!
Wassalam

Ugi Suharto - ISTAC


10 Januari, 2002 (4: 34 PM)

Ugi Suharto:

Bung Taufik, diakhir-akhir makalah itu Anda menulis:

"Gagasan penyuntingan kembali suatu edisi kritis al-Quran yang diajukan disini, seperti terlihat, bukanlah hal yang baru atau asing dalam perjalanan historis kitab suci kaum Muslimin. Secara sporadis, gagasan ini telah diperjuangkan selama berabad-abad oleh sejumlah sarjana Muslim, tetapi tanpa membuahkan hasil yang berarti."

Setelah membaca makalah Anda, kesimpulan dan komentar saya adalah:
"Upaya Anda itu lebih kepada memperkenalkan "Ragam Bacaan (qira'ah)" dan "Ragam Tulisan (rasm)" kepada masyarakat awam. Namun Anda ingin juga menyunting bacaan-bacaan dan tulisan-tulisan tersebut kedalam Mushaf Usmani. Oleh karena itu, perbedaan upaya Anda dengan QEK versi orientalis itu just in degree and not in kind, karena sama-sama ingin mengubah Mushaf yang ada. Disisi lain Anda mengaburkan perbedaan antara "al-Qur'an" yang mutawatir, dan yang diterima oleh awam dan sarjana, dengan "qira'ah" yang kebanyakannya bukan mutawatir, dan hanya diketahui oleh para sarjana, dan Anda mencampur-adukkan antara keduanya kepada orang awam dengan gagasan penyuntingan itu.

Kalau tujuan Anda ingin mencerdaskan umat bukan dengan QEK caranya. Ajak mereka belajar Islam betul-betul dengan guru-guru yang betul juga. Atau Anda terjemahkan saja kitab-kitab tafsir besar yang memang menunjukkan qira'ah yang beragam pada tiap-tiap ayat al-Qur'an, seperti pada tafsir al-Qurtubi misalnya. Dan upaya ini lebih produktive ketimbang QEK yang malah membawa kekeliruan dan fitnah kepada umat dan kepada Anda sendiri nantinya. Percaya deh....

Anda menyatakan bahawa upaya Anda itu bukanlah baru. Saya ingin bertanya; siapa "sejumlah sarjana Muslim" yang Anda maksudkan itu yang telah memulai upaya seperti upaya Anda?

Anda mengemukakan kasus Ibnu Miqsam dan Ibnu Syanabudh yang menurut Anda "keduanya yang membolehkan kaum Muslimin menggunakan bacaan Ibn Mas'ud dan Ubay ibn Ka'b, atau bacaan dalam kerangka konsonantal apa pun yang selaras dengan kaidah kebahasaan dan masuk akal" yang menyebabkan mereka ditolak ulama Islam.Saya perlu nyatakan disini bahwa kesalahan Ibnu Miqsam dan Ibnu Syanabudh itu bukan seperti yang Anda nyatakan. Yang benar kesalahan Ibnu Miqsam karena menyepelekan sanad, dan kesalahan Ibnu Syanabudh karena menyepelekan mushaf. (Lihat, Ibn al-Jazari, Ghayat al-Nihayah, ed. G. Bergstraesser, 2: 124).

Kedua-duanya menyepelekan salah satu dari tiga rukun qira'ah yang telah disepakati oleh para ulama. Apakah Anda juga ingin mengikuti jejak langkah mereka berdua?

Dalam kasus di atas Anda tidak merujuk kepada Ibn al-Jazari yang saya sebutkan itu, tapi Anda merujuk pada Fihrist Ibn Nadim yang diterjemahkan oleh Dodge. Saya cek rujukan Anda dan saya tidak menemukan klaim Anda itu. Terjemahan Fihrist hal. 70-72 itu hanya membincangkan Ibn Syanabudh dan tidak Ibn Miqsam. Malah di situ Ibn Nadim sendiri mengatakan bahwa Ibn Syanbudh "was religious, nonaggressive, but foolish."....dan "he had little science." (hal.70) Ibn Nadim juga menyatakan bahwa Ibn Syanabudh bertaubat dan menuliskan taubatnya seperti yang dinyatakan dalam Fihrist sebagai berikut:

"I used to read expressions differing from the version of Uthman ibn 'Affan,
which was confirmed by consensus, its recital being agreed upon by the
Companions of the Apostle of Allah. Then it became clear to me that this was
wrong, so that I am contrite because of it and from it torn away. Now before
Allah, may His name be glorified for from Him is acquittal, behold the
version of 'Uthman is the correct one, with which it is not proper to differ
and other than which there is no way of reading." (h. 72)

Jadi apa alasan Anda membela-bela Ibn Miqsam dan Ibn Syanabudh yang telah ditolak oleh para sarjana itu? Anda sendiri mengakui bahwa usaha mengubah Mushaf Usmani itu tidak "membuahkan hasil yang berarti." Itulah yang saya katakan sebagai langkah mundur! Ketika para ulama kita berbincang mengenai ijtihad, ia tidak ditujukan kepada usaha untuk menyalahi Mushaf Usmani. Upaya Anda itu tidak masuk dalam ruang lingkup ijtihad. Ini sekali lagi salah kaprah menggunakan istilah "ijtihad". Apa beda "Ijtihad" atau pembaharuan Mushaf Usmani dengan membunuh mushaf itu? Sekian dulu, karena sudah terlalu panjang. Salam 'ala man ittaba'a al-huda

Ugi Suharto – ISTAC


11 Januari, 2002 (12 : 47 AM)

Taufik Adnan:

Bung Ugi,

1. Anda tampaknya mereduksi kandungan tulisan itu hanya pada aspek kiraat. Ada hal lainnya, yang luput dari pembacaan anda, yakni penyempurnaan ortografis mushaf utsmani. Alasan kenapa rasm ini mesti disempurnakan telah dikemukakan dalam tulisan itu. Saya tidak sependapat dengan pandangan yang menenggelamkan berbagai inkonsistensi ortografis teks utsmani ke dalam doktrin i'jaz al-Quran.

2. Anda masih belum bisa membedakan antara gagasan QEK dengan gagasan para orientalis, yang menghendaki adanya versi alternatif al-Quran – sebagaimana yang eksis dalam tradisi biblical studies. Upaya peramuan ragam bacaan -- termasuk di luar tradisi kiraat tujuh -- dan penyempurnaan ortografis ditujukan untuk menghasilkan teks dan bacaan yang lebih baik dibandingkan yang ada sekarang ini -- alasan dan argumentasi untuknya dikemukakan dalam tulisan itu. Ikhtiyar dan irtijal tentu saja akan dimanfaatkan untuk hal tersebut, dan gagasan Ibn Mujahid yang menabukan penggabungan ragam kiraah yang memiliki asal-usul berbeda tentu saja mesti dilangkahi, karena, seperti disebutkan, sistem-sistem bacaan yang ada, termasuk kiraat tujuh, dibangun dengan cara semacam itu.

3. Kenapa kiraat di luar tradisi utsmani digunakan?

Alasannya sederhana sekali: kiraat pra-utsmani terkadang memberikan makna yang lebih masuk akal dibanding kiraat dalam tradisi teks utsmani. Saya ingin mengulang kembali contoh yang pernah dikemukakan Luthfi dalam postingnya yang terdahulu: Bacaan "ibil" (unta, 88:17) dalam konteks 88:17-20, sangat tidak koheren dengan ungkapan "al-sama'" (langit), "al-jibal" (gunung-2), dan "al-ardl" (bumi). Dalam bacaan Ibn Mas'ud, Aisyah, Ubay, kerangka grafis yang sama dibaca dengan mendobel "lam", yakni "ibill" (awan). Bacaan pra-utsmani ini, jelas lebih koheren dan memberikan makna yang lebih logis ketimbang bacaan mutawatir ibil. Demikian pula, bacaan Ubay dan Ibn Mas'ud "min dzahabin" untuk 17:93, memiliki makna yang lebih tegas dibanding bacaan "min zukhrufin" dalam teks utsmani. Masih banyak contoh lainnya yang bisa dielaborasi untuk butir ini.

4. Yang biasanya dipandang sebagai bacaan-bacaan mutawatir, pada hakikatnya adalah bacaan yang ditransmisikan secara tunggal (ahad) dari Nabi ke para imam kiraat yang populer. Mata rantai periwayatannya baru bersifat mutawatir dalam trasmisinya dari para imam tersebut. Hal ini telah dikatakan jauh hari oleh al-Zarkasyi.

5. Saya pikir upaya penerjemahan tafsir-tafsir klasik itu bagus. Tetapi, dengan begitu kita hanya produktif sebagai perekam yang pasif. Kalau upaya ini dijalankan dalam semua lini, kita tentunya berada dalam posisi status quo.

6. Selain Ibn Miqsam dan Ibn Syanabudz, Isa ibn Umar al-Tsaqafi bisa disebut untuk sarjana yang tidak sepakat dengan penunggalan teks (utsmani). Sementara pertikaian di kalangan sarjana Muslim tentang kiraah sepuluh dan kiraah empat belas merupakan upaya untuk memperluas cakupan lectio vulgata di luar tradisi kiraat tujuh. Di bidang ortografi, Abu Bakr al-Baqillani, Izz al-Din Abd al-Salam, merupakan sarjana stok masa lalu yang tidak menyepakati pembakuan teks utsmani. Untuk periode modern, beberapa nama yang disebut dalam tulisan merupakan contohnya.

7. Ibn Miqsam memang membolehkan umat Islam menggunakan bacaan dalam kerangka konsonantal apapun yang selaras dengan kaidah kebahasan dan logis. Dalam ilmu kiraat, hal ini dikenal sebagai pembacaan "'ala qiyas (aw madzahib) al-'arabiyyah" atau "irtijal". Karena itu, prasyarat kesesuaian dengan teks terkadang tidak terpenuhi. (Tentang Ibn Miqsam, bisa dilihat dalam Ibn Miskawaih, Tajarib, ed. Amedroz, 1, 285,13).

Sementara Ibn Syanabudz seperti kutipan mahdar dari fihrist dipersalahkan karena membaca, dan membolehkan umat Islam membaca, menurut bacaan para sahabat -- penelitian dari ragam bacaannya dalam Fihrist menunjukkan ia lebih cenderung kepada Ibn Mas'ud dan Ubay. Dengan demikian, Ibn Syanabudz melangkahi prasyarat mutawatir. (Ketiga prasyarat yang lazim disepakati -- ketiganya, dalam gagasan ortodoksi, merupakan kesatuan) adalah mutawatir, keselarasan dengan teks utsmani, dan keselarasan dengan kaidah bahasa. Penolakan terhadap kedua pakar ini syarat dengan nuansa politik -- para wazir Abasiyah terlibat secara intens dalam hal ini!

8. Ikhtiyar dan irtijal dalam rangka menyusun suatu sistem bacaan adalah ijtihad. Kaitannya sangat jelas. Anda bisa lihat, dengan ditutupnya pintu ijtihad pada abad ke-10, tidak ada lagi upaya yang substansial untuk membangun sistem kiraat tersendiri. Upaya-upaya semacam ini, dalam doktrin Ibn Mujahid yang telah disitir, tidak diperbolehkan lagi. Kalau ijtihad setelah itu hanya bisa dilakukan secara parsial, maka dalam bidang kiraat, ikhtiyar hanya digunakan untuk mematut-matut mata rantai periwayatan kiraat.

9. Dengan menyunting kembali mushaf utsmani, seperti digagaskan, mushaf ini akan semakin lebih konsisten dan logis.

Salam
Taa


11 Januari, 2002 (3 : 13 PM)

Ugi Suharto:

Saudaraku Bung Taufik,

Mungkin ini posting terakhir saya mengenai dialog kita. Saya kini sudah mengetahui posisi Anda dengan lebih tepat. Jadi saya ada justifikasi yang lebih kuat untuk tetap memasukkan nama Anda, dalam tulisan saya, sebagai orang yang terpengaruh dengan gagasan QEK orientalis. Sebelum saya menutup dialog ini saya ingin sekali lagi memberi komentar atas tanggapan Anda pada posting yang lalu.

Saya tidak mereduksi makalah Anda. Saya tahu skop perbincangan Anda, oleh sebab itu saya katakan bahwa Anda ingin memperkenalkan "ragam qira'ah" dan "ragam rasm" kepada masyarakat awam. Sengaja saya fokuskan komentar saya pada aspek qira'ahnya saja karena itu yang paling penting. Dan buktinya ketika Anda memberikan komentar kembali Anda pun lebih memfokuskan pada qira'ah juga. Karena ini memang isunya yang paling utama. Adapun mengenai tulisan teks (rasm) itu bukan isu utama, buktinya adalah sampai hari ini umat Islam dan ulama Islam tetap membenarkan wujudnya "rasm usmani" dan "rasm imla'i", kedua-dua rasm ini tetap dipakai sampai hari ini. Jadi tidak ada bantahan terhadap Imam al-Baqillani rahimahullah.

Anda tahu bahwa para ulama sepakat bahwa "al-rasm tabi'u li al-riwayah". Nah, lalu kenapa isu ortografi ini dibesar-besarkan? Ini adalah agenda para orientalis yang ingin menyodorkan konsep mereka "reading follows the text". Bagi para orientalis ini, text itulah yang penting, (kerana mereka memang dari tradisi Ahlul Kitab, yang kata al-Attas, "bookish") dan perbedaan bacaan adalah disebabkan karena text Usmani itu pada asalnya tidak ada titik dan harakahnya.

Gagasan ini dikemukakan oleh Ignaz Goldziher dalam bukunya "Die Richtungen der islamischen Korananslegung" (Leiden: E. J. Brill, 1970), h. 3-4. Silahkan rujuk. Cara membaca sejarah al-Qur'an ala Goldziher ini salah. Karena, kalaulah benar dakwaan Goldziher bahwa perbedaan bacaan itu bersumber dari teks yang tidak ada titik dan harakahnya, sudah tentu tidak ada lagi qira'ah tujuh, sepuluh, atau empat belas itu, dan sudah tentu terlalu banyak qira'ah yang beredar dan diakui dari dahulu hingga kini, termasuklah qira'ah yang tidak tsabit dari Rasulullah (SAW). Fakta dan realitas ini bertentangan dengan kesimpulan Goldzhiher.

Saya berharap Bung Taufik tidak terperangkap dengan agenda halus mereka. Ingat Goldziher itu pernah meluahkan isi hatinya memuji Islam dan al-Qur'an. Namun sayang Goldziher yang kita ketahui itu adalah seseorang yang sangat keras penentangannya terhadap Islam dan sumber-sumber Islam, dan bukan kah Goldziher yang pernah menggoreskan kata-katanya dalam dirinya sebagai berikut:

"I truly entered into the spirit of Islam to such an extent that ultimately I became inwardly convinced that I myself was a Muslim, and judiciously discovered that this was the only religion which, even in its doctrinal and official formulation, can satisfy philosophical minds. My ideal was to elevate Judaism to a similar rational level." (Lihat Muhammad Zubayr Siddiqi, Hadith Literature, The Islamic Text Society, 1993, h. 124-125 yang diambil dari R. Patai, Ignaz Goldziher and His Oriental Diary, Detroit: 1987, h. 20).

Bung Taufik,

Contoh-contoh qira'ah yang Anda kemukakan untuk dijadikan QEK itu sudah diketahui oleh para sarjana. Mereka tidak keliru seperti Anda, dengan mencampur-adukkan antara qira'ah dan al-Qur'an. Contoh "ibil" dengan "ibill" yang Anda pilih juga sudah diketahui lama oleh mereka. Lihat saja dalam tafsir al-Qurtubi yang bagi Anda menterjemahkannya itu sama dengan status quo alias mandeg.

Saya akan buktikan bahwa Anda belum melampaui apa-apa dari Imam al-Qurtubi itu dan Anda mungkin belum membacanya juga mengenai "ibil” (takhfif) dan "ibill" (tatsqil) disitu. Dalam tafsir itu dikatakan oleh imam al-Mawardi bahwa perkataan "ibil" (takhfif) mempunyai dua makna: pertama unta, dan yang kedua awan yang membawa hujan. Dari sini kita berkesimpulan bahwa rasm "ibil" itu bisa memuat makna unta dan awan sekaligus, sedangkan apabila ditulis "ibill" (tatsqil) ia hanya memuat makna awan semata-mata.

Jadi mana yang lebih komprehensif menurut "akal" Anda? Satu lagi, menurut al-Qurtubi perkataan "ibil" itu mu'annats (feminin) oleh itu sesuai dengan ayatnya "khuliqat". Bagaimana dengan "ibill"? Saudaraku Bung Taufik,Saya kira sampai disini saja dialog kita. Anda berhak untuk membuat komentar atas komentar saya ini, tapi saya mungkin tidak akan menjawabnya. Saya kira sudah memadai bagi saya untuk mengetahui posisi Anda. Jadikanlah semua komentar itu sebagai nasihat. Ad-Din an-Nasihah.

11 Januari, 2002 (11 : 19 PM)

Taufik Adnan Amal:

Aufwiederhoeren Mas Ugi.
Taa


Monday, August 20, 2007

Merdeka!...Maksud Loh??

Belum lama berselang, pada awal bulan sya’ban ini, penduduk negeri ini menyambut hari istimewa. Tepatnya 17 agustus, rakyat Indonesia selalu mengenang hari ini sebagai hari terbebasnya dari penjajahan. Bebasnya kita dari kungkungan penjajahan sangat kita patut kita syukuri sebagai sebuah karunia dari Allah SWT. Namun tidak sedikit orang bertanya, betulkah kita sudah sepenuhnya merdeka dari penjajahan?


Ini sangat tergantung apa yg kita maknai sebagai merdeka. Kalau kita sekedar memaknai merdeka sebagai terbebas dari penjajahan fisik, bisa jadi memang kita telah merdeka. Tapi apa sesederhana itu makna kemerdekaan? Tentu tidak. Menjadi merdeka mestinya membuat kita lebih bebas menentukan masa depan kita sendiri tanpa diatur oleh negara lain. Menjadi merdeka mestinya juga berarti kita bebas memanfaatkan potensi alam kita untuk kemakmuran rakyat. Menjadi merdeka mestinya berarti kita menjadi orang yang mandiri, yang bisa mengatakan tidak untuk hal yang tidak benar walaupun itu berasal dari negara besar.

Namun kalau mau jujur, sesungguhnya kita adalah bangsa yang hidup dibawah pengaruh bangsa lain. Pemimpin negeri ini kerap sekali menjalankan apa yg menjadi maunya bangsa asing, bahkan kalaupun itu mesti mengorbankan rakyat sendiri. Tengok saja kebijakan kenaikan harga BBM, siapa yang diuntungkan? Yang jelas bukan rakyat, karena berkat kenaikan BBM angka kemiskinan justru meningkat. Lalu tentang hukum, hukum siapa yang kita pakai? Setelah 62 tahun bangsa ini mengumumkan kemerdekaannya ternyata 80% produk hukum masih memakai hukum dari penjajah belanda. Belum lagi kalau kita lihat, siapa yang menguasai sumber daya alam kita, minyak kita, emas kita, logam-logam kita, kita akan dapatkan sebagian besar dikangkangi oleh bangsa asing. Sungguh kemerdekaan kita belum sempurna.

Ketidak sempurnaan kemerdekaan ini semakin menyesakkan kalau kita pahami dari sudut Islam. Kemerdekaan dalam Islam adalah ketika kondisi kita telah keluar dari kegelapan menuju kondisi penuh kegemilangan yg bercahaya. Kegelapan adalah kondisi-kondisi muram yang senantiasa menyeret kita kepada kehinaan, ketidakberdayaan, ditindas, dan tidak menjalankan syariah Allah. Inilah kondisi yang terjadi sebelum diutusnya Rasulullah SAW, dan sangat layak kondisi ini juga dilekatkan pada kondisi kita saat ini. Sedangkan kondisi bercahaya adalah gambaran dari kondisi yang mulia, yang penuh berkah dan Ridha illahi Rabbul ’alamin. Inilah kondisi yang terjadi setelah Rasulullah diutus dan kemudian memerintah di Madinah.

Sungguh misi Islam adalah mengeluarkan kita dari kegelapan menuju cahaya, sebagaimana yang dikatakan Allah ta’ala :

اللّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُواْ يُخْرِجُهُم مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّوُرِ وَالَّذِينَ كَفَرُواْ أَوْلِيَآؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُم مِّنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ
Allah Pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya. Adapun orang-orang kafir, pelindung-pelindung mereka ialah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan. (QS al-Baqarah [2]: 257).

Ayat ini menunjukkan bahwa syariat yang diturunkan oleh Allah akan membebaskan manusia dari kegelapan menuju cahaya; dari kegelapan kekufuran ideologi dan sistem Kapitalisme-sekular maupun Sosialisme-komunis menuju cahaya iman, yakni ideologi dan sistem Islam.

Misi ini juga terekam baik dalam jawaban yang dikemukakan oleh Rab'i bin Amir, Hudzaifah bin Mihshin, dan Mughirah bin Syu'bah ketika ditanya oleh Jenderal Rustum secara bergantian pada hari yang berbeda pada Perang Qadisiyah. Rustum bertanya, "Apa yang menyebabkan kalian datang ke sini?" Mereka menjawab, "Allah telah mengutus kami untuk membebaskan siapa saja-yang mau-dari penghambaan kepada hamba menuju penghambaan hanya kepada Allah semata, dari kesempitan dunia menuju keluasannya, dan dari kelaliman agama-agama selain Islam menuju keadilan Islam...." (Târîkh at-Thabarî, II/401, Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, Beirut.1407).

Inilah kemerdekaan hakiki yang akan diwujudkan oleh Islam. Walhasil, Islamlah yang akan membebaskan manusia dari penghambaan kepada manusia menuju penghambaan hanya kapada Allah semata, dari kesempitan dunia menuju kelapangannya, dan dari kelaliman agama dan ideologi selain Islam (Kapitalisme-sekular maupun Sosialisme-komunis) menuju keadilan Islam. Kemerdekaan hakiki inilah yang semestinya berusaha kita wujudkan.



Tuesday, August 14, 2007

Saatnya Khilafah Memimpin Dunia

HTI-Press - Lebih dari 100 ribu manusia memenuhi Stadion Utama Gelora Bung Karno, Ahad (12/8) dalam rangka menghadiri Konferensi Khilafah Internasional 2007 ‘’Saatnya Khilafah Memimpin Dunia’’ yang diselenggarakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Mereka berasal dari berbagai penjuru Indonesia dan dunia, dari mulai anak-anak hingga kakek-nenek.


Antusiasme umat Islam ini telah terlihat sejak pukul 03.00 dini hari. Massa mulai memasuki kawasan stadion dari berbagai pintu. Mereka berangkat menggunakan bus dan kendaraan pribadi, bahkan ada yang berjalan kaki. Tidak terlihat kelelahan di wajah-wajah mereka kendati habis melakukan perjalanan jauh. Justru yang terlihat adalah wajah gembira dan ceria untuk bisa mengikuti konferensi khilafah yang terbesar di dunia ini.

Gema takbir pun membahana di dalam stadion ketika acara dimulai. Panas matahari yang menyorot ke bagian barat stadion tak menyurutkan semangat mereka. Bendera al Liwa dan ar Raya terus dikibar-kibarkan. ’’Allahu Akbar’’

Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia Muhammad Ismail Yusanto, dalam pembukaannya mengingatkan kaum Muslim akan tiga peristiwa penting di bulan suci Rajab. Peristiwa pertama adalah Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW pada 27 Rajab. Kedua, adalah pembebasan Baitul Maqdis pada 27 Rajab tahun 583 hijriah dari kaum Salib. Ketiga, tragedi penghancuran khilafah oleh Inggris pada tanggal 28 Rajab tahun 1342 hijriah atau 3 Maret 1924. Akibat kehancuran khilafah ini, umat Islam terhinakan di semua bidang sampai sekarang.

Oleh karena itu, ia mengajak umat Islam untuk bersatu padu menegakkan kembali syariah Islam dalam naungan Khilafah. ’’Dalam naungan khilafah, kita akan mendapatkan kemuliaan sebagaimana yang pernah dirasakan oleh generasi mukmin sebelum kita,’’ tandas Ismail.

Panas matahari yang semula terik berangsur-angsur meredup. Awan menutupi langit di atas Gelora Bung Karno. Lantunan ayat-ayat Al Quran dibacakan. Takbir terus dikumandangkan.

Sebelum acara pokok, konferensi ini diisi dengan orasi tokoh. KH Abdullah Gymnastiar tampil untuk pertama kali. Dalam kondisinya yang masih sakit, da’i asal Bandung ini menyatakan alasannya mengapa ia datang. Menurutnya, ketika diundang oleh orang kafir saja mau datang, mengapa diundang sesama Muslim tidak?

Dalam orasi singkatnya, tema besar yang diusung oleh Hizbut Tahrir Indonesia yaitu saatnya khilafah memimpin dunia, hendaknya bisa menyadarkan seluruh umat Islam agar berani melakukan pembenahan kepada diri sendiri, sebelum memberikan penilaian kepada orang lain. Karena Islam bukanlah sebuah agama yang hanya membahas teori, tetapi membutuhkan pembuktian.

“Kenapa maksiat yang dikemas begitu baik sangat laku, tetapi kalau Islam yang begitu indah sulit untuk dibeli, padahal Islam itu penuh kasih sayang, Islam itu adil, Islam itu solusi, sehingga Islam butuh manusia yang menjadi bukti, ” jelas da’i yang sering dipanggil Aa Gym ini.

Orasi tokoh lain disampaikan oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Ketua Umum Syarikat Islam KH Amrullah Ahmad, Ketua MUI Sumatera Selatan KH Tholan Abdul Rauf, dan tokoh Nahdiyin dari Nusa Tenggara Barat Tuan Guru Turmudzi Badhuli. Orator lain yang sebelumnya berjanji untuk hadir yakni Menpora Adyaksa Dault, Amien Rais, dan KH Zainuddin MZ ternyata tidak datang. Adyaksa mengaku sedang sakit perut. Amien Rais ada acara di Solo, sedang Zainuddin berhalangan. Dua orator lainnya yakni Ustadz Abu Bakar Ba’asyir dan Habieb Rizieq Shihab dicekal oleh Mabes Polri.

Din Syamduddin mengatakan khilafah merupakan bentuk yang sudah ada dalam sejarah ajaran Islam. Inti sari ide tersebut sangat baik untuk meningkatkan persatuan umat Islam. Namun, menurutnya, tidak mudah untuk mencapainya. Karena itu ia mengajak uamt Islam untuk bersatu. “Agar khilafah itu terbentuk seluruh umat Islam harus merapat, baik ulama maupun cendikiawan Muslim,’’ katanya.

KH Amrullah Ahmad menegaskan bahwa tidak ada pilihan lain bagi umat Islam sekarang kecuali menengakkan kembali syariah Islam dalam naungan Daulah Khilafah. Ia mengajak umat bangkit kembali memperjuangkannya.

Konferensi ini diselingi oleh parade bedug dan reppling. Delapan ’reppler’ membawa bendera Liwa dan Raya dari atap tribun barat stadion GBK. Mereka meluncur dari ketinggian 80 meter di atas tanah. Mereka kemudian membentuk formasi di tengah lapangan dan kemudian memberikan bendera itu kepada para pembicara di panggung konferensi.

Konferensi ini rencananya menampilkan pembicara Dr Imran Waheed dari HT Inggris, Syeikh Issam Amirah dari HT Palestina, Syeikh Ismail al Wahwah dari HT Australia, Dr Salim Fredrick dari Inggris, Syeikh Usman Ibrahim dari HT Sudan, Prof Hassan Ko Nakata dari Jepang, dan Hafidz Abdurrahman dari HTI. Tiga pembicara tidak bisa hadir. Imran Waheed dan Ismail Wah Wah dideportasi oleh pemerintah Indonesia Jumat (10/8) sesaat setelah menginjakkan kaki di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Imran yang datang bersama istri dan dua anaknya yang masih kecil akhirnya keluar dari Indonesia saat itu juga. Tindakan yang sama dialami oleh Ismail Wah Wah. Tidak ada penjelasan resmi dari pemerintah tentang pencekalan dua pembicara itu.

Imran Waheed dalam orasinya menyatakan Barat saat ini menghadapi krisis peradaban yang parah. Ideologi kapitalisme tak mampu memperbaiki kondisi yang merosot tersebut. Akibatnya, peradaban itu mulai menuju kehancurannya.
Syeikh Ismail Al Wahwah mengatakan dunia saat ini membutuhkan Khilafah. Hanya khilafahlah yang akan mampu mengangkat derajat manusia baik itu Muslim maupun non Muslim. Khilafah sanggup mengembalikan posisi umat Islam sebagai umat terbaik.

Kembalinya khilafah bukan sebuah impian. Syeikh Issam Amirah menjelaskan ayat-ayat Allah menjelasakan dengan gambalang tentang kabar gembira akan datangnya kembali kekhilafahan tersebut. Berita ini dikuatkan pula oleh hadits-hadits Rasulullah SAW. Issam menukil hadits tentang akan datangnya Khilafah ala minhaji nubuwah (khilafah yang mengikuti jalan kenabian).

Tegaknya kembali khilafah pasti akan menggentarkan Barat. Syeikh Usman Ibrahim mengatakan dalam orasinya, ada tiga tantangan dari luar yang paling menonjol pasca teganya khilafah, yakni perang pemikiran dengan seluruh ragamnya, penyesatan, pengaburan, serta pemutarbalikan fakta; negara-negara Barat dan sekutunya akan mengembargo kekhilafahan baik secara ekonomi, politik, dan pemikiran; dan perang fisik. ’’Yang terakhir ini adalah tantangan yang paling berbahaya, paling berat dan paling dahsyat,’’ katanya.

Sementara itu, Prof Hassan Ko Nakata menguraikan tentang peran perjuangan Hizbut Tahrir membangun peradaban Islam ke depan. Menurutnya, HT adalah Islahi-Salafi-Sunni. HT menempati level tertinggi dalam pengajaran Islam.

Nakata menjelaskan, konsep Khilafah sebenarnya konsep universal yang bisa diterima oleh siapa saja termasuk kalangan Kristen, bahkan oleh orang sekuler sekalipun. Inilah yang diperjuangkan oleh HT. Karenanya, kata Nakata, hanya HT yang bisa dikatakan sebagai ’gerakan politik Islam’ yang memperjuangkan terealisasinya khilafah. Khusus untuk Indoneisa, Nakata menilai Indonesia memiliki syarat untuk tegaknya khilafah.

Konferensi terakhir disampaikan oleh Hafidz Abdurrahman (DPP HTI). Ia menguraikan apa yang dilakukan oleh HTI dalam rangka memperjuangkan tegaknya Khilafah. Aktivitas HTI adalah intelektual dan politik. Menurutnya, aktivitas ini tidak bisa dilakukan sendiri tapi butuh dukungan umat secara keseluruhan. Karena itu, HTI akan senantiasa bersama umat dan berada di tengah-tengah umat.

Sebelum ditutup, acara konferensi diselingi aksi teatrikal 400 siswa SMA yang menggambarkan kondisi umat Islam saat ini dan bagaimana nanti Khilafah akan menyatukan negeri-negeri Islam yang terpecah belah. Aksi selama 20 menit ini mendapat perhatian dari peserta konferensi.

Acara konferensi diakhiri dengan refleksi oleh Ustad Jamil Az Zaini dan Ustad Arifin Ilham. Suasana haru menyelimuti GBK. Tetes air mata membasahi pipi. Dan akhirnya acara berakhir dengan tertib dan damai. SAATNYA KHILAFAH MEMIMPIN DUNIA!!! [mujiyanto]