Secara ringkas, Imam Taqiyyuddin An Nabhani mendefinisikan Daulah Khilafah sebagai kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum Syariat Islam dan mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia (Imam Taqiyyuddin An Nabhani, Nizhamul Hukmi fil Islam, hal. 17).
Apa hukumnya mendirikan Khilafah?
Dari definisi di atas, jelas bahwa Daulah Khilafah adalah hanya satu untuk seluruh dunia. Karena nash-nash syara’ (nushush syar’iyah) memang menunjukkan kewajiban umat Islam untuk bersatu dalam satu institusi negara. Sebaliknya haram bagi mereka hidup dalam lebih dari satu negara.
Kewajiban tersebut didasarkan pada nash-nash al-Qur`an, as-Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qiyas. Dalam al-Qur`an Allah SWT berfirman:
“Dan berpeganglah kalian semuanya dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai…” (Qs. Ali-’Imraan [3]: 103).
Rasulullah SAW dalam masalah persatuan umat ini bersabda:
“Barangsiapa mendatangi kalian --sedang urusan (kehidupan) kalian ada di bawah kepemimpinan satu orang (Imam/Khalifah)-- dan dia hendak memecah belah kesatuan kalian dan mencerai-beraikan jamaah kalian, maka bunuhlah dia!” [HR. Muslim].
Rasulullah SAW bersabda:
“Jika dibai’at dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” [HR. Muslim].
Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa membai’at seorang Imam (Khalifah), lalu memberikan genggaman tangannya dan menyerahkan buah hatinya, hendaklah ia mentaatinya semaksimal mungkin. Dan jika datang orang lain hendak mencabut kekuasaannya, penggallah leher orang itu.” [HR. Muslim].
Di samping itu, Rasulullah SAW menegaskan pula dalam perjanjian antara kaum Muhajirin-Anshar dengan Yahudi:
“Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih lagi MahaPenyayang. Surat Perjanjian ini dari Muhammad —Nabi antara orang-orang beriman dan kaum muslimin dari kalangan Quraisy dan Yatsrib --serta yang mengikut mereka dan menyusul mereka dan berjihad bersama-sama mereka-- bahwa mereka adalah ummat yang satu, di luar golongan orang lain...” (Lihat Sirah Ibnu Hisyam, Jilid II, hal. 119).
Nash-nash al-Qur`an dan as-Sunnah di atas menegaskan adanya kewajiban bersatu bagi kaum muslimin atas dasar Islam (hablullah) –bukan atas dasar kebangsaan atau ikatan palsu lainnya yang direkayasa penjajah yang kafir— di bawah satu kepemimpinan, yaitu seorang Khalifah. Dalil-dalil di atas juga menegaskan keharaman berpecah-belah, di samping menunjukkan pula jenis hukuman syar’i bagi orang yang berupaya memecah-belah umat Islam menjadi beberapa negara, yakni hukuman mati.
Selain al-Qur`an dan as-Sunnah, Ijma’ Shahabat pun menegaskan pula prinsip kesatuan umat di bawah kepemimpinan seorang Khalifah. Abu Bakar Ash Shiddiq suatu ketika pernah berkata,”Tidak halal kaum muslimin mempunyai dua pemimpin (Imam).” Perkataan ini didengar oleh para shahabat dan tidak seorang pun dari mereka yang mengingkarinya, sehingga menjadi ijma’di kalangan mereka.
Bahkan sebagian fuqoha menggunakan Qiyas (sumber hukum keempat) untuk menetapkan prinsip kesatuan umat. Imam Al Juwaini berkata,”Para ulama kami (madzhab Syafi’i) tidak membenarkan akad Imamah (Khilafah) untuk dua orang…Kalau terjadi akad Khilafah untuk dua orang, itu sama halnya dengan seorang wali yang menikahkan seorang perempuan dengan dua orang laki-laki!”
Artinya, Imam Juwaini mengqiyaskan keharaman adanya dua Imam bagi kaum muslimin dengan keharaman wali menikahkan seorang perempuan dengan dua orang lelaki yang akan menjadi suaminya. Jadi, Imam/Khalifah untuk kaum muslimin wajib hanya satu, sebagaimana wali hanya boleh menikahkan seorang perempuan dengan satu orang laki-laki, tidak boleh lebih. (Lihat Dr. Muhammad Khair, Wahdatul Muslimin fi Asy Syari’ah Al Islamiyah, majalah Al Wa’ie, hal. 6-13, no. 134, Rabi’ul Awal 1419 H/Juli 1998 M)
Jelaslah bahwa kesatuan umat di bawah satu Khilafah adalah satu kewajiban syar’i yang tak ada keraguan lagi padanya. Karena itu, tidak mengherankan bila para imam-imam madzhab ¾Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad¾ bersepakat bulat bahwa kaum muslimin di seluruh dunia hanya boleh mempunyai satu orang Khalifah saja, tidak boleh lebih:
“...para imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad) --rahimahumullah-- bersepakat pula bahwa kaum mulimin di seluruh dunia pada saat yang sama tidak dibenarkan mempunyai dua imam, baik keduanya sepakat maupun tidak.” (Lihat Syaikh Abdurrahman Al Jaziri, Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hal. 416)
Hukum menegakkan Khilafah itu sendiri adalah wajib, tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan imam-imam madzhab dan mujtahid-mujtahid besar yang alim dan terpercaya.
Siapapun yang menelaah dalil-dalil syar’i dengan cermat dan ikhlas akan menyimpulkan bahwa menegakkan Daulah Khilafah hukumnya wajib atas seluruh kaum muslimin. Di antara argumentasi syar’i yang menunjukkan hal tersebut adalah:
Dalil Al-Qur’an
Di dalam al-Qur’an memang tidak terdapat istilah Daulah yang berarti negara. Tetapi di dalam al-Qur’an terdapat ayat yang menunjukkan wajibnya umat memiliki pemerintahan/negara (ulil amri) dan wajibnya menerapkan hukum dengan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul-Nya dan ulil amri di antara kalian.” (Qs. An-Nisaa` [4]: 59).
Ayat di atas telah memerintahkan kita untuk mentaati Ulil Amri, yaitu Al Haakim (Penguasa). Perintah ini, secara dalalatul iqtidha`, berarti perintah pula untuk mengadakan atau mengangkat Ulil Amri itu, seandainya Ulil Amri itu tidak ada, sebab tidak mungkin Allah memerintahkan kita untuk mentaati pihak yang eksistensinya tidak ada. Allah juga tidak mungkin mewajibkan kita untuk mentaati seseorang yang keberadaannya berhukum mandub. Maka menjadi jelas bahwa mewujudkan ulil amri adalah suatu perkara yang wajib. Tatkala Allah memberi perintah untuk mentaati ulil amri, berarti Allah memerintahkan pula untuk mewujudkannya. Sebab adanya ulil amri menyebabkan terlaksananya kewajiban menegakkan hukum syara’, sedangkan mengabaikan terwujudnya ulil amri menyebabkan terabaikannya hukum syara’. Jadi mewujudkan ulil amri itu adalah wajib, karena kalau tidak diwujudkan akan menyebabkan terlanggarnya perkara yang haram, yaitu mengabaikan hukum syara’ (tadhyii’ al hukm asy syar’iy).
Di samping itu, Allah SWT telah memerintahkan Rasulullah SAW untuk mengatur urusan kaum muslimin berdasarkan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Firman Allah SWT:
“Maka putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (dengan) meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (Qs. Al-Maa’idah [5]: 48).
“Dan putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari apa yang telah diturunkan Allah kepadamu” (Qs. Al-Maa’idah [5]: 49).
Dalam kaidah ushul fiqh dinyatakan bahwa, perintah (khitab) Allah kepada Rasulullah juga merupakan perintah kepada umat Islam selama tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah ini hanya untuk Rasulullah (Khitabur rasuli khithabun li ummatihi malam yarid dalil yukhashishuhu bihi). Dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah tersebut hanya kepada Rasulullah SAW. Oleh karena itu, ayat-ayat tersebut bersifat umum, yaitu berlaku pula bagi umat Islam. Dan menegakkan hukum-hukum yang diturunkan Allah, tidak mempunyai makna lain kecuali kecuali menegakkan hukum dan pemerintahan (as sulthan), sebab dengan pemerintahan itulah hukum-hukum yang diturunkan Allah dapat diterapkan secara sempurna. Dengan demikian, ayat-ayat ini menunjukkan wajibnya keberadaan sebuah negara untuk menjalankan semua hukum Islam, yaitu negara Khilafah.
Dalil As-Sunnah
Abdullah bin Umar meriwayatkan, “Aku mendengar Rasulullah mengatakan, ‘Barangsiapa melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, niscaya dia akan menemui Allah di Hari Kiamat dengan tanpa alasan. Dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tak ada bai’ah (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah.” [HR. Muslim].
Nabi SAW mewajibkan adanya bai’at pada leher setiap muslim dan mensifati orang yang mati dalam keadaan tidak berbai’at seperti matinya orang-orang jahiliyyah. Padahal bai’at hanya dapat diberikan kepada Khalifah, bukan kepada yang lain. Jadi hadits ini menunjukkan kewajiban mengangkat seorang Khalifah, yang dengannya dapat terwujud bai’at di leher setiap muslim. Sebab bai’at baru ada di leher kaum muslimin kalau ada Khalifah/Imam yang memimpin Khilafah.
Rasulullah SAW bersabda:
“Bahwasanya Imam itu bagaikan perisai (tameng), dari belakangnya umat berperang dan dengannya umat berlindung.” [HR. Muslim]
Rasulullah SAW bersabda:
“Dahulu para nabi yang mengurus Bani Israil. Bila wafat seorang nabi diutuslah nabi berikutnya, tetapi tidak ada lagi nabi setelahku. Akan ada para Khalifah dan jumlahnya akan banyak.” Para shahabat bertanya,’Apa yang engkau perintahkan kepada kami? Nabi menjawab,’Penuhilah bai’at yang pertama dan yang pertama itu saja. Penuhilah hak-hak mereka. Allah akan meminta pertanggungjawaban terhadap apa yang menjadi kewajiban mereka.” [HR. Muslim].
Rasulullah SAW bersabda:
“Bila seseorang melihat sesuatu yang tidak disukai dari amirnya (pemimpinnya), maka bersabarlah. Sebab barangsiapa memisahkan diri dari penguasa (pemerintahan Islam) walau sejengkal saja lalu ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah.” [HR. Muslim].
Hadits pertama dan kedua merupakan pemberitahuan (ikhbar) dari Rasulullah SAW bahwa seorang Khalifah adalah laksana perisai, dan bahwa akan ada penguasa-penguasa yang memerintah kaum muslimin. Pernyataan Rasulullah SAW bahwa seorang Imam itu laksana perisai menunjukkan pemberitahuan tentang adanya faidah-faidah keberadaan seorang Imam, dan ini merupakan suatu tuntutan (thalab). Sebab, setiap pemberitahuan yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya, apabila mengandung celaan (adz dzamm) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk meninggalkan (thalab at tarki), atau merupakan larangan (an nahy); dan apabila mengandung pujian (al mad-hu) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk melakukan perbuatan (thalab al fi’li). Dan kalau pelaksanaan perbuatan yang dituntut itu menyebabkan tegaknya hukum syara’ atau jika ditinggalkan mengakibatkan terabaikannya hukum syara’, maka tuntutan untuk melaksanakan perbuatan itu berarti bersifat pasti (fardlu). Jadi hadits pertama dan kedua ini menunjukkan wajibnya Khilafah, sebab tanpa Khilafah banyak hukum syara’ akan terabaikan.
Hadits ketiga menjelaskan keharaman kaum muslimin keluar (memberontak, membangkang) dari penguasa (as sulthan). Berarti keberadaan Khilafah adalah wajib, sebab kalau tidak wajib tidak mungkin Nabi SAW sampai begitu tegas menyatakan bahwa orang yang memisahkan diri dari Khilafah akan mati jahiliyah. Jelas ini menegaskan bahwa mendirikan pemerintahan bagi kaum muslimin statusnya adalah wajib.
Rasulullah SAW bersabda pula :
“Barangsiapa membai’at seorang Imam (Khalifah), lalu memberikan genggaman tangannya dan menyerahkan buah hatinya, hendaklah ia mentaatinya semaksimal mungkin. Dan jika datang orang lain hendak mencabut kekuasaannya, penggallah leher orang itu.” [HR. Muslim].
Dalam hadits ini Rasululah SAW telah memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati para Khalifah dan memerangi orang-orang yang merebut kekuasaan mereka. Perintah Rasulullah ini berarti perintah untuk mengangkat seorang Khalifah dan memelihara kekhilafahannya dengan cara memerangi orang-orang yang merebut kekuasaannya. Semua ini merupakan penjelasan tentang wajibnya keberadaan penguasa kaum muslimin, yaitu Imam atau Khalifah. Sebab kalau tidak wajib, niscaya tidak mungkin Nabi SAW memberikan perintah yang begitu tegas untuk memelihara eksistensinya, yaitu perintah untuk memerangi orang yang akan merebut kekuasaan Khalifah.
Dengan demikian jelaslah, dalil-dalil As Sunnah ini telah menunjukkan wajibnya Khalifah bagi kaum muslimin.
Dalil Ijma’ Shahabat
Sebagai sumber hukum Islam ketiga, Ijma’ Shahabat menunjukkan bahwa mengangkat seorang Khalifah sebagai pemimpin pengganti Rasulullah SAW hukumnya wajib. Mereka telah sepakat mengangkat Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, ridlwanullah ‘alaihim.
Ijma’ Shahabat yang menekankan pentingnya pengangkatan Khalifah, nampak jelas dalam kejadian bahwa mereka menunda kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah SAW dan mendahulukan pengangkatan seorang Khalifah pengganti beliau. Padahal menguburkan mayat secepatnya adalah suatu keharusan dan diharamkan atas orang-orang yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah untuk melakukan kesibukan lain sebelum jenazah dikebumikan. Namun, para shahabat yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah Rasulullah SAW ternyata sebagian di antaranya justru lebih mendahulukan upaya-upaya untuk mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah Rasulullah. Sedangkan sebagian shahabat lain mendiamkan kesibukan mengangkat Khalifah tersebut, dan ikut pula bersama-sama menunda kewajiban menguburkan jenazah Nabi SAW sampai dua malam, padahal mereka mampu mengingkari hal ini dan mampu mengebumikan jenazah Nabi secepatnya. Fakta ini menunjukkan adanya kesepakatan (ijma’) mereka untuk segera melaksanakan kewajiban mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah. Hal itu tak mungkin terjadi kecuali jika status hukum mengangkat seorang Khalifah adalah lebih wajib daripada menguburkan jenazah.
Demikian pula bahwa seluruh shahabat selama hidup mereka telah bersepakat mengenai kewajiban mengangkat Khalifah. Walaupun sering muncul perbedaan pendapat mengenai siapa yang tepat untuk dipilih dan diangkat menjadi Khalifah, namun mereka tidak pernah berselisih pendapat sedikit pun mengenai wajibnya mengangkat seorang Khalifah, baik ketika wafatnya Rasulullah SAW maupun ketika pergantian masing-masing Khalifah yang empat. Oleh karena itu Ijma’ Shahabat merupakan dalil yang jelas dan kuat mengenai kewajiban mengangkat Khalifah.
Dalil Dari Kaidah Syar’iyah
Ditilik dari analisis ushul fiqh, mengangkat Khalifah juga wajib. Dalam ushul fiqh dikenal kaidah syar’iyah yang disepakati para ulama:
“Sesuatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula keberadaannya.”
Menerapkan hukum-hukum yang berasal dari Allah SWT dalam segala aspeknya adalah wajib. Sementara hal ini tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna tanpa adanya kekuasaan Islam yang dipimpin oleh seorang Khalifah. Maka dari itu, berdasarkan kaidah syar’iyah tadi, eksistensi Khilafah hukumnya menjadi wajib.
Jelaslah, berbagai sumber hukum Islam tadi menunjukkan bahwa menegakkan Daulah Khilafah merupakan kewajiban dari Allah SWT atas seluruh kaum muslimin.
Pendapat Para Ulama
Seluruh imam madzhab dan para mujtahid besar tanpa kecuali telah bersepakat bulat akan wajibnya Khilafah (atau Imamah) ini. Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menegaskan hal ini dalam kitabnya Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hal. 416:
“Para imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad) --rahimahumullah-- telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu wajib adanya, dan bahwa ummat Islam wajib mempunyai seorang imam (khalifah,) yang akan meninggikan syiar-syiar agama serta menolong orang-orang yang tertindas dari yang menindasnya...”
Tak hanya kalangan Ahlus Sunnah saja yang mewajibkan Khilafah, bahkan seluruh kalangan Ahlus Sunnah dan Syiah ¾termasuk Khawarij dan Mu’tazilah¾ tanpa kecuali bersepakat tentang wajibnya mengangkat seorang Khalifah. Kalau pun ada segelintir orang yang tidak mewajibkan Khilafah, maka pendapatnya itu tidak perlu dianggap, karena bertentangan dengan nash-nash syara’ yang telah jelas.
Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar jilid 8 hal. 265 menyatakan:
“Menurut golongan Syiah, minoritas Mu’tazilah, dan Asy A’riyah, (Khilafah) adalah wajib menurut syara’.”
Ibnu Hazm dalam Al Fashl fil Milal Wal Ahwa’ Wan Nihal juz 4 hal. 87 mengatakan:
“Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji`ah, seluruh Syi’ah, dan seluruh Khawarij, mengenai wajibnya
Imamah (Khilafah).”
Bahwa Khilafah adalah sebuah ketentuan hukum Islam yang wajib ¾bukan haram apalagi bid’ah— dapat kitab temukan dalam khazanah Tsaqafah Islamiyah yang sangat kaya. Berikut ini sekelumit saja referensi yang menunjukkan kewajiban Khilafah: Imam Al Mawardi, Al Ahkamush Shulthaniyah, hal. 5, Abu Ya’la Al Farraa’, Al Ahkamush Shulthaniyah, hal.19, Ibnu Taimiyah, As Siyasah Asy Syar’iyah, hal.161, Ibnu Taimiyah, Majmu’ul Fatawa, jilid 28 hal. 62, Imam Al Ghazali, Al Iqtishaad fil I’tiqad,hal. 97, Ibnu Khaldun, Al Muqaddimah, hal.167, Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, juz 1 hal.264, Ibnu Hajar Al Haitsami, Ash Shawa’iqul Muhriqah, hal.17, Ibnu Hajar Asqallany, Fathul Bari, juz 13 hal. 176, Imam An Nawawi, Syarah Muslim, juz 12 hal. 205, Dr. Dhiya’uddin Ar Rais, Al Islam Wal Khilafah, hal.99, Abdurrahman Abdul Khaliq, Asy Syura, hal.26, Abdul Qadir Audah, Al Islam Wa Audla’una As Siyasiyah, hal. 124, Dr. Mahmud Al Khalidi, Qawaid Nizham Al Hukum fil Islam, hal. 248, Sulaiman Ad Diji, Al Imamah Al ‘Uzhma, hal.75, Muhammad Abduh, Al Islam Wan Nashraniyah, hal. 61, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Adapun buku-buku yang mengingkari wajibnya Khilafah –seperti Al Islam Wa Ushululul Hukm oleh Ali Abdur Raziq, Mabadi` Nizham Al Hukmi fil Islam oleh Abdul Hamid Mutawalli, Tidak Ada Negara Islam oleh Nurcholis Madjid—sebenarnya tidak perlu dianggap sebagai buku yang serius dan bermutu. Sebab isinya bertentangan dengan nash-nash syara’ yang demikian jelas dan terang. Buku-buku seperti ini tak lain hanya sampah yang kotor yang merupakan penyambung lidah kaum kafir penjajah –dan agen-agennya yaitu para penguasa muslim yang zalim-- yang selalu memaksakan sekulerisme kepada umat Islam dengan berbagai argumentasi palsu yang berkedok studi “ilmiah” atau studi “sosiohistoris-objektif”, dengan tujuan untuk menghapuskan hukum-hukum Allah dari muka bumi dengan cara menghapuskan ide Khilafah yang bertanggung jawab melaksanakan hukum-hukum tersebut.
Bagaimana metode (cara) mendirikan Khilafah itu?
Dalam hal ini perlu ditegaskan 2 (dua) prinsip. Pertama, bahwa aktivitas muslim wajib bersandar kepada hukum syara’, bukan bersandar kepada selainnya, seperti kepentingan sesaat, hawa nafsu, atau akal. Karena itu, perjuangan umat untuk mendirikan Khilafah harus berdasarkan kepada hukum-hukum syara’, tidak boleh didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan yang non-syara’. Keterikatan kepada Syariat Islam adalah kewajiban tiap muslim. Kedua, bahwa umat Islam wajib mengambil suri teladan (uswah hasanah) dari Nabi Muhammad SAW dalam masalah ini. Sebab, Rasulullah SAW telah memberi teladan bagaimana cara mengubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat Islam. Kita wajib meneladani manhaj (metode) Rasulullah SAW ini. Firman Allah SWT:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan Hari Kiamat, dan dia banyak menyebut Allah (dengan membaca dzikir dan mengingat Allah).” (Qs. Al-Ahzab [33]: 21).
“Katakanlah: ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Qs. Ali-Imran [3]: 31).
“Apa saja yang dibawa Rasul untuk kalian, maka ambilah. Dan apa saja yang dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah.” (Qs. Al-Hasyr [59]: 7).
Berdasarkan 2 (dua) prinsip itulah, maka langkah-langkah untuk mendirikan Khilafah dapat disarikan sebagai berikut:
1. Perjuangan harus dilakukan secara jama’i (berkelompok). Sebab mendirikan Khilafah adalah tugas yang berat yang tidak akan mampu dipikul oleh individu-individu. Karena itu, umat wajib berkelompok (berjamaah) untuk mendirikan Khilafah, sebab tanpa berkelompok tak mungkin kewajiban mulia itu dapat terealisir secara sempurna. Kaidah syara’ menetapkan :
Maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib
“Jika sebuah kewajiban tidak sempurna kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.”
Selain itu, berdirinya jamaah yang menyeru kepada Islam dan melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar adalah wajib pula berdasarkan firman Allah SWT:
“(Dan) hendaklah ada di antara kalian segolongan umat (jamaah) yang menyeru kepada kebaikan (mengajak memilih kebaikan, yaitu memeluk Islam), memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (Qs. Ali-Imran [3]: 104).
2. Perjuangan harus berada di jalur politik (siyasah). Sebab mendirikan Khilafah adalah masalah politik sehingga metode yang relevan untuk mendirikannya tentunya adalah melalui pendekatan politik. Penggunaan jalan politik ini bukan berarti menghalalkan segala cara, sebagaimana praktek politik saat ini yang sangat kotor dan tuna susila. Akan tetapi maksudnya adalah, perjuangan yang dilakukan harus selalu mengacu pada aktivitas pemeliharaan urusan umat, sebab politik (siyasah) adalah pemeliharaan dan pengaturan segala urusan umat menurut hukum-hukum syara’.
Dengan demikian, penegakan Khilafah tidak ditempuh melalui jalur selain politik. Jadi, mendirikan Khilafah paling tepat dilakukan oleh sebuah kelompok politik. Tidak tepat bila mendirikan Khilafah ditempuh melalui jalur selain politik, misalnya jalur yang dilakukan kelompok yang mengadakan kegiatan sosial-kemasyarakatan (seperti membangun sekolah dan rumah sakit; membantu fakir miskin, anak-anak yatim atau orang-orang jompo dan sebagainya), atau kelompok yang bergerak dalam peribadatan dan amalan-amalan sunnah, atau kelompok yang menerbitkan buku-buku keislaman, mentakhrij hadits-hadits Nabi SAW, dan sebagainya. Memang, semua itu adalah amal shaleh, bukan amal salah. Namun tidak tepat kalau itu dimaksudkan sebagai langkah atau jalur menuju berdirinya Khilafah.
3. Perjuangan tidak menggunakan cara kekerasan (fisik), misalnya dengan membentuk milisi-milisi bersenjata untuk menyerang penguasa. Sebab, aktivitas Rasulullah SAW di Mekah terbatas hanya pada dakwah secara lisan dan tidak melakukan kegiatan apapun yang bersifat fisik sampai beliau Hijrah. Bahkan tatkala tokoh-tokoh Madinah menawarkan kepada beliau pada Bai’atul Aqabah II agar mereka diizinkan memerangi penduduk Mina dengan pedang, Rasulullah SAW menjawab “lam nu`mar bi dzalika ba’du” (“Kami belum diperintahkan (untuk melakukan yang demikian (perang)”).
Kekuatan fisik yang dimaksud dalam hal ini tidak ada hubungannya dengan Jihad. Jihad tetap berlangsung terus hingga hari Kiamat. Apabila musuh-musuh kafir menyerang salah satu negeri Islam, maka wajib atas kaum muslimin yang menjadi penduduk negeri itu untuk menghadapinya.
4. Perjuangan harus menempuh tahap-tahap (marhalah) yang dicontohkan Rasulullah SAW. Dengan mendalami sirah Rasulullah SAW di Makkah hingga beliau berhasil mendirikan suatu Daulah Islam di Madinah, akan tampak jelas beliau menjalani dakwahnya dengan beberapa tahapan yang jelas ciri-cirinya. Beliau melakukan kegiatan-kegiatan tertentu yang tampak dengan jelas tujuan-tujuannya. Dari sirah Rasulullah SAW inilah kita mengambil metode dakwah dan tahapan-tahapannya, beserta kegiatan-kegiatan yang harus dilakukannya pada seluruh tahapan ini. Berdasarkan sirah Rasulullah SAW tersebut, kita dapati terdapat 3 (tiga) tahapan (marhalah) berikut : Pertama, Tahapan Pembinaan dan Pengkaderan (Marhalah At Tatsqif), yang dilaksanakan untuk membentuk kader-kader yang mempercayai pemikiran Islam dalam rangka pembentukan kerangka tubuh jamaah/kelompok. Kedua, Tahapan Berinteraksi dengan Umat (Marhalah Tafa’ul Ma’a Al Ummah), yang dilaksanakan agar umat turut memikul kewajiban dakwah Islam, hingga umat menjadikan Islam sebagai permasalahan utamanya, agar umat berjuang untuk mewujudkannya dalam realitas kehidupan. Ketiga, Tahapan Pengambilalihan Kekuasaan (Marhalah Istilaam Al Hukm), yang dilaksanakan untuk menerapkan Islam secara menyeluruh dan mengemban risalah Islam ke seluruh dunia.
Tahap pertama tersebut, serupa dengan apa yang telah dilakukan Rasulullah SAW pada tahap awal dakwah beliau yang berlangsung selama tiga tahun. Beliau berdakwah melalui individu dan menyam¬paikan kepada orang-orang (yang ada di Mekah dan sekitarnya) apa yang telah disampaikan Allah kepada¬nya. Bagi orang yang sudah mengimaninya, maka diikat dengan kelompoknya (pengikut Rasul) atas dasar Islam secara sembunyi-sembunyi. Rasulullah SAW berusaha mengajarkan Islam kepada setiap orang baru dan membacakan kepada mereka apa-apa yang telah diturunkan Allah dan ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga mereka berpola hidup secara Islam. Beliau bertemu dengan mereka secara rahasia dan membina mereka secara rahasia pula di tempat-tempat yang tersembunyi. Selain itu mereka melaksanakan ibadah secara sembunyi-sembunyi. Kemudian penyebaran Islam makin meluas dan menjadi buah bibir masyarakat (Mekah), yang pada akhirnya secara berangsur-angsur mereka masuk ke dalam Islam
Adapun tahap kedua, dilaksanakan Rasulullah SAW setelah turunnya firman Allah SWT:
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpa linglah dari orang-orang yang musyrik.” (Qs. Al-Hijr [15]: 94).
Rasulullah SAW diperintahkan menyampaikan risalahnya secara terang-terangan. Beliau menyeru orang-orang Quraisy di bukit Shafa dan memberitahu bahwasanya beliau adalah seorang nabi yang diutus. Beliau meminta agar mereka beriman kepadanya. Beliau memulai menyampaikan dakwahnya kepada kelompok-kelompok dan kepada individu-individu. Beliau menentang orang-orang Quraisy melawan tuhan-tuhan mereka, aqidah dan pemikiran mereka, mengungkapkan kepalsuan, kerusakan dan kesalahannya.
Beliau menyerang dan mencela setiap aqidah dan pemikiran kufur yang ada pada saat itu, sementara ayat al-Qur’an masih turun secara berangsur-angsur. Ayat al-Qur’an tersebut turun dan menyerang apa yang dilakukan orang-orang Quraisy, seperti perbuatan memakan riba, mengubur anak-anak perempuan (hidup-hidup), mengurangi timbangan dan perzinahan. Seiring dengan itu ayat al-Qur’an turun mengecam para pemimpin dan tokoh-tokoh Quraisy, mencapnya sebagai orang bodoh, termasuk nenek moyang mereka dan mengungkapkan persekongkolan yang mereka rancang untuk menentang Rasul dan sahabat-sahabatnya.
Sedang tahap ketiga, yakni pengambilalihan kekuasaan, ditempuh dengan cara melakukan thalabun nushrah (mencari pertolongan dan dukungan) untuk menjamin keberlangsungan dakwah secara aman dan memperoleh kekuasaan. Dalam sirah Rasulullah SAW, beliau mendapatkan nushrah dari kabilah Aus dan Khazraj yang dengan peristiwa Baiat Aqabah II, mereka akhirnya menjadikan Rasulullah SAW sebagai pemimpin mereka dan menyerahkan kekuasaan kepada beliau. Secara nyata kekuasaan ini dilaksanakan dan dijalankan oleh Rasulullah SAW setelah beliau berhijrah ke Madinah dan menjadikan Madinah sebagai Daulah Islamiyah pertama di muka bumi, untuk menegakkan hukum Allah di dalam negeri dan menyebarluaskan Islam dengan jalan dakwah dan jihad ke luar negeri.
Inilah langkah-langkah yang harus ditempuh umat untuk mengembalikan Khilafah Islamiyah.
Bagaimana Struktur Pemerintahan Khilafah Islamiyah?
Struktur pemerintahan Islam terdir idari 8 perangkat dan berdasarkan af’al (perbuatan) Rasulullah saw:
1. Khalifah - Hanya Khalifah yang mempunyai kewenangan membuat UU sesuai dengan hukum-hukum syara’ yang ditabbaninya (adopsi); Khalifah merupakan penanggung jawab kebijakan politik dalam dan luar negeri; panglima tertinggi angkatan bersenjata; mengumumkan perang atau damai; mengangkat dan memberhentikan para Mu’awin, Wali, Qadhi, amirul jihad; menolak atau menerima Duta Besar; memutuskan anggaran negara.
2. Mu’awin Tafwidh - Merupakan pembantu Khalifah dibidang kekuasaan dan pemerintahan, mirip menteri tetapi tidak berhak membuat UU. Mu’awin menjalankan semua kewenangan Khalifah dan Khalifah wajib mengontrolnya.
3. Mu’awin Tanfidz - Pembantu Khalifah dibidang Administrasi,mirip Mensesneg tetapi tidak berhak membuat UU. Mu’awin Tanfidz membantu Khalifah dalam hal pelaksanaan, monitoring dan penyampaian keputusan Khalifah. Dia merupakan perantara antara Khalifah dengan struktur dibawahnya.
4. Amirul Jihad - Amirul Jihad membawahi bidang peperangan, luar negeri, keamanan dalam negeri dan industri.
5. Wali - Wali merupakan penguasa suatu wilayah (gubernur), hanya saja dizaman Rasulullah saw. wali Syam meliputi daerah Lebanon, Suriah, Palestina dan Israel, dimana sekarang terdiri dari beberapa negara. Wali memiliki kewenangan pemerintahan, pembinaan dan penilaian dan pertimbangan aktifitas direktorat dan penduduk diwilayahnya. Wali tidak mempunyai kewenangan dalam Angkatan Bersenjata, Keuangan dan pengadilan.
6. Qadhi - Qadhi merupakan badan peradilan, terdiri dari 2 badan; Qadhi Qudlat (Mahkamah Qudlat) yang mengurus persengketaan antara rakyat dengan rakyat, peradilan, pemberian sanksi, dan lain-lain serta Qadhi Mazhalim (Mahkamah Madzhalim) yang mengurus persengketaan antara penguasa dan rakyat, memberhentikan semua aparat negara termasuk Khalifah.
7. Jihaz Idari - Aparat Administrasi yang mengatur kemaslahatan masyarakat melalui Lembaga yang terdiri dari Direktorat, Biro, Seksi dan Bagian. Memiliki Direktorat dibidang pendidikan, kesehatan, kebudayaan, industri, perdagangan, pertanian, dll). Mua’win Tanfidz memberikan pekerjaan kepada Jihaz Idari dan memonitor pelaksanaannya.
8. Majelis Ummat - Majelis Ummat dipilih oleh rakyat, mereka cerminan wakil rakyat baik individu maupun kelompok. Majelis memberikan peringatan dan koreksi kepada Khalifah serta menunjukkan ketidak-ridhoannya kepada pembantu Khalifah jika terjadi penyelewengan. Majelis juga berhak membatasi calon Khalifah jika ada pergantian Khalifah dan mendiskusikan hukum-hukum yang akan diadopsi Khalifah, tetapi wewenang penetapan hukum tetap ditangan Khalifah
Disclaimer : Ini adalah blog pribadi, tidak terkait secara struktural dengan organisasi manapun.
Tuesday, July 17, 2007
Saturday, June 30, 2007
ABDULLAH IBNU RAWAHAH
Yang bersemboyan :
Wahai Diri ……..
Jika Kau Tidak Gugur di Medan Juang ……..
Kau Tetap Akan Mati ……..
Walau di Atas Ranjang ..……
Waktu itu Rasulullah saw. sedang duduk di suatu tempat dataran tinggi kota Mekah, menghadapi para utusan yang datang dari kota Madinah, dengan bersembunyi-sembunyi dari kaum Quraisy. Mereka yang datang ini terdiri dari duabelas orang utusan suku atau kelompok yang kemudian dikenal dengan nama Kaum Anshar.(penolong Rasul). Mereka sedang dibai'at Rasul (diambil Janji sumpah setia) yang terkenal pula dengan nama Bai'ah Al-Aqabah al-Ula (Aqabah pertama). Merekalah pembawa dan penyi'ar IsIam pertama ke kota Madinah, dan bai'at merekalah yang membuka jalan bagi hijrah Nabi beserta pengikut beliau, yang pada gilirannya kemudian, membawa kemajuan pesat bagi Agama Allah yaitu Islam ....Maka salah seorang dari utusan yang dibai'at Nabi itu, adalah Abdullah bin Rawahah.
Dan sewaktu pada tahun berikutnya, Rasulullah saw. membai'at. lagi tujuhpuluh tiga orang Anshar dari penduduk Madinah pada bai'at 'Aqabah kedua, maka tokoh Ibnu Rawahah ini pun termasuk salah seorang utusan yang dibai'at itu.
Kemudian sesudah Rasullullah bersama shahabatnya hijrah ke Madinah dan menetap di sana, maka Abdullah bin Rawahah pulalah yang paling banyak usaha dan kegiatannya dalam membela Agama dan mengukuhkan sendi-sendinya. Ialah yang paling waspada mengawasi sepak terjang dan tipu muslihat Abdulla bin Ubay (pemimpin golongan munafik) yang oleh penduduk Madinah telah dipersiapkan untuk diangkat menjadi raja sebelum Islam hijrah ke sana, dan yang tak putus-putusnya berusaha menjatuhkan Islam dengan tidak menyia-nyiakan setiap kesempatan yang ada. Berkat kesiagaan Abdullah bin Rawahah yang terus-menerus mengikuti gerak-gerik Abdullah bin Ubay dengan cermat, maka gagalah usahanya, dan maksud-maksud jahatnya terhadap Islam dapat di patahkan.
Ibnu Rawahah adalah seorang penulis yang tinggal di suatu lingkungan yang langka degan kepandaian tulisi baca. Ia juga seorang penyair yang lancar, untaian syair-syairnya meluncur dari lidahnya dengan kuat dan indah didengar ....
Semenjak ia memeluk Islam, dibaktikannya kemampuannya bersyair itu untuk mengabdi bagi kejayaan Islam .....Dan Rasullullah menyukai dan menikmati syair-syairnya dan sering beliau minta untuk lebih tekun lagi membuat syair.
Pada suatu hari, beliau duduk bersama para sahabatnya, tiba-tiba datanglah Abdullah bin Rawahah, lalu Nabi bertanya kepadanya: "Apa yang anda lakukan jika anda hendak mengucapkan syair?"
Jawab Abdullah: "Kurenungkan dulu, kemudian baru kuucapkan". Lalu teruslah ia mengucapkan syairnya tanpa bertangguh, demikian kira-kira artinya secara bebas:
"Wahai putera Hasyim yang baik, sungguh Allah telah melebihkanmu dari seluruh manusia.dan memberimu keutamaan, di mana orang tak usah iri.
Dan sungguh aku menaruh firasat baik yang kuyakini terhadap dirimu. Suatu firasat yang berbeda dengan pandangan hidup mereka.
Seandainya anda bertanya dan meminta pertolongan mereka dan memecahkan persoalan tiadalah mereka henhak menjawab atau membela
Karena itu Allah mengukuhkan kebaikan dan ajaran yang anda,bawa
Sebagaimana Ia telah mengukuhkan dan memberi pertolongan kepada Musa".
Mendengar itu Rasul menjadi gembira dan ridla kepadanya, lalu sabdanya: "Dan engkau pun akan diteguhkan Allah".
Dan sewaktu Rasulullah sedang thawaf di Baitullah pada 'umrah qadla, Ibnu Rawahah berada di muka beliau sambil membaca syair dari rajaznya:
"Oh Tuhan, kalauIah tidak karena Engkau, niscaya tidaklah ami akan mendapat petunjuk, tidak akan bersedeqah dan Shalat!
Maka mohon diturunkan sakinah atas kami dan diteguhkan pendirian kami jika musuh datang menghadang.
,Sesuhgguhnya Qrang-orang yang telah aniaya terhadap kami, biIa mereka membuat fitnah akan kami tolak dan kami tentang".
Orang-orang Islam pun sering mengulang-ulangi syair-syairnya yang indah.
Penyair Rawahah yang produktif ini amat berduka sewaktu turun ayat al-Quranul Karim yang artinya :
"Dan para penyair, banyak pengikut mereka orang-orang sesat". (Q.S. Asy-syu'ara: 224)
Tetapi kedukaan hatinya jadi terlipur waktu turun pula ayat lainnya : Artinya :
"Kecuali orang-orang(penyair) yang beriman dan beramal shaleh dan banyak ingat kepada Allah, dan menuntut bela sesudah mereka dianiaya". (Q.S. Asy-syu'ara : 227)
Dan sewaktu Islam terpaksa terjun ke medan perang karena membela diri, tampillah Abdullah ibnu Rawahah membawa pedangnya ke medan tempur Badar, Uhud, Khandak, Hudaibiah dan Khaibar, seraya menjadikan kalimat-kalimat syairnya dan qashidahnya menjadi slogan perjuangan:
"Wahai diri! Seandainya engkau tidak tewas terbunuh, tetapi engkau pasti akan mati juga!"
Ia juga menyorakkan teriakan perang:
"Menyingkir kamu, hai anak-anak kafir dari jalannya. Menyingkir kamu setiap kebaikkan akan ditemui pada Rasulnya".
Dan datanglah waktunya perang Muktah ….Abdullah bin Rawahah adalah panglima yang ketiga dalam pasukan Islam.
Ibnu Rawahah berdiri dalam keadaan siap bersama pasukkan Islam yang berangkat meninggalkan kota Madinah …ia tegak sejenak lalu berkata, mengucapkan syairnya;
" Yang kupinta kepada Allah Yang Maha Rahman
Keampunan dan kemenangan di medan perang
Dan setiap ayunan pedangku memberi ketentuan
Bertekuk lututnya angkatan perang syetan
Akhirnya aku tersungkur memenuhi harapan ….. Mati syahid di medan perang…!!"
Benar, itulah cita-citanya kemenangan dan hilang terbilang …., pukulan pedang atau tusukan tombak, yang akan membawanya ke alam syuhada yang berbahagia…!!
Balatentara Islam maju bergerak kemedan perang muktah. Sewaktu orang-orang Islam dari kejauhan telah dapat melihat musuh-musuh mereka, mereka memperkirakan besarnya balatentara Romawi sekitar duaratus ribu orang …, karena menurut kenyataan barisan tentara mereka seakan tak ada ujung alhir dan seolah-olah tidak terbilang banyaknya ….!
Orang-orang Islam melihat jumlahmereka yang sedikit, lalu terdiam …dan sebagian ada yang menyeletuk berkata:
"Baiknya kita kirim utusan kepada Rasulullah, memberitakan jurnlah musuh yang besar. Mungkin kita dapat bantuan tambahan pasukan, atau jika diperintahkan tetap maju maka kita patuhi".
Tetapi.Ibnu Rawahah,.bagaikan datangnya siang bangun berdiri di antara barisan pasukan-pasukannya lalu berucap:
"Kawan:kawan sekalian! Demi Ailah, sesungguhnya kita berperang melawan musuh-musuh kita bukan berdasar bilangan, kekuatan atau banyaknya jumlah Kita tidak memerangi memerangi mereka, melainkan karena mempertahankan Agama kita ini, yang dengan memeluknya kita telah dimuliakan Allah ... !
Ayohlah kita maju ….! Salah satu dari dua kebaikan pasti kita capai, kemenagan atau syahid di jalan Allah ... !"
Dengan bersorak-sorai Kaum Muslimin yang sedikit bilangannya tetapi besar imannya itu menyatakan setuju. Mereka berteriak: "Sungguh, demi Allah, benar yang dibilang Ibnu Rawahah.. !"
Demikianlah, pasukan terus ke tujuannya, dengan bilangan yang jauh lebih sedikit menghadapi musuh yang berjumlah 200.000 yang berhasil dihimpun orang Romawi untuk menghadapi suatu peperangan dahsyat yang belum ada taranya.
Kedua pasukan, balatentara itu pun bertemu, lalu berkecamuklah pertempuran di antara keduanya.
Pemimpin yang pertama Zaid bin Haritsah gugur sebagai syahid yang mulia, disusul oleh pemimpin yang kedua Ja'far bin Abi Thalib, hingga ia memperoleh syahidnya pula dengan penuh kesabaran, dan menyusl pula sesudah itu pemimpin yang ketiga ini, Abdullah bin Rawahah. Dikala itu ia memungut panji perang dari tangan kananya Ja'far, sementara peperangan sudah mencapai puncaknya. Hampir-hampirlah pasukan Islam yang kecil itu, tersapu musnah diantara pasukan-pasukan Romawi yang datang membajir laksana air bah, yang berhasil dihimpun oleh Heraklius untuk maksud ini.
Ketika ia bertempur sebagai seorang prajurit, ibnu Rawahah ini menerjang ke muka dan ke belakang, ke kiri dan ke kanan tanpa ragu-ragu dan perduli. Sekarang setelah menjadi panglima seluruh pasukan yang akan dimintai tanggung jawabnya atas hidup mati pasukannya, demi terlihat kehebatan tentara romawi seketika seolah terlintas rasa kecut dan ragu-ragu pada dirinya. Tetapi saat itu hanya sekejap, kemudian ia membangkitkan seluruh semangat dan kekutannya dan melenyapkan semua kekhawatiran dari dirinya, sambil berseru:
"Aku telah bersumpah wahai diri, maju ke medan laga
Tapi kenapa kulihat engkau menolak syurga …..
Wahai diri, bila kau tak tewas terbunuh, kau kan pasti mati
Inilah kematian sejati yang sejak lama kau nanti …….
Tibalah waktunya apa yng engkau idam-idamkan selama ini
Jika kau ikuti jejak keduanya, itulah ksatria sejati ….!"
(Maksudnya, kedua sahabatnya Zaid dan Ja'far yang telah mendahului gugur sebagai syuhada).
Jika kamu berbuat seperti keduanya, itulah ksatria sejati…..!" Ia pun maju menyerbu orang-orang Romawi dengan tabahnya …… Kalau tidaklah taqdir Allah yang menentukan, bahwa hari itu adalah saat janjinya akan ke syurga, niscaya ia akan terus menebas musuh dengan pedangnya, hingga dapat menewaskan sejumlah besar dari mereka …. Tetapi waktu keberangkatan sudah tiba, yang memberitahukan awal perjalananya pulang ke hadirat Allah, maka naiklah ia sebagai syahid…..
Jasadnya jatuh terkapar, tapi rohnya yang suci dan perwira naik menghadap Zat Yang Maha Pengasih lagi Maha Tinggi, dan tercapailah puncak idamannya:
"Hingga dikatakan, yaitu bila mereka meliwati mayatku:
Wahai prajurit perang yang dipimpin Allah, dan benar ia telah terpimpin!"
"Benar engkau, ya Ibnu Rawahah….! Anda adalah seorang prajurit yang telah dipimpin oleh Allah…..!"
Selagi pertempuran sengit sedang berkecamuk di bumi Balqa' di Syam, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam sedang duduk beserta para shahabat di Madinah sambil mempercakapkan mereka. Tiba-tiba percakapan yang berjalan dengan tenang tenteram, Nabi ter;liam, kedua matanya jadi basah berkaca-kaca. Beliau mengangkatkan wajahnya dengan mengedipkan kedua matanya, untuk melepas air mata yang jatu disebabkan rasa duka dan belas kasihan ... ! Seraya memandang berkeliling ke wajah para shahabatnya dengan pandangan haru, beliau berkata: "Panji perang dipegang oleh Zaid bin Haritsah, ia bertempur bersamanya hingga ia gugur sebagai syahid ..... Kemudian diambil alih oleh Ja'far, dan ia bertempur pula bersamanya sampai syahid pula ....". Be!iau berdiam sebentar, lain diteruskannya ucapannya: "Kemudian panji itu dipegang oleh Abdulah bin Rawahah dan ia bertempur bersama panji itu, sampai akhirnya ia•pun syahid pula".
Kemudian Rasul diam lagi seketika, sementara mata beliau bercahaya, menyinarkan kegembiraan, ketentraman dan kerinduan, lalu katanya pula : "Mereka bertiga diangkatkan ke tempatku ke syurga …"
Perjalanan manalagi yang lebih mulia …….
Kesepakatan mana lagi yang lebih berbahagia …….
Mereka maju ke medan laga bersama-sama …….
Dan mereka naik ke syurga bersama-sama pula ….
Dan penghormatan terbaik yang diberikan untuk mengenangkan jasa mereka yang abadi, ialah ucapan Rasullullah Shallallahu alaihi wa sallam yang berbunyi :
"Mereka telah diangkatkan ke tempatku ke syurga……
Wahai Diri ……..
Jika Kau Tidak Gugur di Medan Juang ……..
Kau Tetap Akan Mati ……..
Walau di Atas Ranjang ..……
Waktu itu Rasulullah saw. sedang duduk di suatu tempat dataran tinggi kota Mekah, menghadapi para utusan yang datang dari kota Madinah, dengan bersembunyi-sembunyi dari kaum Quraisy. Mereka yang datang ini terdiri dari duabelas orang utusan suku atau kelompok yang kemudian dikenal dengan nama Kaum Anshar.(penolong Rasul). Mereka sedang dibai'at Rasul (diambil Janji sumpah setia) yang terkenal pula dengan nama Bai'ah Al-Aqabah al-Ula (Aqabah pertama). Merekalah pembawa dan penyi'ar IsIam pertama ke kota Madinah, dan bai'at merekalah yang membuka jalan bagi hijrah Nabi beserta pengikut beliau, yang pada gilirannya kemudian, membawa kemajuan pesat bagi Agama Allah yaitu Islam ....Maka salah seorang dari utusan yang dibai'at Nabi itu, adalah Abdullah bin Rawahah.
Dan sewaktu pada tahun berikutnya, Rasulullah saw. membai'at. lagi tujuhpuluh tiga orang Anshar dari penduduk Madinah pada bai'at 'Aqabah kedua, maka tokoh Ibnu Rawahah ini pun termasuk salah seorang utusan yang dibai'at itu.
Kemudian sesudah Rasullullah bersama shahabatnya hijrah ke Madinah dan menetap di sana, maka Abdullah bin Rawahah pulalah yang paling banyak usaha dan kegiatannya dalam membela Agama dan mengukuhkan sendi-sendinya. Ialah yang paling waspada mengawasi sepak terjang dan tipu muslihat Abdulla bin Ubay (pemimpin golongan munafik) yang oleh penduduk Madinah telah dipersiapkan untuk diangkat menjadi raja sebelum Islam hijrah ke sana, dan yang tak putus-putusnya berusaha menjatuhkan Islam dengan tidak menyia-nyiakan setiap kesempatan yang ada. Berkat kesiagaan Abdullah bin Rawahah yang terus-menerus mengikuti gerak-gerik Abdullah bin Ubay dengan cermat, maka gagalah usahanya, dan maksud-maksud jahatnya terhadap Islam dapat di patahkan.
Ibnu Rawahah adalah seorang penulis yang tinggal di suatu lingkungan yang langka degan kepandaian tulisi baca. Ia juga seorang penyair yang lancar, untaian syair-syairnya meluncur dari lidahnya dengan kuat dan indah didengar ....
Semenjak ia memeluk Islam, dibaktikannya kemampuannya bersyair itu untuk mengabdi bagi kejayaan Islam .....Dan Rasullullah menyukai dan menikmati syair-syairnya dan sering beliau minta untuk lebih tekun lagi membuat syair.
Pada suatu hari, beliau duduk bersama para sahabatnya, tiba-tiba datanglah Abdullah bin Rawahah, lalu Nabi bertanya kepadanya: "Apa yang anda lakukan jika anda hendak mengucapkan syair?"
Jawab Abdullah: "Kurenungkan dulu, kemudian baru kuucapkan". Lalu teruslah ia mengucapkan syairnya tanpa bertangguh, demikian kira-kira artinya secara bebas:
"Wahai putera Hasyim yang baik, sungguh Allah telah melebihkanmu dari seluruh manusia.dan memberimu keutamaan, di mana orang tak usah iri.
Dan sungguh aku menaruh firasat baik yang kuyakini terhadap dirimu. Suatu firasat yang berbeda dengan pandangan hidup mereka.
Seandainya anda bertanya dan meminta pertolongan mereka dan memecahkan persoalan tiadalah mereka henhak menjawab atau membela
Karena itu Allah mengukuhkan kebaikan dan ajaran yang anda,bawa
Sebagaimana Ia telah mengukuhkan dan memberi pertolongan kepada Musa".
Mendengar itu Rasul menjadi gembira dan ridla kepadanya, lalu sabdanya: "Dan engkau pun akan diteguhkan Allah".
Dan sewaktu Rasulullah sedang thawaf di Baitullah pada 'umrah qadla, Ibnu Rawahah berada di muka beliau sambil membaca syair dari rajaznya:
"Oh Tuhan, kalauIah tidak karena Engkau, niscaya tidaklah ami akan mendapat petunjuk, tidak akan bersedeqah dan Shalat!
Maka mohon diturunkan sakinah atas kami dan diteguhkan pendirian kami jika musuh datang menghadang.
,Sesuhgguhnya Qrang-orang yang telah aniaya terhadap kami, biIa mereka membuat fitnah akan kami tolak dan kami tentang".
Orang-orang Islam pun sering mengulang-ulangi syair-syairnya yang indah.
Penyair Rawahah yang produktif ini amat berduka sewaktu turun ayat al-Quranul Karim yang artinya :
"Dan para penyair, banyak pengikut mereka orang-orang sesat". (Q.S. Asy-syu'ara: 224)
Tetapi kedukaan hatinya jadi terlipur waktu turun pula ayat lainnya : Artinya :
"Kecuali orang-orang(penyair) yang beriman dan beramal shaleh dan banyak ingat kepada Allah, dan menuntut bela sesudah mereka dianiaya". (Q.S. Asy-syu'ara : 227)
Dan sewaktu Islam terpaksa terjun ke medan perang karena membela diri, tampillah Abdullah ibnu Rawahah membawa pedangnya ke medan tempur Badar, Uhud, Khandak, Hudaibiah dan Khaibar, seraya menjadikan kalimat-kalimat syairnya dan qashidahnya menjadi slogan perjuangan:
"Wahai diri! Seandainya engkau tidak tewas terbunuh, tetapi engkau pasti akan mati juga!"
Ia juga menyorakkan teriakan perang:
"Menyingkir kamu, hai anak-anak kafir dari jalannya. Menyingkir kamu setiap kebaikkan akan ditemui pada Rasulnya".
Dan datanglah waktunya perang Muktah ….Abdullah bin Rawahah adalah panglima yang ketiga dalam pasukan Islam.
Ibnu Rawahah berdiri dalam keadaan siap bersama pasukkan Islam yang berangkat meninggalkan kota Madinah …ia tegak sejenak lalu berkata, mengucapkan syairnya;
" Yang kupinta kepada Allah Yang Maha Rahman
Keampunan dan kemenangan di medan perang
Dan setiap ayunan pedangku memberi ketentuan
Bertekuk lututnya angkatan perang syetan
Akhirnya aku tersungkur memenuhi harapan ….. Mati syahid di medan perang…!!"
Benar, itulah cita-citanya kemenangan dan hilang terbilang …., pukulan pedang atau tusukan tombak, yang akan membawanya ke alam syuhada yang berbahagia…!!
Balatentara Islam maju bergerak kemedan perang muktah. Sewaktu orang-orang Islam dari kejauhan telah dapat melihat musuh-musuh mereka, mereka memperkirakan besarnya balatentara Romawi sekitar duaratus ribu orang …, karena menurut kenyataan barisan tentara mereka seakan tak ada ujung alhir dan seolah-olah tidak terbilang banyaknya ….!
Orang-orang Islam melihat jumlahmereka yang sedikit, lalu terdiam …dan sebagian ada yang menyeletuk berkata:
"Baiknya kita kirim utusan kepada Rasulullah, memberitakan jurnlah musuh yang besar. Mungkin kita dapat bantuan tambahan pasukan, atau jika diperintahkan tetap maju maka kita patuhi".
Tetapi.Ibnu Rawahah,.bagaikan datangnya siang bangun berdiri di antara barisan pasukan-pasukannya lalu berucap:
"Kawan:kawan sekalian! Demi Ailah, sesungguhnya kita berperang melawan musuh-musuh kita bukan berdasar bilangan, kekuatan atau banyaknya jumlah Kita tidak memerangi memerangi mereka, melainkan karena mempertahankan Agama kita ini, yang dengan memeluknya kita telah dimuliakan Allah ... !
Ayohlah kita maju ….! Salah satu dari dua kebaikan pasti kita capai, kemenagan atau syahid di jalan Allah ... !"
Dengan bersorak-sorai Kaum Muslimin yang sedikit bilangannya tetapi besar imannya itu menyatakan setuju. Mereka berteriak: "Sungguh, demi Allah, benar yang dibilang Ibnu Rawahah.. !"
Demikianlah, pasukan terus ke tujuannya, dengan bilangan yang jauh lebih sedikit menghadapi musuh yang berjumlah 200.000 yang berhasil dihimpun orang Romawi untuk menghadapi suatu peperangan dahsyat yang belum ada taranya.
Kedua pasukan, balatentara itu pun bertemu, lalu berkecamuklah pertempuran di antara keduanya.
Pemimpin yang pertama Zaid bin Haritsah gugur sebagai syahid yang mulia, disusul oleh pemimpin yang kedua Ja'far bin Abi Thalib, hingga ia memperoleh syahidnya pula dengan penuh kesabaran, dan menyusl pula sesudah itu pemimpin yang ketiga ini, Abdullah bin Rawahah. Dikala itu ia memungut panji perang dari tangan kananya Ja'far, sementara peperangan sudah mencapai puncaknya. Hampir-hampirlah pasukan Islam yang kecil itu, tersapu musnah diantara pasukan-pasukan Romawi yang datang membajir laksana air bah, yang berhasil dihimpun oleh Heraklius untuk maksud ini.
Ketika ia bertempur sebagai seorang prajurit, ibnu Rawahah ini menerjang ke muka dan ke belakang, ke kiri dan ke kanan tanpa ragu-ragu dan perduli. Sekarang setelah menjadi panglima seluruh pasukan yang akan dimintai tanggung jawabnya atas hidup mati pasukannya, demi terlihat kehebatan tentara romawi seketika seolah terlintas rasa kecut dan ragu-ragu pada dirinya. Tetapi saat itu hanya sekejap, kemudian ia membangkitkan seluruh semangat dan kekutannya dan melenyapkan semua kekhawatiran dari dirinya, sambil berseru:
"Aku telah bersumpah wahai diri, maju ke medan laga
Tapi kenapa kulihat engkau menolak syurga …..
Wahai diri, bila kau tak tewas terbunuh, kau kan pasti mati
Inilah kematian sejati yang sejak lama kau nanti …….
Tibalah waktunya apa yng engkau idam-idamkan selama ini
Jika kau ikuti jejak keduanya, itulah ksatria sejati ….!"
(Maksudnya, kedua sahabatnya Zaid dan Ja'far yang telah mendahului gugur sebagai syuhada).
Jika kamu berbuat seperti keduanya, itulah ksatria sejati…..!" Ia pun maju menyerbu orang-orang Romawi dengan tabahnya …… Kalau tidaklah taqdir Allah yang menentukan, bahwa hari itu adalah saat janjinya akan ke syurga, niscaya ia akan terus menebas musuh dengan pedangnya, hingga dapat menewaskan sejumlah besar dari mereka …. Tetapi waktu keberangkatan sudah tiba, yang memberitahukan awal perjalananya pulang ke hadirat Allah, maka naiklah ia sebagai syahid…..
Jasadnya jatuh terkapar, tapi rohnya yang suci dan perwira naik menghadap Zat Yang Maha Pengasih lagi Maha Tinggi, dan tercapailah puncak idamannya:
"Hingga dikatakan, yaitu bila mereka meliwati mayatku:
Wahai prajurit perang yang dipimpin Allah, dan benar ia telah terpimpin!"
"Benar engkau, ya Ibnu Rawahah….! Anda adalah seorang prajurit yang telah dipimpin oleh Allah…..!"
Selagi pertempuran sengit sedang berkecamuk di bumi Balqa' di Syam, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam sedang duduk beserta para shahabat di Madinah sambil mempercakapkan mereka. Tiba-tiba percakapan yang berjalan dengan tenang tenteram, Nabi ter;liam, kedua matanya jadi basah berkaca-kaca. Beliau mengangkatkan wajahnya dengan mengedipkan kedua matanya, untuk melepas air mata yang jatu disebabkan rasa duka dan belas kasihan ... ! Seraya memandang berkeliling ke wajah para shahabatnya dengan pandangan haru, beliau berkata: "Panji perang dipegang oleh Zaid bin Haritsah, ia bertempur bersamanya hingga ia gugur sebagai syahid ..... Kemudian diambil alih oleh Ja'far, dan ia bertempur pula bersamanya sampai syahid pula ....". Be!iau berdiam sebentar, lain diteruskannya ucapannya: "Kemudian panji itu dipegang oleh Abdulah bin Rawahah dan ia bertempur bersama panji itu, sampai akhirnya ia•pun syahid pula".
Kemudian Rasul diam lagi seketika, sementara mata beliau bercahaya, menyinarkan kegembiraan, ketentraman dan kerinduan, lalu katanya pula : "Mereka bertiga diangkatkan ke tempatku ke syurga …"
Perjalanan manalagi yang lebih mulia …….
Kesepakatan mana lagi yang lebih berbahagia …….
Mereka maju ke medan laga bersama-sama …….
Dan mereka naik ke syurga bersama-sama pula ….
Dan penghormatan terbaik yang diberikan untuk mengenangkan jasa mereka yang abadi, ialah ucapan Rasullullah Shallallahu alaihi wa sallam yang berbunyi :
"Mereka telah diangkatkan ke tempatku ke syurga……
Teroris Membeli Media Massa?
Oleh : Y Herman Ibrahim (Mantan Kepala Penerangan Kodam III/Siliwangi)
Kalau Anda tidak memiliki cukup waktu untuk membaca, tolong sempatkanlah untuk membaca satu alinea saja tulisan Ilham Prisgunanto di opini Republika, Selasa 19 Juni 2007. Alinea tersebut berbunyi, “Dengan demikian terjawablah pertanyaan besar, mengapa jaringan teroris lebih memilih Indonesia sebagai medan perang aksi mereka? Faktor kunci adalah dari begitu ‘longgar’ dan penuh lubangnya sistem pemberitaan dan pers Indonesia. Tidak adanya ketegasan aturan perundang-undangan adalah ‘opsi’ dari mudahnya lahan publikasi dibeli karena masuk ke ranah yang tak bertuan dan tak terkontrol.”
Sungguh ini suatu kebohongan publik yang sangat dahsyat. Adhian Husaini mengatakan bahwa Barat mengontrol informasi dunia dan memproduk rata-rata 6 juta kata per hari, sementara Timur (Islam) hanya mampu 500 ribu kata per hari. Dari perbandingan produksi kata melalui berbagai jenis media cetak, elektronik, dan dunia maya tampak jelas bahwa diseminasi nilai yang terus menerus dicangkokan ke benak manusia adalah nilai-nilai, doktrin, ideologi serta budaya Barat. Tengok jaringan informasi seperti CNN yang ditayangkan 24 jam terus-menerus melalui jaringan satelit yang bisa ditonton di seluruh pelosok dunia melakukan cuci otak tanpa henti. Media massa nasional pun lebih banyak merujuk kepada informasi yang diproduksi oleh kantor berita seperti UPI, Reuters, dan BBC. Tidak ada ceritanya media di Indonesia mengambil referensi dari As Sahab, Ar Rahmah, Al Muhajirun, atau secara mandiri mengembangkan informasi tanding.
Salah merujuk
Ilham juga menyoal lubuk hati manusia yang jika ada rasa pembenaran terhadap aksi teroris merupakan keberhasilan taktik komunikasi jaringan teroris terhadap Indonesia. Ilham tidak salah dengan merujuk konsep agenda setting Maxwell Mc Comb 1995, tapi jika itu ditujukan kepada terorisme di Indonesia jelas menyesatkan. Semua orang menyaksikan betapa pemberitaan media ihwal kejahatan terorisme di Indonesia sungguh berlebihan.
Jauh sebelum proses pengadilan dijalankan, media menyebar informasi bahwa Abu Bakar Ba’asyir melakukan kejahatan makar, merancang membunuh Megawati, dan melakukan pelanggaran imigrasi. Tatkala pengadilan dijalankan, semua tuduhan itu tidak terbukti dan hanya satu pelanggaran (bukan kejahatan) yang terbukti yakni pemalsuan nama pada KTP tatkala kabur ke Malaysia untuk menghindari kejaran Benny Moerdani. Sebuah pelanggaran yang sama dengan yang dilakukan Casingkem, seorang TKW yang memalsu nama menjadi Novita Sari. Bedanya, Casingkem disambut Megawati di Istana Negara sementara Abu Bakar Ba’asyir dihukum 3 tahun penjara. Bukankah ini hasil pembentukan opini?
Bisa jadi agenda setting Maxwell Mc Comb yang dirujuk Ilham benar sejauh itu digunakan justru untuk membenarkan terorisme yang dilakukan oleh Barat. Operasi Northwood yang kendati dibatalkan oleh Kennedy dirancang untuk memojokkan Kuba. Demikian juga operasi intelijen Teluk Babi di-setting seakan-akan dilakukan oleh teroris komunis.
Belakangan masyarakat dunia terhenyak dengan sinyalemen Ahmadinejad bahwa Holocaust sebuah kekejaman teror yang luar biasa dahsyat adalah suatu kebohongan Yahudi untuk mempengaruhi opini dunia. Dusta tentang pembunuhan 6 juta Yahudi oleh Jerman diperlukan untuk pembenaran exodus Yahudi ke Tanah Palestina dan mendirikan negara di sana.
Dr Frederisk Toben, asli Jerman dan menjadi warga negara Australia mengatakan bahwa Holocaust adalah kebohongan yang dilindungi secara legal. Tanpa Holocaust tidak ada alasan bagi Yahudi untuk membantai rakyat Palestina. Di negara-negara Eropa, Anda boleh mengritik atau menghina Yesus, Bunda Maria, dan sebagainya, tetapi anda dilarang mengkritik Yahudi dan Holocaustnya.
Terorisme memang memerlukan kebohongan untuk pembenaran aksinya, tetapi tidak untuk Islam. Islam tidak mengenal konsep teror, yang ada adalah jihad. Di dalam Islam harus ada kekuatan untuk membuat musuh gentar tetapi bukan seperti terorisme yang dilakukan oleh Barat. Bahwa ada sebagian orang Islam di Indonesia yang marah kepada Barat karena kejahatan yang dilakukan Barat di Palestina, Irak, Afghanistan, Somalia, dan Chechnya lantas melakukan aksi perlawanan berupa pengeboman terhadap kepentingan Barat di negeri ini, memang itu kenyataan.
Meski demikian David O Shea, orang Australia mengatakan bahwa aksi bom di Indonesia merupakan jalinan dari tiga kepentingan. Tiga kepentingan itu adalah pertama, Barat memerlukan aksi bom di Indonesia untuk membenarkan perang melawan terorisme. Kedua, ghiroh yang tinggi di kalangan anak-anak muda Islam khususnya alumni Afghanistan, dan ketiga budaya korupsi di kalangan aparat keamanan.
Jadi, untuk konteks terorisme di Indonesia sesungguhnya bukanlah hasil persahabatan kental antara terorisme dan media massa seperti yang dirujuk oleh Ilham dari pendapat ahli masalah teroris Walter Laqueur. Tidak ada fakta yang menunjukkan bahwa teroris di Indonesia memiliki kemampuan finansial untuk menyewa media massa. Yang ada adalah justru sebaliknya yaitu pembentukan opini massal seakan-akan Nurdin M Top dan kawan-kawan adalah ancaman serius bagi rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim.
Tentang Kepolisian RI perlu ada penjelasan bahwa kegelisahan dan kegerahan aparat di lapangan terhadap awak jurnalis seperti yang dicontohkan Robert L Rabe wakil kepala Kepolisian Washington dalam pembajakan sebuah gedung oleh Hanafi Muslim pada Maret 1977, tidak pernah terjadi di Indonesia. Pihak Kepolisian RI tidak terkesan takut kepada wartawan dan tidak merasa tertekan untuk mengisahkan penyergapan dan penangkapan teroris berikut opini yang dibangun seakan-akan para teroris seperti Abu Dujana benar-benar durjana. Seorang Sidney Jones warga AS yang diduga agen CIA bahkan dengan nyaman bicara bebas di berbagai media televisi tanpa rasa sungkan sedikitpun.
Agen asing
Mantan KSAD, Jend Ryamizard Ryacudu, mengatakan bahwa ada lebih dari 60 ribu intel asing berkeliaran bebas di Indonesia. Jika kedaulatan kita merasa terganggu sehingga perlu interpelasi parlemen ihwal kebijakan luar negeri mendukung resolusi PBB terhadap Iran, mengapa tidak pernah ada interpelasi tentang kehadiran agen-agen asing tersebut. Sungguh aneh penangkapan Abu Dujana yang peristiwanya bahkan telah diketahui dan diumumkan lebih dulu oleh pihak Australia. Apapun sanggahan kepala Polri tentang ini sulit diterima karena penangkapan dan pembunuhan Azhari sungguh sangat terbuka dan tidak ditunda-tunda pengumumannya.
Yang terakhir, aparat hendaknya melakukan introspeksi bahwa jika ada empati sebagian masyarakat Muslim kepada ‘teroris’, hendaknya jangan dianggap sebagai sebuah pembenaran dari masyarakat Muslim itu terhadap aksi terorisme atau menuduh mereka memiliki kemampuan membayar media massa. Aparat kepolisian memiliki citra yang buruk, tidak saja dalam soal penangkapan ‘teroris’ melainkan juga nyaris dalam semua cara penanganan terhadap berbagai tindak keamanan dan ketertiban di masyarakat.
From: http://www.republika.co.id
Kalau Anda tidak memiliki cukup waktu untuk membaca, tolong sempatkanlah untuk membaca satu alinea saja tulisan Ilham Prisgunanto di opini Republika, Selasa 19 Juni 2007. Alinea tersebut berbunyi, “Dengan demikian terjawablah pertanyaan besar, mengapa jaringan teroris lebih memilih Indonesia sebagai medan perang aksi mereka? Faktor kunci adalah dari begitu ‘longgar’ dan penuh lubangnya sistem pemberitaan dan pers Indonesia. Tidak adanya ketegasan aturan perundang-undangan adalah ‘opsi’ dari mudahnya lahan publikasi dibeli karena masuk ke ranah yang tak bertuan dan tak terkontrol.”
Sungguh ini suatu kebohongan publik yang sangat dahsyat. Adhian Husaini mengatakan bahwa Barat mengontrol informasi dunia dan memproduk rata-rata 6 juta kata per hari, sementara Timur (Islam) hanya mampu 500 ribu kata per hari. Dari perbandingan produksi kata melalui berbagai jenis media cetak, elektronik, dan dunia maya tampak jelas bahwa diseminasi nilai yang terus menerus dicangkokan ke benak manusia adalah nilai-nilai, doktrin, ideologi serta budaya Barat. Tengok jaringan informasi seperti CNN yang ditayangkan 24 jam terus-menerus melalui jaringan satelit yang bisa ditonton di seluruh pelosok dunia melakukan cuci otak tanpa henti. Media massa nasional pun lebih banyak merujuk kepada informasi yang diproduksi oleh kantor berita seperti UPI, Reuters, dan BBC. Tidak ada ceritanya media di Indonesia mengambil referensi dari As Sahab, Ar Rahmah, Al Muhajirun, atau secara mandiri mengembangkan informasi tanding.
Salah merujuk
Ilham juga menyoal lubuk hati manusia yang jika ada rasa pembenaran terhadap aksi teroris merupakan keberhasilan taktik komunikasi jaringan teroris terhadap Indonesia. Ilham tidak salah dengan merujuk konsep agenda setting Maxwell Mc Comb 1995, tapi jika itu ditujukan kepada terorisme di Indonesia jelas menyesatkan. Semua orang menyaksikan betapa pemberitaan media ihwal kejahatan terorisme di Indonesia sungguh berlebihan.
Jauh sebelum proses pengadilan dijalankan, media menyebar informasi bahwa Abu Bakar Ba’asyir melakukan kejahatan makar, merancang membunuh Megawati, dan melakukan pelanggaran imigrasi. Tatkala pengadilan dijalankan, semua tuduhan itu tidak terbukti dan hanya satu pelanggaran (bukan kejahatan) yang terbukti yakni pemalsuan nama pada KTP tatkala kabur ke Malaysia untuk menghindari kejaran Benny Moerdani. Sebuah pelanggaran yang sama dengan yang dilakukan Casingkem, seorang TKW yang memalsu nama menjadi Novita Sari. Bedanya, Casingkem disambut Megawati di Istana Negara sementara Abu Bakar Ba’asyir dihukum 3 tahun penjara. Bukankah ini hasil pembentukan opini?
Bisa jadi agenda setting Maxwell Mc Comb yang dirujuk Ilham benar sejauh itu digunakan justru untuk membenarkan terorisme yang dilakukan oleh Barat. Operasi Northwood yang kendati dibatalkan oleh Kennedy dirancang untuk memojokkan Kuba. Demikian juga operasi intelijen Teluk Babi di-setting seakan-akan dilakukan oleh teroris komunis.
Belakangan masyarakat dunia terhenyak dengan sinyalemen Ahmadinejad bahwa Holocaust sebuah kekejaman teror yang luar biasa dahsyat adalah suatu kebohongan Yahudi untuk mempengaruhi opini dunia. Dusta tentang pembunuhan 6 juta Yahudi oleh Jerman diperlukan untuk pembenaran exodus Yahudi ke Tanah Palestina dan mendirikan negara di sana.
Dr Frederisk Toben, asli Jerman dan menjadi warga negara Australia mengatakan bahwa Holocaust adalah kebohongan yang dilindungi secara legal. Tanpa Holocaust tidak ada alasan bagi Yahudi untuk membantai rakyat Palestina. Di negara-negara Eropa, Anda boleh mengritik atau menghina Yesus, Bunda Maria, dan sebagainya, tetapi anda dilarang mengkritik Yahudi dan Holocaustnya.
Terorisme memang memerlukan kebohongan untuk pembenaran aksinya, tetapi tidak untuk Islam. Islam tidak mengenal konsep teror, yang ada adalah jihad. Di dalam Islam harus ada kekuatan untuk membuat musuh gentar tetapi bukan seperti terorisme yang dilakukan oleh Barat. Bahwa ada sebagian orang Islam di Indonesia yang marah kepada Barat karena kejahatan yang dilakukan Barat di Palestina, Irak, Afghanistan, Somalia, dan Chechnya lantas melakukan aksi perlawanan berupa pengeboman terhadap kepentingan Barat di negeri ini, memang itu kenyataan.
Meski demikian David O Shea, orang Australia mengatakan bahwa aksi bom di Indonesia merupakan jalinan dari tiga kepentingan. Tiga kepentingan itu adalah pertama, Barat memerlukan aksi bom di Indonesia untuk membenarkan perang melawan terorisme. Kedua, ghiroh yang tinggi di kalangan anak-anak muda Islam khususnya alumni Afghanistan, dan ketiga budaya korupsi di kalangan aparat keamanan.
Jadi, untuk konteks terorisme di Indonesia sesungguhnya bukanlah hasil persahabatan kental antara terorisme dan media massa seperti yang dirujuk oleh Ilham dari pendapat ahli masalah teroris Walter Laqueur. Tidak ada fakta yang menunjukkan bahwa teroris di Indonesia memiliki kemampuan finansial untuk menyewa media massa. Yang ada adalah justru sebaliknya yaitu pembentukan opini massal seakan-akan Nurdin M Top dan kawan-kawan adalah ancaman serius bagi rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim.
Tentang Kepolisian RI perlu ada penjelasan bahwa kegelisahan dan kegerahan aparat di lapangan terhadap awak jurnalis seperti yang dicontohkan Robert L Rabe wakil kepala Kepolisian Washington dalam pembajakan sebuah gedung oleh Hanafi Muslim pada Maret 1977, tidak pernah terjadi di Indonesia. Pihak Kepolisian RI tidak terkesan takut kepada wartawan dan tidak merasa tertekan untuk mengisahkan penyergapan dan penangkapan teroris berikut opini yang dibangun seakan-akan para teroris seperti Abu Dujana benar-benar durjana. Seorang Sidney Jones warga AS yang diduga agen CIA bahkan dengan nyaman bicara bebas di berbagai media televisi tanpa rasa sungkan sedikitpun.
Agen asing
Mantan KSAD, Jend Ryamizard Ryacudu, mengatakan bahwa ada lebih dari 60 ribu intel asing berkeliaran bebas di Indonesia. Jika kedaulatan kita merasa terganggu sehingga perlu interpelasi parlemen ihwal kebijakan luar negeri mendukung resolusi PBB terhadap Iran, mengapa tidak pernah ada interpelasi tentang kehadiran agen-agen asing tersebut. Sungguh aneh penangkapan Abu Dujana yang peristiwanya bahkan telah diketahui dan diumumkan lebih dulu oleh pihak Australia. Apapun sanggahan kepala Polri tentang ini sulit diterima karena penangkapan dan pembunuhan Azhari sungguh sangat terbuka dan tidak ditunda-tunda pengumumannya.
Yang terakhir, aparat hendaknya melakukan introspeksi bahwa jika ada empati sebagian masyarakat Muslim kepada ‘teroris’, hendaknya jangan dianggap sebagai sebuah pembenaran dari masyarakat Muslim itu terhadap aksi terorisme atau menuduh mereka memiliki kemampuan membayar media massa. Aparat kepolisian memiliki citra yang buruk, tidak saja dalam soal penangkapan ‘teroris’ melainkan juga nyaris dalam semua cara penanganan terhadap berbagai tindak keamanan dan ketertiban di masyarakat.
From: http://www.republika.co.id
Thursday, June 7, 2007
Aparat Yang Gagah(-Gagahan)
Entah apa yang bikin para aparat bersenjata sering jumawa kalau berhadapan dengan massa sipil, apa karena seragamnya, apa karena megang bedil, apa karena latihannya yang berat atau kenapa ya? Yang pasti bukan karena gajinya yang sedeng-sedeng aja--walaupun banyak perwira yang punya kendaraan beroda 4 lebih dari, entah duit darimana--karena banyak kalangan gajinya yang juga sedeng-sedeng aja kaga ada suka belagu, kayak saya misalnya, hehehehe.
Yang pasti juga bukan karena genetika, karena tidak ada pasangan asam basa DNA yang berkombinasi dari T-N-I atau P-O-L-I-S-I, yang ada juga A-G-U-T. Entah darimana, tapi yang jelas sikap jumawa ini telah berujung kepada berbagai prestasi kelam. Sebut aja misalnya kasus pembunuhan rakyat di Tanjung Priok, di Lampung, di Aceh, pembunuhan mahasiswa sampai terakhir pembunuhan rakyat sipil di Solok dan Pasuruan.
Kejumawaan ini bahkan sepertinya menjadi karakter hidup. Jangan pernah coba-coba menghalangi jalan aparat ini di Jalan raya--sengaja maupun tidak--kalau kaga mau didamprat atau bahkan dihajar. Atau coba saja bikin ribut sama satu orang anggota mereka, siap-siap saja malamnya satu truk gerombolan mereka akan menghajar anda!
Emang masih ada kali ya aparat yang gak seperti itu--yang gak suka petantang-petenteng, yang kalau naek kreta bayar tiket--tapi itu kan cuma oknum! :P
Ayo dong pak aparat, jangan suka gitu ama rakyat kecil dan massa sipil lainnya. Kan anda sering didoktrin bahwa TNI itu dari rakyat dan untuk rakyat, sementara kalau Polisi sering berdoktrin to protect and to serve.
Takutlah sama Allah, takutlah nanti ketika dihisab oleh Allah, sikap zhalim dan aniaya akan dibalas dengan siksa yang pedih. Na'udzubillah min dzalik
Yang pasti juga bukan karena genetika, karena tidak ada pasangan asam basa DNA yang berkombinasi dari T-N-I atau P-O-L-I-S-I, yang ada juga A-G-U-T. Entah darimana, tapi yang jelas sikap jumawa ini telah berujung kepada berbagai prestasi kelam. Sebut aja misalnya kasus pembunuhan rakyat di Tanjung Priok, di Lampung, di Aceh, pembunuhan mahasiswa sampai terakhir pembunuhan rakyat sipil di Solok dan Pasuruan.
Kejumawaan ini bahkan sepertinya menjadi karakter hidup. Jangan pernah coba-coba menghalangi jalan aparat ini di Jalan raya--sengaja maupun tidak--kalau kaga mau didamprat atau bahkan dihajar. Atau coba saja bikin ribut sama satu orang anggota mereka, siap-siap saja malamnya satu truk gerombolan mereka akan menghajar anda!
Emang masih ada kali ya aparat yang gak seperti itu--yang gak suka petantang-petenteng, yang kalau naek kreta bayar tiket--tapi itu kan cuma oknum! :P
Ayo dong pak aparat, jangan suka gitu ama rakyat kecil dan massa sipil lainnya. Kan anda sering didoktrin bahwa TNI itu dari rakyat dan untuk rakyat, sementara kalau Polisi sering berdoktrin to protect and to serve.
Takutlah sama Allah, takutlah nanti ketika dihisab oleh Allah, sikap zhalim dan aniaya akan dibalas dengan siksa yang pedih. Na'udzubillah min dzalik
Sunday, June 3, 2007
Pengkhianatan Penguasa Saudi (Dulu dan Kini)
Dalam pidato pembukaan KTT Liga Arab yang dilangsungkan di Riyadh tanggal 28 Maret 2007, Raja Abdullah Ibnu Saud mengatakan bahwa kesengsaraan yang dialami bangsa Arab adalah akibat perselisihan yang kerap terjadi di antara para penguasa Arab. Padahal mereka hanya dapat mencegah “kekuatan asing untuk merumuskan masa depan wilayah itu” jika mereka bersatu. Kemudian dia melanjutkan pidatonya tentang sejarah Liga Arab, “Pertanyaannya adalah, apa yang telah kita lakukan dalam tahun-tahun belakangan ini untuk menyelesaikan semua permasalahan itu? Saya tidak ingin menyalahkan Liga Arab karena ia adalah sebuah entitas yang mencerminkan kondisi kita secara menyeluruh. Kita seharusnya menyalahkan diri kita sendiri; kita semua; pemimpin bangsa-bangsa Arab. Perbedaan-perbedaan kita yang permanen, penolakan kita untuk mengambil jalan persatuan, semuanya itu menyebabkan negara-negara Arab kehilangan kepercayaan diri dan kredibilitas serta kehilangan harapan pada masa kini dan masa depan kita.”
Dia lalu menggambarkan beberapa persoalan yang dihadapi oleh Dunia Islam, “Di Irak yang kita cintai, pertumpahan darah terjadi di antara saudara-saudara kita, dibayangi oleh pendudukan asing yang ilegal, dan kebencian sektarianisme yang menjurus pada perang saudara…Di Palestina, banyak orang menderita karena penindasan dan pendudukan. Sangat mendesak untuk mengakhiri blokade yang diberlakukan atas bangsa Palestina sehingga proses perdamaian dapat terus berjalan dalam kondisi tanpa penindasan.”
Apa yang digarisbawahi oleh Raja Abdullah dalam pidato pembukaanya tentang problem masa kini yang dihadapi kaum Muslim sudah sangat dimengerti oleh kaum Muslim di seluruh dunia. Namun, Dia melupakan peran yang telah dimainkannya, juga peran keluarga Saudi dalam menciptakan dan memperpanjang isu-isu semacam itu. Keluarga Saudi memiliki riwayat panjang terkait dengan pengkhianatan mereka terhadap umat. Mereka justru telah memainkan peran pentingnya dalam mencegah persatuan di Dunia Islam.
Mulai awal tahun 2006, Raja Abdullah telah mencetuskan inisiatif perdamaian yang akan mengakui Israel jika negara itu mengembalikan tanah yang dirampasnya pada perang tahun 1967. Untuk itu, Raja Abdullah bersedia menjadi perantara pada perjanjian antara Pemerintahan Hamas dan Fatah. Raja Abdullah menunjukkan sikap yang sebenarnya ketika Israel menginvasi Libanon pada bulan Juli 2006. Saat itu, pada pertemuan KTT Liga Arab dia bersama Yordania, Mesir, beberapa negara Teluk dan Otoritas Palestina, menghukum Hizbullah atas tindakannya yang dianggap tidak diharapkan, tidak pantas dan tidak bertanggung jawab. Menlu Arab Pangeran Saud al-Faisal pada saat itu mengatakan, “Tindakan itu akan membawa keseluruhan wilayah ini kembali beberapa tahun mundur ke belakang. Kami tidak bisa menerima hal itu.”
Saudi Arabia, bahkan meminta Sheikh terkemuka, Abdullah bin Jabrin, untuk mengeluarkan fatwa yang menyatakan tidak sahnya dukungan, bantuan dan doa bagi Hizbullah.
Keluarga Saudi sering dalam beberapa kesempatan, bersama dengan kekuatan penjajah Barat, bahu-membahu dalam menyediakan dukungan aktif. Dalam Perang Teluk yang pertama, Raja Fahd dengan resmi memerintah-kan penggelaran pasukan Amerika di tanah Saudi. Kerajaan itu menjadi tuan rumah bagi 600,000 pasukan Sekutu hingga kas negara mengalami defisit. Amerika mengeluarkan $60 miliar pada Perang Teluk pertama. Kuwait membayar separuhnya dari anggaran itu. Saat ini, 5000 tentara AS masih bercokol di kerajaan itu sejak akhir Perang Teluk. Sejak 1999, kehadiran mereka telah menimbulkan kejengkelan bagi warga Saudi hingga dikeluarkannya “Memorandum Nasihat” setebal 46 halaman oleh 107 pemuka kelompok Wahabi kepada Raja Fahd. Memorandum tersebut mengkritik pemerintah atas korupsi dan pelanggaran lainnya serta kebijakan pemerintah yang tetap membiarkan kehadiran tentara AS di tanah Saudi. Namun, jawaban yang diambil oleh Raja Fahd adalah menangkap mereka.
Sejarah Pengkhianatan al-Saud
Pengkhiatan telah berakar dalam di tubuh Kerajaan Saudi, yakni sejak keluarga Saudi memainkan peran langsungnya atas kehancuran Khilafah dan pembentukan negara Israel. Kantor Kementerian Luar Negeri Inggris melakukan kontak-kontak dengan Ibnu Saud tahun 1851 untuk berhubungan dengan pihak-pihak yang dianggap pantas untuk menjadi penentang Khilafah yang beribukota di Istanbul. Keluarga Saudi pada saat itu adalah segerombolan bandit yang terlibat dalam percekcokan kesukuan, namun dengan uang dan senjata dari Inggris. Ibnu Saud mampu mengkonsolidasikan posisinya di wilayah-wilayah kunci di semenanjung Arab dan akhirnya di seluruh semenanjung itu. Ini terlihat pada perjanjian yang ditandatangani oleh Inggris tahun 1865. Ketika itu Inggris menginginkan sekutunya di wilayah itu untuk memberikan pijakan pada wilayah Kekhalifahan Usmaniah yang sedang sekarat. Sebagai imbalannya, Ibnu Saud menginginkan bantuan logistik dan militer Inggris untuk mengacaukan Kekhalifahan dari dalam.
Inggris memberikan Ibnu Saud sedikit subsidi yang dipakai untuk memperluas dan mempertahankan pasukan Wahabi. Pasukan ini adalah tulang punggung pasukan Ibnu Saud untuk melawan Khilafah. Ibnu Saud berusaha untuk memperoleh legitimasi dengan memakai gerakan Wahabi, pengikut Muhammad ibnu Wahab, yang berkeyakinan bahwa tanah Arab perlu dibersihkan dengan opini Islamnya. Ibnu Wahab menggunakan Wahabi untuk memberikan kredibilitas agama atas kebijakan pro-Inggrisnya. kaum Wahabi melihat kesempatan ini untuk melihat interpretasinya atas Islam agar menjadi mazhab yang dominan di wilayah itu.
Tahun 1910 keluarga al-Saud menjadi orang-orang yang lebih penting lagi bagi Inggris ketika mereka memberontak terhadap Kekhalifahan Usmani, dengan dukungan Inggris, dengan menyerang saudara sepupunya Ibnu Rashid yang mendukung Khilafah. Subsidi yang tadinya kecil menjadi bertambah dan sekomplotan penasihat dikirim untuk membantu gerakan Ibnu Saud.
Pemberontakan Arab (1916-1918) diawali oleh Syarif Hussein ibnu Ali dengan restu penuh Inggris. Tujuannya adalah untuk memisahkan semenanjung Arab dari Istanbul. Perjanjian ini diakhiri pada bulan Juni 1916 setelah dilakukan surat-menyurat dengan Komisi Tinggi Inggris Henry McMahon yang mampu meyakinkan Syarif Hussein akan imbalan yang diterimanya atas penghianatannya terhadap Kekhalifahan, yakni berupa tanah yang membentang dari Mesir dan Persia; dengan pengecualian penguasaan kerajaan di wilayah Kuwait, Aden, dan pesisir Syria. Pemerintah Inggris di Mesir langsung mengirim seorang opsir muda untuk bekerja bersama orang Arab. Orang itu adalah Kapten Timothy Edward Lawrence, atau yang dikenal dengan nama Lawrence dari Arab.
Setelah kekalahan Kekhalifahan Usmani tahun 1918 dan keruntuhan sepenuhnya tahun 1924, Inggris memberikan kontrol penuh atas negara-negara yang baru terbentuk, yakni Irak dan Trans-Jordan, kepada anak laki-laki Syarif Hussein yaitu Faisal dan Abdullah seperti yang sebelumnya dijanjikan. Keluarga al-Saud berhasil membawa seluruh Arab di bawah kontrolnya tahun 1930. Pandangan Inggris atas nasib Arab menyusul kekalahan Khilafah tercermin pada kata-kata Lord Crewe bahwa ia menginginkan, “Arab yang terpecah menjadi kerajaan-kerajaan di bawah mandat kami.” Untuk peran itu, keluarga Saudi menerimanya dengan senang hati.
Keluarga Saudi langsung bersekongkol dengan Inggris untuk menghancurkan Khilafah. Jika tidak terlalu buruk keluarga Saud juga akan langsung bersekongkol dengan Zionis untuk mendirikan Israel. Raja Abdullah 1 dari Trans-Jordan yang diciptakan Inggris mempelajari kemungkinan itu dengan David Ben Gurion (Perdana Menteri Israel yang pertama) di Istanbul tahun 1930-an. Abdullah menawarkan untuk menerima pendirian Israel. Sebagai imbalannya, dia akan menerima Jordania di bawah kontrol penduduk Arab di Palestina. Tahun 1946 Abdullah mengungkapkan minatnya untuk menguasai wilayah Arab di Palestina. Dia tidak berniat untuk menentang atau menghalangi pembagian Palestina dan pendirian negara Israel, seperti yang digambarkan oleh seorang sejarawan.
Saudaranya Raja Faisal dari Irak bahkan melebihi pengkhiatan Abdullah. Ketika itu, pada tahun 1919 Faisal menandatangani Perjanjian Faisal-Weizmann, dengan Dr. Chaim Weizmann, Presiden organisasi Zionis Dunia; dialah yang menerima dengan syarat Deklarasi Balfour berdasarkan janji yang dipenuhi oleh Inggris pada masa perang untuk kemerdekaan Arab.
Sejak tahun 1995 Saudi Arabia telah mengimpor $64.5 miliar dalam bentuk persenjataan, yang jauh melebihi pengimpor kedua terbesar, Taiwan, yang melakukan transaksi hanya sebesar $20.2 untuk persenjataan. Namun, tidak satu pun senjata-senjata itu yang digunakan untuk pertahanan bagi kaum Muslim atau di area konflik tempat kaum Muslim ditindas. Satu-satunya saat bagi Saudi ikut terlibat perang adalah ketika terjadi Perang Teluk. Saat itu, dia terlibat dalam mendukung koalisi terhadap Irak dan selama PD I. Pembatalan yang baru-baru ini dilakukan antara Saudi dan Inggris menunjukkan, bahwa keluarga Saudi tidak pernah berkeinginan untuk membela kepentingan kaum Muslim. Mereka hanya membeli persenjataan untuk memastikan berlanjutan industri persenjataan tuan-tuannya di Barat, sementara mereka tetap mengkhianati umat. [Riza Aulia; sumber www.khilafah.com]
Dia lalu menggambarkan beberapa persoalan yang dihadapi oleh Dunia Islam, “Di Irak yang kita cintai, pertumpahan darah terjadi di antara saudara-saudara kita, dibayangi oleh pendudukan asing yang ilegal, dan kebencian sektarianisme yang menjurus pada perang saudara…Di Palestina, banyak orang menderita karena penindasan dan pendudukan. Sangat mendesak untuk mengakhiri blokade yang diberlakukan atas bangsa Palestina sehingga proses perdamaian dapat terus berjalan dalam kondisi tanpa penindasan.”
Apa yang digarisbawahi oleh Raja Abdullah dalam pidato pembukaanya tentang problem masa kini yang dihadapi kaum Muslim sudah sangat dimengerti oleh kaum Muslim di seluruh dunia. Namun, Dia melupakan peran yang telah dimainkannya, juga peran keluarga Saudi dalam menciptakan dan memperpanjang isu-isu semacam itu. Keluarga Saudi memiliki riwayat panjang terkait dengan pengkhianatan mereka terhadap umat. Mereka justru telah memainkan peran pentingnya dalam mencegah persatuan di Dunia Islam.
Mulai awal tahun 2006, Raja Abdullah telah mencetuskan inisiatif perdamaian yang akan mengakui Israel jika negara itu mengembalikan tanah yang dirampasnya pada perang tahun 1967. Untuk itu, Raja Abdullah bersedia menjadi perantara pada perjanjian antara Pemerintahan Hamas dan Fatah. Raja Abdullah menunjukkan sikap yang sebenarnya ketika Israel menginvasi Libanon pada bulan Juli 2006. Saat itu, pada pertemuan KTT Liga Arab dia bersama Yordania, Mesir, beberapa negara Teluk dan Otoritas Palestina, menghukum Hizbullah atas tindakannya yang dianggap tidak diharapkan, tidak pantas dan tidak bertanggung jawab. Menlu Arab Pangeran Saud al-Faisal pada saat itu mengatakan, “Tindakan itu akan membawa keseluruhan wilayah ini kembali beberapa tahun mundur ke belakang. Kami tidak bisa menerima hal itu.”
Saudi Arabia, bahkan meminta Sheikh terkemuka, Abdullah bin Jabrin, untuk mengeluarkan fatwa yang menyatakan tidak sahnya dukungan, bantuan dan doa bagi Hizbullah.
Keluarga Saudi sering dalam beberapa kesempatan, bersama dengan kekuatan penjajah Barat, bahu-membahu dalam menyediakan dukungan aktif. Dalam Perang Teluk yang pertama, Raja Fahd dengan resmi memerintah-kan penggelaran pasukan Amerika di tanah Saudi. Kerajaan itu menjadi tuan rumah bagi 600,000 pasukan Sekutu hingga kas negara mengalami defisit. Amerika mengeluarkan $60 miliar pada Perang Teluk pertama. Kuwait membayar separuhnya dari anggaran itu. Saat ini, 5000 tentara AS masih bercokol di kerajaan itu sejak akhir Perang Teluk. Sejak 1999, kehadiran mereka telah menimbulkan kejengkelan bagi warga Saudi hingga dikeluarkannya “Memorandum Nasihat” setebal 46 halaman oleh 107 pemuka kelompok Wahabi kepada Raja Fahd. Memorandum tersebut mengkritik pemerintah atas korupsi dan pelanggaran lainnya serta kebijakan pemerintah yang tetap membiarkan kehadiran tentara AS di tanah Saudi. Namun, jawaban yang diambil oleh Raja Fahd adalah menangkap mereka.
Sejarah Pengkhianatan al-Saud
Pengkhiatan telah berakar dalam di tubuh Kerajaan Saudi, yakni sejak keluarga Saudi memainkan peran langsungnya atas kehancuran Khilafah dan pembentukan negara Israel. Kantor Kementerian Luar Negeri Inggris melakukan kontak-kontak dengan Ibnu Saud tahun 1851 untuk berhubungan dengan pihak-pihak yang dianggap pantas untuk menjadi penentang Khilafah yang beribukota di Istanbul. Keluarga Saudi pada saat itu adalah segerombolan bandit yang terlibat dalam percekcokan kesukuan, namun dengan uang dan senjata dari Inggris. Ibnu Saud mampu mengkonsolidasikan posisinya di wilayah-wilayah kunci di semenanjung Arab dan akhirnya di seluruh semenanjung itu. Ini terlihat pada perjanjian yang ditandatangani oleh Inggris tahun 1865. Ketika itu Inggris menginginkan sekutunya di wilayah itu untuk memberikan pijakan pada wilayah Kekhalifahan Usmaniah yang sedang sekarat. Sebagai imbalannya, Ibnu Saud menginginkan bantuan logistik dan militer Inggris untuk mengacaukan Kekhalifahan dari dalam.
Inggris memberikan Ibnu Saud sedikit subsidi yang dipakai untuk memperluas dan mempertahankan pasukan Wahabi. Pasukan ini adalah tulang punggung pasukan Ibnu Saud untuk melawan Khilafah. Ibnu Saud berusaha untuk memperoleh legitimasi dengan memakai gerakan Wahabi, pengikut Muhammad ibnu Wahab, yang berkeyakinan bahwa tanah Arab perlu dibersihkan dengan opini Islamnya. Ibnu Wahab menggunakan Wahabi untuk memberikan kredibilitas agama atas kebijakan pro-Inggrisnya. kaum Wahabi melihat kesempatan ini untuk melihat interpretasinya atas Islam agar menjadi mazhab yang dominan di wilayah itu.
Tahun 1910 keluarga al-Saud menjadi orang-orang yang lebih penting lagi bagi Inggris ketika mereka memberontak terhadap Kekhalifahan Usmani, dengan dukungan Inggris, dengan menyerang saudara sepupunya Ibnu Rashid yang mendukung Khilafah. Subsidi yang tadinya kecil menjadi bertambah dan sekomplotan penasihat dikirim untuk membantu gerakan Ibnu Saud.
Pemberontakan Arab (1916-1918) diawali oleh Syarif Hussein ibnu Ali dengan restu penuh Inggris. Tujuannya adalah untuk memisahkan semenanjung Arab dari Istanbul. Perjanjian ini diakhiri pada bulan Juni 1916 setelah dilakukan surat-menyurat dengan Komisi Tinggi Inggris Henry McMahon yang mampu meyakinkan Syarif Hussein akan imbalan yang diterimanya atas penghianatannya terhadap Kekhalifahan, yakni berupa tanah yang membentang dari Mesir dan Persia; dengan pengecualian penguasaan kerajaan di wilayah Kuwait, Aden, dan pesisir Syria. Pemerintah Inggris di Mesir langsung mengirim seorang opsir muda untuk bekerja bersama orang Arab. Orang itu adalah Kapten Timothy Edward Lawrence, atau yang dikenal dengan nama Lawrence dari Arab.
Setelah kekalahan Kekhalifahan Usmani tahun 1918 dan keruntuhan sepenuhnya tahun 1924, Inggris memberikan kontrol penuh atas negara-negara yang baru terbentuk, yakni Irak dan Trans-Jordan, kepada anak laki-laki Syarif Hussein yaitu Faisal dan Abdullah seperti yang sebelumnya dijanjikan. Keluarga al-Saud berhasil membawa seluruh Arab di bawah kontrolnya tahun 1930. Pandangan Inggris atas nasib Arab menyusul kekalahan Khilafah tercermin pada kata-kata Lord Crewe bahwa ia menginginkan, “Arab yang terpecah menjadi kerajaan-kerajaan di bawah mandat kami.” Untuk peran itu, keluarga Saudi menerimanya dengan senang hati.
Keluarga Saudi langsung bersekongkol dengan Inggris untuk menghancurkan Khilafah. Jika tidak terlalu buruk keluarga Saud juga akan langsung bersekongkol dengan Zionis untuk mendirikan Israel. Raja Abdullah 1 dari Trans-Jordan yang diciptakan Inggris mempelajari kemungkinan itu dengan David Ben Gurion (Perdana Menteri Israel yang pertama) di Istanbul tahun 1930-an. Abdullah menawarkan untuk menerima pendirian Israel. Sebagai imbalannya, dia akan menerima Jordania di bawah kontrol penduduk Arab di Palestina. Tahun 1946 Abdullah mengungkapkan minatnya untuk menguasai wilayah Arab di Palestina. Dia tidak berniat untuk menentang atau menghalangi pembagian Palestina dan pendirian negara Israel, seperti yang digambarkan oleh seorang sejarawan.
Saudaranya Raja Faisal dari Irak bahkan melebihi pengkhiatan Abdullah. Ketika itu, pada tahun 1919 Faisal menandatangani Perjanjian Faisal-Weizmann, dengan Dr. Chaim Weizmann, Presiden organisasi Zionis Dunia; dialah yang menerima dengan syarat Deklarasi Balfour berdasarkan janji yang dipenuhi oleh Inggris pada masa perang untuk kemerdekaan Arab.
Sejak tahun 1995 Saudi Arabia telah mengimpor $64.5 miliar dalam bentuk persenjataan, yang jauh melebihi pengimpor kedua terbesar, Taiwan, yang melakukan transaksi hanya sebesar $20.2 untuk persenjataan. Namun, tidak satu pun senjata-senjata itu yang digunakan untuk pertahanan bagi kaum Muslim atau di area konflik tempat kaum Muslim ditindas. Satu-satunya saat bagi Saudi ikut terlibat perang adalah ketika terjadi Perang Teluk. Saat itu, dia terlibat dalam mendukung koalisi terhadap Irak dan selama PD I. Pembatalan yang baru-baru ini dilakukan antara Saudi dan Inggris menunjukkan, bahwa keluarga Saudi tidak pernah berkeinginan untuk membela kepentingan kaum Muslim. Mereka hanya membeli persenjataan untuk memastikan berlanjutan industri persenjataan tuan-tuannya di Barat, sementara mereka tetap mengkhianati umat. [Riza Aulia; sumber www.khilafah.com]
Subscribe to:
Posts (Atom)