Dalam dunia pemaknaan, engineering akan lebih dikenal sebagai sebuah diksi dari dunia sains dan teknologi. Istilah mengacu kepada suatu proses rancang bangun yang disengaja dan direncanakan dengan cara dan teknik tertentu untuk mendapatkan sebuah hasil (berupa produk maupun karya) yang diinginkan.
Dalam konteks sosial, pemakaian istilah engineering pernah disosialisasikan misalnya oleh Jalaludin Rahmat dalam bukunya Rekayasa Sosial, Reformasi atau Revolusi. Dalam buku ini engineering diartika sebagai sebuah rekayasa. Dalam konteks sosial ini engineering bisa dimaknai sebagai sebuah proses perancangan kondisi social seperti yang diinginkan (das sollen). Misi dalam proses ini jelas yaitu wujudnya kondisi sosial yang diharapkan. Keinginan untuk merancang kondisi sosial ini muncul ketika kondisi faktual (das sein) berjalan tidak seperti apa yang diharapkan. Atau dalam kata lain terdapat gap antara kondisi yang diinginkan (das sollen) dengan kondisi faktual (das sen). Dengan kondisi ini maka sebuah proses engineering dalam konteks sosial (yang bisa disebut juga sebagai social engineering) bisa disebut sebagai bagian dari disiplin aktifitas perubahan sosial.
Social Engineering vis a vis Unplanned Social Change
Kalau kita perhatikan dinamika sosial yang terjadi ditengah masyarakat, maka kita akan dapati perubahan selalu berjalan seiring dengan dinamika itu. Tanpa kita duga dan kita rencanakan banyak terjadi perubahan dalam masyarakat. Misalnya dalam masyarakat Minangkabau. Dahulu ada semacam atauran tidak tertulis dalam masyarakat bahwa setiap anak lelaki yang telah baligh harus ditempa di Surau (semacam langgar kalau di Jawa). Mereka belajar Al Quran disana dan juga Pencak Silat. Surau juga merupakan tempat yang paling sering mereka jadikan sebagai tempat beristirahat dimalam hari. Tapi pada kurun waktu terakhir ini, budaya seperti ini tidak lagi dilakoni oleh anak-anak muda yang baru baligh. Surau pun sering lebih sering kosong melompong.
Perubahan sosial semacam ini dapat disebut sebagai perubahan sosial yang tidak direncanakan (unplanned social change). Ciri utama perubahan semacam ini yaitu terjadi secara terus menerus dan perlahan-lahan tanpa ada yang mengarahkan dan merencanakan. Perubahan model begini lebih sering merupakan akibat perkembangan teknologi, pengetahuan dan globalisasi.
Berbeda dengan Social Engineering, seperti yang kita bahas diatas perubahan model ini adalah perubahan yang disengaja, direncanakan dan memiliki cara dan teknik tertentu (yang bisa juga disebut sebagai metodologi). Selain itu perubahan ini juga menentukan disain akhir dari proses perubahan yang dilakukan.
Dengan melihat kondisi perubahan diatas, dalam konteks pergerakan yang menginginkan adanya perubahan masyarakat menuju kondisi yang lebih baik tentulah model perubahan yang terencana yang menjadi concern kita. Karena ketika kita menetapkan akan mewujudkan masyarakat yang lebih baik, maka sesungguhnya kita telah menetapkan sebuah disain akhir dari proses yang akan kita lakukan, dan ini merupakan karakter khas dari social engineering.
Problem Sosial dan Problem Individu
Terkait dengan Sosial Engineering, kita perlu memahami apa yang disebut problem sosial dan problem individu. Sebuah proyek sosial engineering ditetapkan karena adanya kondisi factual yang tidak seperti apa yang diharapkan. Seperti misalnya ada keinginan kita untuk memiliki sebuah institusi pemerintahan dan system yang betul menegakkan hukum, yang bebas dari intervensi asing dan mampu mensejahterakan masyarakat. Namun faktanya ternyata system kita adalah mandul dalam penegakkan hukum, selalu diintervensi asing dan gagal dalam mensejahterakan masyarakat. Maka disini ada ketidak sesuaian antara yang ideal (yang diharapkan) dengan hal yang real (factual). Dipandang dari sudut hal yang ideal, kondisi real yang seperti ini disebut sebagai sebuah masalah sosial atau problem sosial.
Maka sebuah “proyek” Social Engineering (sepertinya bisa juga kita sebagai rancang bangun sosial) adalah sebuah proyek yang diluncurkan sebagai sebuah upaya dan proses untuk mengentaskan permasalahan sosial atau problem sosial.
Dalam masyarakat selain terdapat problem sosial seperti yang kita contohkan, terdapat pula problem personal atau problem individu. Dalam menyelesaikan kasus atau masalah individui maka tentu tidak sama dengan menyelesaikan probem sosial. Akan terdapat perbedaan dari segi sasaran atau objek yang akan dirubah atau diselesaikan dan dari segi cara yang dipakai untuk merubah masalah tersebut.
Bagi sebuah problem individual tentu objeknya adalah individual atau personal, karena permasalahan yang terjadi skalanya adalah perorangan. Contoh permasalahan individu adalah kebodohan seorang anak. Maka untuk menyelesaikan masalah si anak tadi cukup meneliti keadaan si anak itu saja, kalau secara intelektual dia normal maka cukup dengan menyuruh sang anak untuk belajar lebih giat misalnya, atau memasukkan si anak bimbingan belajar atau dengan memberi motivasi berprestasi kepada si anak.
Namun bagaimana kalau ternyata kebodohan anak ternyata dialami banyak anak? Nah, disinilah kemudian kita haruslah jeli, jika sebuah problem yang sepertinya masalah individual ternyata terjadi secara massif dan banyak hal itu tidak lagi dapat disebut sebagai masalah atau problem individual, tapi sudah tergolong sebagai sebuah problem sosial. Dan tentu dari segi cara yang dipakai untuk menyelesaikannya tidak bisa lagi dengan individual therapy, karena yang akan terselesaikan hanya permasalahan satu atau dua anak.
Pembedaan antara problem sosial dan problem individual harus betul-betul kita pahami, agar kita tidak salah dalam memberikan obat. Bukannya problemnya selesai, salah-salah malah kita kemudian menjadi bagian dari masalah nantinya.
Revolusi dan Reformasi
Sebagai sebuah proses, Social Engineering memiliki tujuan mewujudkan sebuah bangunan sosial yang baru. Dimana terjadi perubahan pada berbagai tatanan sosial, relasi kekuasaan, bentuk dan fungsionalisasi institusi dan lembaga, serta komponen-komponen lain yang merupakan bagian dari pembentuk sebuah kondisi sosial. Bahkan proses ini bisa mendisain sebuah system sosial yang sama sekali baru untuk menggantikan system lama yang sudah “berkarat” dan bikin susah.
Dari sini kemudian sebuah proses rancang bangun sosial bisa diarahkan kepada dua bentuk: revolusi atau reformasi. Pemilihan dari bentuk ini sangat tergantung dari :
1. Ideas atau pemikiran
2. Pemahaman tentang fakta masyarakat
Bisa dikatakan ideas atau pemikiran merupakan basis utama konseptual dalam menentukan bentuk perubahan sosial yang kita tuju. Sebuah ideas atau pemikiran yang ideal akan mampu menjelaskan secara terperinci bangunan sosial yang ideal yang harus dirinci. Bahkan sebuah ideas yang paripurna bisa menerangkan metodologi yang harus ditempuh untuk mewujudkan sebuah perubahan sosial. Sebagai sebuah pemikiran, ideas tadi bisa bersumber dari dua hal, dari kemampuan atau kecerdasan intelektual dan dari wahyu.
Ketika harus Memilih : Revolusi atau Reformasi?
Jika kita betul-betul menguasai ideas tentang wujud ideal kondisi sosial yang kita inginkan maka kita telah memiliki semacam standar yang akan kita gunakan sebagai pembanding dengan kondisi actual dari masyarakat.
a. Memilih Revolusi
Revolusi adalah sebuah perubahan total. Ia tidak sekedar merubah perbagian dari komponen sosial. Revolusi diluncurkan untuk mengganti sebuah tatanan atau system. Penggantian berasal dari pemahaman yang mendalam terhadap fakta yang dialami masyarakat. Penggantian tatanan atau system harus berangkat dari sebuah kondisi bahwa problem sosial yang terjadi telah begitu akut dan sangat jauh menyimpang dari ideas yang dimiliki. Permasalahan utama yang kemudian menyebabkan munculnya ide revolusi adalah perkara asas yang diterapkan dalam sebuah system. Asas dalam sebuah system merupakan hal yang fundamental. Asaslah yang menentukan menentukan banyak hal dalam masyarakat, terutama peraturan dan undang-undang yang akan dijalankan oleh masyarakat. Rusaknya sebuah asas ibarat rusaknya akar dalam sebatang pohon, yang akan menyebabkan kerusakan pada keseluruhan bagian dari pohon. Kerusakan sebauah asas dalam sebuah system akan berakibat fatal. Akan terjadi kerusakan dan penyimpangan dalam sebagian besar aspek kehidupan masyarakat.
Disinilah dibutuhkan revolusi. Sasaran utama dari revolusi merubah asas dari sebuah system. Penyebutan dari asas adalah ideology. Perubahan ini akan mewujudkan sebuah konsekwensi berubahnya secara total relasi kekuasaan dan bentuk serta fungsi lembaga dan institusi. Dalam sebuah revolusi masyarakat betul-betula akan dibawa ke dalam sebuah “alam” yang betul-betul baru. Mengenai ini Piotr Sztompka sebagaiman yang dikutip Jalaludin Rahmat menyebutkan: Revolusi adalah manifestitasi perubahan yang paling spektakuler. Revolusi menengarai guncanagn fundamental dalam proses sejarah, membentuk kembali masyarakat dari dalam dan merancang lagi bangsa. Revolusi tidak membiarkan apapun seperti sebelumnya, revolusi menutup satu zaman dan membuka zaman baru. Pada saat revolusi masyarakat mengalami puncak perannya, ledakan potensi transformasi diri. Pada bangkitnya revolusi, masyarakat dan para anggotanya seakan-akan dihidupkan kembali, hampir dilahirkan kembali. Dalam pengertian ini, revolusi adalah tanda kesehatan sosial. Masih menurut Sztomka sebuah
Dalam dinamika sosial ada beberapa perubahan yang sering disebut-sebut sebagai revolusi, padahal tidak :
1. Kudeta (coup d`etat)
2. Pemberontakan
3. Mutiny (perlawanan), sebuah bentuk reaksi sosial berupa perlawanan tanpa disertai dengan visi yang jelas mengenai perubahan yang diperlukan
4. Perang saudara
5. Perang kemerdekaan
6. Kerusuhan sosial
Apa yang menyebabkan perubahan sosial tidak dapat dikatakan sebagai revolusi? Karena:
1. Skala perubahan terbatas, tidak sampai mencakup semua tahap dan dimensi masyarakat: ekonomi, politik, budaya, kehidupan sehari-hari dan bentuk serta fungsi lembaga
2. Perubahan tersebut tidak sampai mencapai akar atau inti dari konstitusi dan fungsi dari tahap dan dimensi masyarakat yang disebut diatas.
Dalam mewujudkan sebuah revolusi ada 3 hal yang harus terpenuhi:
1. Adanya ideology alternative
2. Adanya organisasi yang kuat yang menjadi pelaku utama
3. Penciptaan momentum
b. Memilih Reformasi
Semua adalah kebalikan dari revolusi. Reformasi hanya menyentuh beberapa dimensi saja dan tidak memerlukan perubahan asas. Sebuah reformasi dilakukan ketika yang bermasalah hanyalah sebatas kesalahan fungsi dari beberapa organ atau cabang saja. Reformasi dilakukan ketika asas yang berlaku masih sesuai dengan konsep dari ideas.
Disclaimer : Ini adalah blog pribadi, tidak terkait secara struktural dengan organisasi manapun.
Thursday, November 29, 2007
Tuesday, November 27, 2007
George Yang Mujahid
Jelang Perang Yarmuk berkecamuk, Panglima Romawi bernama George minta bertemu muka dengan Panglima Muslim Khalid bin Walid. George seorang satria ningrat yang sangat menghargai kejantanan. Sebelum beradu senjata, ia ingin mengenali sosok yang pedangnya telah membuat jeri pasukan Romawi.
Mereka pun saling mendekat, sampai kepala kuda keduanya beradu. George duduk tegak di pelana mewah kuda kelas satu, dengan baju dinas lengkap bertabur pangkat dan bintang penghargaan. Sementara Khalid tampak seperti prajurit Muslim lainnya, begitu bersahaja. Ia memang tak memerlukan aksesoris-aksesoris seperti yang dikenakan George untuk membantunya percaya diri.
''Khalid!'' kata George. ''Aku minta kau bicara jujur, karena orang mulia tidak pernah berdusta.
Jangan menipuku, karena orang besar takut pada Tuhan untuk berdusta.
Apa Tuhan menurunkan pedang kepada Nabimu yang kemudian diberikan kepadamu sehingga dengan senjata itu kamu pasti memenangkan peperangan?''
''Tidak!'' tegas Khalid.
''Mengapa kamu dijuluki Pedang Allah?'' kejar George.
''Aku dulu termasuk yang paling membenci Muhammad, sebelum Allah memberikan hidayah kepada kami untuk memeluk Islam. Setelah menjadi Muslim, Nabi Muhammad memberiku julukan Saifullah Maslul (pedang Allah yang terhunus).''
''Apa yang kamu dakwahkan?''
''Kami mengajak bersyahadat dan komit terhadapnya.''
''Kalau kami menolak?''
''Anda membayar pajak perlindungan sehingga Anda aman bersama kami.''
''Kalau kami menolak?''
''Berarti Anda menghalangi dakwah Islam sehingga kami mengumumkan perang pada Anda.''
''Bagaimana kedudukan orang yang masuk Islam hari ini?''
''Sebagai makhluk, di hadapan Allah kita sama saja.''
''Lalu apa hebatnya orang yang masuk Islam belakangan?''
''Kami yang duluan memeluk Islam, sempat hidup bersama Nabi dan menyaksikan turunnya wahyu dari Allah. Tentu lebih mulia orang yang beriman belakangan, karena ia memeluk Islam meski pembawa risalahnya sudah tiada.''
''Apakah ucapanmu bisa dipegang?''
''Demi Allah!'' tegas Khalid.
''Aku percaya padamu,'' kata George. Ia kemudian membalikkan perisainya tanda bersahabat, lantas berkata pada Khalid, ''Ajarkan kepadaku agama Islam.''
Khalid membimbing George ke kemahnya. Ia menimba air, lalu mengajari George bersuci. Setelah itu Panglima Romawi dituntun bersyahadat dan sholat dua rakaat.
Di luar kemah, pasukan besar Romawi yang malu dan marah pada panglimanya, merangsek pasukan Muslim. Perang berkecamuk seharian.
Ketika langit senja memerah, di antara jenazah Muslim tampak mujahid berkulit putih. Dialah George, yang hanya sempat sholat sunat dua rakaat. Sekali, dan sesudah itu sangat berarti.
Mereka pun saling mendekat, sampai kepala kuda keduanya beradu. George duduk tegak di pelana mewah kuda kelas satu, dengan baju dinas lengkap bertabur pangkat dan bintang penghargaan. Sementara Khalid tampak seperti prajurit Muslim lainnya, begitu bersahaja. Ia memang tak memerlukan aksesoris-aksesoris seperti yang dikenakan George untuk membantunya percaya diri.
''Khalid!'' kata George. ''Aku minta kau bicara jujur, karena orang mulia tidak pernah berdusta.
Jangan menipuku, karena orang besar takut pada Tuhan untuk berdusta.
Apa Tuhan menurunkan pedang kepada Nabimu yang kemudian diberikan kepadamu sehingga dengan senjata itu kamu pasti memenangkan peperangan?''
''Tidak!'' tegas Khalid.
''Mengapa kamu dijuluki Pedang Allah?'' kejar George.
''Aku dulu termasuk yang paling membenci Muhammad, sebelum Allah memberikan hidayah kepada kami untuk memeluk Islam. Setelah menjadi Muslim, Nabi Muhammad memberiku julukan Saifullah Maslul (pedang Allah yang terhunus).''
''Apa yang kamu dakwahkan?''
''Kami mengajak bersyahadat dan komit terhadapnya.''
''Kalau kami menolak?''
''Anda membayar pajak perlindungan sehingga Anda aman bersama kami.''
''Kalau kami menolak?''
''Berarti Anda menghalangi dakwah Islam sehingga kami mengumumkan perang pada Anda.''
''Bagaimana kedudukan orang yang masuk Islam hari ini?''
''Sebagai makhluk, di hadapan Allah kita sama saja.''
''Lalu apa hebatnya orang yang masuk Islam belakangan?''
''Kami yang duluan memeluk Islam, sempat hidup bersama Nabi dan menyaksikan turunnya wahyu dari Allah. Tentu lebih mulia orang yang beriman belakangan, karena ia memeluk Islam meski pembawa risalahnya sudah tiada.''
''Apakah ucapanmu bisa dipegang?''
''Demi Allah!'' tegas Khalid.
''Aku percaya padamu,'' kata George. Ia kemudian membalikkan perisainya tanda bersahabat, lantas berkata pada Khalid, ''Ajarkan kepadaku agama Islam.''
Khalid membimbing George ke kemahnya. Ia menimba air, lalu mengajari George bersuci. Setelah itu Panglima Romawi dituntun bersyahadat dan sholat dua rakaat.
Di luar kemah, pasukan besar Romawi yang malu dan marah pada panglimanya, merangsek pasukan Muslim. Perang berkecamuk seharian.
Ketika langit senja memerah, di antara jenazah Muslim tampak mujahid berkulit putih. Dialah George, yang hanya sempat sholat sunat dua rakaat. Sekali, dan sesudah itu sangat berarti.
Kehadiran Indonesia Pada Konferensi Annapolis: Kontribusi Legitimasi Penjajahan Israel
Indonesia dipastikan akan menghadiri konferensi Annapolis pada 27 November . Konferensi skenario Amerika ini akan membicarakan negoisasi perdamaian Israel Palestina. Sikap pemerintah yang sangat memalukan, pasalnya pada konferensi yang merupakan skenario AS ini hanya untuk legimitasi penjajahan.
"Kita bertujuan meletakkan dasar bagi penyelesaian atas konflik Israel-Palestina. RI memutuskan untuk turut hadir sebagai peserta dan berpartisipasi dalam konferensi itu." Kata Hassan Wirajuda.
Menurut Menteri Luar Negeri ini, pemerintah RI akan menyampaikan pandangannya mengenai arti pentingnya penyelesaian konflik Israel Palestina dengan jalan damai.
Solusi Dua Negara
Padahal Perdana Menteri Israel, Olmert menginginkan dari pertemuan ini dicapai kesepakatan perjanjian two state solution, yakni berdirinya dua negara, Palestina dan Israel. Jelas pengakuan penerimaan terhadap solusi ini berarti mengakui keberadaan Negara Israel sama artinya menerima penjajahan yang dilakukan Israel atas rakyat Palestina.
Sebelumnya Mahmoud Abbas datang ke SBY meminta dukungan atas perjanjian yang akan dibahas pada konferensi tersebut. Jelas perjanjian tersebut skenario AS yang hanya akan menguntungkan AS dan Israel. Keikutsertaan Indonesia dalam konferensi ini bukan saja telah mengkhianati UUD 1945 tetapi juga mengkhianati kaum Muslim.
Sedangkan pernyataan pers Deplu Amerika Serikat menyebutkan:
"Konferensi Annapolis merupakan tanda dukungan internasional yang luas bagi upaya-upaya berani pemimpin Israel dan Palestina, dan akan menjadi peluncuran penting bagi perundingan-perundingan yang menuju pada terbentuknya negara Palestina dan realisasi perdamaian Israel dan Palestina,"
Legitimasi Penjajahan
Israel telah lama merampas tanah Palestina dan mengusir, menghancurkan serta membunuh rakyat Palestina. Sikap Indonesia yang tidak berani menolak pertemuan ini ini menujukkan ketundukkannya pada Amerika. Sama halnya dengan para penguasa Arab yang tidak memiliki nyali sama sekali untuk bersikap tegas terhadap Amerika dan Israel yang telah lama menjajah negeri-negeri Muslim termasuk Palestina.
Solusi atas krisis Timur Tengah bukanlah solusi dua negara. Namun, merebut kembali tanah rampasan milik kaum Muslim tersebut dari tangan penjajah Israel.
Indonesia semestinya menolak pertemuan tersebut, sebab perjanjian pada konferensi tersebut hanya untuk legitimasi penjajahan. Apalagi Indonesia merupakan negeri yang berpenduduk muslim. Lalu di mana makna al-Quran yang menyatakan, "Sesungguhnya mukmin itu bersaudara."? [m/z/sycom]
Sumber : syabab.com
"Kita bertujuan meletakkan dasar bagi penyelesaian atas konflik Israel-Palestina. RI memutuskan untuk turut hadir sebagai peserta dan berpartisipasi dalam konferensi itu." Kata Hassan Wirajuda.
Menurut Menteri Luar Negeri ini, pemerintah RI akan menyampaikan pandangannya mengenai arti pentingnya penyelesaian konflik Israel Palestina dengan jalan damai.
Solusi Dua Negara
Padahal Perdana Menteri Israel, Olmert menginginkan dari pertemuan ini dicapai kesepakatan perjanjian two state solution, yakni berdirinya dua negara, Palestina dan Israel. Jelas pengakuan penerimaan terhadap solusi ini berarti mengakui keberadaan Negara Israel sama artinya menerima penjajahan yang dilakukan Israel atas rakyat Palestina.
Sebelumnya Mahmoud Abbas datang ke SBY meminta dukungan atas perjanjian yang akan dibahas pada konferensi tersebut. Jelas perjanjian tersebut skenario AS yang hanya akan menguntungkan AS dan Israel. Keikutsertaan Indonesia dalam konferensi ini bukan saja telah mengkhianati UUD 1945 tetapi juga mengkhianati kaum Muslim.
Sedangkan pernyataan pers Deplu Amerika Serikat menyebutkan:
"Konferensi Annapolis merupakan tanda dukungan internasional yang luas bagi upaya-upaya berani pemimpin Israel dan Palestina, dan akan menjadi peluncuran penting bagi perundingan-perundingan yang menuju pada terbentuknya negara Palestina dan realisasi perdamaian Israel dan Palestina,"
Legitimasi Penjajahan
Israel telah lama merampas tanah Palestina dan mengusir, menghancurkan serta membunuh rakyat Palestina. Sikap Indonesia yang tidak berani menolak pertemuan ini ini menujukkan ketundukkannya pada Amerika. Sama halnya dengan para penguasa Arab yang tidak memiliki nyali sama sekali untuk bersikap tegas terhadap Amerika dan Israel yang telah lama menjajah negeri-negeri Muslim termasuk Palestina.
Solusi atas krisis Timur Tengah bukanlah solusi dua negara. Namun, merebut kembali tanah rampasan milik kaum Muslim tersebut dari tangan penjajah Israel.
Indonesia semestinya menolak pertemuan tersebut, sebab perjanjian pada konferensi tersebut hanya untuk legitimasi penjajahan. Apalagi Indonesia merupakan negeri yang berpenduduk muslim. Lalu di mana makna al-Quran yang menyatakan, "Sesungguhnya mukmin itu bersaudara."? [m/z/sycom]
Sumber : syabab.com
Skenario AS pada Konferensi Annapolis
Syabab.Com - Hari ini, Selasa (27/11) Konferensi Annapolis digelar di Maryland. Konferensi skenario AS ini akan membicarakan negoisasi perdamaian Israel Palestina yang tentu saja menguntungkan Israel. Karena pada dasarnya konferensi ini sebagai legitimasi penjajahan Israel atas Palestina. Sebelum pelaksanaan konferensi, AS telah menyatakan akan meluncurkan strategi tiga-arah bagi perdamaian Palestina-Israel ketika Washington menjadi tuan rumah konferensi Annapolis akhi pekan ini.
Skenario Amerika Melegalkan Penjajahan Israel
"Apa yang akan kami lakukan ialah menggagas tiga langkah paralel, jika anda bersedia," kata Penasehat Keamanan Nasional Gedung Putih, Stephen Hadley, kepada wartawan sebelum konferensi tersebut dibuka di Annapolis, Maryland, Selasa.
"Satu adalah peluncuran melalui perundingan semua pihak ke arah berdirinya negara Palestina dan perdamaian yang lebih luas," kata Hadley dalam taklimatnya, seperti dilaporkan AFP.
Pada saat yang sama, ia mengatakan perunding Palestina dan Israel akan mulai melaksanakan kewajiban mereka berdasarkan peta jalan yang dirancang masyarakat internasional pada 2003.
Itu berarti Israel akan "membuka jalan guna meredakan dan mengizinkan hidup yang lebih baik bagi rakyat Palestina dan lembaga yang dibuat Palestina guna mengelola Tepi Barat Sungai Jordan dan menyediakan keamanan, baik bagi rakyat Palestina maupun meningkatkan keamanan bagi Israel dan wilayah itu secara keseluruhan", katanya.
Aspek ketiga dari rencana perundingan tersebut ialah pembentukan berbagai lembaga Palestina dengan dukungan internasional guna memberi Palestina "kemampuan untuk melaksanakan tanggung jawab mereka dalam peta jalan".
Lebih dari 40 negara dan organisasi internasional telah diundang ke konferensi tersebut guna memberi dukungan mereka bagi upaya perdamaian Palestina dan Israel.
Hadley mengatakan masyarakat internasional akan memiliki kesempatan untuk mendukung berdirinya pemerintah Palestina, lembaga polisik dan ekonomi di Annapolis dan kemudian pada konferensi donor di Paris pada Desember. Tentu ini juga mendukung untuk pengakuan terhadap berdirinya negara Israel di tanah Palestina.
Pemerintah Presiden AS George W. Bush melancarkan apa yang digembar-gemborkannya sebagai dorongan sungguh-sungguh pertama bagi perdamaian Palestina-Israel sejak pembicaraan terakhir ambruk pada 2000, pada akhir masa jabatan pendahulunya Bill Clinton.
Bush sendiri akan menyelenggarakan pembicaraan bilateral di Gedung Putih, Senin dan Rabu, dengan Perdana Menteri Israel Ehud Olmert dan Presiden Palestina Mahmud Abbas.
Semua ketiga pejabat tersebut akan bertemu sebelum mereka berpidato pada awal konferensi di Annapolis, Selasa, kata Hadley.
Pendirian Negara Palestina Merdeka, Pengakuan Berdirinya Negara Penjajah
Bila diperhatikan, perdamaian yang selama ini digemborkan AS nampak seolah menjanjikan dan memberikan harapan baru bagi rakyat Palestina. Namun, dibalik itu terdapat skenario yang sangat memalukan bila dunia menerimanya. Para penguasa dunia Muslim pun tidak punya nyali, malah senang berjabat tangan dengan para penjajah tersebut.
Tanah Palestina telah dibebaskan pertama kali oleh Umar bin Khathathab. Bagaimanapun, Israel telah merampas tanah milik kaum Muslim di Palestina. Bahkan mereka merobohkan rumah-rumah muslim Palestina serta mengusirnya. Rakyat Palestina pun telah banyak yang menjadi korban. Tragedi Sabra dan Shatila tidak pernah bisa dilupakan.
Dengan berdirinya Negara Palestina Merdeka pemberian AS berarti mengakui juga berdirinya Negara Israel yang telah menjajah tanah Palestina tersebut. Itulah solusi dua negara yang selalu ditawarkan oleh Barat. Tanpa mereka menyadari kejahatan atas tingkah lakunya yang telah menjajah dan membunuh ribuan rakyat Palestina.
Merebut kembali tanah Palestina merupakan solusi adil bagi krisis Timur Tengah. Tentu hal ini tidak akan terjadi kecuali kaum Muslim sedunia bersatu di bawah bendera Rasulullah Saw, di bawah komando Khalifah kaum Muslim. Suatu saat, insya Allah.[z/ant/sycom]
Sumber : Syabab.com
Skenario Amerika Melegalkan Penjajahan Israel
"Apa yang akan kami lakukan ialah menggagas tiga langkah paralel, jika anda bersedia," kata Penasehat Keamanan Nasional Gedung Putih, Stephen Hadley, kepada wartawan sebelum konferensi tersebut dibuka di Annapolis, Maryland, Selasa.
"Satu adalah peluncuran melalui perundingan semua pihak ke arah berdirinya negara Palestina dan perdamaian yang lebih luas," kata Hadley dalam taklimatnya, seperti dilaporkan AFP.
Pada saat yang sama, ia mengatakan perunding Palestina dan Israel akan mulai melaksanakan kewajiban mereka berdasarkan peta jalan yang dirancang masyarakat internasional pada 2003.
Itu berarti Israel akan "membuka jalan guna meredakan dan mengizinkan hidup yang lebih baik bagi rakyat Palestina dan lembaga yang dibuat Palestina guna mengelola Tepi Barat Sungai Jordan dan menyediakan keamanan, baik bagi rakyat Palestina maupun meningkatkan keamanan bagi Israel dan wilayah itu secara keseluruhan", katanya.
Aspek ketiga dari rencana perundingan tersebut ialah pembentukan berbagai lembaga Palestina dengan dukungan internasional guna memberi Palestina "kemampuan untuk melaksanakan tanggung jawab mereka dalam peta jalan".
Lebih dari 40 negara dan organisasi internasional telah diundang ke konferensi tersebut guna memberi dukungan mereka bagi upaya perdamaian Palestina dan Israel.
Hadley mengatakan masyarakat internasional akan memiliki kesempatan untuk mendukung berdirinya pemerintah Palestina, lembaga polisik dan ekonomi di Annapolis dan kemudian pada konferensi donor di Paris pada Desember. Tentu ini juga mendukung untuk pengakuan terhadap berdirinya negara Israel di tanah Palestina.
Pemerintah Presiden AS George W. Bush melancarkan apa yang digembar-gemborkannya sebagai dorongan sungguh-sungguh pertama bagi perdamaian Palestina-Israel sejak pembicaraan terakhir ambruk pada 2000, pada akhir masa jabatan pendahulunya Bill Clinton.
Bush sendiri akan menyelenggarakan pembicaraan bilateral di Gedung Putih, Senin dan Rabu, dengan Perdana Menteri Israel Ehud Olmert dan Presiden Palestina Mahmud Abbas.
Semua ketiga pejabat tersebut akan bertemu sebelum mereka berpidato pada awal konferensi di Annapolis, Selasa, kata Hadley.
Pendirian Negara Palestina Merdeka, Pengakuan Berdirinya Negara Penjajah
Bila diperhatikan, perdamaian yang selama ini digemborkan AS nampak seolah menjanjikan dan memberikan harapan baru bagi rakyat Palestina. Namun, dibalik itu terdapat skenario yang sangat memalukan bila dunia menerimanya. Para penguasa dunia Muslim pun tidak punya nyali, malah senang berjabat tangan dengan para penjajah tersebut.
Tanah Palestina telah dibebaskan pertama kali oleh Umar bin Khathathab. Bagaimanapun, Israel telah merampas tanah milik kaum Muslim di Palestina. Bahkan mereka merobohkan rumah-rumah muslim Palestina serta mengusirnya. Rakyat Palestina pun telah banyak yang menjadi korban. Tragedi Sabra dan Shatila tidak pernah bisa dilupakan.
Dengan berdirinya Negara Palestina Merdeka pemberian AS berarti mengakui juga berdirinya Negara Israel yang telah menjajah tanah Palestina tersebut. Itulah solusi dua negara yang selalu ditawarkan oleh Barat. Tanpa mereka menyadari kejahatan atas tingkah lakunya yang telah menjajah dan membunuh ribuan rakyat Palestina.
Merebut kembali tanah Palestina merupakan solusi adil bagi krisis Timur Tengah. Tentu hal ini tidak akan terjadi kecuali kaum Muslim sedunia bersatu di bawah bendera Rasulullah Saw, di bawah komando Khalifah kaum Muslim. Suatu saat, insya Allah.[z/ant/sycom]
Sumber : Syabab.com
Friday, November 16, 2007
Hakikat Buruk Demokrasi
Keberhasilan Indonesia meraih “Medali Demokrasi” baru-baru ini menjadi berita utama di halaman muka sejumlah media cetak di Tanah Air. Harian Republika menulis, medali tersebut diberikan oleh IAPC (Asosiasi Internasional Konsultan Politik)—sebuah organisasi profesi yang memperjuangkan demokrasi di seluruh dunia—karena Indonesia merupakan negara pertama berpenduduk mayoritas Muslim yang dinilai melakukan proses demokrasi dengan sungguh-sungguh. Ketua Komite Konferensi Dunia IAPC ke-40, Pri Sulisto, di Nusa Dua, Bali (12/11), mengatakan, bukti bahwa Indonesia berhasil mengembangkan dan mempraktikkan demokrasi adalah suksesnya penyelenggaraan Pemilu 2004 yang mengantarkan SBY—dari parpol yang baru terbentuk—menjadi presiden. (Republika, 12/11/07).
Sementara itu, Co Chairman Komite Konferensi IAPC, ke-40, Robert Murdoch, menambahkan, Selain sebagai penghargaan, dipilihnya Indonesia menjadi tempat pertemuan juga merupakan perwujudan perjuangan IAPC untuk mempromosikan demokrasi di seluruh dunia, ujar Robert. (web.bisnis.com, 13/11/07)
Antara “Demokrasi Prosedural” dan Sistem Demokrasi
Siapapun yang mengkaji demokrasi tentu tidak akan melupakan dua hal: “demokrasi prosedural” dan sistem demokrasi. “Demokrasi prosedural” di antaranya mewujud dalam partisipasi rakyat dalam Pemilu, transparansi dan akuntabilitas. Dalam konteks Pemilu, misalnya, sejak merdeka hingga hari ini, Indonesia sudah menyelenggarakan beberapa kali Pemilu. Yang terakhir adalah Pemilu 2004, yang dinilai paling demokratis dalam sejarah politik Indonesia dan relatif aman terkendali. Jadi, wajar belaka jika dari sisi ini, Indonesia dianggap sebagai salah satu negara paling demokratis.
Namun, jangan lupa, penilaian itu hanya menyangkut Pemilu sebagai salah satu instrumen “demokrasi prosedural”. Apalagi IAPC sendiri adalah lembaga yang hanya menganalisis Pemilu di seluruh dunia. (http://innphotoes.com, 13/11/07). Ini berarti, keberhasilan demokrasi Indonesia hanya dinilai dari tertibnya Pemilu 2004 saja.
Pemilu yang demokratis tentu tidak bisa dijadikan ukuran suksesnya sebuah negara, apalagi jika dikaitkan dengan persoalan kemakmuran warga negaranya, misalnya. Berdasarkan laporan penelitian Guru Besar Ilmu Politik University of California, Los Angeles (UCLA) Michael Ross, yang diberi judul, “Is Democracy Good for the Poor?” pemerintahan yang demokratis terbukti tidak mendorong perbaikan kesejahteraan kaum termiskin. Setidaknya itulah yang terjadi di 169 negara dalam kurun waktu 1970-2000. Di Indonesia sendiri, seiring dengan puja-puji atas Pemilu yang dianggap demokratis tersebut, laporan Bank Dunia justru menyebutkan bahwa sampai September tahun 2006 terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin hingga mencapai 17,5 persen dari total penduduk Indonesia atau sekitar 39 juta penduduk. Angka ini tidak jauh berbeda dengan temuan Biro Pusat Statistik (BPS) dari Februari 2005 sampai Maret 2006. Bahkan BPS menyatakan, pada Februari 2005, sekitar 30,29% penduduk hampir miskin menjadi jatuh miskin pada Maret 2006. Pada saat yang sama, 11,82% penduduk hampir tidak miskin pada Februari 2005, jatuh miskin pada Maret 2006 (Demografi, Oktober 2006).
Karena itu, Pemilu demokratis jelas tidak bisa dijadikan ukuran kesuksesan sebuah negara. Lebih dari itu, terlalu dangkal jika demokrasi dipahami sebatas “demokrasi prosedural” semacam ini, apalagi hanya dipahami lewat Pemilu, seraya mengabaikan demokrasi sebagai sistem (baca: sistem demokrasi), yang justru telah memproduksi banyak keburukan.
Hakikat Sistem Demokrasi
Sistem demokrasi di negara manapun selalu mencerminkan paling tidak dua hal: (1) Kedaulatan rakyat; (2) Jaminan atas kebebasan umum.
Kedaulatan rakyat.
Demokrasi identik dengan jargon “dari rakyat-oleh rakyat-untuk rakyat”. Secara teoretis memang demikian. Justru di sinilah pangkal persoalan demokrasi, khususnya jika dilihat dari sudut pandang ajaran Islam yang hanya mengakui “kedaulatan Hukum Syariah (Hukum Allah)”. Dalam demokrasi, rakyat (manusia) diberi kewenangan penuh untuk membuat hukum, termasuk membuat hukum yang bertentangan dengan aturan-aturan Allah (syariah). Inilah yang terjadi di negara-negara yang menerapkan demokrasi, termasuk Indonesia . Padahal dalam Islam, hanya Allah yang berhak menetapkan hukum (Lihat: QS an-An‘am [6]: 57), yakni dengan memberikan kewenangan kepada penguasa (khalifah) untuk mengadopsi hukum dari al-Quran dan as-Sunnah, dengan didasarkan pada ijtihad yang benar.
Adapun secara praktis, kedaulatan rakyat sebetulnya hanyalah ‘lipstik’. Faktanya, di Indonesia sendiri, yang berdaulat bukanlah rakyat, tetapi para elit wakil rakyat, termasuk elit penguasa, yang bahkan sering dipengaruhi oleh kepentingan para pemilik modal atau negara-negara asing. Tidak aneh jika banyak UU atau keputusan yang merupakan produk lembaga wakil rakyat (DPR) maupun Presiden—yang juga langsung dipilih oleh rakyat—sering bertabrakan dengan kemauan rakyat. Betapa sering kebijakan Pemerintah yang diamini para wakil rakyat justru didemo oleh rakyat sendiri.
Jaminan atas kebebasan umum.
Pertama: kebebasan beragama. Intinya, seseorang berhak meyakini suatu agama/keyakinan yang dikehendakinya tanpa tekanan atau paksaan. Dia berhak pula meninggalkan agama dan keyakinannya, lalu berpindah pada agama atau keyakinan baru.
Kedua: kebebasan berpendapat. Intinya, setiap individu berhak mengembangkan pendapat atau ide apapun dan bagaimanapun bentuknya tanpa tolok ukur halal-haram.
Ketiga: kebebasan kepemilikan. Intinya, seseorang boleh memiliki harta (modal) sekaligus mengembangkannya dengan sarana dan cara apa pun. Di Indonesia, pihak asing bahkan diberikan kebebasan untuk menguasai sumberdaya alam milik rakyat, antara lain melalui UU Migas, UU SDA, UU Penanaman Modal, dll.
Keempat: kebebasan berperilaku. Intinya, setiap orang bebas untuk berekspresi, termasuk mengekspresikan kemaksiatan seperti: membuka aurat di tempat umum, berpacaran, berzina, menyebarluaskan pornografi, melakukan pornoaksi, melakukan praktik homoseksual dan lesbianisme, dll.
Jelaslah, hakikat sistem demokrasi menjauhkan hukum Allah dan menanamkan liberalisasi.
Dampak Buruk Sistem Demokrasi
Dampak paling buruk dari penerapan sitem demokrasi tentu saja adalah tersingkirnya aturan-aturan Allah (syariah Islam) dari kehidupan masyarakat. Selama lebih dari setengah abad, negeri yang notabene berpenduduk mayoritas Muslim ini menerapkan sistem demokrasi. Selama itu pula syariah Islam selalu dicampakkan. Segala upaya untuk memformalkannya dalam negara selalu dihambat, baik pada masa Orde Lama, Orde Baru hingga Orde Reformasi saat ini.
Dampak buruk lainnya antara lain sebagai berikut:
Pertama, akibat kebebasan beragama: muncul banyak aliran sesat di Indonesia. Sejak 2001 hingga 2007, sedikitnya ada 250 aliran sesat yang berkembang di Indonesia. (Waspada.co.id, 1/11/07). Para penganut aliran-aliran tersebut seolah dibiarkan begitu saja oleh Pemerintah tanpa dikenai sanksi yang tegas.
Kedua, akibat kebebasan berpendapat: muncul ide-ide liberal seperti pendapat yang mengatakan bahwa syariah Islam, misalnya, jika diterapkan, akan mengganggu stabilitas, mengancam kemajemukan, menimbulkan disintegrasi, dll. Mereka yang berpendapat demikian, yang jelas-jelas melecehkan Islam, juga dibiarkan tanpa pernah bisa diajukan ke pengadilan. Itulah yang terjadi, khususnya di Indonesia saat ini, sebagaimana sering disuarakan oleh kalangan liberal.
Ketiga, akibat kebebasan kepemilikan: banyak sumberdaya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh individu, swasta atau pihak asing. Sejak tahun 60-an Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan UU Penanaman Modal Dalam Negeri (UU No. 6/1968). UU ini memberikan peluang kepada perusahaan swasta untuk menguasai 49 persen saham di sektor-sektor milik publik, termasuk BUMN. Tahun 90-an Pemerintah kemudian mengeluarkan PP No. 20/1994. Isinya antara lain ketentuan bahwa investor asing boleh menguasai modal di sektor-sektor milik publik, termasuk BUMN, hingga 95 persen. Kini, pada masa yang disebut dengan ‘Orde Reformasi’, privatisasi dan liberalisasi atas sektor-sektor milik publik semakin tak terkendali. Minyak dan gas, misalnya, yang seharusnya menjadi sumber utama pendapatan negara, 92%-nya sudah dikuasai oleh asing.
Keempat, akibat kebebasan berperilaku: Tersebarluasnya pornografi dan pornoaksi. Laporan kantor berita Associated Press (AP) menyebutkan, Indonesia berada di urutan kedua setelah Rusia yang menjadi surga bagi pornografi. (Republika, 17/7/03). Sudah banyak bukti, pornografi-pornoaks i memicu perilaku seks bebas. Berdasarkan sebuah penelitian, sebagian remaja di 4 kota besar Indonesia pernah melakukan hubungan seks, bahkan hal itu mereka lakukan pertama kali di rumah! (Detik.com, 26/1/05).
Khatimah
Dari paparan di atas, jelas bahwa sebagai negeri yang berpenduduk mayoritas Muslim, sebetulnya Indonesia harus malu; malu karena justru demokrasi yang dipuja-puji oleh pihak lain pada faktanya hanya memproduksi banyak keburukan.
Karena itu, belum saatnyakah kita mencampakkan demokrasi yang terbukti buruk dan menjadi sumber keburukan? Belum saatnyakah kita segera beralih pada aturan-aturan Allah, yakni syariah Islam, dan menerapkannya secara total dalam seluruh aspek kehidupan? Belum tibakah saatnya kita bertobat dan segera menyambut seruan Allah:
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَاْلأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
Bersegeralah kalian menuju ampunan dari Tuhan kalian dan menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa? (QS Ali Imran [3]: 133). []
Sumber: Buletin Al Islam Edisi Jum'at 16/11/2007
Sementara itu, Co Chairman Komite Konferensi IAPC, ke-40, Robert Murdoch, menambahkan, Selain sebagai penghargaan, dipilihnya Indonesia menjadi tempat pertemuan juga merupakan perwujudan perjuangan IAPC untuk mempromosikan demokrasi di seluruh dunia, ujar Robert. (web.bisnis.com, 13/11/07)
Antara “Demokrasi Prosedural” dan Sistem Demokrasi
Siapapun yang mengkaji demokrasi tentu tidak akan melupakan dua hal: “demokrasi prosedural” dan sistem demokrasi. “Demokrasi prosedural” di antaranya mewujud dalam partisipasi rakyat dalam Pemilu, transparansi dan akuntabilitas. Dalam konteks Pemilu, misalnya, sejak merdeka hingga hari ini, Indonesia sudah menyelenggarakan beberapa kali Pemilu. Yang terakhir adalah Pemilu 2004, yang dinilai paling demokratis dalam sejarah politik Indonesia dan relatif aman terkendali. Jadi, wajar belaka jika dari sisi ini, Indonesia dianggap sebagai salah satu negara paling demokratis.
Namun, jangan lupa, penilaian itu hanya menyangkut Pemilu sebagai salah satu instrumen “demokrasi prosedural”. Apalagi IAPC sendiri adalah lembaga yang hanya menganalisis Pemilu di seluruh dunia. (http://innphotoes.com, 13/11/07). Ini berarti, keberhasilan demokrasi Indonesia hanya dinilai dari tertibnya Pemilu 2004 saja.
Pemilu yang demokratis tentu tidak bisa dijadikan ukuran suksesnya sebuah negara, apalagi jika dikaitkan dengan persoalan kemakmuran warga negaranya, misalnya. Berdasarkan laporan penelitian Guru Besar Ilmu Politik University of California, Los Angeles (UCLA) Michael Ross, yang diberi judul, “Is Democracy Good for the Poor?” pemerintahan yang demokratis terbukti tidak mendorong perbaikan kesejahteraan kaum termiskin. Setidaknya itulah yang terjadi di 169 negara dalam kurun waktu 1970-2000. Di Indonesia sendiri, seiring dengan puja-puji atas Pemilu yang dianggap demokratis tersebut, laporan Bank Dunia justru menyebutkan bahwa sampai September tahun 2006 terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin hingga mencapai 17,5 persen dari total penduduk Indonesia atau sekitar 39 juta penduduk. Angka ini tidak jauh berbeda dengan temuan Biro Pusat Statistik (BPS) dari Februari 2005 sampai Maret 2006. Bahkan BPS menyatakan, pada Februari 2005, sekitar 30,29% penduduk hampir miskin menjadi jatuh miskin pada Maret 2006. Pada saat yang sama, 11,82% penduduk hampir tidak miskin pada Februari 2005, jatuh miskin pada Maret 2006 (Demografi, Oktober 2006).
Karena itu, Pemilu demokratis jelas tidak bisa dijadikan ukuran kesuksesan sebuah negara. Lebih dari itu, terlalu dangkal jika demokrasi dipahami sebatas “demokrasi prosedural” semacam ini, apalagi hanya dipahami lewat Pemilu, seraya mengabaikan demokrasi sebagai sistem (baca: sistem demokrasi), yang justru telah memproduksi banyak keburukan.
Hakikat Sistem Demokrasi
Sistem demokrasi di negara manapun selalu mencerminkan paling tidak dua hal: (1) Kedaulatan rakyat; (2) Jaminan atas kebebasan umum.
Kedaulatan rakyat.
Demokrasi identik dengan jargon “dari rakyat-oleh rakyat-untuk rakyat”. Secara teoretis memang demikian. Justru di sinilah pangkal persoalan demokrasi, khususnya jika dilihat dari sudut pandang ajaran Islam yang hanya mengakui “kedaulatan Hukum Syariah (Hukum Allah)”. Dalam demokrasi, rakyat (manusia) diberi kewenangan penuh untuk membuat hukum, termasuk membuat hukum yang bertentangan dengan aturan-aturan Allah (syariah). Inilah yang terjadi di negara-negara yang menerapkan demokrasi, termasuk Indonesia . Padahal dalam Islam, hanya Allah yang berhak menetapkan hukum (Lihat: QS an-An‘am [6]: 57), yakni dengan memberikan kewenangan kepada penguasa (khalifah) untuk mengadopsi hukum dari al-Quran dan as-Sunnah, dengan didasarkan pada ijtihad yang benar.
Adapun secara praktis, kedaulatan rakyat sebetulnya hanyalah ‘lipstik’. Faktanya, di Indonesia sendiri, yang berdaulat bukanlah rakyat, tetapi para elit wakil rakyat, termasuk elit penguasa, yang bahkan sering dipengaruhi oleh kepentingan para pemilik modal atau negara-negara asing. Tidak aneh jika banyak UU atau keputusan yang merupakan produk lembaga wakil rakyat (DPR) maupun Presiden—yang juga langsung dipilih oleh rakyat—sering bertabrakan dengan kemauan rakyat. Betapa sering kebijakan Pemerintah yang diamini para wakil rakyat justru didemo oleh rakyat sendiri.
Jaminan atas kebebasan umum.
Pertama: kebebasan beragama. Intinya, seseorang berhak meyakini suatu agama/keyakinan yang dikehendakinya tanpa tekanan atau paksaan. Dia berhak pula meninggalkan agama dan keyakinannya, lalu berpindah pada agama atau keyakinan baru.
Kedua: kebebasan berpendapat. Intinya, setiap individu berhak mengembangkan pendapat atau ide apapun dan bagaimanapun bentuknya tanpa tolok ukur halal-haram.
Ketiga: kebebasan kepemilikan. Intinya, seseorang boleh memiliki harta (modal) sekaligus mengembangkannya dengan sarana dan cara apa pun. Di Indonesia, pihak asing bahkan diberikan kebebasan untuk menguasai sumberdaya alam milik rakyat, antara lain melalui UU Migas, UU SDA, UU Penanaman Modal, dll.
Keempat: kebebasan berperilaku. Intinya, setiap orang bebas untuk berekspresi, termasuk mengekspresikan kemaksiatan seperti: membuka aurat di tempat umum, berpacaran, berzina, menyebarluaskan pornografi, melakukan pornoaksi, melakukan praktik homoseksual dan lesbianisme, dll.
Jelaslah, hakikat sistem demokrasi menjauhkan hukum Allah dan menanamkan liberalisasi.
Dampak Buruk Sistem Demokrasi
Dampak paling buruk dari penerapan sitem demokrasi tentu saja adalah tersingkirnya aturan-aturan Allah (syariah Islam) dari kehidupan masyarakat. Selama lebih dari setengah abad, negeri yang notabene berpenduduk mayoritas Muslim ini menerapkan sistem demokrasi. Selama itu pula syariah Islam selalu dicampakkan. Segala upaya untuk memformalkannya dalam negara selalu dihambat, baik pada masa Orde Lama, Orde Baru hingga Orde Reformasi saat ini.
Dampak buruk lainnya antara lain sebagai berikut:
Pertama, akibat kebebasan beragama: muncul banyak aliran sesat di Indonesia. Sejak 2001 hingga 2007, sedikitnya ada 250 aliran sesat yang berkembang di Indonesia. (Waspada.co.id, 1/11/07). Para penganut aliran-aliran tersebut seolah dibiarkan begitu saja oleh Pemerintah tanpa dikenai sanksi yang tegas.
Kedua, akibat kebebasan berpendapat: muncul ide-ide liberal seperti pendapat yang mengatakan bahwa syariah Islam, misalnya, jika diterapkan, akan mengganggu stabilitas, mengancam kemajemukan, menimbulkan disintegrasi, dll. Mereka yang berpendapat demikian, yang jelas-jelas melecehkan Islam, juga dibiarkan tanpa pernah bisa diajukan ke pengadilan. Itulah yang terjadi, khususnya di Indonesia saat ini, sebagaimana sering disuarakan oleh kalangan liberal.
Ketiga, akibat kebebasan kepemilikan: banyak sumberdaya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh individu, swasta atau pihak asing. Sejak tahun 60-an Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan UU Penanaman Modal Dalam Negeri (UU No. 6/1968). UU ini memberikan peluang kepada perusahaan swasta untuk menguasai 49 persen saham di sektor-sektor milik publik, termasuk BUMN. Tahun 90-an Pemerintah kemudian mengeluarkan PP No. 20/1994. Isinya antara lain ketentuan bahwa investor asing boleh menguasai modal di sektor-sektor milik publik, termasuk BUMN, hingga 95 persen. Kini, pada masa yang disebut dengan ‘Orde Reformasi’, privatisasi dan liberalisasi atas sektor-sektor milik publik semakin tak terkendali. Minyak dan gas, misalnya, yang seharusnya menjadi sumber utama pendapatan negara, 92%-nya sudah dikuasai oleh asing.
Keempat, akibat kebebasan berperilaku: Tersebarluasnya pornografi dan pornoaksi. Laporan kantor berita Associated Press (AP) menyebutkan, Indonesia berada di urutan kedua setelah Rusia yang menjadi surga bagi pornografi. (Republika, 17/7/03). Sudah banyak bukti, pornografi-pornoaks i memicu perilaku seks bebas. Berdasarkan sebuah penelitian, sebagian remaja di 4 kota besar Indonesia pernah melakukan hubungan seks, bahkan hal itu mereka lakukan pertama kali di rumah! (Detik.com, 26/1/05).
Khatimah
Dari paparan di atas, jelas bahwa sebagai negeri yang berpenduduk mayoritas Muslim, sebetulnya Indonesia harus malu; malu karena justru demokrasi yang dipuja-puji oleh pihak lain pada faktanya hanya memproduksi banyak keburukan.
Karena itu, belum saatnyakah kita mencampakkan demokrasi yang terbukti buruk dan menjadi sumber keburukan? Belum saatnyakah kita segera beralih pada aturan-aturan Allah, yakni syariah Islam, dan menerapkannya secara total dalam seluruh aspek kehidupan? Belum tibakah saatnya kita bertobat dan segera menyambut seruan Allah:
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَاْلأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
Bersegeralah kalian menuju ampunan dari Tuhan kalian dan menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa? (QS Ali Imran [3]: 133). []
Sumber: Buletin Al Islam Edisi Jum'at 16/11/2007
Wednesday, September 26, 2007
Islam Sebagai Pandangan Hidup
Kalau kita perhatikan apa yang dimuat dalam Al Quran dan Assunnah, maka kita akan dapati bahwa Allah dan RasulNya telah menetapkan berbagai perkara, bukan hanya perkara-perkara ibadah ritual dan urusan pribadi lainnya, tapi juga urusan2 publik.
Ketika Allah meerintahkan kita untuk mengerjakan shalat
وأقيموا الصلاة
Maka Allah juga mengatakan kepada kita
يا أيها الذين آمنوا لا تأكلوا الربا
Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian memakan riba
Dan ketika Allah memerintahkan
يا أيها الذين آمنوا كتب عليكم الصيام
Wahai orang yang beriman diwajibkan atas kalian untuk berpuasa
Maka Allah juga memerintahkan
يا أيها الذين آمنوا كتب عليكم القصاص في القتلى
Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kalian qishas dalam pembunuhan (QS 2: 178)
Inilah wajah Islam, wajah kesempurnaan, yang berasal dari Allah ’Azza Wa Jalla. Islam diturunkan oleh Allah kepada Rasulullah Muhammad SAW untuk mengatur segala peri kehidupan, mulai dari lingkup pribadi, bermasyarakat hingga bernegara.
Islam adalah suatu pola hidup yang khas, yang sangat berbeda dengan pola hidup lainnya. Islam mewajibkan pemeluknya untuk hiudp dalam satu warna kehidupan tertentu secara konstan, tidak berganti dan berubah karena situasi maupun kondisi. Islam mengharuskan mereka untuk selalu mengikatkan diri dengan pola kehidupan tersebut dengan membentuk suatu kepribadian, yang menjadikan jiwa dan pikiran mereka tidak akan merasakan ketenangan dan kebahagian kecuali berada dalam kehidupan tersebut.
Islam datang dengan serangkaian pemahaman tentang kehidupan yang membentuk pandangan hidup tertentu. Islam hadir dalam bentuk garis-garis hukum yang global (khuthuuth ’aridhah), yakni makna-makna tekstual yang umum, yang mampu memecahkan seluruh problem kehidupan manusia.
Pandangan hidup Islam terhimpun dalam hukum-hukum Islam, dan hukum-hukum islam telah memberikan cara untuk masalah perdagangan dengan metodenya yang khas, sebagaimana Islam menerangkan tata cara shalat. Islam mengatur masalah pernikahan dengan cara yang khas, sebagaimana Islam mengatur masalah zakat. Islampun menjelaskan cara-cara pemilikan harta benda berikut cara membelanjakannya dengan tata cara yang khas, sebagaimana menjelaskan masalah-masalah haji. Islamjuga memberikan perincian tentang transaksi dan mu’amalat dengan cara yang khas, sebagaimana menjelaskan masalah-masalah haji. Islam menjelaskan masalah-masalah pidana dan hudud sebagaimana Islam menjelaskan tentang kenikmatan jannah dan siksa jahannam.
Demikianlah padangan hidup Islam, mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan dengan manusia lain dan mengatur hubungan dengan Allah Rabbul Jalil. Maka dalam pandangan hidup Islam, manusia adalah mukallaf yang senantiasa menjadikan setiap urusan kehidupannya sebagai bentuk ibadah.
وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.(Ad-Dzariyat : 56)
Oleh karena itu, seorang muslim akan menjalani kehidupan ini dengan suatu pemahaman yang khas tentang kehidupan. Ia akan hidup dengan suatu corak dan pola kehidupan yang tertentu pula, sebagai konsekwensi dari kepemelukannya terhadap aqidah Islam, dan kewajibannya untuk mentaati perintah Allah ta’ala dan menjauhi larangannya.Jadi, memiliki suatu pemahaman tertentu tentang kehidupan dan menjalani suatu pola kehidupan tertentu adalah wajib bagi setiap muslim dan seluruh kaum muslimin, tanpa ada keraguan sedikitpun.
Maka perlu ditegaskan lagi, bahwa Islam bukan hanya sekedar agama ritual semata, bukan sekedar ide-ide teologi. Akan tetapi Islam adalah suatu metode kehidupan tertentu dimana setiap muslim dan seluruh kaum muslimin wajib menjalani kehidupannya sesuai dengan metode ini.
Kesempurnaan sebagai sebuah pandangan dan meode kehidupan yang berasal dari Allah yang Maha Tahu membuat Islam dan pemeluknya tidak membutuhkan tambahan aturan dan sistem yang berasal dari aqidah, sistem dan peradaban selain islam. Islam tidak membutuhkan cara peribadatan dengan memakai perantara seperti yang dilakukan agama lain, sebagaimana Islam juga tidak membutuhkan model-model sistem seperti demokrasi dan pluralisme.
ومن يبتغ غير الإسلام دينا فلن يقبل منه وهو في الآخرة من الخاسرين
Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (Ali Imran : 85)
Ketika Allah meerintahkan kita untuk mengerjakan shalat
وأقيموا الصلاة
Maka Allah juga mengatakan kepada kita
يا أيها الذين آمنوا لا تأكلوا الربا
Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian memakan riba
Dan ketika Allah memerintahkan
يا أيها الذين آمنوا كتب عليكم الصيام
Wahai orang yang beriman diwajibkan atas kalian untuk berpuasa
Maka Allah juga memerintahkan
يا أيها الذين آمنوا كتب عليكم القصاص في القتلى
Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kalian qishas dalam pembunuhan (QS 2: 178)
Inilah wajah Islam, wajah kesempurnaan, yang berasal dari Allah ’Azza Wa Jalla. Islam diturunkan oleh Allah kepada Rasulullah Muhammad SAW untuk mengatur segala peri kehidupan, mulai dari lingkup pribadi, bermasyarakat hingga bernegara.
Islam adalah suatu pola hidup yang khas, yang sangat berbeda dengan pola hidup lainnya. Islam mewajibkan pemeluknya untuk hiudp dalam satu warna kehidupan tertentu secara konstan, tidak berganti dan berubah karena situasi maupun kondisi. Islam mengharuskan mereka untuk selalu mengikatkan diri dengan pola kehidupan tersebut dengan membentuk suatu kepribadian, yang menjadikan jiwa dan pikiran mereka tidak akan merasakan ketenangan dan kebahagian kecuali berada dalam kehidupan tersebut.
Islam datang dengan serangkaian pemahaman tentang kehidupan yang membentuk pandangan hidup tertentu. Islam hadir dalam bentuk garis-garis hukum yang global (khuthuuth ’aridhah), yakni makna-makna tekstual yang umum, yang mampu memecahkan seluruh problem kehidupan manusia.
Pandangan hidup Islam terhimpun dalam hukum-hukum Islam, dan hukum-hukum islam telah memberikan cara untuk masalah perdagangan dengan metodenya yang khas, sebagaimana Islam menerangkan tata cara shalat. Islam mengatur masalah pernikahan dengan cara yang khas, sebagaimana Islam mengatur masalah zakat. Islampun menjelaskan cara-cara pemilikan harta benda berikut cara membelanjakannya dengan tata cara yang khas, sebagaimana menjelaskan masalah-masalah haji. Islamjuga memberikan perincian tentang transaksi dan mu’amalat dengan cara yang khas, sebagaimana menjelaskan masalah-masalah haji. Islam menjelaskan masalah-masalah pidana dan hudud sebagaimana Islam menjelaskan tentang kenikmatan jannah dan siksa jahannam.
Demikianlah padangan hidup Islam, mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan dengan manusia lain dan mengatur hubungan dengan Allah Rabbul Jalil. Maka dalam pandangan hidup Islam, manusia adalah mukallaf yang senantiasa menjadikan setiap urusan kehidupannya sebagai bentuk ibadah.
وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.(Ad-Dzariyat : 56)
Oleh karena itu, seorang muslim akan menjalani kehidupan ini dengan suatu pemahaman yang khas tentang kehidupan. Ia akan hidup dengan suatu corak dan pola kehidupan yang tertentu pula, sebagai konsekwensi dari kepemelukannya terhadap aqidah Islam, dan kewajibannya untuk mentaati perintah Allah ta’ala dan menjauhi larangannya.Jadi, memiliki suatu pemahaman tertentu tentang kehidupan dan menjalani suatu pola kehidupan tertentu adalah wajib bagi setiap muslim dan seluruh kaum muslimin, tanpa ada keraguan sedikitpun.
Maka perlu ditegaskan lagi, bahwa Islam bukan hanya sekedar agama ritual semata, bukan sekedar ide-ide teologi. Akan tetapi Islam adalah suatu metode kehidupan tertentu dimana setiap muslim dan seluruh kaum muslimin wajib menjalani kehidupannya sesuai dengan metode ini.
Kesempurnaan sebagai sebuah pandangan dan meode kehidupan yang berasal dari Allah yang Maha Tahu membuat Islam dan pemeluknya tidak membutuhkan tambahan aturan dan sistem yang berasal dari aqidah, sistem dan peradaban selain islam. Islam tidak membutuhkan cara peribadatan dengan memakai perantara seperti yang dilakukan agama lain, sebagaimana Islam juga tidak membutuhkan model-model sistem seperti demokrasi dan pluralisme.
ومن يبتغ غير الإسلام دينا فلن يقبل منه وهو في الآخرة من الخاسرين
Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (Ali Imran : 85)
Friday, September 14, 2007
MENGUAK FUNDAMENTALISME
Oleh : Fadhli Yafas
Walaupun tidak dikenal dalam sejarah Islam, saat ini fundamentalisme menjadi salah terma yang sering dikaitkan dengan Islam. Kondisi ini serupa dengan terma-terma lain seperti demokrasi, sekulerisme, sosialisme dan sebagainya. Walaupun tidak memiliki akar dalam Islam, terma-terma tersebut sering diasosiasikan dengan Islam sehingga munculah kemudian istilah-istilah seperti fundamentalisme Islam, demokrasi Islami, sosialisme Islam dan sebagainya.
Berkenaan dengan fundamentalisme, terma ini bukan sekedar terma akademis atau terma sosiologis yang bebas nilai. Fundamentalisme merupakan sebuah sikap dan pandangan hidup yang dimunculkan pada abad 19 masehi oleh orang-orang Kristen protestan. Sikap dan pandangan hidup ini merupakan reaksi mereka terhadap penerapan sekularisme dan kemajuan ilmu pengetahuan di Eropa. Penerapan sekularisme dan kemajuan ilmu pengetahuan telah membuat apa yang mereka yakini dalam injil menjadi terkoreksi. Apalagi kemudian dengan potensi masalah teks yang dimilki injil , berkembang kemudian tafsir teks injil yang menggabungkan nilai-nilai sekuler dengan metodologi intepretasi pembacaan teks yang berbasis pada filsafat yunani yaitu hermeneutika. Dengan metodologi tafsir ini keberadaan injil, dan bahkan Tuhan, tidak lagi menjadi sakral, karena dalam konsep ini keberadaan teks injil dianggap sama dengan teks-teks lain, tidak sakral dan tidak dipakai makna literalnya. Dan memang pada faktanya kemudian Injil tidak mampu lagi menyajikan solusi praktis terhadap dinamika kehidupan yang dihasilkan oleh kemajuan ilmu teknologi. Hasil-hasil intepretasi Injil atau Bible menghasilkan kesenjangan dengan kemajuan ilmu pengetahuan.
Kondisi ini kemudian mendorong gerakan Protestan untuk mengambil langkah menolak kemajuan materi dan peradaban barat . Kemudian mereka juga membentuk sejumlah organisasi pada 1902 yang dikenal dengan nama The Society of The Holy Scripture. Organisasi ini menerbitkan 12 penerbitan dengan nama Fundamentals . Gerakan ini dirancang oleh kaum protestan untuk melindungi kitab suci mereka dari proses desakralisasi oleh para penafsir liberal. Selain The Society of The Holy Scripture, kemudian didirikan juga Lembaga Kristen Fundamentalis Internasional dan Perhimpunan Fundamentalis Nasional pada tahun 1919 . Inilah akar fundamentalisme, sebuah pandangan hidup yang lahir sebagai reaksi atas kemajuan ilmu pengetahuan dan penafsiran injil yang menafikan makna literal injil.
Dengan melihat sejarah fundamentalisme jelaslah bahwa konsepsi ini merupakan sebuah pandangan hidup orang Protestan kala itu. Dan sebagai sebuah pandangan hidup, jelas terma fundamentalisme bukankah sebuah terma yang netral dan bebas nilai. Konsepsi ini jelas-jelas memiliki muatan nilai-nilai pandangan teologi Kristen.Dan saat ini, bagi orang kebanyakan orang Kristen sendiri menurut John L.Esposito, sebutan fundamentalisme merupakan sebuah hinaan .
Walau nyata-nyata fundamentalisme merupakan sebuah pandangan hidup yang khas dari orang Protestan, belakangan kaum orientalis dan para liberalis yang tinggal di negeri kaum muslimin, teramat sering mengaitkan antara fundamentalisme dengan Islam. Sepertinya mereka mencoba untuk melemparkan hinaan itu kepada kaum muslimin juga. Bagi mereka, terdapat irisan antara konsepsi fundamentalisme dengan keberadaan beberapa kelompok kaum muslimin. Dengan alasan bahwa kaum muslimin tersebut melakukan beberapa hal yang dilakukan oleh orang Protestan dulu yaitu : 1) Mereka menolak metode tafsir hermeneutic sekuler dalam menafsirkan Kitab Suci; 2) Menolak keberadaan paham Liberalis Sekuler.
Kalau kita betul-betul pahami akar permasalahannya, maka tuduhan fundamentalisme terhadap kaum muslimin adalah suatu hal yang keliru dan sembrono. Penyebab utama dari munculnya fundamentalisme adalah ancaman desakralisasi terhadap bible (injil) akibat tafsir hermeneutika-sekuler.
Hermeneutika sendiri bukanlah konsep asli teologi Kristen. Konsep ini merupakan serapan dari filsafat Yunani . Konsep ini misalnya dapat ditemukan dalam karya Plato (429-347) Politikos, Epinomis,Defitione dan Timeus. Dahulu, orang-orang Yunani menggunakannya sebagai sutu metodologi intepretasi teks-teks karya sastra dan mitos-mitos yang bersifat Ketuhanan (divine). Salah satu model hermeneutika yang berkembang adalah intepretasi allegoris yaitu sebuah metode memahami teks dengan mencari makna yang lebih dari sekedar pengertian literal (tekstual). Metode ini dikembangkan oleh Stoicisme (300 SM).
Secara umum hermeneutika kemudian diadopsi kalangan Kristen dan Yahudi. Adapun penyebab diadopsinya metode ini pada awalnya diakibatkan oleh permasalahan yang dimiliki oleh Bible. Minimal ada dua problem pada Bible yang menyebabkan diadopsinya hermeneutika.
a. Problem pada teks Bible
Dalam lingkup teks pada Bible terdapat tiga bahasa yang digunakan. Bahasa Hebrew sebagai bahasa asal kitab perjanjian lama (old testament), bahasa Yunani (Greek) sebagai asal kitab perjanjian baru (new testament) dan bahasa Aramaic, bahasa yang digunakan oleh Yesus. Problem timbul ketika hendak menerjemahkan dan menafsirkan Bible kedalam bahasa lain.
Kitab Perjanjian lama misalnya. Bahasa Hebrew yang digunakan pada kitab ini adalah bahasa kuno yang tidak digunakan lagi dan tidak ditemukan seorangpun native dalam bahasa ini. Maka untuk dapat memahami Hebrew Bible ini, para teolog Kristen dan Yahudi menggunakan bahasa serumpun dengan Hebrew (rumpun semitic) yaitu bahasa Arab . Disinilah kemudian hermeneutika digunakan. Sebagai jembatan yang diharapkan bisa menangkap makna yang dikandung Bible. Namun kalau diperhatikan, sebenarnya tidak lebih dari sekedar akal-akalan dari orang Kristen dan Yahudi. Tidak dikuasainya bahasa Hebrew sudah jelas membuat mereka tidak akan bisa memahami makna literal dari Bible. Penggunaan hermeneutika tidak lebih dari sekedar sebuah upaya menutupi kelemahan Bible dan sebuah upaya agar Bible masih dapat dipakai.
b. Masalah Orisinalitas
Walau merupakan kitab yang sangat tua, Hebrew Bible masih merupakan misteri yang belum terpecahkan, yaitu berkenaan dengan siapa yang menulis kitab ini. Kondisi ini juga diperparah dengan banyaknya kontradiksi dalam Bible ini. Hebrew Bible ini, sebagaimana dikutip Prof. Dr. Wan Mohd Nor, menurut para cendekiawan mereka, tidaklah dibangun sepenuhnya atas dasar ilmiah historis yang menunjukkan keasliannya, tapi berdasrkan pada kepercayaan belaka . Permasalahan orisinilitas ini juga pernah diungkap Al Quran dalam Al Baqarah ayat 79.
Demikian juga dengan New Testament. Kitab yang berbahasa asli Yunani ini memiliki versi manuskrip yang sangat banyak. Bruce M. Metzer menyebutkan terdapat sekitar 5000 manuskrip teks Greek Bible yang berbeda satu dengan yang lainnya. . Hal ini tentu akan menyebabkan banyak ”lubang” ketika kitab-kitab ini di intepretasikan. Disinilah fungsi hermenutika, membuat agar kontradiksi-kontradiksi yang terdapat pada Bible bisa dikompromikan dengan rekayasa makna dan untuk menjaga agar Bible tetap dianggap sebagai kitab keagamaan mereka.
Pada perkembangan berikutnya metode hermeneutika yang diadopsi Kristen berkembang menjadi dua metode utama, metode alegoris (metode simbolik) yang dipengaruhi hermeneutika Plato dan berpusat di Alexandria dan metode literal (yang menekankan pada arti jelas dan harfiah sebuah teks) yang dipengaruhi hermeneutika Aristoteles yang berpusat di Antioch. Hermeneutika alegoris mendominasi pada masa-masa awal masa kristianitas sekitar abad ke-2 M. Adalah Origen (185-254) yang dapat dianggap sebagai pelopor diadopsinya hermeneutika kedalam teologi Kristen. Ia mengembangkan metode alegoris yang disusun oleh Philo (25 SM-50 M) dari Alexandria. Pada masa ini juga merupakan masa-masa awal dominasi teologi Kristen terhadap filsafat. Pada masa ini keruntuhan kekaisaran Romawi terjadi.
Inilah masa-masa yang kemudian dikenal sebagai masa kegelapan Eropa. Pada masa ini pula Gereja Katolik Romawi berkuasa secara politik. Kepausan dengan mantap memperluas kekuasaannya. Sementara itu, Hermenuetika Aristoteles mendapat tempat pada masa-masa skolatisisme yang tampil pada abad XI. Pada masa ini berlanjut masa dimana para pejabat gereja memegang otoritas tertinggi, bukan hanya dalam masalah keagamaan, tetapi juga dalam masalah ilmu pengetahuan. Tokoh yang terkenal dari masa ini adalah Thomas Aquinas (1225-1274). Ajarannya banyak menekankan pada hermeneutika literal dan menolak intepretasi alegoris ala Plato.
Walaupun telah memakai hermeneutika, ternyata hal ini tidak otomatis menyelesaikan permasalahan Bible dalam teologi Kristen. Berkembang misalnya perbedaan pendapat apakah Bible merupakan kalam Tuhan atau merupakan hasil tulisan dan intepretasi tokoh-tokoh dalam teologi Kristen? Berkembang pula tradisi-tradisi gereja seperti api pencucian, misa dan indulgensi (praktek penjualan pengampunan dosa) oleh paus, yang kemudian dianggap sebagai tradisi Kristen dan merupakan sumber keimanan disamping Bible. Hal ini yang mendorong Marthin Luther (1483-1546) melakukan pemberontakan terhadap gereja Katholik. Gerakan Martin Luther ini dianggap sebagai pendorong terjadinya reformasi Kristen sekaligus sebagai awal berkembangnya sekte Protestan dalam teologi Kristen. Dalam pemikiran teologinya, gerakan Protestan ini menekankan penggunaan metode hermeneutika literal dalam memahami Bible. Namun lagi-lagi gerakan reformasi ini tetap belum sepenuhnya bisa memuaskan orang-orang Kristen. Hermeneutika literal yang diusung gerakan Protestan tetap tidak dapat memecahkan persoalan kesulitan bacaan suatu paragrap Bible. Demikian juga, hermeneutika literal tidak dapat mengelak dari intepretasi yang arbitraryly yang pada masa-masa itu sudah mulai meresahkan.
Walaupun saling bertentangan, pihak gereja Katholik dan Protestan sama-sama tergagap ketika menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan yang mulai terjadi pada abad XV dan XVI. Sikap ini misalnya terlihat ketika mereka sama-sama menolak penemuan ilmiah Johannes Kepler (1571-1630) tentang lintasan planet yang berbentuk elips dan teori Galileo Galilei (1569-1624) yang memperkuat pendapat Copernicus tentang bumi yang mengelilingi matahari (heliocentric). Terjadinya gap antara intepretasi Bible—dengan segala model hermeneutika—dengan penemuan-penemuan ilmiah membawa kepada konsekwensi runtuhnya kepercayaan terhadap Bible dan pola-pola intepretasi model lama, hermeneutika tradisional—baik model Plato maupun cara Aristoteles—dianggap tidak memadai lagi untuk dipakai. Disinilah kemudian era hermenutika liberal mulai dikembangkan. Spirit utama dari era ini adalah pembebasan diri dari hegemoni intepretasi pihak gereja dan dari tradisi-tradisi Kristen yang irrasional. Fokus utama dari metode ini adalah bagaimana menerjemahkan dan menangkap realitas yang ada pada teks kuno Bible ke dalam bahasa yang difahami oleh manusia modern.
Salah satu tokoh utama dari proyek hermeneutika modern ini adalah Schleiermacher (1768-1834). Pemahaman hermeneutikanya membahas dua lingkup, yaitu pemahaman ketatabahasaan (gramatikal) dan kedua pemahaman terhadap kondisi psikologis pengarang. Dalam kondisi pemahaman terhadap pengarang ini Schleiermacher menyebutkan bahwa seorang interpreter yang baik adalah yang berhasil memahami kondisi pengarang sebaik dan—bahkan melebihi—pengarang tersebut memahami dirinya, karena interpreter dapat merekonstruksi segala motivasi dan asumsi yang tersebunyi dari pengarang sehingga membuka selubung segala motivasi dan strategi yang tersembunyi dari si pengarang. Konsekwensi dari teori ini adalah seorang intepreter dapat mereproduksi ulang sebuah isi kitab lebih baik dari pengarang terdahulu karena ia telah memahami segala motivasi dan situasi strategis yang melingkupi pengarang terdahulu. Selain itu terbuka juga peluang desakralisasi terhadap teks yang bersifat divine (yang berasal dari Tuhan), karena metode ini menyamaratakan semua teks, semua teks adalah produksi dari pengarangnya dan dapat diberi perlakukan yang sama.
Disinilah mulai terlihat semangat liberalisasi intepretasi Bible. Jika dahulu intepretasi Biblelah yang mengatur kebebasan berfikir, tapi pada zaman ini kebebasan berfikirlah yang menentukan bagaimana intepretasi dari Bible. Hal ini seperti yang disebutkan Spinoza (1632-1677) dalam Tractus Theologica Politicus, dia menyebutkan bahwa standar exegesis (intepretasi) untuk Bible hanyalah akal yang dapat diterima oleh semua.
Gerakan liberalisasi Bible inilah yang ditentang Protestan ortodok. Mereka menetapkan prinsip-prinsip fundamentalisme pada konferensi Bible di Niagara 1878 dan konferensi Presbyterian pada tahun 1910. Mereka juga mengaku mendapatkan ajaran langsung dari Tuhan dan mengarah pada pola hidup eksklusif dan menjauhi interaksi dengan kehidupan sosial yang ada, menolak interaksi dengan kenyataan hidup, memusuhi akal, fikiran ilmiah dan penemuan-penenemuan ilmiah. Dengan sikap seperti itu tidak heran sebagaimana yang disampaikan Esposito bahwa bagi masyarakat barat sebutan fundamentalisme pada saat ini adalah sebuah hinaan.
Jadi dimanakah adanya irisan antara sejarah fundamentalisme ini dengan Islam? Sama sekali tidak ada. Kalau dikatakan disebabkan penolakan terhadap hermeneutika sebagai alasan untuk melabelkan fundamentalisme kepada beberapa kelompok kaum muslimin, sudah barang tentu ini adalah tuduhan yang serampangan. Islam tidak memerlukan hermeneutika sebagaimana orang-orang Kristen ketika berinteraksi dengan kitab sucinya. Kitab suci kaum muslimin—yaitu Al Quran—sama sekali tidak memiliki problem teks sebagaimana bible. Al Quran sejak zaman diturunkan kepada Muhammad SAW hingga sekarang tidak memiliki permasalahan dalam hal orisinalitas Kemudian dalam intepretasi, Islam memiliki metodologi tersendiri, sehingga sama sekali tidak membutuhkan hermeneutika. Lagi pula karakteristik hermenutika yang bersumber dari dongeng-dongeng Yunani ( bukankah mitologi dapat disamakan dengan dongeng?, bahkan hermeneutika sendiri berasal dari nama tokoh dongeng Yunani, Hermes) tentu sama sekali tidak layak disentuhkan dengan Al Quran yang berasal dari Allah SWT. Dan metodologi intepretasi atau tafsir ini telah diterapkan sejak zaman Islam berkuasa dulu, dan sama sekali tidak ada satupun catatan sejarah yang bercerita mengenai adanya pertentangan antara hasil intepretasi Ulama terdahulu dengan kemajuan yang dicapai kaum muslimin. Pada masa itu juga ilmu pengetahuan berkembang dengan sangat baik. Bahkan yang terjadi adalah justru Islam yang mengubah kehidupan para pengembara dan pedagang padang pasir menjadi penguasa dunia. Ditangan mereka kemudian muncul banyak penemuan-penemuan ilmiah. Disnilah perbedaan Al Qur`an dan Bible. Penerapan Bible malah mengakibatkan kemunduran berfikir, sebaliknya Al Qur`an menghasilkan peradaban yang gilang gemilang, Disinilah Al Qura`an berfungsi secara sempurna yaitu menjadi pegangan yang mencerahkan, Allah berfirman:
Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur`an) sebagai penjelas segala sesuatu (QS An-Nahl :89)
Dan semuanya tanpa ada pertentangan dengan tafsir Al Quran sama sekali. Dan harus diingat kondisi ini berjarak cukup jauh dengan zaman pertama kali Al Quran turun, sampai ribuan tahun. Maka untuk permasalahan intepretasi teks ini bisa disimpulkan; 1)Islam sama sekali tidak membutuhkan metodologi hermeneutika dalam hal intepretasi, karena Islam memiliki metodologi intepretasi sendiri. Dipakainya hermeneutika sebagai metodologi tidak lebih disebabkan oleh kebingungan orang-orang Kristen dalam menyikapi kondisi teks Bible yang bermasalah dalam teksnya. Tidak heran mereka kemudian berpaling kepada hermeneutika—sebuah cara intepretasi yang berasal dari Yunani—karena Bible telah dipenuhi oleh sentuhan pemikiran dan filsafat Yunani, termasuk bahasa dalam Bible itu sendiri; 2) Metodologi intepretasi kitab suci versi ulama Islam terbukti bisa menyeiring dengan kemajuan teknologi dan Ilmu pengetahuan.
Sementara berkenaan dengan penolakan sekulerisme dan liberalisme, sudah barang tentu penolakan itu akan terjadi. Konsep sekulerisme yang hanya mengakui agama untuk private domain dan tidak untuk public domain bertentangan secara diametral dengan konsep Islam yang telah diterapkan selama ribuan tahun. Semua konteks kehidupan baik pribadi maupun kemasyarakatan (public) diatur dalam Islam. Bahkan Islam memiliki system kenegaraan sendiri yang disebut dengan Khilafah, sebagaimana sekulerisme memiliki Demokrasi. Wajar sajalah jika sekulerisme—yang menghendaki pemisahan antara islam dengan pengaturan kenegaraan—tertolak dalam Islam, sebagaimana tertolaknya juga Liberalisme. Sikap hidup yang mendewakan keinginan dan nafsu manusia ini sama sekali tidak ada tempat dalam Islam. Dalam islam segala keinginan dan nafsu harus tunduk dengan syariat islam, karena Islam hendak membedakan antara manusia dengan binatang.
Penolakan terhadap sekulerisme dan liberalisme oleh Islam bukan karena latah terhadap orang-orang protestan. Jauh sebelum orang protestan melakukannya islam telah memiliki konsep yang bertentangan dengan sekulerisme, bahkan konsep Islam tersebut ada jauh sebelum Sekulerisme dan Liberalisme muncul di Eropa.
Dengan ini maka pelabelan fundamentalisme terhadap kaum muslimin yang menolak tafsir hermeneutika dan sekulerisme-liberalisme adalah hal yang tidak beralasan bahkan konyol. Jika mereka—orang-orang kafir dan kaum liberal yang tinggal dinegeri islam—tetap memaksakan melabelkan fundamentalisme kepada kaum muslimin, maka ada kemungkinan mereka adalah orang-orang yang memiliki cara berfikir yang disebut sebagai fallacy of dramatic instance. Dalam pola berfikir ini, jika mereka menemukan hal yang sama dalam dua hal yang berbeda maka mereka langsung menganggap dua hal tersebut ada kesamaan. Bisa juga hal tersebut merupakan sebuah kesengajaan yang memiliki target, munculnya kesan bahwa penentang sekulerisme-liberalisme adalah orang-orang yang memiliki citra jelek, anti kemajuan dan Ilmu pengetahuan.
Walaupun tidak dikenal dalam sejarah Islam, saat ini fundamentalisme menjadi salah terma yang sering dikaitkan dengan Islam. Kondisi ini serupa dengan terma-terma lain seperti demokrasi, sekulerisme, sosialisme dan sebagainya. Walaupun tidak memiliki akar dalam Islam, terma-terma tersebut sering diasosiasikan dengan Islam sehingga munculah kemudian istilah-istilah seperti fundamentalisme Islam, demokrasi Islami, sosialisme Islam dan sebagainya.
Berkenaan dengan fundamentalisme, terma ini bukan sekedar terma akademis atau terma sosiologis yang bebas nilai. Fundamentalisme merupakan sebuah sikap dan pandangan hidup yang dimunculkan pada abad 19 masehi oleh orang-orang Kristen protestan. Sikap dan pandangan hidup ini merupakan reaksi mereka terhadap penerapan sekularisme dan kemajuan ilmu pengetahuan di Eropa. Penerapan sekularisme dan kemajuan ilmu pengetahuan telah membuat apa yang mereka yakini dalam injil menjadi terkoreksi. Apalagi kemudian dengan potensi masalah teks yang dimilki injil , berkembang kemudian tafsir teks injil yang menggabungkan nilai-nilai sekuler dengan metodologi intepretasi pembacaan teks yang berbasis pada filsafat yunani yaitu hermeneutika. Dengan metodologi tafsir ini keberadaan injil, dan bahkan Tuhan, tidak lagi menjadi sakral, karena dalam konsep ini keberadaan teks injil dianggap sama dengan teks-teks lain, tidak sakral dan tidak dipakai makna literalnya. Dan memang pada faktanya kemudian Injil tidak mampu lagi menyajikan solusi praktis terhadap dinamika kehidupan yang dihasilkan oleh kemajuan ilmu teknologi. Hasil-hasil intepretasi Injil atau Bible menghasilkan kesenjangan dengan kemajuan ilmu pengetahuan.
Kondisi ini kemudian mendorong gerakan Protestan untuk mengambil langkah menolak kemajuan materi dan peradaban barat . Kemudian mereka juga membentuk sejumlah organisasi pada 1902 yang dikenal dengan nama The Society of The Holy Scripture. Organisasi ini menerbitkan 12 penerbitan dengan nama Fundamentals . Gerakan ini dirancang oleh kaum protestan untuk melindungi kitab suci mereka dari proses desakralisasi oleh para penafsir liberal. Selain The Society of The Holy Scripture, kemudian didirikan juga Lembaga Kristen Fundamentalis Internasional dan Perhimpunan Fundamentalis Nasional pada tahun 1919 . Inilah akar fundamentalisme, sebuah pandangan hidup yang lahir sebagai reaksi atas kemajuan ilmu pengetahuan dan penafsiran injil yang menafikan makna literal injil.
Dengan melihat sejarah fundamentalisme jelaslah bahwa konsepsi ini merupakan sebuah pandangan hidup orang Protestan kala itu. Dan sebagai sebuah pandangan hidup, jelas terma fundamentalisme bukankah sebuah terma yang netral dan bebas nilai. Konsepsi ini jelas-jelas memiliki muatan nilai-nilai pandangan teologi Kristen.Dan saat ini, bagi orang kebanyakan orang Kristen sendiri menurut John L.Esposito, sebutan fundamentalisme merupakan sebuah hinaan .
Walau nyata-nyata fundamentalisme merupakan sebuah pandangan hidup yang khas dari orang Protestan, belakangan kaum orientalis dan para liberalis yang tinggal di negeri kaum muslimin, teramat sering mengaitkan antara fundamentalisme dengan Islam. Sepertinya mereka mencoba untuk melemparkan hinaan itu kepada kaum muslimin juga. Bagi mereka, terdapat irisan antara konsepsi fundamentalisme dengan keberadaan beberapa kelompok kaum muslimin. Dengan alasan bahwa kaum muslimin tersebut melakukan beberapa hal yang dilakukan oleh orang Protestan dulu yaitu : 1) Mereka menolak metode tafsir hermeneutic sekuler dalam menafsirkan Kitab Suci; 2) Menolak keberadaan paham Liberalis Sekuler.
Kalau kita betul-betul pahami akar permasalahannya, maka tuduhan fundamentalisme terhadap kaum muslimin adalah suatu hal yang keliru dan sembrono. Penyebab utama dari munculnya fundamentalisme adalah ancaman desakralisasi terhadap bible (injil) akibat tafsir hermeneutika-sekuler.
Hermeneutika sendiri bukanlah konsep asli teologi Kristen. Konsep ini merupakan serapan dari filsafat Yunani . Konsep ini misalnya dapat ditemukan dalam karya Plato (429-347) Politikos, Epinomis,Defitione dan Timeus. Dahulu, orang-orang Yunani menggunakannya sebagai sutu metodologi intepretasi teks-teks karya sastra dan mitos-mitos yang bersifat Ketuhanan (divine). Salah satu model hermeneutika yang berkembang adalah intepretasi allegoris yaitu sebuah metode memahami teks dengan mencari makna yang lebih dari sekedar pengertian literal (tekstual). Metode ini dikembangkan oleh Stoicisme (300 SM).
Secara umum hermeneutika kemudian diadopsi kalangan Kristen dan Yahudi. Adapun penyebab diadopsinya metode ini pada awalnya diakibatkan oleh permasalahan yang dimiliki oleh Bible. Minimal ada dua problem pada Bible yang menyebabkan diadopsinya hermeneutika.
a. Problem pada teks Bible
Dalam lingkup teks pada Bible terdapat tiga bahasa yang digunakan. Bahasa Hebrew sebagai bahasa asal kitab perjanjian lama (old testament), bahasa Yunani (Greek) sebagai asal kitab perjanjian baru (new testament) dan bahasa Aramaic, bahasa yang digunakan oleh Yesus. Problem timbul ketika hendak menerjemahkan dan menafsirkan Bible kedalam bahasa lain.
Kitab Perjanjian lama misalnya. Bahasa Hebrew yang digunakan pada kitab ini adalah bahasa kuno yang tidak digunakan lagi dan tidak ditemukan seorangpun native dalam bahasa ini. Maka untuk dapat memahami Hebrew Bible ini, para teolog Kristen dan Yahudi menggunakan bahasa serumpun dengan Hebrew (rumpun semitic) yaitu bahasa Arab . Disinilah kemudian hermeneutika digunakan. Sebagai jembatan yang diharapkan bisa menangkap makna yang dikandung Bible. Namun kalau diperhatikan, sebenarnya tidak lebih dari sekedar akal-akalan dari orang Kristen dan Yahudi. Tidak dikuasainya bahasa Hebrew sudah jelas membuat mereka tidak akan bisa memahami makna literal dari Bible. Penggunaan hermeneutika tidak lebih dari sekedar sebuah upaya menutupi kelemahan Bible dan sebuah upaya agar Bible masih dapat dipakai.
b. Masalah Orisinalitas
Walau merupakan kitab yang sangat tua, Hebrew Bible masih merupakan misteri yang belum terpecahkan, yaitu berkenaan dengan siapa yang menulis kitab ini. Kondisi ini juga diperparah dengan banyaknya kontradiksi dalam Bible ini. Hebrew Bible ini, sebagaimana dikutip Prof. Dr. Wan Mohd Nor, menurut para cendekiawan mereka, tidaklah dibangun sepenuhnya atas dasar ilmiah historis yang menunjukkan keasliannya, tapi berdasrkan pada kepercayaan belaka . Permasalahan orisinilitas ini juga pernah diungkap Al Quran dalam Al Baqarah ayat 79.
Demikian juga dengan New Testament. Kitab yang berbahasa asli Yunani ini memiliki versi manuskrip yang sangat banyak. Bruce M. Metzer menyebutkan terdapat sekitar 5000 manuskrip teks Greek Bible yang berbeda satu dengan yang lainnya. . Hal ini tentu akan menyebabkan banyak ”lubang” ketika kitab-kitab ini di intepretasikan. Disinilah fungsi hermenutika, membuat agar kontradiksi-kontradiksi yang terdapat pada Bible bisa dikompromikan dengan rekayasa makna dan untuk menjaga agar Bible tetap dianggap sebagai kitab keagamaan mereka.
Pada perkembangan berikutnya metode hermeneutika yang diadopsi Kristen berkembang menjadi dua metode utama, metode alegoris (metode simbolik) yang dipengaruhi hermeneutika Plato dan berpusat di Alexandria dan metode literal (yang menekankan pada arti jelas dan harfiah sebuah teks) yang dipengaruhi hermeneutika Aristoteles yang berpusat di Antioch. Hermeneutika alegoris mendominasi pada masa-masa awal masa kristianitas sekitar abad ke-2 M. Adalah Origen (185-254) yang dapat dianggap sebagai pelopor diadopsinya hermeneutika kedalam teologi Kristen. Ia mengembangkan metode alegoris yang disusun oleh Philo (25 SM-50 M) dari Alexandria. Pada masa ini juga merupakan masa-masa awal dominasi teologi Kristen terhadap filsafat. Pada masa ini keruntuhan kekaisaran Romawi terjadi.
Inilah masa-masa yang kemudian dikenal sebagai masa kegelapan Eropa. Pada masa ini pula Gereja Katolik Romawi berkuasa secara politik. Kepausan dengan mantap memperluas kekuasaannya. Sementara itu, Hermenuetika Aristoteles mendapat tempat pada masa-masa skolatisisme yang tampil pada abad XI. Pada masa ini berlanjut masa dimana para pejabat gereja memegang otoritas tertinggi, bukan hanya dalam masalah keagamaan, tetapi juga dalam masalah ilmu pengetahuan. Tokoh yang terkenal dari masa ini adalah Thomas Aquinas (1225-1274). Ajarannya banyak menekankan pada hermeneutika literal dan menolak intepretasi alegoris ala Plato.
Walaupun telah memakai hermeneutika, ternyata hal ini tidak otomatis menyelesaikan permasalahan Bible dalam teologi Kristen. Berkembang misalnya perbedaan pendapat apakah Bible merupakan kalam Tuhan atau merupakan hasil tulisan dan intepretasi tokoh-tokoh dalam teologi Kristen? Berkembang pula tradisi-tradisi gereja seperti api pencucian, misa dan indulgensi (praktek penjualan pengampunan dosa) oleh paus, yang kemudian dianggap sebagai tradisi Kristen dan merupakan sumber keimanan disamping Bible. Hal ini yang mendorong Marthin Luther (1483-1546) melakukan pemberontakan terhadap gereja Katholik. Gerakan Martin Luther ini dianggap sebagai pendorong terjadinya reformasi Kristen sekaligus sebagai awal berkembangnya sekte Protestan dalam teologi Kristen. Dalam pemikiran teologinya, gerakan Protestan ini menekankan penggunaan metode hermeneutika literal dalam memahami Bible. Namun lagi-lagi gerakan reformasi ini tetap belum sepenuhnya bisa memuaskan orang-orang Kristen. Hermeneutika literal yang diusung gerakan Protestan tetap tidak dapat memecahkan persoalan kesulitan bacaan suatu paragrap Bible. Demikian juga, hermeneutika literal tidak dapat mengelak dari intepretasi yang arbitraryly yang pada masa-masa itu sudah mulai meresahkan.
Walaupun saling bertentangan, pihak gereja Katholik dan Protestan sama-sama tergagap ketika menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan yang mulai terjadi pada abad XV dan XVI. Sikap ini misalnya terlihat ketika mereka sama-sama menolak penemuan ilmiah Johannes Kepler (1571-1630) tentang lintasan planet yang berbentuk elips dan teori Galileo Galilei (1569-1624) yang memperkuat pendapat Copernicus tentang bumi yang mengelilingi matahari (heliocentric). Terjadinya gap antara intepretasi Bible—dengan segala model hermeneutika—dengan penemuan-penemuan ilmiah membawa kepada konsekwensi runtuhnya kepercayaan terhadap Bible dan pola-pola intepretasi model lama, hermeneutika tradisional—baik model Plato maupun cara Aristoteles—dianggap tidak memadai lagi untuk dipakai. Disinilah kemudian era hermenutika liberal mulai dikembangkan. Spirit utama dari era ini adalah pembebasan diri dari hegemoni intepretasi pihak gereja dan dari tradisi-tradisi Kristen yang irrasional. Fokus utama dari metode ini adalah bagaimana menerjemahkan dan menangkap realitas yang ada pada teks kuno Bible ke dalam bahasa yang difahami oleh manusia modern.
Salah satu tokoh utama dari proyek hermeneutika modern ini adalah Schleiermacher (1768-1834). Pemahaman hermeneutikanya membahas dua lingkup, yaitu pemahaman ketatabahasaan (gramatikal) dan kedua pemahaman terhadap kondisi psikologis pengarang. Dalam kondisi pemahaman terhadap pengarang ini Schleiermacher menyebutkan bahwa seorang interpreter yang baik adalah yang berhasil memahami kondisi pengarang sebaik dan—bahkan melebihi—pengarang tersebut memahami dirinya, karena interpreter dapat merekonstruksi segala motivasi dan asumsi yang tersebunyi dari pengarang sehingga membuka selubung segala motivasi dan strategi yang tersembunyi dari si pengarang. Konsekwensi dari teori ini adalah seorang intepreter dapat mereproduksi ulang sebuah isi kitab lebih baik dari pengarang terdahulu karena ia telah memahami segala motivasi dan situasi strategis yang melingkupi pengarang terdahulu. Selain itu terbuka juga peluang desakralisasi terhadap teks yang bersifat divine (yang berasal dari Tuhan), karena metode ini menyamaratakan semua teks, semua teks adalah produksi dari pengarangnya dan dapat diberi perlakukan yang sama.
Disinilah mulai terlihat semangat liberalisasi intepretasi Bible. Jika dahulu intepretasi Biblelah yang mengatur kebebasan berfikir, tapi pada zaman ini kebebasan berfikirlah yang menentukan bagaimana intepretasi dari Bible. Hal ini seperti yang disebutkan Spinoza (1632-1677) dalam Tractus Theologica Politicus, dia menyebutkan bahwa standar exegesis (intepretasi) untuk Bible hanyalah akal yang dapat diterima oleh semua.
Gerakan liberalisasi Bible inilah yang ditentang Protestan ortodok. Mereka menetapkan prinsip-prinsip fundamentalisme pada konferensi Bible di Niagara 1878 dan konferensi Presbyterian pada tahun 1910. Mereka juga mengaku mendapatkan ajaran langsung dari Tuhan dan mengarah pada pola hidup eksklusif dan menjauhi interaksi dengan kehidupan sosial yang ada, menolak interaksi dengan kenyataan hidup, memusuhi akal, fikiran ilmiah dan penemuan-penenemuan ilmiah. Dengan sikap seperti itu tidak heran sebagaimana yang disampaikan Esposito bahwa bagi masyarakat barat sebutan fundamentalisme pada saat ini adalah sebuah hinaan.
Jadi dimanakah adanya irisan antara sejarah fundamentalisme ini dengan Islam? Sama sekali tidak ada. Kalau dikatakan disebabkan penolakan terhadap hermeneutika sebagai alasan untuk melabelkan fundamentalisme kepada beberapa kelompok kaum muslimin, sudah barang tentu ini adalah tuduhan yang serampangan. Islam tidak memerlukan hermeneutika sebagaimana orang-orang Kristen ketika berinteraksi dengan kitab sucinya. Kitab suci kaum muslimin—yaitu Al Quran—sama sekali tidak memiliki problem teks sebagaimana bible. Al Quran sejak zaman diturunkan kepada Muhammad SAW hingga sekarang tidak memiliki permasalahan dalam hal orisinalitas Kemudian dalam intepretasi, Islam memiliki metodologi tersendiri, sehingga sama sekali tidak membutuhkan hermeneutika. Lagi pula karakteristik hermenutika yang bersumber dari dongeng-dongeng Yunani ( bukankah mitologi dapat disamakan dengan dongeng?, bahkan hermeneutika sendiri berasal dari nama tokoh dongeng Yunani, Hermes) tentu sama sekali tidak layak disentuhkan dengan Al Quran yang berasal dari Allah SWT. Dan metodologi intepretasi atau tafsir ini telah diterapkan sejak zaman Islam berkuasa dulu, dan sama sekali tidak ada satupun catatan sejarah yang bercerita mengenai adanya pertentangan antara hasil intepretasi Ulama terdahulu dengan kemajuan yang dicapai kaum muslimin. Pada masa itu juga ilmu pengetahuan berkembang dengan sangat baik. Bahkan yang terjadi adalah justru Islam yang mengubah kehidupan para pengembara dan pedagang padang pasir menjadi penguasa dunia. Ditangan mereka kemudian muncul banyak penemuan-penemuan ilmiah. Disnilah perbedaan Al Qur`an dan Bible. Penerapan Bible malah mengakibatkan kemunduran berfikir, sebaliknya Al Qur`an menghasilkan peradaban yang gilang gemilang, Disinilah Al Qura`an berfungsi secara sempurna yaitu menjadi pegangan yang mencerahkan, Allah berfirman:
Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur`an) sebagai penjelas segala sesuatu (QS An-Nahl :89)
Dan semuanya tanpa ada pertentangan dengan tafsir Al Quran sama sekali. Dan harus diingat kondisi ini berjarak cukup jauh dengan zaman pertama kali Al Quran turun, sampai ribuan tahun. Maka untuk permasalahan intepretasi teks ini bisa disimpulkan; 1)Islam sama sekali tidak membutuhkan metodologi hermeneutika dalam hal intepretasi, karena Islam memiliki metodologi intepretasi sendiri. Dipakainya hermeneutika sebagai metodologi tidak lebih disebabkan oleh kebingungan orang-orang Kristen dalam menyikapi kondisi teks Bible yang bermasalah dalam teksnya. Tidak heran mereka kemudian berpaling kepada hermeneutika—sebuah cara intepretasi yang berasal dari Yunani—karena Bible telah dipenuhi oleh sentuhan pemikiran dan filsafat Yunani, termasuk bahasa dalam Bible itu sendiri; 2) Metodologi intepretasi kitab suci versi ulama Islam terbukti bisa menyeiring dengan kemajuan teknologi dan Ilmu pengetahuan.
Sementara berkenaan dengan penolakan sekulerisme dan liberalisme, sudah barang tentu penolakan itu akan terjadi. Konsep sekulerisme yang hanya mengakui agama untuk private domain dan tidak untuk public domain bertentangan secara diametral dengan konsep Islam yang telah diterapkan selama ribuan tahun. Semua konteks kehidupan baik pribadi maupun kemasyarakatan (public) diatur dalam Islam. Bahkan Islam memiliki system kenegaraan sendiri yang disebut dengan Khilafah, sebagaimana sekulerisme memiliki Demokrasi. Wajar sajalah jika sekulerisme—yang menghendaki pemisahan antara islam dengan pengaturan kenegaraan—tertolak dalam Islam, sebagaimana tertolaknya juga Liberalisme. Sikap hidup yang mendewakan keinginan dan nafsu manusia ini sama sekali tidak ada tempat dalam Islam. Dalam islam segala keinginan dan nafsu harus tunduk dengan syariat islam, karena Islam hendak membedakan antara manusia dengan binatang.
Penolakan terhadap sekulerisme dan liberalisme oleh Islam bukan karena latah terhadap orang-orang protestan. Jauh sebelum orang protestan melakukannya islam telah memiliki konsep yang bertentangan dengan sekulerisme, bahkan konsep Islam tersebut ada jauh sebelum Sekulerisme dan Liberalisme muncul di Eropa.
Dengan ini maka pelabelan fundamentalisme terhadap kaum muslimin yang menolak tafsir hermeneutika dan sekulerisme-liberalisme adalah hal yang tidak beralasan bahkan konyol. Jika mereka—orang-orang kafir dan kaum liberal yang tinggal dinegeri islam—tetap memaksakan melabelkan fundamentalisme kepada kaum muslimin, maka ada kemungkinan mereka adalah orang-orang yang memiliki cara berfikir yang disebut sebagai fallacy of dramatic instance. Dalam pola berfikir ini, jika mereka menemukan hal yang sama dalam dua hal yang berbeda maka mereka langsung menganggap dua hal tersebut ada kesamaan. Bisa juga hal tersebut merupakan sebuah kesengajaan yang memiliki target, munculnya kesan bahwa penentang sekulerisme-liberalisme adalah orang-orang yang memiliki citra jelek, anti kemajuan dan Ilmu pengetahuan.
Wednesday, September 12, 2007
Penentuan Awal dan Akhir Ramadhan
Ada yang menyatakan, bahwa menentukan awal-akhir Ramadhan tidak harus dengan rukyat, tetapi bisa dengan hisab (perhitungan astronomi), sebagaimana yang digunakan dalam menentukan waktu shalat. Apakah memang boleh demikian? Jika tidak, mengapa? Bukankah, hisab boleh digunakan dalam menentukan waktu shalat, berarti seharusnya boleh juga digunakan untuk menentukan awal-akhir Ramadhan?
Untuk menjelaskan boleh dan tidaknya hal di atas, kami akan jelaskan beberapa ketentuan sebagai berikut:
1- Allah SWT meminta kita agar beribadah sebagaimana yang Dia perintahkan. Jika kita beribadah kepada-Nya bukan dengan cara yang Dia perintahkan, maka kita telah melakukan kesalahan, bahkan apa yang kita lakukan itu kita anggap baik dan benar sekalipun.
2- Allah SWT memerintahkan kita berpuasa dan berhariraya karena melihat hilal (rukyat al-hilal). Dia juga telah menjadikan rukyat sebagai sebab berpuasa dan berhari raya:
«صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ»
“Berpuasalah kalian karena melihat bulan, dan berhari rayalah kalian karena melihatnya.” (HR. Muslim)
Jika kita telah melihat hilal Ramadhan, maka kita berpuasa, dan jika kita melihat hilal Syawal, maka kita pun berhari raya.
3- Jika kita tidak melihat hilal Syawal, misalnya, karena mendung benar-benar telah menyelimutinya, sekalipun hilal tersebut nyata-nyata ada, tetapi kita tidak bisa melihatnya, karena ada penghalang (mendung) yang menghalanginya, maka kenyataannya kita tidak akan berpuasa dan berhari raya karena alasan awal bulan. Sebab, haditsnya dengan tegas menyatakan:
«فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ»
“Jika mendung telah menghalangi kalian, maka sempurnakanlah (genapkanlah) hitungan Sya’ban.” (HR. Muslim)
4- Allah SWT tidak membebani kita untuk beribadah kepada-Nya dengan cara yang tidak Dia perintahkan. Misalnya, kalau seandainya hisab (perhitungan astronomi) menyatakan, bahwa besok secara pasti adalah bulan Ramadhan —dimana pada zaman sekarang perhitungan astronomi bisa menetapkan posisi bulan sejak bulan tersebut lahir hingga bulan purnama, kemudian menyusut, serta menghitungnya dari waktu ke waktu— tetapi faktanya kita memang benar-benar tidak bisa melihat hilal tersebut, karena mendung misalnya, maka status orang yang berpuasa —karena perhitungan tersebut— adalah dosa, meski dengan alasan bahwa Ramadhan memang benar-benar telah masuk. Dia tetap dianggap berdosa, karena hilal belum bisa dilihat, tetapi dia tetap berpuasa, padahal seharusnya dia menyempurnakan Sya’ban menjadi 30 hari. Setelah itu, baru berpuasa. Jadi, orang yang berpuasa Ramadhan dalam kondisi seperti ini pada dasarnya berdosa, karena dia telah melakukan pelanggaran. Sementara itu orang yang menyempurnakan hitungan Sya’ban juga belum berpuasa, meski hilal tadi nyata-nyata ada, tetapi tertutup awan, maka orang seperti ini tetap mendapatkan pahala karena mengikuti hadits Nabi di atas.
5- Dari sini tampak dengan jelas, bahwa kita tidak berpuasa dan berhari raya karena faktor bulannya, tetapi karena melihat hilal. Jika kita telah melihatnya, maka kita wajib berpuasa. Jika belum melihatnya, maka kita pun tidak boleh berpuasa, sekalipun bulan tersebut —menurut perhitungan astronomi— benar-benar telah masuk.
6- Jika ada sejumlah saksi, dan mereka telah memberikan kesaksian terhadap rukyat, maka mereka pun harus diperlakukan sama dengan kasus kesaksian yang lain. Jika saksinya Muslim dan tidak Fasik, maka kesaksiannya bisa diterima. Jika saksi tersebut tampaknya bulan Muslim, dan tidak adil, atau Fasik, maka kesaksiannya tidak boleh diterima.
7- Penetapan kefasikan saksi juga harus dilakukan melalui pembuktian syar’i, bukan berdasarkan perhitungan astronomi. Dengan kata lain, perhitungan tersebut tidak bisa digunakan untuk membangun hujah (argumentasi). Misalnya, Anda mengatakan, “Beberapa jam lalu, telah terjadi lahirnya anak bulan, sehingga sekarang tidak bisa dilihat…” Memang ada perbedaan pendapat di kalangan ahli astronomi tentang tenggat waktu setelah lahirnya anak bulan yang memungkinkan dilakukannya rukyat. Jadi, kesaksian yang menjadi saksi perhitungan astronomi tersebut tidak boleh dijadikan hujah, tetapi perhitungannya bisa dibahas, dan dinyatakan benar setelah melihat hilal. Dia juga boleh ditanya, di mana hilal tersebut muncul, sementara yang lain menyaksikannya secara langsung. Begitu seterusnya. Setelah itu, kesaksian rukyat tersebut diterima atau ditolak berdasarkan prinsip ini.
8- Siapa saja yang menelaah nas-nas yang menyatakan hukum puasa, pasti akan menemukan adanya perbedaan antara nas-nas yang menyatakan hukum shalat. Puasa dan hari raya telah dihubungkan dengan rukyat:
«صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ»
“Berpuasalah kalian karena melihat bulan, dan berhari rayalah kalian karena melihatnya.” (HR. Muslim)
« فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ»
“Siapa saja di antara kalian yang menyaksikan bulan (hilal Ramadhan), maka hendaknya dia berpuasa.” (QS. Al-Baqarah [02]: 185)
Jadi, yang menentukan (puasa dan hari raya) adalah rukyat. Berbeda dengan nas-nas shalat, yang dihubungkan dengan waktu:
«أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوْكِ الشَّمْسِ»
“Dirikanlah shalat, karena matahari telah tergelincir.” (QS. Al-Isra’ [17]: 78)
«إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ فَصَلَّوْا»
“Jika matahari telah tergelincir, maka shalatlah kalian.” (HR. at-Thabrani)
Jadi, praktik shalat tergantung pada waktu, dan dengan cara apapun agar waktu shalat itu bisa dibuktikan, maka shalat pun bisa dilakukan dengan cara tersebut. Jika Anda melihat matahari untuk melihat waktu zawal (tergelincirnya matahari), atau melihat bayangan agar Anda bisa melihat bayangan benda, apakah sama atau melebihinya, sebagaimana yang dinyatakan dalam hadits-hadits tentang waktu shalat; jika Anda melakukanya, dan Anda bisa membuktikan waktu tersebut, maka shalat Anda pun sah. Jika Anda tidak melakukannya, tetapi cukup dengan menghitungnya dengan perhitungan astronomi, kemudian Anda tahu bahwa waktu zawal itu jatuh jam ini, kemudian Anda melihat jam Anda, tanpa harus keluar untuk melihat matahari atau bayangan, maka shalat Anda pun sah. Dengan kata lain, waktu tersebut bisa dibuktikan dengan cara apapun. Mengapa? Karena Allah SWT telah memerintahkan Anda untuk melakukan shalat ketika waktunya masuk, dan menyerahkan kepada Anda untuk melakukan pembuktian masuknya waktu tersebut tanpa memberikan ketentuan detail, tentang bagaimana cara membuktikannya. Berbeda dengan puasa. Dia memerintahkan Anda berpuasa berdasarkan rukyat. Dia pun menentukan sebab (berpuasa dan berhari raya) untuk Anda. Lebih dari itu, Dia menyatakan kepada Anda: “Jika mendung menghalangi rukyat, sehingga tidak terlihat, maka janganlah Anda berpuasa, meskipun hilal tersebut ada di balik mendung, dimana Anda yakin hilal tersebut ada melalui perhitungan astronomi.”
9- Allah SWT adalah pencipta alam ini. Dialah yang mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Pengetahuan tentang pergerakan bintang dan rinciannya adalah anugerah dari Allah kepada umat manusia. Tetapi, Allah SWT tidak memerintahkan kita untuk beribadah dengan berpijak kepada perhitungan astronomi, tetapi memerintahkan kita untuk melakukan rukyat, sehingga kita pun beribadah kepada-Nya sebagaimana yang diperintahkan, dan tidak beribadah kepada-Nya dengan apa yang tidak diperintahkan.
Dengan demikian, hanya rukyat-lah satu-satunya penentu dalam berpuasa dan berhariraya, bukan perhitungan astronomi. Berangkat dari sana, maka saya tegaskan, bahwa perhitungan astronomi tersebut tidak boleh digunakan untuk berpuasa dan berhariraya, tetapi hanya rukyat-lah satu-satunya yang boleh. Sebab itulah yang dinyatakan dalam nas-nas syariah.
Untuk menjelaskan boleh dan tidaknya hal di atas, kami akan jelaskan beberapa ketentuan sebagai berikut:
1- Allah SWT meminta kita agar beribadah sebagaimana yang Dia perintahkan. Jika kita beribadah kepada-Nya bukan dengan cara yang Dia perintahkan, maka kita telah melakukan kesalahan, bahkan apa yang kita lakukan itu kita anggap baik dan benar sekalipun.
2- Allah SWT memerintahkan kita berpuasa dan berhariraya karena melihat hilal (rukyat al-hilal). Dia juga telah menjadikan rukyat sebagai sebab berpuasa dan berhari raya:
«صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ»
“Berpuasalah kalian karena melihat bulan, dan berhari rayalah kalian karena melihatnya.” (HR. Muslim)
Jika kita telah melihat hilal Ramadhan, maka kita berpuasa, dan jika kita melihat hilal Syawal, maka kita pun berhari raya.
3- Jika kita tidak melihat hilal Syawal, misalnya, karena mendung benar-benar telah menyelimutinya, sekalipun hilal tersebut nyata-nyata ada, tetapi kita tidak bisa melihatnya, karena ada penghalang (mendung) yang menghalanginya, maka kenyataannya kita tidak akan berpuasa dan berhari raya karena alasan awal bulan. Sebab, haditsnya dengan tegas menyatakan:
«فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ»
“Jika mendung telah menghalangi kalian, maka sempurnakanlah (genapkanlah) hitungan Sya’ban.” (HR. Muslim)
4- Allah SWT tidak membebani kita untuk beribadah kepada-Nya dengan cara yang tidak Dia perintahkan. Misalnya, kalau seandainya hisab (perhitungan astronomi) menyatakan, bahwa besok secara pasti adalah bulan Ramadhan —dimana pada zaman sekarang perhitungan astronomi bisa menetapkan posisi bulan sejak bulan tersebut lahir hingga bulan purnama, kemudian menyusut, serta menghitungnya dari waktu ke waktu— tetapi faktanya kita memang benar-benar tidak bisa melihat hilal tersebut, karena mendung misalnya, maka status orang yang berpuasa —karena perhitungan tersebut— adalah dosa, meski dengan alasan bahwa Ramadhan memang benar-benar telah masuk. Dia tetap dianggap berdosa, karena hilal belum bisa dilihat, tetapi dia tetap berpuasa, padahal seharusnya dia menyempurnakan Sya’ban menjadi 30 hari. Setelah itu, baru berpuasa. Jadi, orang yang berpuasa Ramadhan dalam kondisi seperti ini pada dasarnya berdosa, karena dia telah melakukan pelanggaran. Sementara itu orang yang menyempurnakan hitungan Sya’ban juga belum berpuasa, meski hilal tadi nyata-nyata ada, tetapi tertutup awan, maka orang seperti ini tetap mendapatkan pahala karena mengikuti hadits Nabi di atas.
5- Dari sini tampak dengan jelas, bahwa kita tidak berpuasa dan berhari raya karena faktor bulannya, tetapi karena melihat hilal. Jika kita telah melihatnya, maka kita wajib berpuasa. Jika belum melihatnya, maka kita pun tidak boleh berpuasa, sekalipun bulan tersebut —menurut perhitungan astronomi— benar-benar telah masuk.
6- Jika ada sejumlah saksi, dan mereka telah memberikan kesaksian terhadap rukyat, maka mereka pun harus diperlakukan sama dengan kasus kesaksian yang lain. Jika saksinya Muslim dan tidak Fasik, maka kesaksiannya bisa diterima. Jika saksi tersebut tampaknya bulan Muslim, dan tidak adil, atau Fasik, maka kesaksiannya tidak boleh diterima.
7- Penetapan kefasikan saksi juga harus dilakukan melalui pembuktian syar’i, bukan berdasarkan perhitungan astronomi. Dengan kata lain, perhitungan tersebut tidak bisa digunakan untuk membangun hujah (argumentasi). Misalnya, Anda mengatakan, “Beberapa jam lalu, telah terjadi lahirnya anak bulan, sehingga sekarang tidak bisa dilihat…” Memang ada perbedaan pendapat di kalangan ahli astronomi tentang tenggat waktu setelah lahirnya anak bulan yang memungkinkan dilakukannya rukyat. Jadi, kesaksian yang menjadi saksi perhitungan astronomi tersebut tidak boleh dijadikan hujah, tetapi perhitungannya bisa dibahas, dan dinyatakan benar setelah melihat hilal. Dia juga boleh ditanya, di mana hilal tersebut muncul, sementara yang lain menyaksikannya secara langsung. Begitu seterusnya. Setelah itu, kesaksian rukyat tersebut diterima atau ditolak berdasarkan prinsip ini.
8- Siapa saja yang menelaah nas-nas yang menyatakan hukum puasa, pasti akan menemukan adanya perbedaan antara nas-nas yang menyatakan hukum shalat. Puasa dan hari raya telah dihubungkan dengan rukyat:
«صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ»
“Berpuasalah kalian karena melihat bulan, dan berhari rayalah kalian karena melihatnya.” (HR. Muslim)
« فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ»
“Siapa saja di antara kalian yang menyaksikan bulan (hilal Ramadhan), maka hendaknya dia berpuasa.” (QS. Al-Baqarah [02]: 185)
Jadi, yang menentukan (puasa dan hari raya) adalah rukyat. Berbeda dengan nas-nas shalat, yang dihubungkan dengan waktu:
«أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوْكِ الشَّمْسِ»
“Dirikanlah shalat, karena matahari telah tergelincir.” (QS. Al-Isra’ [17]: 78)
«إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ فَصَلَّوْا»
“Jika matahari telah tergelincir, maka shalatlah kalian.” (HR. at-Thabrani)
Jadi, praktik shalat tergantung pada waktu, dan dengan cara apapun agar waktu shalat itu bisa dibuktikan, maka shalat pun bisa dilakukan dengan cara tersebut. Jika Anda melihat matahari untuk melihat waktu zawal (tergelincirnya matahari), atau melihat bayangan agar Anda bisa melihat bayangan benda, apakah sama atau melebihinya, sebagaimana yang dinyatakan dalam hadits-hadits tentang waktu shalat; jika Anda melakukanya, dan Anda bisa membuktikan waktu tersebut, maka shalat Anda pun sah. Jika Anda tidak melakukannya, tetapi cukup dengan menghitungnya dengan perhitungan astronomi, kemudian Anda tahu bahwa waktu zawal itu jatuh jam ini, kemudian Anda melihat jam Anda, tanpa harus keluar untuk melihat matahari atau bayangan, maka shalat Anda pun sah. Dengan kata lain, waktu tersebut bisa dibuktikan dengan cara apapun. Mengapa? Karena Allah SWT telah memerintahkan Anda untuk melakukan shalat ketika waktunya masuk, dan menyerahkan kepada Anda untuk melakukan pembuktian masuknya waktu tersebut tanpa memberikan ketentuan detail, tentang bagaimana cara membuktikannya. Berbeda dengan puasa. Dia memerintahkan Anda berpuasa berdasarkan rukyat. Dia pun menentukan sebab (berpuasa dan berhari raya) untuk Anda. Lebih dari itu, Dia menyatakan kepada Anda: “Jika mendung menghalangi rukyat, sehingga tidak terlihat, maka janganlah Anda berpuasa, meskipun hilal tersebut ada di balik mendung, dimana Anda yakin hilal tersebut ada melalui perhitungan astronomi.”
9- Allah SWT adalah pencipta alam ini. Dialah yang mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Pengetahuan tentang pergerakan bintang dan rinciannya adalah anugerah dari Allah kepada umat manusia. Tetapi, Allah SWT tidak memerintahkan kita untuk beribadah dengan berpijak kepada perhitungan astronomi, tetapi memerintahkan kita untuk melakukan rukyat, sehingga kita pun beribadah kepada-Nya sebagaimana yang diperintahkan, dan tidak beribadah kepada-Nya dengan apa yang tidak diperintahkan.
Dengan demikian, hanya rukyat-lah satu-satunya penentu dalam berpuasa dan berhariraya, bukan perhitungan astronomi. Berangkat dari sana, maka saya tegaskan, bahwa perhitungan astronomi tersebut tidak boleh digunakan untuk berpuasa dan berhariraya, tetapi hanya rukyat-lah satu-satunya yang boleh. Sebab itulah yang dinyatakan dalam nas-nas syariah.
Thursday, September 6, 2007
Apakah Khilafah Islamiyyah Hanya Berumur 30 Tahun dan Selebihnya Kerajaan?
Sebagian kaum muslim ada yang berpendapat bahwa masa kekhilafahan hanya berumur 30 tahun dan selebihnya adalah kerajaan. Mereka mengetengahkan hadits-hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Ibnu Hibban dan ulama-ulama lainnya.
Rasulullah saw bersabda, ”Setelah aku, khilafah yang ada pada umatku hanya berumur 30 tahun, setelah itu adalah kerajaan.”[HR. Imam Ahmad, Tirmidziy, dan Abu Ya’la dengan isnad hasan]
“Khilafah itu hanya berumur 30 tahun dan setelah itu adalah raja-raja, sedangkan para khalifah dan raja-raja berjumlah 12.”[HR.. Ibnu Hibban]
“Sesungguhnya awal adari agama ini adalah nubuwwah dan rahmat, setelah itu akan tiba masa khilafah dan rahmat, setelah itu akan datang masa raja-raja dan para diktator. Keduanya akan membuat kerusakan di tengah-tengah umat. Mereka telah menghalalkan sutr, khamer, dan kefasidan. Mereka selalu mendapatkan pertolongan dalam mengerjakan hal-hal tersebu; mereka juga mendapatkan rejeki selama-selamanya, sampai menghadap kepada Allah swt.”[HR. Abu Ya’la dan Al-Bazar dengan isnad hasan]
Hadits-hadits inilah yang dijadikan dalil bahwa masa kekhilafahan itu hanya 30 tahun dan selebihnya adalah kerajaan. Lebih dari itu, mereka juga menyatakan bahwa perjuangan menegakkan khilafah Islamiyyah hanyalah perjuangan kosong dan khayalan. Sebab, Rasulullah saw telah menyatakan dengan sangat jelas bahwa masa kekhilafahan itu hanya berumur 30 tahun. Walhasil, kekhilafahan tidak mungkin berdiri meskipun diperjuangkan oleh gerakan-gerakan Islam. Kalau pun pemerintahan Islam berdiri bentuknya tidak khilafah akan tetapi kerajaan.
Lalu, apakah benar bahwa hadits-hadits di atas dalalahnya menunjukkan bahwa umur khilafah Islamiyyah itu hanya 30 tahun dan selebihnya adalah kerajaan?
Untuk menjawab pendapat-pendapat ini kita harus menjelaskan satu persatu maksud dari hadits-hadits di atas.
Hadits Pertama
Kata khilafah yang tercantum dalam hadits pertama maknanya adalah khilafah nubuwwah, bukan khilafah secara mutlak.
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fath al-Bariy berkata, “Yang dimaksud dengan khilafah pada hadits ini adalah khilafah al-Nubuwwah (khilafah yang berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip nubuwwah), sedangkan Mu’awiyyah dan khalifah-khalifah setelahnya menjalankan pemerintahan layaknya raja-raja. Akan tetapi mereka tetap dinamakan sebagai khalifah.” Pengertian semacam ini diperkuat oleh sebuah riwayat yang dituturkan oleh Imam Abu Dawud,”Khilafah Nubuwwah itu berumur 30 tahun”[HR. Abu Dawud dalam Sunan Abu Dawud no.4646, 4647]
Yang dimaksud khilafah Nubuwwah di sini adalah empat khulafaur Rasyidin; Abu Bakar, ‘Umar , ‘Utsman, dan Ali Bin Thalib. Mereka adalah para khalifah yang menjalankan roda pemerintahan seperti Rasulullah saw. Mereka tidak hanya berkedudukan sebagai penguasa, akan tetapi secara langsung benar-benar seperti Rasulullah saw dalam mengatur urusan pemerintahan. Sedangkan kebanyakan khalifah-khalifah dari dinasti Umayyah, ‘Abbasiyyah dan ‘Utsmaniyyah banyak yang tidak menjalankan roda pemerintahan seperti halnya Rasulullah saw, namun demikian mereka tetap disebut sebagai amirul mukminin atau khalifah.
Ada diantara mereka yang dikategorikan sebagai khulafaur rasyidin, yakni Umar bin ‘Abdul ‘Aziz yang dibaiat pada bulan Shafar tahun 99 H. Diantara mereka yang menjalankan roda pemerintahan hampir-hampir dekat dengan apa yang dilakukan oleh Nabi saw, misalnya Al-Dzahir bi Amrillah yang dibaiat pada tahun 622 H. Ibnu Atsir menuturkan, “Ketika Al-Dzahir diangkat menjadi khalifah, keadilan dan kebaikan telah tampak di mana-mana seperti pada masa khalifah dua Umar (Umar bin Khaththab dan Ibnu Umar). Seandainya dikatakan, “Dirinya tidak ubahnya dengan khalifah Umar bin Abdul Aziz, maka ini adalah perkataan yang baik.”
Para khalifah pada masa-masa berikutnya meskipun tak ubahnya seorang raja, akan tetapi mereka tetap menjalankan roda pemerintahan berdasarkan sistem pemerintahan Islam, yakni khilafah Islamiyyah. Mereka tidak pernah menggunakan sistem kerajaan, kesultanan maupun sistem lainnyan. Walaupun kaum muslim berada pada masa-masa kemunduran dan keterpurukan, namun mereka tetap menjalankan roda pemerintahan dalam koridor sistem kekhilafahan bukan dengan sistem pemerintahan yang lain. Walhasil, tidak benar jika dinyatakan bahwa umur khilafah Islamiyyah itu hanya 30 tahun. Yang benar adalah, sistem kekhilafahan tetap ditegakkan oleh penguasa-penguasa Islam hingga tahun 1924 M.
Hadits Kedua & Ketiga
Kata “al-muluuk”(raja-raja) dalam hadits di atas bermakna adalah,” Sebagian tingkah laku dari para khalifah itu tidak ubahnya dengan raja-raja”. Hadits di atas sama sekali tidak memberikan arti bahwa mereka adalah raja secara mutlak, akan tetapi hanya menunjukkan bahwa para khalifah itu dalam hal-hal tertentu bertingkah laku seperti seorang raja. Fakta sejarah telah menunjukkan pengertian semacam ini. Sebab, para khalifah dinasti ‘Abbasiyyah, Umayyah, dan ‘Utsmaniyyah tidak pernah berusaha menghancurkan sistem kekhilafahan, atau menggantinya dengan sistem kerajaan. Mereka tetap berpegang teguh dengan sistem kekhilafahan, meskipun sebagian perilaku mereka seperti seorang raja.
Meskipun kebanyakan khalifah pada masa dinasti ‘Abbasiyyah, Umayyah, dan ‘Utsmaniyyah ditunjuk selagi khalifah sebelumnya masih hidup dan memerintah, akan tetapi proses pengangkatan sang khalifah tetap dilakukan dengan cara baiat oleh seluruh kaum muslim; bukan dengan putra mahkota (wilayat al-‘ahdi).
Makna yang ditunjuk oleh frasa “dan setelah itu adalah raja-raja” adalah makna bahasa, bukan makna istilah. Dengan kata lain, arti dari frasa tersebut adalah “raja dan sultan” bukan sistem kerajaan dan kesultanan. Atas dasar itu, dalam hadits-hadits yang lain dinyatakan bahwa mereka adalah seorang penguasa (khalifah) yang memerintah kaum muslim dengan sistem khilafah. Dituturkan oleh Ibnu Hibban, “Rasulullah saw bersabda,”Setelah aku akan ada para khalifah yang berbuat sebagaimana yang mereka ketahui dan mengerjakan sesuatu yang diperintahkan kepada mereka. Setelah mereka berlalu, akan ada para khalifah yang berbuat tidak atas dasar apa yang diketahuinya dan mengerjakan sesuatu tidak atas apa yang diperintahkan kepada mereka. Siapa saja yang ingkar maka ia terbebas dari dosa, dan barangsiapa berlepas diri maka ia akan selamat. Akan tetapi, siapa saja yang ridlo dan mengikuti mereka maka ia berdosa.”
Penjelasan di atas sudah cukup untuk menggugurkan pendapat yang menyatakan bahwa sistem khilafah Islamiyyah hanya berumur 30 tahun dan selebihnya adalah kerajaan. Hadits-hadits yang mereka ketengahkan sama sekali tidak menunjukkan makna tersebut. Sistem khilafah Islamiyyah tetap berlangsung dan terus dipertahankan di sepanjang sejarah Islam, hingga tahun 1924 M. Meskipun sebagian besar khalifah dinasti ‘Abbasiyyah, Umayyah, dan ‘Utsmaniyyah bertingkah laku tak ubahnya seorang raja, namun mereka tetap konsisten dengan sistem pemerintahan yang telah digariskan oleh Rasulullah saw, yakni khilafah Islamiyyah.
Tugas kita sekarang adalah berjuang untuk menegakkan kembali khilafah Islamiyyah sesuai dengan manhaj Rasulullah saw. Sebab, tertegaknya khilafah merupakan prasyarat bagi tersempurnanya agama Islam. Tidak ada Islam tanpa syariah, dan tidak ada syariah tanpa khilafah Islamiyyah.
Rasulullah saw bersabda, ”Setelah aku, khilafah yang ada pada umatku hanya berumur 30 tahun, setelah itu adalah kerajaan.”[HR. Imam Ahmad, Tirmidziy, dan Abu Ya’la dengan isnad hasan]
“Khilafah itu hanya berumur 30 tahun dan setelah itu adalah raja-raja, sedangkan para khalifah dan raja-raja berjumlah 12.”[HR.. Ibnu Hibban]
“Sesungguhnya awal adari agama ini adalah nubuwwah dan rahmat, setelah itu akan tiba masa khilafah dan rahmat, setelah itu akan datang masa raja-raja dan para diktator. Keduanya akan membuat kerusakan di tengah-tengah umat. Mereka telah menghalalkan sutr, khamer, dan kefasidan. Mereka selalu mendapatkan pertolongan dalam mengerjakan hal-hal tersebu; mereka juga mendapatkan rejeki selama-selamanya, sampai menghadap kepada Allah swt.”[HR. Abu Ya’la dan Al-Bazar dengan isnad hasan]
Hadits-hadits inilah yang dijadikan dalil bahwa masa kekhilafahan itu hanya 30 tahun dan selebihnya adalah kerajaan. Lebih dari itu, mereka juga menyatakan bahwa perjuangan menegakkan khilafah Islamiyyah hanyalah perjuangan kosong dan khayalan. Sebab, Rasulullah saw telah menyatakan dengan sangat jelas bahwa masa kekhilafahan itu hanya berumur 30 tahun. Walhasil, kekhilafahan tidak mungkin berdiri meskipun diperjuangkan oleh gerakan-gerakan Islam. Kalau pun pemerintahan Islam berdiri bentuknya tidak khilafah akan tetapi kerajaan.
Lalu, apakah benar bahwa hadits-hadits di atas dalalahnya menunjukkan bahwa umur khilafah Islamiyyah itu hanya 30 tahun dan selebihnya adalah kerajaan?
Untuk menjawab pendapat-pendapat ini kita harus menjelaskan satu persatu maksud dari hadits-hadits di atas.
Hadits Pertama
Kata khilafah yang tercantum dalam hadits pertama maknanya adalah khilafah nubuwwah, bukan khilafah secara mutlak.
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fath al-Bariy berkata, “Yang dimaksud dengan khilafah pada hadits ini adalah khilafah al-Nubuwwah (khilafah yang berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip nubuwwah), sedangkan Mu’awiyyah dan khalifah-khalifah setelahnya menjalankan pemerintahan layaknya raja-raja. Akan tetapi mereka tetap dinamakan sebagai khalifah.” Pengertian semacam ini diperkuat oleh sebuah riwayat yang dituturkan oleh Imam Abu Dawud,”Khilafah Nubuwwah itu berumur 30 tahun”[HR. Abu Dawud dalam Sunan Abu Dawud no.4646, 4647]
Yang dimaksud khilafah Nubuwwah di sini adalah empat khulafaur Rasyidin; Abu Bakar, ‘Umar , ‘Utsman, dan Ali Bin Thalib. Mereka adalah para khalifah yang menjalankan roda pemerintahan seperti Rasulullah saw. Mereka tidak hanya berkedudukan sebagai penguasa, akan tetapi secara langsung benar-benar seperti Rasulullah saw dalam mengatur urusan pemerintahan. Sedangkan kebanyakan khalifah-khalifah dari dinasti Umayyah, ‘Abbasiyyah dan ‘Utsmaniyyah banyak yang tidak menjalankan roda pemerintahan seperti halnya Rasulullah saw, namun demikian mereka tetap disebut sebagai amirul mukminin atau khalifah.
Ada diantara mereka yang dikategorikan sebagai khulafaur rasyidin, yakni Umar bin ‘Abdul ‘Aziz yang dibaiat pada bulan Shafar tahun 99 H. Diantara mereka yang menjalankan roda pemerintahan hampir-hampir dekat dengan apa yang dilakukan oleh Nabi saw, misalnya Al-Dzahir bi Amrillah yang dibaiat pada tahun 622 H. Ibnu Atsir menuturkan, “Ketika Al-Dzahir diangkat menjadi khalifah, keadilan dan kebaikan telah tampak di mana-mana seperti pada masa khalifah dua Umar (Umar bin Khaththab dan Ibnu Umar). Seandainya dikatakan, “Dirinya tidak ubahnya dengan khalifah Umar bin Abdul Aziz, maka ini adalah perkataan yang baik.”
Para khalifah pada masa-masa berikutnya meskipun tak ubahnya seorang raja, akan tetapi mereka tetap menjalankan roda pemerintahan berdasarkan sistem pemerintahan Islam, yakni khilafah Islamiyyah. Mereka tidak pernah menggunakan sistem kerajaan, kesultanan maupun sistem lainnyan. Walaupun kaum muslim berada pada masa-masa kemunduran dan keterpurukan, namun mereka tetap menjalankan roda pemerintahan dalam koridor sistem kekhilafahan bukan dengan sistem pemerintahan yang lain. Walhasil, tidak benar jika dinyatakan bahwa umur khilafah Islamiyyah itu hanya 30 tahun. Yang benar adalah, sistem kekhilafahan tetap ditegakkan oleh penguasa-penguasa Islam hingga tahun 1924 M.
Hadits Kedua & Ketiga
Kata “al-muluuk”(raja-raja) dalam hadits di atas bermakna adalah,” Sebagian tingkah laku dari para khalifah itu tidak ubahnya dengan raja-raja”. Hadits di atas sama sekali tidak memberikan arti bahwa mereka adalah raja secara mutlak, akan tetapi hanya menunjukkan bahwa para khalifah itu dalam hal-hal tertentu bertingkah laku seperti seorang raja. Fakta sejarah telah menunjukkan pengertian semacam ini. Sebab, para khalifah dinasti ‘Abbasiyyah, Umayyah, dan ‘Utsmaniyyah tidak pernah berusaha menghancurkan sistem kekhilafahan, atau menggantinya dengan sistem kerajaan. Mereka tetap berpegang teguh dengan sistem kekhilafahan, meskipun sebagian perilaku mereka seperti seorang raja.
Meskipun kebanyakan khalifah pada masa dinasti ‘Abbasiyyah, Umayyah, dan ‘Utsmaniyyah ditunjuk selagi khalifah sebelumnya masih hidup dan memerintah, akan tetapi proses pengangkatan sang khalifah tetap dilakukan dengan cara baiat oleh seluruh kaum muslim; bukan dengan putra mahkota (wilayat al-‘ahdi).
Makna yang ditunjuk oleh frasa “dan setelah itu adalah raja-raja” adalah makna bahasa, bukan makna istilah. Dengan kata lain, arti dari frasa tersebut adalah “raja dan sultan” bukan sistem kerajaan dan kesultanan. Atas dasar itu, dalam hadits-hadits yang lain dinyatakan bahwa mereka adalah seorang penguasa (khalifah) yang memerintah kaum muslim dengan sistem khilafah. Dituturkan oleh Ibnu Hibban, “Rasulullah saw bersabda,”Setelah aku akan ada para khalifah yang berbuat sebagaimana yang mereka ketahui dan mengerjakan sesuatu yang diperintahkan kepada mereka. Setelah mereka berlalu, akan ada para khalifah yang berbuat tidak atas dasar apa yang diketahuinya dan mengerjakan sesuatu tidak atas apa yang diperintahkan kepada mereka. Siapa saja yang ingkar maka ia terbebas dari dosa, dan barangsiapa berlepas diri maka ia akan selamat. Akan tetapi, siapa saja yang ridlo dan mengikuti mereka maka ia berdosa.”
Penjelasan di atas sudah cukup untuk menggugurkan pendapat yang menyatakan bahwa sistem khilafah Islamiyyah hanya berumur 30 tahun dan selebihnya adalah kerajaan. Hadits-hadits yang mereka ketengahkan sama sekali tidak menunjukkan makna tersebut. Sistem khilafah Islamiyyah tetap berlangsung dan terus dipertahankan di sepanjang sejarah Islam, hingga tahun 1924 M. Meskipun sebagian besar khalifah dinasti ‘Abbasiyyah, Umayyah, dan ‘Utsmaniyyah bertingkah laku tak ubahnya seorang raja, namun mereka tetap konsisten dengan sistem pemerintahan yang telah digariskan oleh Rasulullah saw, yakni khilafah Islamiyyah.
Tugas kita sekarang adalah berjuang untuk menegakkan kembali khilafah Islamiyyah sesuai dengan manhaj Rasulullah saw. Sebab, tertegaknya khilafah merupakan prasyarat bagi tersempurnanya agama Islam. Tidak ada Islam tanpa syariah, dan tidak ada syariah tanpa khilafah Islamiyyah.
Wednesday, September 5, 2007
Surat Raja George II (Inggris) Kepada Khalifah Kaum Muslimin
Dari George II, Raja Inggeris, Swedia dan Norwegia,
Kepada Khalifah - penguasa kaum Muslimin -
di Kerajaan Andalusia,
Yang Dipertuan Agung, Hisyam III,
Yang Mulia..
Setelah salam hormat dan takdzim, kami beritahukan kepada yang Mulia, bahwa kami telah mendengar tentang kemajuan yang luar biasa, dimana berbagai sekolah sains dan industri bisa menikmatinya di negeri yang Mulia, yang metropolit itu.
Kami mengharapkan anak-anak kami bisa menimba keagungan yang ideal ini agar kelak menjadi cikal bakal kebaikan untuk mewarisi peninggalan yang Mulia guna menebar cahaya ilmu di negeri kami, yang masih diliputi kebodohan dari berbagai penjuru.
Kami telah memutuskan puteri saudara kandung kami, Dubant, untuk memimpin delegasi dari puteri-puteri pemuka Inggeris agar bisa memetik kemuliaan … agar kelak beliau bisa ditempatkan bersama teman-teman puterinya dalam naungan kebesaran yang Mulia.
Puteri kecil kami, juga telah dibekali dengan hadiah kehormatan untuk menghormati kedudukan yang Mulia nan agung..
Hamba mengharapkan kemuliaan yang Mulia dengan berkenan menerimanya, dengan penuh hormat dan penuh cinta yang tulus.
Tertanda,
Pelayan yang Mulia nan taat,
George II
Source: HT Sudan
Kepada Khalifah - penguasa kaum Muslimin -
di Kerajaan Andalusia,
Yang Dipertuan Agung, Hisyam III,
Yang Mulia..
Setelah salam hormat dan takdzim, kami beritahukan kepada yang Mulia, bahwa kami telah mendengar tentang kemajuan yang luar biasa, dimana berbagai sekolah sains dan industri bisa menikmatinya di negeri yang Mulia, yang metropolit itu.
Kami mengharapkan anak-anak kami bisa menimba keagungan yang ideal ini agar kelak menjadi cikal bakal kebaikan untuk mewarisi peninggalan yang Mulia guna menebar cahaya ilmu di negeri kami, yang masih diliputi kebodohan dari berbagai penjuru.
Kami telah memutuskan puteri saudara kandung kami, Dubant, untuk memimpin delegasi dari puteri-puteri pemuka Inggeris agar bisa memetik kemuliaan … agar kelak beliau bisa ditempatkan bersama teman-teman puterinya dalam naungan kebesaran yang Mulia.
Puteri kecil kami, juga telah dibekali dengan hadiah kehormatan untuk menghormati kedudukan yang Mulia nan agung..
Hamba mengharapkan kemuliaan yang Mulia dengan berkenan menerimanya, dengan penuh hormat dan penuh cinta yang tulus.
Tertanda,
Pelayan yang Mulia nan taat,
George II
Source: HT Sudan
Thursday, August 30, 2007
Battle Of Thought : Dr. Ugi Suharto V.S Taufik Adnan Amal, Quran Edisi Kritis versi Jaringan Islam Liberal Untuk Apa?
Di dalam buku Wajah Liberal Islam di Indonesia terbitan Jaringan Islam Liberal (2002:78) dimuat sebuah tulisan berjudul "Edisi Kritis Alquran", karya Taufik Adnan Amal. Tulisan itu memberikan gambaran bahwa masih ada persoalan dengan "validitas" teks Alquran yang oleh kaum Muslim telah dianggap tuntas. Taufik Adnan Amal, dosen mata kuliah ulumul Quran di IAIN Alauddin Makassar, menulis: "Uraian dalam paragraf-paragraf berikut mencoba mengungkapkan secara ringkas proses pemantapan teks dan bacaan Alquran, sembari menegaskan bahwa proses tersebut masih meninggalkan sejumlah masalah mendasar, baik dalam ortografi teks maupun pemilihan bacaannya, yang kita warisi dalam mushaf tercetak dewasa ini.
Karena itu, tulisan ini juga akan menggagas bagaimana menyelesaikan itu lewat suatu upaya penyuntingan edisi kritis Alquran." Rencana penulisan "Edisi Kritis Quran" atau "Quran Edisi Kritis" versi kelompok Islam Liberal itulah yang pernah saya kritik, melalui dialog langsung dengan saudara Taufik Adnan Amal. Ada baiknya dialog itu saya turunkan kembali dalam website ini, agar dapat diperoleh gambaran yang memadai tentang upaya yang sudah pernah dicoba oleh para orientalis tersebut.
8 Januari 2002 (9 : 23 AM)
Ugi Suharto:
Salam khusus untuk Bung Taufik Adnan Amal. Saya sedang menulis sebuah artikel dalam Bahasa Malaysia mengenai Mushaf Usmani untuk Bulletin al-Hikmah yang diterbitkan oleh ISTAC. Diantara yang saya tulis sebagaiberikut:
"Usaha Taufik Adnan Amal dari Indonesia untuk mengeluarkan Qur'an Edisi Kritis (QEK) sebenarnya merupakan satu langkah mundur menghabiskan usianya mengekori para Orientalis tua yang dahulunya pernah mempunyai "ambitious project" tetapi telah gagal." Hal ini dinyatakan sendiri oleh Gerd-R. Puin:
"The plan of Bergstrasser, Jeffery and later Pretzl to prepare a critical edition of the Qur'an was not realized, and the collection of variants derived from real old codices failed to survive the bombs of World War II"(Lihat, The Qur'an as Text, Leiden: 1996, h. 107)
A. T. Welch dalam Encyclopaedia of Islam juga menulis mengenai keyakinan Orientalis yang semakin kendor dalam projek ini:
"Western scholarship has not reached a consensus on what value this mass of allegedly pre-Uthmanic variants has for our knowlwdge of the history of the Kur'an. Confidence in the variants declined during the 1930s as they being collected and analysed." (EI2, V 407b)
Begitu juga kata John Burton dalam EQ yang mengomentari keputus-asaan para Orientalis untuk meneruskan projek mereka:
"Interest has focused principally on the Qur'an as a literary monument and the labors of many outstanding experts might have resulted in a scholarly edition of the entire text. Such a project was, indeed, planned in the earlier years of the century by G. Bergstasser, A. Jeffry and others but was frustrated by the outbreak of the second world war." (Lihat, Encyclopaedia of the Qur'an, Leiden: 2001, h. 361)
Abu Ubayd (w. 224/838) pernah berkata:
"Perbuatan Utsman mengumpulkan dan menyusun al-Qur'an akan senantiasa diambil perkiraan, karena ia merupakan sumbangannya yang paling besar. Memang di kalangan orang-orang yang menyeleweng ada yang mencelanya, namun kecacatan merekalah yang tersingkap dan kelemahan-kelemahan merekalah yang terdedah."(Lihat, Tafsir al-Qurtubi, bagian Mukaddimah, 1: 84).
Herr Taufik, was ist ihr Kommentar?
Auf Wiederh?ren.....
(Ugi Suharto, ISTAC)
8 Januari 2002 (8 : 15 PM)
Taufik Adnan Amal:
Mas Ugi, saya tidak akan banyak berkomentar. Tetapi anda terlalu jauh membandingkan upaya pembuatan Quran Edisi Kritis (QEK) dengan yang dilakukan kalangan orientalis. Sebaiknya, sebelum anda merampungkan tulisan anda untuk ISTAC itu, anda baca dulu buku saya, Rekonstruksi Sejarah al-Quran, untuk memahami gagasan inti saya. Demikian pula, anda bisa mengontak teman-teman di JIL untuk mendapatkan makalah saya di TUK, "Menggagas Edisi Kritis al-Quran", supaya anda tidak terlalu dini menyimpulkan upaya QEK. Saya juga ingin meminta maaf kepada para jamaah islib, karena tidak bisa membalas posting-posting mereka yang menyangkut saya selama sebulan terakhir ini, karena sedang "nyepi" ke Maluku Utara, dan bersama beberapa teman dari FkBA yogya melakukan "wisata konflik" di berbagai bekas pusat kerusuhan disana -- sampai ke pedalaman Halmahera Utara.
Salam,
Taa
9 Januari, 2002 (9 : 47 AM)
Ugi Suharto:
Bung Taufik, terima kasih atas respon singkatnya. Saya ingin melanjutkan dialog kita.Kalau memang upaya Anda itu tidak sama dengan, dan tidak meniru-niru, apa yang ingin dibuat oleh orientalis itu, sepatutnya Anda tidak menggunakan istilah mereka "A Critical Edition of the Qur'an" alias Qur'an Edisi Kritis (QEK). Gunakan dong istilah yang lain, yang lebih kreatif.
Istilah QEK adalah istilah yang sudah mapan dikalangan orientalis yang menekuni bidang al-Qur'an dan merujuk kepada usaha mereka untuk membongkar Mushaf Usmani, baik dari segi susunan surah-surahnya, kronologinya, qiraahnya, jumlah surah dan ayat-ayatnya dan lain-lain. Pokoknya ingin "deconstruct", meminjam Derrida, Mushaf Usmani sehingga menjadi mushaf lain.
Saya sekali lagi ingin mengutip, dan ini dari Arkoun, bahwa QEK yang saya sebutkan memang bertujuan begitu, dan upaya itu sudah tidak diminati lagi oleh para orientalis kawakan pasca Noldeke-Blachere.
"Hence, the battle for a critical edition of the text of the Qur'an including most notably a chronological ranking of the suras (SEE CHRONOLOGY AND THE QUR'AN), is not as persistent as it was in the period between T. Noldeke and R. Blachere." (Encyclopaedia of the Qur'an, Leiden 2001, 1: 420b.)
Kalau memang upaya Anda itu berbeda dengan usaha orientalis yang sudah gagal itu, maka itu bukan QEK namanya, dan dari segi ilmiah Anda tidak berhak menggunakan nama itu. Kecualilah kalau Anda sendiri tidak ambil pusing tentang penggunaan istilah yang mana dengan istilah-istilah itu ilmu dan disiplin ilmu dapat berdiri dan dapat dibedakan satu sama lain. Otherwise, it will lead to a confusion.
Bung Taufik, sekian dulu dari saya.
Danke sch?n. Antworten Sie, bitte!
Wassalam
Ugi Suharto - ISTAC
10 Januari, 2002 (4: 34 PM)
Ugi Suharto:
Bung Taufik, diakhir-akhir makalah itu Anda menulis:
"Gagasan penyuntingan kembali suatu edisi kritis al-Quran yang diajukan disini, seperti terlihat, bukanlah hal yang baru atau asing dalam perjalanan historis kitab suci kaum Muslimin. Secara sporadis, gagasan ini telah diperjuangkan selama berabad-abad oleh sejumlah sarjana Muslim, tetapi tanpa membuahkan hasil yang berarti."
Setelah membaca makalah Anda, kesimpulan dan komentar saya adalah:
"Upaya Anda itu lebih kepada memperkenalkan "Ragam Bacaan (qira'ah)" dan "Ragam Tulisan (rasm)" kepada masyarakat awam. Namun Anda ingin juga menyunting bacaan-bacaan dan tulisan-tulisan tersebut kedalam Mushaf Usmani. Oleh karena itu, perbedaan upaya Anda dengan QEK versi orientalis itu just in degree and not in kind, karena sama-sama ingin mengubah Mushaf yang ada. Disisi lain Anda mengaburkan perbedaan antara "al-Qur'an" yang mutawatir, dan yang diterima oleh awam dan sarjana, dengan "qira'ah" yang kebanyakannya bukan mutawatir, dan hanya diketahui oleh para sarjana, dan Anda mencampur-adukkan antara keduanya kepada orang awam dengan gagasan penyuntingan itu.
Kalau tujuan Anda ingin mencerdaskan umat bukan dengan QEK caranya. Ajak mereka belajar Islam betul-betul dengan guru-guru yang betul juga. Atau Anda terjemahkan saja kitab-kitab tafsir besar yang memang menunjukkan qira'ah yang beragam pada tiap-tiap ayat al-Qur'an, seperti pada tafsir al-Qurtubi misalnya. Dan upaya ini lebih produktive ketimbang QEK yang malah membawa kekeliruan dan fitnah kepada umat dan kepada Anda sendiri nantinya. Percaya deh....
Anda menyatakan bahawa upaya Anda itu bukanlah baru. Saya ingin bertanya; siapa "sejumlah sarjana Muslim" yang Anda maksudkan itu yang telah memulai upaya seperti upaya Anda?
Anda mengemukakan kasus Ibnu Miqsam dan Ibnu Syanabudh yang menurut Anda "keduanya yang membolehkan kaum Muslimin menggunakan bacaan Ibn Mas'ud dan Ubay ibn Ka'b, atau bacaan dalam kerangka konsonantal apa pun yang selaras dengan kaidah kebahasaan dan masuk akal" yang menyebabkan mereka ditolak ulama Islam.Saya perlu nyatakan disini bahwa kesalahan Ibnu Miqsam dan Ibnu Syanabudh itu bukan seperti yang Anda nyatakan. Yang benar kesalahan Ibnu Miqsam karena menyepelekan sanad, dan kesalahan Ibnu Syanabudh karena menyepelekan mushaf. (Lihat, Ibn al-Jazari, Ghayat al-Nihayah, ed. G. Bergstraesser, 2: 124).
Kedua-duanya menyepelekan salah satu dari tiga rukun qira'ah yang telah disepakati oleh para ulama. Apakah Anda juga ingin mengikuti jejak langkah mereka berdua?
Dalam kasus di atas Anda tidak merujuk kepada Ibn al-Jazari yang saya sebutkan itu, tapi Anda merujuk pada Fihrist Ibn Nadim yang diterjemahkan oleh Dodge. Saya cek rujukan Anda dan saya tidak menemukan klaim Anda itu. Terjemahan Fihrist hal. 70-72 itu hanya membincangkan Ibn Syanabudh dan tidak Ibn Miqsam. Malah di situ Ibn Nadim sendiri mengatakan bahwa Ibn Syanbudh "was religious, nonaggressive, but foolish."....dan "he had little science." (hal.70) Ibn Nadim juga menyatakan bahwa Ibn Syanabudh bertaubat dan menuliskan taubatnya seperti yang dinyatakan dalam Fihrist sebagai berikut:
"I used to read expressions differing from the version of Uthman ibn 'Affan,
which was confirmed by consensus, its recital being agreed upon by the
Companions of the Apostle of Allah. Then it became clear to me that this was
wrong, so that I am contrite because of it and from it torn away. Now before
Allah, may His name be glorified for from Him is acquittal, behold the
version of 'Uthman is the correct one, with which it is not proper to differ
and other than which there is no way of reading." (h. 72)
Jadi apa alasan Anda membela-bela Ibn Miqsam dan Ibn Syanabudh yang telah ditolak oleh para sarjana itu? Anda sendiri mengakui bahwa usaha mengubah Mushaf Usmani itu tidak "membuahkan hasil yang berarti." Itulah yang saya katakan sebagai langkah mundur! Ketika para ulama kita berbincang mengenai ijtihad, ia tidak ditujukan kepada usaha untuk menyalahi Mushaf Usmani. Upaya Anda itu tidak masuk dalam ruang lingkup ijtihad. Ini sekali lagi salah kaprah menggunakan istilah "ijtihad". Apa beda "Ijtihad" atau pembaharuan Mushaf Usmani dengan membunuh mushaf itu? Sekian dulu, karena sudah terlalu panjang. Salam 'ala man ittaba'a al-huda
Ugi Suharto – ISTAC
11 Januari, 2002 (12 : 47 AM)
Taufik Adnan:
Bung Ugi,
1. Anda tampaknya mereduksi kandungan tulisan itu hanya pada aspek kiraat. Ada hal lainnya, yang luput dari pembacaan anda, yakni penyempurnaan ortografis mushaf utsmani. Alasan kenapa rasm ini mesti disempurnakan telah dikemukakan dalam tulisan itu. Saya tidak sependapat dengan pandangan yang menenggelamkan berbagai inkonsistensi ortografis teks utsmani ke dalam doktrin i'jaz al-Quran.
2. Anda masih belum bisa membedakan antara gagasan QEK dengan gagasan para orientalis, yang menghendaki adanya versi alternatif al-Quran – sebagaimana yang eksis dalam tradisi biblical studies. Upaya peramuan ragam bacaan -- termasuk di luar tradisi kiraat tujuh -- dan penyempurnaan ortografis ditujukan untuk menghasilkan teks dan bacaan yang lebih baik dibandingkan yang ada sekarang ini -- alasan dan argumentasi untuknya dikemukakan dalam tulisan itu. Ikhtiyar dan irtijal tentu saja akan dimanfaatkan untuk hal tersebut, dan gagasan Ibn Mujahid yang menabukan penggabungan ragam kiraah yang memiliki asal-usul berbeda tentu saja mesti dilangkahi, karena, seperti disebutkan, sistem-sistem bacaan yang ada, termasuk kiraat tujuh, dibangun dengan cara semacam itu.
3. Kenapa kiraat di luar tradisi utsmani digunakan?
Alasannya sederhana sekali: kiraat pra-utsmani terkadang memberikan makna yang lebih masuk akal dibanding kiraat dalam tradisi teks utsmani. Saya ingin mengulang kembali contoh yang pernah dikemukakan Luthfi dalam postingnya yang terdahulu: Bacaan "ibil" (unta, 88:17) dalam konteks 88:17-20, sangat tidak koheren dengan ungkapan "al-sama'" (langit), "al-jibal" (gunung-2), dan "al-ardl" (bumi). Dalam bacaan Ibn Mas'ud, Aisyah, Ubay, kerangka grafis yang sama dibaca dengan mendobel "lam", yakni "ibill" (awan). Bacaan pra-utsmani ini, jelas lebih koheren dan memberikan makna yang lebih logis ketimbang bacaan mutawatir ibil. Demikian pula, bacaan Ubay dan Ibn Mas'ud "min dzahabin" untuk 17:93, memiliki makna yang lebih tegas dibanding bacaan "min zukhrufin" dalam teks utsmani. Masih banyak contoh lainnya yang bisa dielaborasi untuk butir ini.
4. Yang biasanya dipandang sebagai bacaan-bacaan mutawatir, pada hakikatnya adalah bacaan yang ditransmisikan secara tunggal (ahad) dari Nabi ke para imam kiraat yang populer. Mata rantai periwayatannya baru bersifat mutawatir dalam trasmisinya dari para imam tersebut. Hal ini telah dikatakan jauh hari oleh al-Zarkasyi.
5. Saya pikir upaya penerjemahan tafsir-tafsir klasik itu bagus. Tetapi, dengan begitu kita hanya produktif sebagai perekam yang pasif. Kalau upaya ini dijalankan dalam semua lini, kita tentunya berada dalam posisi status quo.
6. Selain Ibn Miqsam dan Ibn Syanabudz, Isa ibn Umar al-Tsaqafi bisa disebut untuk sarjana yang tidak sepakat dengan penunggalan teks (utsmani). Sementara pertikaian di kalangan sarjana Muslim tentang kiraah sepuluh dan kiraah empat belas merupakan upaya untuk memperluas cakupan lectio vulgata di luar tradisi kiraat tujuh. Di bidang ortografi, Abu Bakr al-Baqillani, Izz al-Din Abd al-Salam, merupakan sarjana stok masa lalu yang tidak menyepakati pembakuan teks utsmani. Untuk periode modern, beberapa nama yang disebut dalam tulisan merupakan contohnya.
7. Ibn Miqsam memang membolehkan umat Islam menggunakan bacaan dalam kerangka konsonantal apapun yang selaras dengan kaidah kebahasan dan logis. Dalam ilmu kiraat, hal ini dikenal sebagai pembacaan "'ala qiyas (aw madzahib) al-'arabiyyah" atau "irtijal". Karena itu, prasyarat kesesuaian dengan teks terkadang tidak terpenuhi. (Tentang Ibn Miqsam, bisa dilihat dalam Ibn Miskawaih, Tajarib, ed. Amedroz, 1, 285,13).
Sementara Ibn Syanabudz seperti kutipan mahdar dari fihrist dipersalahkan karena membaca, dan membolehkan umat Islam membaca, menurut bacaan para sahabat -- penelitian dari ragam bacaannya dalam Fihrist menunjukkan ia lebih cenderung kepada Ibn Mas'ud dan Ubay. Dengan demikian, Ibn Syanabudz melangkahi prasyarat mutawatir. (Ketiga prasyarat yang lazim disepakati -- ketiganya, dalam gagasan ortodoksi, merupakan kesatuan) adalah mutawatir, keselarasan dengan teks utsmani, dan keselarasan dengan kaidah bahasa. Penolakan terhadap kedua pakar ini syarat dengan nuansa politik -- para wazir Abasiyah terlibat secara intens dalam hal ini!
8. Ikhtiyar dan irtijal dalam rangka menyusun suatu sistem bacaan adalah ijtihad. Kaitannya sangat jelas. Anda bisa lihat, dengan ditutupnya pintu ijtihad pada abad ke-10, tidak ada lagi upaya yang substansial untuk membangun sistem kiraat tersendiri. Upaya-upaya semacam ini, dalam doktrin Ibn Mujahid yang telah disitir, tidak diperbolehkan lagi. Kalau ijtihad setelah itu hanya bisa dilakukan secara parsial, maka dalam bidang kiraat, ikhtiyar hanya digunakan untuk mematut-matut mata rantai periwayatan kiraat.
9. Dengan menyunting kembali mushaf utsmani, seperti digagaskan, mushaf ini akan semakin lebih konsisten dan logis.
Salam
Taa
11 Januari, 2002 (3 : 13 PM)
Ugi Suharto:
Saudaraku Bung Taufik,
Mungkin ini posting terakhir saya mengenai dialog kita. Saya kini sudah mengetahui posisi Anda dengan lebih tepat. Jadi saya ada justifikasi yang lebih kuat untuk tetap memasukkan nama Anda, dalam tulisan saya, sebagai orang yang terpengaruh dengan gagasan QEK orientalis. Sebelum saya menutup dialog ini saya ingin sekali lagi memberi komentar atas tanggapan Anda pada posting yang lalu.
Saya tidak mereduksi makalah Anda. Saya tahu skop perbincangan Anda, oleh sebab itu saya katakan bahwa Anda ingin memperkenalkan "ragam qira'ah" dan "ragam rasm" kepada masyarakat awam. Sengaja saya fokuskan komentar saya pada aspek qira'ahnya saja karena itu yang paling penting. Dan buktinya ketika Anda memberikan komentar kembali Anda pun lebih memfokuskan pada qira'ah juga. Karena ini memang isunya yang paling utama. Adapun mengenai tulisan teks (rasm) itu bukan isu utama, buktinya adalah sampai hari ini umat Islam dan ulama Islam tetap membenarkan wujudnya "rasm usmani" dan "rasm imla'i", kedua-dua rasm ini tetap dipakai sampai hari ini. Jadi tidak ada bantahan terhadap Imam al-Baqillani rahimahullah.
Anda tahu bahwa para ulama sepakat bahwa "al-rasm tabi'u li al-riwayah". Nah, lalu kenapa isu ortografi ini dibesar-besarkan? Ini adalah agenda para orientalis yang ingin menyodorkan konsep mereka "reading follows the text". Bagi para orientalis ini, text itulah yang penting, (kerana mereka memang dari tradisi Ahlul Kitab, yang kata al-Attas, "bookish") dan perbedaan bacaan adalah disebabkan karena text Usmani itu pada asalnya tidak ada titik dan harakahnya.
Gagasan ini dikemukakan oleh Ignaz Goldziher dalam bukunya "Die Richtungen der islamischen Korananslegung" (Leiden: E. J. Brill, 1970), h. 3-4. Silahkan rujuk. Cara membaca sejarah al-Qur'an ala Goldziher ini salah. Karena, kalaulah benar dakwaan Goldziher bahwa perbedaan bacaan itu bersumber dari teks yang tidak ada titik dan harakahnya, sudah tentu tidak ada lagi qira'ah tujuh, sepuluh, atau empat belas itu, dan sudah tentu terlalu banyak qira'ah yang beredar dan diakui dari dahulu hingga kini, termasuklah qira'ah yang tidak tsabit dari Rasulullah (SAW). Fakta dan realitas ini bertentangan dengan kesimpulan Goldzhiher.
Saya berharap Bung Taufik tidak terperangkap dengan agenda halus mereka. Ingat Goldziher itu pernah meluahkan isi hatinya memuji Islam dan al-Qur'an. Namun sayang Goldziher yang kita ketahui itu adalah seseorang yang sangat keras penentangannya terhadap Islam dan sumber-sumber Islam, dan bukan kah Goldziher yang pernah menggoreskan kata-katanya dalam dirinya sebagai berikut:
"I truly entered into the spirit of Islam to such an extent that ultimately I became inwardly convinced that I myself was a Muslim, and judiciously discovered that this was the only religion which, even in its doctrinal and official formulation, can satisfy philosophical minds. My ideal was to elevate Judaism to a similar rational level." (Lihat Muhammad Zubayr Siddiqi, Hadith Literature, The Islamic Text Society, 1993, h. 124-125 yang diambil dari R. Patai, Ignaz Goldziher and His Oriental Diary, Detroit: 1987, h. 20).
Bung Taufik,
Contoh-contoh qira'ah yang Anda kemukakan untuk dijadikan QEK itu sudah diketahui oleh para sarjana. Mereka tidak keliru seperti Anda, dengan mencampur-adukkan antara qira'ah dan al-Qur'an. Contoh "ibil" dengan "ibill" yang Anda pilih juga sudah diketahui lama oleh mereka. Lihat saja dalam tafsir al-Qurtubi yang bagi Anda menterjemahkannya itu sama dengan status quo alias mandeg.
Saya akan buktikan bahwa Anda belum melampaui apa-apa dari Imam al-Qurtubi itu dan Anda mungkin belum membacanya juga mengenai "ibil” (takhfif) dan "ibill" (tatsqil) disitu. Dalam tafsir itu dikatakan oleh imam al-Mawardi bahwa perkataan "ibil" (takhfif) mempunyai dua makna: pertama unta, dan yang kedua awan yang membawa hujan. Dari sini kita berkesimpulan bahwa rasm "ibil" itu bisa memuat makna unta dan awan sekaligus, sedangkan apabila ditulis "ibill" (tatsqil) ia hanya memuat makna awan semata-mata.
Jadi mana yang lebih komprehensif menurut "akal" Anda? Satu lagi, menurut al-Qurtubi perkataan "ibil" itu mu'annats (feminin) oleh itu sesuai dengan ayatnya "khuliqat". Bagaimana dengan "ibill"? Saudaraku Bung Taufik,Saya kira sampai disini saja dialog kita. Anda berhak untuk membuat komentar atas komentar saya ini, tapi saya mungkin tidak akan menjawabnya. Saya kira sudah memadai bagi saya untuk mengetahui posisi Anda. Jadikanlah semua komentar itu sebagai nasihat. Ad-Din an-Nasihah.
11 Januari, 2002 (11 : 19 PM)
Taufik Adnan Amal:
Aufwiederhoeren Mas Ugi.
Taa
Karena itu, tulisan ini juga akan menggagas bagaimana menyelesaikan itu lewat suatu upaya penyuntingan edisi kritis Alquran." Rencana penulisan "Edisi Kritis Quran" atau "Quran Edisi Kritis" versi kelompok Islam Liberal itulah yang pernah saya kritik, melalui dialog langsung dengan saudara Taufik Adnan Amal. Ada baiknya dialog itu saya turunkan kembali dalam website ini, agar dapat diperoleh gambaran yang memadai tentang upaya yang sudah pernah dicoba oleh para orientalis tersebut.
8 Januari 2002 (9 : 23 AM)
Ugi Suharto:
Salam khusus untuk Bung Taufik Adnan Amal. Saya sedang menulis sebuah artikel dalam Bahasa Malaysia mengenai Mushaf Usmani untuk Bulletin al-Hikmah yang diterbitkan oleh ISTAC. Diantara yang saya tulis sebagaiberikut:
"Usaha Taufik Adnan Amal dari Indonesia untuk mengeluarkan Qur'an Edisi Kritis (QEK) sebenarnya merupakan satu langkah mundur menghabiskan usianya mengekori para Orientalis tua yang dahulunya pernah mempunyai "ambitious project" tetapi telah gagal." Hal ini dinyatakan sendiri oleh Gerd-R. Puin:
"The plan of Bergstrasser, Jeffery and later Pretzl to prepare a critical edition of the Qur'an was not realized, and the collection of variants derived from real old codices failed to survive the bombs of World War II"(Lihat, The Qur'an as Text, Leiden: 1996, h. 107)
A. T. Welch dalam Encyclopaedia of Islam juga menulis mengenai keyakinan Orientalis yang semakin kendor dalam projek ini:
"Western scholarship has not reached a consensus on what value this mass of allegedly pre-Uthmanic variants has for our knowlwdge of the history of the Kur'an. Confidence in the variants declined during the 1930s as they being collected and analysed." (EI2, V 407b)
Begitu juga kata John Burton dalam EQ yang mengomentari keputus-asaan para Orientalis untuk meneruskan projek mereka:
"Interest has focused principally on the Qur'an as a literary monument and the labors of many outstanding experts might have resulted in a scholarly edition of the entire text. Such a project was, indeed, planned in the earlier years of the century by G. Bergstasser, A. Jeffry and others but was frustrated by the outbreak of the second world war." (Lihat, Encyclopaedia of the Qur'an, Leiden: 2001, h. 361)
Abu Ubayd (w. 224/838) pernah berkata:
"Perbuatan Utsman mengumpulkan dan menyusun al-Qur'an akan senantiasa diambil perkiraan, karena ia merupakan sumbangannya yang paling besar. Memang di kalangan orang-orang yang menyeleweng ada yang mencelanya, namun kecacatan merekalah yang tersingkap dan kelemahan-kelemahan merekalah yang terdedah."(Lihat, Tafsir al-Qurtubi, bagian Mukaddimah, 1: 84).
Herr Taufik, was ist ihr Kommentar?
Auf Wiederh?ren.....
(Ugi Suharto, ISTAC)
8 Januari 2002 (8 : 15 PM)
Taufik Adnan Amal:
Mas Ugi, saya tidak akan banyak berkomentar. Tetapi anda terlalu jauh membandingkan upaya pembuatan Quran Edisi Kritis (QEK) dengan yang dilakukan kalangan orientalis. Sebaiknya, sebelum anda merampungkan tulisan anda untuk ISTAC itu, anda baca dulu buku saya, Rekonstruksi Sejarah al-Quran, untuk memahami gagasan inti saya. Demikian pula, anda bisa mengontak teman-teman di JIL untuk mendapatkan makalah saya di TUK, "Menggagas Edisi Kritis al-Quran", supaya anda tidak terlalu dini menyimpulkan upaya QEK. Saya juga ingin meminta maaf kepada para jamaah islib, karena tidak bisa membalas posting-posting mereka yang menyangkut saya selama sebulan terakhir ini, karena sedang "nyepi" ke Maluku Utara, dan bersama beberapa teman dari FkBA yogya melakukan "wisata konflik" di berbagai bekas pusat kerusuhan disana -- sampai ke pedalaman Halmahera Utara.
Salam,
Taa
9 Januari, 2002 (9 : 47 AM)
Ugi Suharto:
Bung Taufik, terima kasih atas respon singkatnya. Saya ingin melanjutkan dialog kita.Kalau memang upaya Anda itu tidak sama dengan, dan tidak meniru-niru, apa yang ingin dibuat oleh orientalis itu, sepatutnya Anda tidak menggunakan istilah mereka "A Critical Edition of the Qur'an" alias Qur'an Edisi Kritis (QEK). Gunakan dong istilah yang lain, yang lebih kreatif.
Istilah QEK adalah istilah yang sudah mapan dikalangan orientalis yang menekuni bidang al-Qur'an dan merujuk kepada usaha mereka untuk membongkar Mushaf Usmani, baik dari segi susunan surah-surahnya, kronologinya, qiraahnya, jumlah surah dan ayat-ayatnya dan lain-lain. Pokoknya ingin "deconstruct", meminjam Derrida, Mushaf Usmani sehingga menjadi mushaf lain.
Saya sekali lagi ingin mengutip, dan ini dari Arkoun, bahwa QEK yang saya sebutkan memang bertujuan begitu, dan upaya itu sudah tidak diminati lagi oleh para orientalis kawakan pasca Noldeke-Blachere.
"Hence, the battle for a critical edition of the text of the Qur'an including most notably a chronological ranking of the suras (SEE CHRONOLOGY AND THE QUR'AN), is not as persistent as it was in the period between T. Noldeke and R. Blachere." (Encyclopaedia of the Qur'an, Leiden 2001, 1: 420b.)
Kalau memang upaya Anda itu berbeda dengan usaha orientalis yang sudah gagal itu, maka itu bukan QEK namanya, dan dari segi ilmiah Anda tidak berhak menggunakan nama itu. Kecualilah kalau Anda sendiri tidak ambil pusing tentang penggunaan istilah yang mana dengan istilah-istilah itu ilmu dan disiplin ilmu dapat berdiri dan dapat dibedakan satu sama lain. Otherwise, it will lead to a confusion.
Bung Taufik, sekian dulu dari saya.
Danke sch?n. Antworten Sie, bitte!
Wassalam
Ugi Suharto - ISTAC
10 Januari, 2002 (4: 34 PM)
Ugi Suharto:
Bung Taufik, diakhir-akhir makalah itu Anda menulis:
"Gagasan penyuntingan kembali suatu edisi kritis al-Quran yang diajukan disini, seperti terlihat, bukanlah hal yang baru atau asing dalam perjalanan historis kitab suci kaum Muslimin. Secara sporadis, gagasan ini telah diperjuangkan selama berabad-abad oleh sejumlah sarjana Muslim, tetapi tanpa membuahkan hasil yang berarti."
Setelah membaca makalah Anda, kesimpulan dan komentar saya adalah:
"Upaya Anda itu lebih kepada memperkenalkan "Ragam Bacaan (qira'ah)" dan "Ragam Tulisan (rasm)" kepada masyarakat awam. Namun Anda ingin juga menyunting bacaan-bacaan dan tulisan-tulisan tersebut kedalam Mushaf Usmani. Oleh karena itu, perbedaan upaya Anda dengan QEK versi orientalis itu just in degree and not in kind, karena sama-sama ingin mengubah Mushaf yang ada. Disisi lain Anda mengaburkan perbedaan antara "al-Qur'an" yang mutawatir, dan yang diterima oleh awam dan sarjana, dengan "qira'ah" yang kebanyakannya bukan mutawatir, dan hanya diketahui oleh para sarjana, dan Anda mencampur-adukkan antara keduanya kepada orang awam dengan gagasan penyuntingan itu.
Kalau tujuan Anda ingin mencerdaskan umat bukan dengan QEK caranya. Ajak mereka belajar Islam betul-betul dengan guru-guru yang betul juga. Atau Anda terjemahkan saja kitab-kitab tafsir besar yang memang menunjukkan qira'ah yang beragam pada tiap-tiap ayat al-Qur'an, seperti pada tafsir al-Qurtubi misalnya. Dan upaya ini lebih produktive ketimbang QEK yang malah membawa kekeliruan dan fitnah kepada umat dan kepada Anda sendiri nantinya. Percaya deh....
Anda menyatakan bahawa upaya Anda itu bukanlah baru. Saya ingin bertanya; siapa "sejumlah sarjana Muslim" yang Anda maksudkan itu yang telah memulai upaya seperti upaya Anda?
Anda mengemukakan kasus Ibnu Miqsam dan Ibnu Syanabudh yang menurut Anda "keduanya yang membolehkan kaum Muslimin menggunakan bacaan Ibn Mas'ud dan Ubay ibn Ka'b, atau bacaan dalam kerangka konsonantal apa pun yang selaras dengan kaidah kebahasaan dan masuk akal" yang menyebabkan mereka ditolak ulama Islam.Saya perlu nyatakan disini bahwa kesalahan Ibnu Miqsam dan Ibnu Syanabudh itu bukan seperti yang Anda nyatakan. Yang benar kesalahan Ibnu Miqsam karena menyepelekan sanad, dan kesalahan Ibnu Syanabudh karena menyepelekan mushaf. (Lihat, Ibn al-Jazari, Ghayat al-Nihayah, ed. G. Bergstraesser, 2: 124).
Kedua-duanya menyepelekan salah satu dari tiga rukun qira'ah yang telah disepakati oleh para ulama. Apakah Anda juga ingin mengikuti jejak langkah mereka berdua?
Dalam kasus di atas Anda tidak merujuk kepada Ibn al-Jazari yang saya sebutkan itu, tapi Anda merujuk pada Fihrist Ibn Nadim yang diterjemahkan oleh Dodge. Saya cek rujukan Anda dan saya tidak menemukan klaim Anda itu. Terjemahan Fihrist hal. 70-72 itu hanya membincangkan Ibn Syanabudh dan tidak Ibn Miqsam. Malah di situ Ibn Nadim sendiri mengatakan bahwa Ibn Syanbudh "was religious, nonaggressive, but foolish."....dan "he had little science." (hal.70) Ibn Nadim juga menyatakan bahwa Ibn Syanabudh bertaubat dan menuliskan taubatnya seperti yang dinyatakan dalam Fihrist sebagai berikut:
"I used to read expressions differing from the version of Uthman ibn 'Affan,
which was confirmed by consensus, its recital being agreed upon by the
Companions of the Apostle of Allah. Then it became clear to me that this was
wrong, so that I am contrite because of it and from it torn away. Now before
Allah, may His name be glorified for from Him is acquittal, behold the
version of 'Uthman is the correct one, with which it is not proper to differ
and other than which there is no way of reading." (h. 72)
Jadi apa alasan Anda membela-bela Ibn Miqsam dan Ibn Syanabudh yang telah ditolak oleh para sarjana itu? Anda sendiri mengakui bahwa usaha mengubah Mushaf Usmani itu tidak "membuahkan hasil yang berarti." Itulah yang saya katakan sebagai langkah mundur! Ketika para ulama kita berbincang mengenai ijtihad, ia tidak ditujukan kepada usaha untuk menyalahi Mushaf Usmani. Upaya Anda itu tidak masuk dalam ruang lingkup ijtihad. Ini sekali lagi salah kaprah menggunakan istilah "ijtihad". Apa beda "Ijtihad" atau pembaharuan Mushaf Usmani dengan membunuh mushaf itu? Sekian dulu, karena sudah terlalu panjang. Salam 'ala man ittaba'a al-huda
Ugi Suharto – ISTAC
11 Januari, 2002 (12 : 47 AM)
Taufik Adnan:
Bung Ugi,
1. Anda tampaknya mereduksi kandungan tulisan itu hanya pada aspek kiraat. Ada hal lainnya, yang luput dari pembacaan anda, yakni penyempurnaan ortografis mushaf utsmani. Alasan kenapa rasm ini mesti disempurnakan telah dikemukakan dalam tulisan itu. Saya tidak sependapat dengan pandangan yang menenggelamkan berbagai inkonsistensi ortografis teks utsmani ke dalam doktrin i'jaz al-Quran.
2. Anda masih belum bisa membedakan antara gagasan QEK dengan gagasan para orientalis, yang menghendaki adanya versi alternatif al-Quran – sebagaimana yang eksis dalam tradisi biblical studies. Upaya peramuan ragam bacaan -- termasuk di luar tradisi kiraat tujuh -- dan penyempurnaan ortografis ditujukan untuk menghasilkan teks dan bacaan yang lebih baik dibandingkan yang ada sekarang ini -- alasan dan argumentasi untuknya dikemukakan dalam tulisan itu. Ikhtiyar dan irtijal tentu saja akan dimanfaatkan untuk hal tersebut, dan gagasan Ibn Mujahid yang menabukan penggabungan ragam kiraah yang memiliki asal-usul berbeda tentu saja mesti dilangkahi, karena, seperti disebutkan, sistem-sistem bacaan yang ada, termasuk kiraat tujuh, dibangun dengan cara semacam itu.
3. Kenapa kiraat di luar tradisi utsmani digunakan?
Alasannya sederhana sekali: kiraat pra-utsmani terkadang memberikan makna yang lebih masuk akal dibanding kiraat dalam tradisi teks utsmani. Saya ingin mengulang kembali contoh yang pernah dikemukakan Luthfi dalam postingnya yang terdahulu: Bacaan "ibil" (unta, 88:17) dalam konteks 88:17-20, sangat tidak koheren dengan ungkapan "al-sama'" (langit), "al-jibal" (gunung-2), dan "al-ardl" (bumi). Dalam bacaan Ibn Mas'ud, Aisyah, Ubay, kerangka grafis yang sama dibaca dengan mendobel "lam", yakni "ibill" (awan). Bacaan pra-utsmani ini, jelas lebih koheren dan memberikan makna yang lebih logis ketimbang bacaan mutawatir ibil. Demikian pula, bacaan Ubay dan Ibn Mas'ud "min dzahabin" untuk 17:93, memiliki makna yang lebih tegas dibanding bacaan "min zukhrufin" dalam teks utsmani. Masih banyak contoh lainnya yang bisa dielaborasi untuk butir ini.
4. Yang biasanya dipandang sebagai bacaan-bacaan mutawatir, pada hakikatnya adalah bacaan yang ditransmisikan secara tunggal (ahad) dari Nabi ke para imam kiraat yang populer. Mata rantai periwayatannya baru bersifat mutawatir dalam trasmisinya dari para imam tersebut. Hal ini telah dikatakan jauh hari oleh al-Zarkasyi.
5. Saya pikir upaya penerjemahan tafsir-tafsir klasik itu bagus. Tetapi, dengan begitu kita hanya produktif sebagai perekam yang pasif. Kalau upaya ini dijalankan dalam semua lini, kita tentunya berada dalam posisi status quo.
6. Selain Ibn Miqsam dan Ibn Syanabudz, Isa ibn Umar al-Tsaqafi bisa disebut untuk sarjana yang tidak sepakat dengan penunggalan teks (utsmani). Sementara pertikaian di kalangan sarjana Muslim tentang kiraah sepuluh dan kiraah empat belas merupakan upaya untuk memperluas cakupan lectio vulgata di luar tradisi kiraat tujuh. Di bidang ortografi, Abu Bakr al-Baqillani, Izz al-Din Abd al-Salam, merupakan sarjana stok masa lalu yang tidak menyepakati pembakuan teks utsmani. Untuk periode modern, beberapa nama yang disebut dalam tulisan merupakan contohnya.
7. Ibn Miqsam memang membolehkan umat Islam menggunakan bacaan dalam kerangka konsonantal apapun yang selaras dengan kaidah kebahasan dan logis. Dalam ilmu kiraat, hal ini dikenal sebagai pembacaan "'ala qiyas (aw madzahib) al-'arabiyyah" atau "irtijal". Karena itu, prasyarat kesesuaian dengan teks terkadang tidak terpenuhi. (Tentang Ibn Miqsam, bisa dilihat dalam Ibn Miskawaih, Tajarib, ed. Amedroz, 1, 285,13).
Sementara Ibn Syanabudz seperti kutipan mahdar dari fihrist dipersalahkan karena membaca, dan membolehkan umat Islam membaca, menurut bacaan para sahabat -- penelitian dari ragam bacaannya dalam Fihrist menunjukkan ia lebih cenderung kepada Ibn Mas'ud dan Ubay. Dengan demikian, Ibn Syanabudz melangkahi prasyarat mutawatir. (Ketiga prasyarat yang lazim disepakati -- ketiganya, dalam gagasan ortodoksi, merupakan kesatuan) adalah mutawatir, keselarasan dengan teks utsmani, dan keselarasan dengan kaidah bahasa. Penolakan terhadap kedua pakar ini syarat dengan nuansa politik -- para wazir Abasiyah terlibat secara intens dalam hal ini!
8. Ikhtiyar dan irtijal dalam rangka menyusun suatu sistem bacaan adalah ijtihad. Kaitannya sangat jelas. Anda bisa lihat, dengan ditutupnya pintu ijtihad pada abad ke-10, tidak ada lagi upaya yang substansial untuk membangun sistem kiraat tersendiri. Upaya-upaya semacam ini, dalam doktrin Ibn Mujahid yang telah disitir, tidak diperbolehkan lagi. Kalau ijtihad setelah itu hanya bisa dilakukan secara parsial, maka dalam bidang kiraat, ikhtiyar hanya digunakan untuk mematut-matut mata rantai periwayatan kiraat.
9. Dengan menyunting kembali mushaf utsmani, seperti digagaskan, mushaf ini akan semakin lebih konsisten dan logis.
Salam
Taa
11 Januari, 2002 (3 : 13 PM)
Ugi Suharto:
Saudaraku Bung Taufik,
Mungkin ini posting terakhir saya mengenai dialog kita. Saya kini sudah mengetahui posisi Anda dengan lebih tepat. Jadi saya ada justifikasi yang lebih kuat untuk tetap memasukkan nama Anda, dalam tulisan saya, sebagai orang yang terpengaruh dengan gagasan QEK orientalis. Sebelum saya menutup dialog ini saya ingin sekali lagi memberi komentar atas tanggapan Anda pada posting yang lalu.
Saya tidak mereduksi makalah Anda. Saya tahu skop perbincangan Anda, oleh sebab itu saya katakan bahwa Anda ingin memperkenalkan "ragam qira'ah" dan "ragam rasm" kepada masyarakat awam. Sengaja saya fokuskan komentar saya pada aspek qira'ahnya saja karena itu yang paling penting. Dan buktinya ketika Anda memberikan komentar kembali Anda pun lebih memfokuskan pada qira'ah juga. Karena ini memang isunya yang paling utama. Adapun mengenai tulisan teks (rasm) itu bukan isu utama, buktinya adalah sampai hari ini umat Islam dan ulama Islam tetap membenarkan wujudnya "rasm usmani" dan "rasm imla'i", kedua-dua rasm ini tetap dipakai sampai hari ini. Jadi tidak ada bantahan terhadap Imam al-Baqillani rahimahullah.
Anda tahu bahwa para ulama sepakat bahwa "al-rasm tabi'u li al-riwayah". Nah, lalu kenapa isu ortografi ini dibesar-besarkan? Ini adalah agenda para orientalis yang ingin menyodorkan konsep mereka "reading follows the text". Bagi para orientalis ini, text itulah yang penting, (kerana mereka memang dari tradisi Ahlul Kitab, yang kata al-Attas, "bookish") dan perbedaan bacaan adalah disebabkan karena text Usmani itu pada asalnya tidak ada titik dan harakahnya.
Gagasan ini dikemukakan oleh Ignaz Goldziher dalam bukunya "Die Richtungen der islamischen Korananslegung" (Leiden: E. J. Brill, 1970), h. 3-4. Silahkan rujuk. Cara membaca sejarah al-Qur'an ala Goldziher ini salah. Karena, kalaulah benar dakwaan Goldziher bahwa perbedaan bacaan itu bersumber dari teks yang tidak ada titik dan harakahnya, sudah tentu tidak ada lagi qira'ah tujuh, sepuluh, atau empat belas itu, dan sudah tentu terlalu banyak qira'ah yang beredar dan diakui dari dahulu hingga kini, termasuklah qira'ah yang tidak tsabit dari Rasulullah (SAW). Fakta dan realitas ini bertentangan dengan kesimpulan Goldzhiher.
Saya berharap Bung Taufik tidak terperangkap dengan agenda halus mereka. Ingat Goldziher itu pernah meluahkan isi hatinya memuji Islam dan al-Qur'an. Namun sayang Goldziher yang kita ketahui itu adalah seseorang yang sangat keras penentangannya terhadap Islam dan sumber-sumber Islam, dan bukan kah Goldziher yang pernah menggoreskan kata-katanya dalam dirinya sebagai berikut:
"I truly entered into the spirit of Islam to such an extent that ultimately I became inwardly convinced that I myself was a Muslim, and judiciously discovered that this was the only religion which, even in its doctrinal and official formulation, can satisfy philosophical minds. My ideal was to elevate Judaism to a similar rational level." (Lihat Muhammad Zubayr Siddiqi, Hadith Literature, The Islamic Text Society, 1993, h. 124-125 yang diambil dari R. Patai, Ignaz Goldziher and His Oriental Diary, Detroit: 1987, h. 20).
Bung Taufik,
Contoh-contoh qira'ah yang Anda kemukakan untuk dijadikan QEK itu sudah diketahui oleh para sarjana. Mereka tidak keliru seperti Anda, dengan mencampur-adukkan antara qira'ah dan al-Qur'an. Contoh "ibil" dengan "ibill" yang Anda pilih juga sudah diketahui lama oleh mereka. Lihat saja dalam tafsir al-Qurtubi yang bagi Anda menterjemahkannya itu sama dengan status quo alias mandeg.
Saya akan buktikan bahwa Anda belum melampaui apa-apa dari Imam al-Qurtubi itu dan Anda mungkin belum membacanya juga mengenai "ibil” (takhfif) dan "ibill" (tatsqil) disitu. Dalam tafsir itu dikatakan oleh imam al-Mawardi bahwa perkataan "ibil" (takhfif) mempunyai dua makna: pertama unta, dan yang kedua awan yang membawa hujan. Dari sini kita berkesimpulan bahwa rasm "ibil" itu bisa memuat makna unta dan awan sekaligus, sedangkan apabila ditulis "ibill" (tatsqil) ia hanya memuat makna awan semata-mata.
Jadi mana yang lebih komprehensif menurut "akal" Anda? Satu lagi, menurut al-Qurtubi perkataan "ibil" itu mu'annats (feminin) oleh itu sesuai dengan ayatnya "khuliqat". Bagaimana dengan "ibill"? Saudaraku Bung Taufik,Saya kira sampai disini saja dialog kita. Anda berhak untuk membuat komentar atas komentar saya ini, tapi saya mungkin tidak akan menjawabnya. Saya kira sudah memadai bagi saya untuk mengetahui posisi Anda. Jadikanlah semua komentar itu sebagai nasihat. Ad-Din an-Nasihah.
11 Januari, 2002 (11 : 19 PM)
Taufik Adnan Amal:
Aufwiederhoeren Mas Ugi.
Taa
Monday, August 20, 2007
Merdeka!...Maksud Loh??
Belum lama berselang, pada awal bulan sya’ban ini, penduduk negeri ini menyambut hari istimewa. Tepatnya 17 agustus, rakyat Indonesia selalu mengenang hari ini sebagai hari terbebasnya dari penjajahan. Bebasnya kita dari kungkungan penjajahan sangat kita patut kita syukuri sebagai sebuah karunia dari Allah SWT. Namun tidak sedikit orang bertanya, betulkah kita sudah sepenuhnya merdeka dari penjajahan?
Ini sangat tergantung apa yg kita maknai sebagai merdeka. Kalau kita sekedar memaknai merdeka sebagai terbebas dari penjajahan fisik, bisa jadi memang kita telah merdeka. Tapi apa sesederhana itu makna kemerdekaan? Tentu tidak. Menjadi merdeka mestinya membuat kita lebih bebas menentukan masa depan kita sendiri tanpa diatur oleh negara lain. Menjadi merdeka mestinya juga berarti kita bebas memanfaatkan potensi alam kita untuk kemakmuran rakyat. Menjadi merdeka mestinya berarti kita menjadi orang yang mandiri, yang bisa mengatakan tidak untuk hal yang tidak benar walaupun itu berasal dari negara besar.
Namun kalau mau jujur, sesungguhnya kita adalah bangsa yang hidup dibawah pengaruh bangsa lain. Pemimpin negeri ini kerap sekali menjalankan apa yg menjadi maunya bangsa asing, bahkan kalaupun itu mesti mengorbankan rakyat sendiri. Tengok saja kebijakan kenaikan harga BBM, siapa yang diuntungkan? Yang jelas bukan rakyat, karena berkat kenaikan BBM angka kemiskinan justru meningkat. Lalu tentang hukum, hukum siapa yang kita pakai? Setelah 62 tahun bangsa ini mengumumkan kemerdekaannya ternyata 80% produk hukum masih memakai hukum dari penjajah belanda. Belum lagi kalau kita lihat, siapa yang menguasai sumber daya alam kita, minyak kita, emas kita, logam-logam kita, kita akan dapatkan sebagian besar dikangkangi oleh bangsa asing. Sungguh kemerdekaan kita belum sempurna.
Ketidak sempurnaan kemerdekaan ini semakin menyesakkan kalau kita pahami dari sudut Islam. Kemerdekaan dalam Islam adalah ketika kondisi kita telah keluar dari kegelapan menuju kondisi penuh kegemilangan yg bercahaya. Kegelapan adalah kondisi-kondisi muram yang senantiasa menyeret kita kepada kehinaan, ketidakberdayaan, ditindas, dan tidak menjalankan syariah Allah. Inilah kondisi yang terjadi sebelum diutusnya Rasulullah SAW, dan sangat layak kondisi ini juga dilekatkan pada kondisi kita saat ini. Sedangkan kondisi bercahaya adalah gambaran dari kondisi yang mulia, yang penuh berkah dan Ridha illahi Rabbul ’alamin. Inilah kondisi yang terjadi setelah Rasulullah diutus dan kemudian memerintah di Madinah.
Sungguh misi Islam adalah mengeluarkan kita dari kegelapan menuju cahaya, sebagaimana yang dikatakan Allah ta’ala :
اللّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُواْ يُخْرِجُهُم مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّوُرِ وَالَّذِينَ كَفَرُواْ أَوْلِيَآؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُم مِّنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ
Allah Pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya. Adapun orang-orang kafir, pelindung-pelindung mereka ialah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan. (QS al-Baqarah [2]: 257).
Ayat ini menunjukkan bahwa syariat yang diturunkan oleh Allah akan membebaskan manusia dari kegelapan menuju cahaya; dari kegelapan kekufuran ideologi dan sistem Kapitalisme-sekular maupun Sosialisme-komunis menuju cahaya iman, yakni ideologi dan sistem Islam.
Misi ini juga terekam baik dalam jawaban yang dikemukakan oleh Rab'i bin Amir, Hudzaifah bin Mihshin, dan Mughirah bin Syu'bah ketika ditanya oleh Jenderal Rustum secara bergantian pada hari yang berbeda pada Perang Qadisiyah. Rustum bertanya, "Apa yang menyebabkan kalian datang ke sini?" Mereka menjawab, "Allah telah mengutus kami untuk membebaskan siapa saja-yang mau-dari penghambaan kepada hamba menuju penghambaan hanya kepada Allah semata, dari kesempitan dunia menuju keluasannya, dan dari kelaliman agama-agama selain Islam menuju keadilan Islam...." (Târîkh at-Thabarî, II/401, Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, Beirut.1407).
Inilah kemerdekaan hakiki yang akan diwujudkan oleh Islam. Walhasil, Islamlah yang akan membebaskan manusia dari penghambaan kepada manusia menuju penghambaan hanya kapada Allah semata, dari kesempitan dunia menuju kelapangannya, dan dari kelaliman agama dan ideologi selain Islam (Kapitalisme-sekular maupun Sosialisme-komunis) menuju keadilan Islam. Kemerdekaan hakiki inilah yang semestinya berusaha kita wujudkan.
Ini sangat tergantung apa yg kita maknai sebagai merdeka. Kalau kita sekedar memaknai merdeka sebagai terbebas dari penjajahan fisik, bisa jadi memang kita telah merdeka. Tapi apa sesederhana itu makna kemerdekaan? Tentu tidak. Menjadi merdeka mestinya membuat kita lebih bebas menentukan masa depan kita sendiri tanpa diatur oleh negara lain. Menjadi merdeka mestinya juga berarti kita bebas memanfaatkan potensi alam kita untuk kemakmuran rakyat. Menjadi merdeka mestinya berarti kita menjadi orang yang mandiri, yang bisa mengatakan tidak untuk hal yang tidak benar walaupun itu berasal dari negara besar.
Namun kalau mau jujur, sesungguhnya kita adalah bangsa yang hidup dibawah pengaruh bangsa lain. Pemimpin negeri ini kerap sekali menjalankan apa yg menjadi maunya bangsa asing, bahkan kalaupun itu mesti mengorbankan rakyat sendiri. Tengok saja kebijakan kenaikan harga BBM, siapa yang diuntungkan? Yang jelas bukan rakyat, karena berkat kenaikan BBM angka kemiskinan justru meningkat. Lalu tentang hukum, hukum siapa yang kita pakai? Setelah 62 tahun bangsa ini mengumumkan kemerdekaannya ternyata 80% produk hukum masih memakai hukum dari penjajah belanda. Belum lagi kalau kita lihat, siapa yang menguasai sumber daya alam kita, minyak kita, emas kita, logam-logam kita, kita akan dapatkan sebagian besar dikangkangi oleh bangsa asing. Sungguh kemerdekaan kita belum sempurna.
Ketidak sempurnaan kemerdekaan ini semakin menyesakkan kalau kita pahami dari sudut Islam. Kemerdekaan dalam Islam adalah ketika kondisi kita telah keluar dari kegelapan menuju kondisi penuh kegemilangan yg bercahaya. Kegelapan adalah kondisi-kondisi muram yang senantiasa menyeret kita kepada kehinaan, ketidakberdayaan, ditindas, dan tidak menjalankan syariah Allah. Inilah kondisi yang terjadi sebelum diutusnya Rasulullah SAW, dan sangat layak kondisi ini juga dilekatkan pada kondisi kita saat ini. Sedangkan kondisi bercahaya adalah gambaran dari kondisi yang mulia, yang penuh berkah dan Ridha illahi Rabbul ’alamin. Inilah kondisi yang terjadi setelah Rasulullah diutus dan kemudian memerintah di Madinah.
Sungguh misi Islam adalah mengeluarkan kita dari kegelapan menuju cahaya, sebagaimana yang dikatakan Allah ta’ala :
اللّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُواْ يُخْرِجُهُم مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّوُرِ وَالَّذِينَ كَفَرُواْ أَوْلِيَآؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُم مِّنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ
Allah Pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya. Adapun orang-orang kafir, pelindung-pelindung mereka ialah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan. (QS al-Baqarah [2]: 257).
Ayat ini menunjukkan bahwa syariat yang diturunkan oleh Allah akan membebaskan manusia dari kegelapan menuju cahaya; dari kegelapan kekufuran ideologi dan sistem Kapitalisme-sekular maupun Sosialisme-komunis menuju cahaya iman, yakni ideologi dan sistem Islam.
Misi ini juga terekam baik dalam jawaban yang dikemukakan oleh Rab'i bin Amir, Hudzaifah bin Mihshin, dan Mughirah bin Syu'bah ketika ditanya oleh Jenderal Rustum secara bergantian pada hari yang berbeda pada Perang Qadisiyah. Rustum bertanya, "Apa yang menyebabkan kalian datang ke sini?" Mereka menjawab, "Allah telah mengutus kami untuk membebaskan siapa saja-yang mau-dari penghambaan kepada hamba menuju penghambaan hanya kepada Allah semata, dari kesempitan dunia menuju keluasannya, dan dari kelaliman agama-agama selain Islam menuju keadilan Islam...." (Târîkh at-Thabarî, II/401, Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, Beirut.1407).
Inilah kemerdekaan hakiki yang akan diwujudkan oleh Islam. Walhasil, Islamlah yang akan membebaskan manusia dari penghambaan kepada manusia menuju penghambaan hanya kapada Allah semata, dari kesempitan dunia menuju kelapangannya, dan dari kelaliman agama dan ideologi selain Islam (Kapitalisme-sekular maupun Sosialisme-komunis) menuju keadilan Islam. Kemerdekaan hakiki inilah yang semestinya berusaha kita wujudkan.
Tuesday, August 14, 2007
Saatnya Khilafah Memimpin Dunia
HTI-Press - Lebih dari 100 ribu manusia memenuhi Stadion Utama Gelora Bung Karno, Ahad (12/8) dalam rangka menghadiri Konferensi Khilafah Internasional 2007 ‘’Saatnya Khilafah Memimpin Dunia’’ yang diselenggarakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Mereka berasal dari berbagai penjuru Indonesia dan dunia, dari mulai anak-anak hingga kakek-nenek.
Antusiasme umat Islam ini telah terlihat sejak pukul 03.00 dini hari. Massa mulai memasuki kawasan stadion dari berbagai pintu. Mereka berangkat menggunakan bus dan kendaraan pribadi, bahkan ada yang berjalan kaki. Tidak terlihat kelelahan di wajah-wajah mereka kendati habis melakukan perjalanan jauh. Justru yang terlihat adalah wajah gembira dan ceria untuk bisa mengikuti konferensi khilafah yang terbesar di dunia ini.
Gema takbir pun membahana di dalam stadion ketika acara dimulai. Panas matahari yang menyorot ke bagian barat stadion tak menyurutkan semangat mereka. Bendera al Liwa dan ar Raya terus dikibar-kibarkan. ’’Allahu Akbar’’
Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia Muhammad Ismail Yusanto, dalam pembukaannya mengingatkan kaum Muslim akan tiga peristiwa penting di bulan suci Rajab. Peristiwa pertama adalah Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW pada 27 Rajab. Kedua, adalah pembebasan Baitul Maqdis pada 27 Rajab tahun 583 hijriah dari kaum Salib. Ketiga, tragedi penghancuran khilafah oleh Inggris pada tanggal 28 Rajab tahun 1342 hijriah atau 3 Maret 1924. Akibat kehancuran khilafah ini, umat Islam terhinakan di semua bidang sampai sekarang.
Oleh karena itu, ia mengajak umat Islam untuk bersatu padu menegakkan kembali syariah Islam dalam naungan Khilafah. ’’Dalam naungan khilafah, kita akan mendapatkan kemuliaan sebagaimana yang pernah dirasakan oleh generasi mukmin sebelum kita,’’ tandas Ismail.
Panas matahari yang semula terik berangsur-angsur meredup. Awan menutupi langit di atas Gelora Bung Karno. Lantunan ayat-ayat Al Quran dibacakan. Takbir terus dikumandangkan.
Sebelum acara pokok, konferensi ini diisi dengan orasi tokoh. KH Abdullah Gymnastiar tampil untuk pertama kali. Dalam kondisinya yang masih sakit, da’i asal Bandung ini menyatakan alasannya mengapa ia datang. Menurutnya, ketika diundang oleh orang kafir saja mau datang, mengapa diundang sesama Muslim tidak?
Dalam orasi singkatnya, tema besar yang diusung oleh Hizbut Tahrir Indonesia yaitu saatnya khilafah memimpin dunia, hendaknya bisa menyadarkan seluruh umat Islam agar berani melakukan pembenahan kepada diri sendiri, sebelum memberikan penilaian kepada orang lain. Karena Islam bukanlah sebuah agama yang hanya membahas teori, tetapi membutuhkan pembuktian.
“Kenapa maksiat yang dikemas begitu baik sangat laku, tetapi kalau Islam yang begitu indah sulit untuk dibeli, padahal Islam itu penuh kasih sayang, Islam itu adil, Islam itu solusi, sehingga Islam butuh manusia yang menjadi bukti, ” jelas da’i yang sering dipanggil Aa Gym ini.
Orasi tokoh lain disampaikan oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Ketua Umum Syarikat Islam KH Amrullah Ahmad, Ketua MUI Sumatera Selatan KH Tholan Abdul Rauf, dan tokoh Nahdiyin dari Nusa Tenggara Barat Tuan Guru Turmudzi Badhuli. Orator lain yang sebelumnya berjanji untuk hadir yakni Menpora Adyaksa Dault, Amien Rais, dan KH Zainuddin MZ ternyata tidak datang. Adyaksa mengaku sedang sakit perut. Amien Rais ada acara di Solo, sedang Zainuddin berhalangan. Dua orator lainnya yakni Ustadz Abu Bakar Ba’asyir dan Habieb Rizieq Shihab dicekal oleh Mabes Polri.
Din Syamduddin mengatakan khilafah merupakan bentuk yang sudah ada dalam sejarah ajaran Islam. Inti sari ide tersebut sangat baik untuk meningkatkan persatuan umat Islam. Namun, menurutnya, tidak mudah untuk mencapainya. Karena itu ia mengajak uamt Islam untuk bersatu. “Agar khilafah itu terbentuk seluruh umat Islam harus merapat, baik ulama maupun cendikiawan Muslim,’’ katanya.
KH Amrullah Ahmad menegaskan bahwa tidak ada pilihan lain bagi umat Islam sekarang kecuali menengakkan kembali syariah Islam dalam naungan Daulah Khilafah. Ia mengajak umat bangkit kembali memperjuangkannya.
Konferensi ini diselingi oleh parade bedug dan reppling. Delapan ’reppler’ membawa bendera Liwa dan Raya dari atap tribun barat stadion GBK. Mereka meluncur dari ketinggian 80 meter di atas tanah. Mereka kemudian membentuk formasi di tengah lapangan dan kemudian memberikan bendera itu kepada para pembicara di panggung konferensi.
Konferensi ini rencananya menampilkan pembicara Dr Imran Waheed dari HT Inggris, Syeikh Issam Amirah dari HT Palestina, Syeikh Ismail al Wahwah dari HT Australia, Dr Salim Fredrick dari Inggris, Syeikh Usman Ibrahim dari HT Sudan, Prof Hassan Ko Nakata dari Jepang, dan Hafidz Abdurrahman dari HTI. Tiga pembicara tidak bisa hadir. Imran Waheed dan Ismail Wah Wah dideportasi oleh pemerintah Indonesia Jumat (10/8) sesaat setelah menginjakkan kaki di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Imran yang datang bersama istri dan dua anaknya yang masih kecil akhirnya keluar dari Indonesia saat itu juga. Tindakan yang sama dialami oleh Ismail Wah Wah. Tidak ada penjelasan resmi dari pemerintah tentang pencekalan dua pembicara itu.
Imran Waheed dalam orasinya menyatakan Barat saat ini menghadapi krisis peradaban yang parah. Ideologi kapitalisme tak mampu memperbaiki kondisi yang merosot tersebut. Akibatnya, peradaban itu mulai menuju kehancurannya.
Syeikh Ismail Al Wahwah mengatakan dunia saat ini membutuhkan Khilafah. Hanya khilafahlah yang akan mampu mengangkat derajat manusia baik itu Muslim maupun non Muslim. Khilafah sanggup mengembalikan posisi umat Islam sebagai umat terbaik.
Kembalinya khilafah bukan sebuah impian. Syeikh Issam Amirah menjelaskan ayat-ayat Allah menjelasakan dengan gambalang tentang kabar gembira akan datangnya kembali kekhilafahan tersebut. Berita ini dikuatkan pula oleh hadits-hadits Rasulullah SAW. Issam menukil hadits tentang akan datangnya Khilafah ala minhaji nubuwah (khilafah yang mengikuti jalan kenabian).
Tegaknya kembali khilafah pasti akan menggentarkan Barat. Syeikh Usman Ibrahim mengatakan dalam orasinya, ada tiga tantangan dari luar yang paling menonjol pasca teganya khilafah, yakni perang pemikiran dengan seluruh ragamnya, penyesatan, pengaburan, serta pemutarbalikan fakta; negara-negara Barat dan sekutunya akan mengembargo kekhilafahan baik secara ekonomi, politik, dan pemikiran; dan perang fisik. ’’Yang terakhir ini adalah tantangan yang paling berbahaya, paling berat dan paling dahsyat,’’ katanya.
Sementara itu, Prof Hassan Ko Nakata menguraikan tentang peran perjuangan Hizbut Tahrir membangun peradaban Islam ke depan. Menurutnya, HT adalah Islahi-Salafi-Sunni. HT menempati level tertinggi dalam pengajaran Islam.
Nakata menjelaskan, konsep Khilafah sebenarnya konsep universal yang bisa diterima oleh siapa saja termasuk kalangan Kristen, bahkan oleh orang sekuler sekalipun. Inilah yang diperjuangkan oleh HT. Karenanya, kata Nakata, hanya HT yang bisa dikatakan sebagai ’gerakan politik Islam’ yang memperjuangkan terealisasinya khilafah. Khusus untuk Indoneisa, Nakata menilai Indonesia memiliki syarat untuk tegaknya khilafah.
Konferensi terakhir disampaikan oleh Hafidz Abdurrahman (DPP HTI). Ia menguraikan apa yang dilakukan oleh HTI dalam rangka memperjuangkan tegaknya Khilafah. Aktivitas HTI adalah intelektual dan politik. Menurutnya, aktivitas ini tidak bisa dilakukan sendiri tapi butuh dukungan umat secara keseluruhan. Karena itu, HTI akan senantiasa bersama umat dan berada di tengah-tengah umat.
Sebelum ditutup, acara konferensi diselingi aksi teatrikal 400 siswa SMA yang menggambarkan kondisi umat Islam saat ini dan bagaimana nanti Khilafah akan menyatukan negeri-negeri Islam yang terpecah belah. Aksi selama 20 menit ini mendapat perhatian dari peserta konferensi.
Acara konferensi diakhiri dengan refleksi oleh Ustad Jamil Az Zaini dan Ustad Arifin Ilham. Suasana haru menyelimuti GBK. Tetes air mata membasahi pipi. Dan akhirnya acara berakhir dengan tertib dan damai. SAATNYA KHILAFAH MEMIMPIN DUNIA!!! [mujiyanto]
Antusiasme umat Islam ini telah terlihat sejak pukul 03.00 dini hari. Massa mulai memasuki kawasan stadion dari berbagai pintu. Mereka berangkat menggunakan bus dan kendaraan pribadi, bahkan ada yang berjalan kaki. Tidak terlihat kelelahan di wajah-wajah mereka kendati habis melakukan perjalanan jauh. Justru yang terlihat adalah wajah gembira dan ceria untuk bisa mengikuti konferensi khilafah yang terbesar di dunia ini.
Gema takbir pun membahana di dalam stadion ketika acara dimulai. Panas matahari yang menyorot ke bagian barat stadion tak menyurutkan semangat mereka. Bendera al Liwa dan ar Raya terus dikibar-kibarkan. ’’Allahu Akbar’’
Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia Muhammad Ismail Yusanto, dalam pembukaannya mengingatkan kaum Muslim akan tiga peristiwa penting di bulan suci Rajab. Peristiwa pertama adalah Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW pada 27 Rajab. Kedua, adalah pembebasan Baitul Maqdis pada 27 Rajab tahun 583 hijriah dari kaum Salib. Ketiga, tragedi penghancuran khilafah oleh Inggris pada tanggal 28 Rajab tahun 1342 hijriah atau 3 Maret 1924. Akibat kehancuran khilafah ini, umat Islam terhinakan di semua bidang sampai sekarang.
Oleh karena itu, ia mengajak umat Islam untuk bersatu padu menegakkan kembali syariah Islam dalam naungan Khilafah. ’’Dalam naungan khilafah, kita akan mendapatkan kemuliaan sebagaimana yang pernah dirasakan oleh generasi mukmin sebelum kita,’’ tandas Ismail.
Panas matahari yang semula terik berangsur-angsur meredup. Awan menutupi langit di atas Gelora Bung Karno. Lantunan ayat-ayat Al Quran dibacakan. Takbir terus dikumandangkan.
Sebelum acara pokok, konferensi ini diisi dengan orasi tokoh. KH Abdullah Gymnastiar tampil untuk pertama kali. Dalam kondisinya yang masih sakit, da’i asal Bandung ini menyatakan alasannya mengapa ia datang. Menurutnya, ketika diundang oleh orang kafir saja mau datang, mengapa diundang sesama Muslim tidak?
Dalam orasi singkatnya, tema besar yang diusung oleh Hizbut Tahrir Indonesia yaitu saatnya khilafah memimpin dunia, hendaknya bisa menyadarkan seluruh umat Islam agar berani melakukan pembenahan kepada diri sendiri, sebelum memberikan penilaian kepada orang lain. Karena Islam bukanlah sebuah agama yang hanya membahas teori, tetapi membutuhkan pembuktian.
“Kenapa maksiat yang dikemas begitu baik sangat laku, tetapi kalau Islam yang begitu indah sulit untuk dibeli, padahal Islam itu penuh kasih sayang, Islam itu adil, Islam itu solusi, sehingga Islam butuh manusia yang menjadi bukti, ” jelas da’i yang sering dipanggil Aa Gym ini.
Orasi tokoh lain disampaikan oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Ketua Umum Syarikat Islam KH Amrullah Ahmad, Ketua MUI Sumatera Selatan KH Tholan Abdul Rauf, dan tokoh Nahdiyin dari Nusa Tenggara Barat Tuan Guru Turmudzi Badhuli. Orator lain yang sebelumnya berjanji untuk hadir yakni Menpora Adyaksa Dault, Amien Rais, dan KH Zainuddin MZ ternyata tidak datang. Adyaksa mengaku sedang sakit perut. Amien Rais ada acara di Solo, sedang Zainuddin berhalangan. Dua orator lainnya yakni Ustadz Abu Bakar Ba’asyir dan Habieb Rizieq Shihab dicekal oleh Mabes Polri.
Din Syamduddin mengatakan khilafah merupakan bentuk yang sudah ada dalam sejarah ajaran Islam. Inti sari ide tersebut sangat baik untuk meningkatkan persatuan umat Islam. Namun, menurutnya, tidak mudah untuk mencapainya. Karena itu ia mengajak uamt Islam untuk bersatu. “Agar khilafah itu terbentuk seluruh umat Islam harus merapat, baik ulama maupun cendikiawan Muslim,’’ katanya.
KH Amrullah Ahmad menegaskan bahwa tidak ada pilihan lain bagi umat Islam sekarang kecuali menengakkan kembali syariah Islam dalam naungan Daulah Khilafah. Ia mengajak umat bangkit kembali memperjuangkannya.
Konferensi ini diselingi oleh parade bedug dan reppling. Delapan ’reppler’ membawa bendera Liwa dan Raya dari atap tribun barat stadion GBK. Mereka meluncur dari ketinggian 80 meter di atas tanah. Mereka kemudian membentuk formasi di tengah lapangan dan kemudian memberikan bendera itu kepada para pembicara di panggung konferensi.
Konferensi ini rencananya menampilkan pembicara Dr Imran Waheed dari HT Inggris, Syeikh Issam Amirah dari HT Palestina, Syeikh Ismail al Wahwah dari HT Australia, Dr Salim Fredrick dari Inggris, Syeikh Usman Ibrahim dari HT Sudan, Prof Hassan Ko Nakata dari Jepang, dan Hafidz Abdurrahman dari HTI. Tiga pembicara tidak bisa hadir. Imran Waheed dan Ismail Wah Wah dideportasi oleh pemerintah Indonesia Jumat (10/8) sesaat setelah menginjakkan kaki di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Imran yang datang bersama istri dan dua anaknya yang masih kecil akhirnya keluar dari Indonesia saat itu juga. Tindakan yang sama dialami oleh Ismail Wah Wah. Tidak ada penjelasan resmi dari pemerintah tentang pencekalan dua pembicara itu.
Imran Waheed dalam orasinya menyatakan Barat saat ini menghadapi krisis peradaban yang parah. Ideologi kapitalisme tak mampu memperbaiki kondisi yang merosot tersebut. Akibatnya, peradaban itu mulai menuju kehancurannya.
Syeikh Ismail Al Wahwah mengatakan dunia saat ini membutuhkan Khilafah. Hanya khilafahlah yang akan mampu mengangkat derajat manusia baik itu Muslim maupun non Muslim. Khilafah sanggup mengembalikan posisi umat Islam sebagai umat terbaik.
Kembalinya khilafah bukan sebuah impian. Syeikh Issam Amirah menjelaskan ayat-ayat Allah menjelasakan dengan gambalang tentang kabar gembira akan datangnya kembali kekhilafahan tersebut. Berita ini dikuatkan pula oleh hadits-hadits Rasulullah SAW. Issam menukil hadits tentang akan datangnya Khilafah ala minhaji nubuwah (khilafah yang mengikuti jalan kenabian).
Tegaknya kembali khilafah pasti akan menggentarkan Barat. Syeikh Usman Ibrahim mengatakan dalam orasinya, ada tiga tantangan dari luar yang paling menonjol pasca teganya khilafah, yakni perang pemikiran dengan seluruh ragamnya, penyesatan, pengaburan, serta pemutarbalikan fakta; negara-negara Barat dan sekutunya akan mengembargo kekhilafahan baik secara ekonomi, politik, dan pemikiran; dan perang fisik. ’’Yang terakhir ini adalah tantangan yang paling berbahaya, paling berat dan paling dahsyat,’’ katanya.
Sementara itu, Prof Hassan Ko Nakata menguraikan tentang peran perjuangan Hizbut Tahrir membangun peradaban Islam ke depan. Menurutnya, HT adalah Islahi-Salafi-Sunni. HT menempati level tertinggi dalam pengajaran Islam.
Nakata menjelaskan, konsep Khilafah sebenarnya konsep universal yang bisa diterima oleh siapa saja termasuk kalangan Kristen, bahkan oleh orang sekuler sekalipun. Inilah yang diperjuangkan oleh HT. Karenanya, kata Nakata, hanya HT yang bisa dikatakan sebagai ’gerakan politik Islam’ yang memperjuangkan terealisasinya khilafah. Khusus untuk Indoneisa, Nakata menilai Indonesia memiliki syarat untuk tegaknya khilafah.
Konferensi terakhir disampaikan oleh Hafidz Abdurrahman (DPP HTI). Ia menguraikan apa yang dilakukan oleh HTI dalam rangka memperjuangkan tegaknya Khilafah. Aktivitas HTI adalah intelektual dan politik. Menurutnya, aktivitas ini tidak bisa dilakukan sendiri tapi butuh dukungan umat secara keseluruhan. Karena itu, HTI akan senantiasa bersama umat dan berada di tengah-tengah umat.
Sebelum ditutup, acara konferensi diselingi aksi teatrikal 400 siswa SMA yang menggambarkan kondisi umat Islam saat ini dan bagaimana nanti Khilafah akan menyatukan negeri-negeri Islam yang terpecah belah. Aksi selama 20 menit ini mendapat perhatian dari peserta konferensi.
Acara konferensi diakhiri dengan refleksi oleh Ustad Jamil Az Zaini dan Ustad Arifin Ilham. Suasana haru menyelimuti GBK. Tetes air mata membasahi pipi. Dan akhirnya acara berakhir dengan tertib dan damai. SAATNYA KHILAFAH MEMIMPIN DUNIA!!! [mujiyanto]
Subscribe to:
Posts (Atom)