Oleh : Y Herman Ibrahim (Mantan Kepala Penerangan Kodam III/Siliwangi)
Kalau Anda tidak memiliki cukup waktu untuk membaca, tolong sempatkanlah untuk membaca satu alinea saja tulisan Ilham Prisgunanto di opini Republika, Selasa 19 Juni 2007. Alinea tersebut berbunyi, “Dengan demikian terjawablah pertanyaan besar, mengapa jaringan teroris lebih memilih Indonesia sebagai medan perang aksi mereka? Faktor kunci adalah dari begitu ‘longgar’ dan penuh lubangnya sistem pemberitaan dan pers Indonesia. Tidak adanya ketegasan aturan perundang-undangan adalah ‘opsi’ dari mudahnya lahan publikasi dibeli karena masuk ke ranah yang tak bertuan dan tak terkontrol.”
Sungguh ini suatu kebohongan publik yang sangat dahsyat. Adhian Husaini mengatakan bahwa Barat mengontrol informasi dunia dan memproduk rata-rata 6 juta kata per hari, sementara Timur (Islam) hanya mampu 500 ribu kata per hari. Dari perbandingan produksi kata melalui berbagai jenis media cetak, elektronik, dan dunia maya tampak jelas bahwa diseminasi nilai yang terus menerus dicangkokan ke benak manusia adalah nilai-nilai, doktrin, ideologi serta budaya Barat. Tengok jaringan informasi seperti CNN yang ditayangkan 24 jam terus-menerus melalui jaringan satelit yang bisa ditonton di seluruh pelosok dunia melakukan cuci otak tanpa henti. Media massa nasional pun lebih banyak merujuk kepada informasi yang diproduksi oleh kantor berita seperti UPI, Reuters, dan BBC. Tidak ada ceritanya media di Indonesia mengambil referensi dari As Sahab, Ar Rahmah, Al Muhajirun, atau secara mandiri mengembangkan informasi tanding.
Salah merujuk
Ilham juga menyoal lubuk hati manusia yang jika ada rasa pembenaran terhadap aksi teroris merupakan keberhasilan taktik komunikasi jaringan teroris terhadap Indonesia. Ilham tidak salah dengan merujuk konsep agenda setting Maxwell Mc Comb 1995, tapi jika itu ditujukan kepada terorisme di Indonesia jelas menyesatkan. Semua orang menyaksikan betapa pemberitaan media ihwal kejahatan terorisme di Indonesia sungguh berlebihan.
Jauh sebelum proses pengadilan dijalankan, media menyebar informasi bahwa Abu Bakar Ba’asyir melakukan kejahatan makar, merancang membunuh Megawati, dan melakukan pelanggaran imigrasi. Tatkala pengadilan dijalankan, semua tuduhan itu tidak terbukti dan hanya satu pelanggaran (bukan kejahatan) yang terbukti yakni pemalsuan nama pada KTP tatkala kabur ke Malaysia untuk menghindari kejaran Benny Moerdani. Sebuah pelanggaran yang sama dengan yang dilakukan Casingkem, seorang TKW yang memalsu nama menjadi Novita Sari. Bedanya, Casingkem disambut Megawati di Istana Negara sementara Abu Bakar Ba’asyir dihukum 3 tahun penjara. Bukankah ini hasil pembentukan opini?
Bisa jadi agenda setting Maxwell Mc Comb yang dirujuk Ilham benar sejauh itu digunakan justru untuk membenarkan terorisme yang dilakukan oleh Barat. Operasi Northwood yang kendati dibatalkan oleh Kennedy dirancang untuk memojokkan Kuba. Demikian juga operasi intelijen Teluk Babi di-setting seakan-akan dilakukan oleh teroris komunis.
Belakangan masyarakat dunia terhenyak dengan sinyalemen Ahmadinejad bahwa Holocaust sebuah kekejaman teror yang luar biasa dahsyat adalah suatu kebohongan Yahudi untuk mempengaruhi opini dunia. Dusta tentang pembunuhan 6 juta Yahudi oleh Jerman diperlukan untuk pembenaran exodus Yahudi ke Tanah Palestina dan mendirikan negara di sana.
Dr Frederisk Toben, asli Jerman dan menjadi warga negara Australia mengatakan bahwa Holocaust adalah kebohongan yang dilindungi secara legal. Tanpa Holocaust tidak ada alasan bagi Yahudi untuk membantai rakyat Palestina. Di negara-negara Eropa, Anda boleh mengritik atau menghina Yesus, Bunda Maria, dan sebagainya, tetapi anda dilarang mengkritik Yahudi dan Holocaustnya.
Terorisme memang memerlukan kebohongan untuk pembenaran aksinya, tetapi tidak untuk Islam. Islam tidak mengenal konsep teror, yang ada adalah jihad. Di dalam Islam harus ada kekuatan untuk membuat musuh gentar tetapi bukan seperti terorisme yang dilakukan oleh Barat. Bahwa ada sebagian orang Islam di Indonesia yang marah kepada Barat karena kejahatan yang dilakukan Barat di Palestina, Irak, Afghanistan, Somalia, dan Chechnya lantas melakukan aksi perlawanan berupa pengeboman terhadap kepentingan Barat di negeri ini, memang itu kenyataan.
Meski demikian David O Shea, orang Australia mengatakan bahwa aksi bom di Indonesia merupakan jalinan dari tiga kepentingan. Tiga kepentingan itu adalah pertama, Barat memerlukan aksi bom di Indonesia untuk membenarkan perang melawan terorisme. Kedua, ghiroh yang tinggi di kalangan anak-anak muda Islam khususnya alumni Afghanistan, dan ketiga budaya korupsi di kalangan aparat keamanan.
Jadi, untuk konteks terorisme di Indonesia sesungguhnya bukanlah hasil persahabatan kental antara terorisme dan media massa seperti yang dirujuk oleh Ilham dari pendapat ahli masalah teroris Walter Laqueur. Tidak ada fakta yang menunjukkan bahwa teroris di Indonesia memiliki kemampuan finansial untuk menyewa media massa. Yang ada adalah justru sebaliknya yaitu pembentukan opini massal seakan-akan Nurdin M Top dan kawan-kawan adalah ancaman serius bagi rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim.
Tentang Kepolisian RI perlu ada penjelasan bahwa kegelisahan dan kegerahan aparat di lapangan terhadap awak jurnalis seperti yang dicontohkan Robert L Rabe wakil kepala Kepolisian Washington dalam pembajakan sebuah gedung oleh Hanafi Muslim pada Maret 1977, tidak pernah terjadi di Indonesia. Pihak Kepolisian RI tidak terkesan takut kepada wartawan dan tidak merasa tertekan untuk mengisahkan penyergapan dan penangkapan teroris berikut opini yang dibangun seakan-akan para teroris seperti Abu Dujana benar-benar durjana. Seorang Sidney Jones warga AS yang diduga agen CIA bahkan dengan nyaman bicara bebas di berbagai media televisi tanpa rasa sungkan sedikitpun.
Agen asing
Mantan KSAD, Jend Ryamizard Ryacudu, mengatakan bahwa ada lebih dari 60 ribu intel asing berkeliaran bebas di Indonesia. Jika kedaulatan kita merasa terganggu sehingga perlu interpelasi parlemen ihwal kebijakan luar negeri mendukung resolusi PBB terhadap Iran, mengapa tidak pernah ada interpelasi tentang kehadiran agen-agen asing tersebut. Sungguh aneh penangkapan Abu Dujana yang peristiwanya bahkan telah diketahui dan diumumkan lebih dulu oleh pihak Australia. Apapun sanggahan kepala Polri tentang ini sulit diterima karena penangkapan dan pembunuhan Azhari sungguh sangat terbuka dan tidak ditunda-tunda pengumumannya.
Yang terakhir, aparat hendaknya melakukan introspeksi bahwa jika ada empati sebagian masyarakat Muslim kepada ‘teroris’, hendaknya jangan dianggap sebagai sebuah pembenaran dari masyarakat Muslim itu terhadap aksi terorisme atau menuduh mereka memiliki kemampuan membayar media massa. Aparat kepolisian memiliki citra yang buruk, tidak saja dalam soal penangkapan ‘teroris’ melainkan juga nyaris dalam semua cara penanganan terhadap berbagai tindak keamanan dan ketertiban di masyarakat.
From: http://www.republika.co.id
No comments:
Post a Comment