Thursday, April 17, 2008

Memahami Ushul Fiqh : Al Hakim

AL HAKIM

Pembahasan yang paling penting yang berkaitan dengan hukum, yang pertama, yang paling mendesak untuk dijelaskan adalah pengetahuan tentang siapa yang menjadi rujukan sumber hukum, maksudnya siapa al-hakim itu, karena pengetahuan atas hukum dan kategorisasinya tergantung pada pengetahuan tentang al-hakim tersebut. Dan yang dimaksud dengan al-hakim disini bukanlah pemegang kekuasaan yang menerapkan semua hal yang dia memiliki kekuasaan atas hal tersebut, tapi yang dimaksud dengan al-hakim disini adalah yang memiliki otoritas untuk mengeluarkan hukum atas perbuatan dan sesuatu. Sebab apa saja yang ada yang bersifat indrawi tidak akan kaluar dari kategori sebagai perbuatan manusia atau sesuatu yang tidak termasuk perbuatan manusia. Ketika manusia dengan sifatnya sebagai manusia yang hidup di dalam alam semesta ini menjadi obyek bahasan, maka pengeluaran hukum adalah karena manusia dan berkaitan dengannya. Karenanya adalah merupakan keharusan adanya hukum atas perbuatan manusia dan sesuatu yang berkaitan dengan perbuatan manusia tersebut. (Pertanyaannya) adalah siapa satu-satunya yang memiliki otoritas untuk mengeluarkan hukum atas hal diata, apakah Allah atau manusia itu sendiri? Atau dengan ungkapan lain apakah syara’ atau akal? Karena yang menjadikan kita tahu bahwa ini hukum Allah adalah syara’, sedangkan yang menjadikan manusia dapat menghukumi adalah akal. Maka (pertanyaannya) adalah siapa yang yang menghukumi, syara' ataukah akal?


Adapun topik bahasan hukum, maksudnya adalah sesuatu yang dikeluarkan atasnya hukum baik atas sesuatu atau perbuatan adalah hasan dan qabih, karena maksud dikeluarkannya suatu hukum adalah untuk menentukan sikap manusia terhadap suatu perbuatan apakah dia mengerjakannya atau tidak, atau dia memilih antara mengerjakan atau tidak? Serta menentukan sikapnya atas sesuatu yang berkaitan dengan perbuatannya apakah dia mengambilnya atau tidak atau dia memilih antara mengambil dan tidak. Dan penentuan sikap manusia atas hal tersebut tentu tergantung pada pandangan manusia atas sesuatu apakah merupakan suatu yang hasan atau qabih, atau bukan hasan dan juga bukan qabih? Oleh karena itu maka obyek hukum yang dimaksud adalah hasan dan qabih.

Maka (pertanyaannya) adalah apakah hukum atas hasan dan qabih itu ditentukan oleh akal atau syara’? karena memang tidak ada alternatif yang ketiga untuk mengeluarkan hukum ini. Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah bahwa hukum atas perbuatan maupun sesuatu itu adalah adakalanya ditentukan dari aspek faktanya, sesuatu itu apa; dari aspek kesesuaiannya dengan tabiat manusia serta kecenderungan naluriah manusia dan pertentangan sesuatu tersebut dengan kecenderungan naluriah manusia. Ada kalanya dari aspek pujian ketika perbuatan tersebut dikerjakan serta celaan ketika meninggalkannya, atau tidak adanya celaan dan pujian, Atau dengan kata lain ditilik dari aspek pahala dan siksa atas perbuatan tersebut atau tidak adanya pahala serta siksa. Inilah tiga prespektif untuk hukum atas sesuatu: pertama, ditinjau dari faktanya itu apa, kedua dari aspek kesesuaian dan pertentangannya dengan tabiat manusia dan ketiga adalah dari aspek pahala dan siksa, atau pujian atau celaan.

Adapun hukum atas sesuatu ditilik dari aspek yang pertama yaitu dari aspek faktanya itu sendiri itu apa, dan aspek yang kedua yakni dari sisi sesuai dan tidaknya terhadap naluri manusia maka tidak diragukan lagi bahwa itu semua adalah manusia sendiri yang menentukan. atau dengan kata lain ditentukan oleh akal dan bukan syara’. Akal-lah yang memberikan hukum atas perbuatan dan sesuatu pada dua aspek ini, syara’ tidak menentukan hukum atas keduanya. Karena mamang syara’ tidak terlibat di dalamnya. Contohnya pandai itu terpuji sedangkan bodoh adalah tercela memang fakta keduanya gamblang sekali, antara lain adalah kesempurnaan dan kekurangan. Demikian pula dengan penilaian bahwa kaya itu terpuji dan miskin itu tercela dst. Contoh lain misalnya bahwa menyelamatkan orang yang tenggelam adalah terpuji dan mengambil harta secara dzalim adalah tercela maka sesungguhnya tabiat (manusia) menjauhi kedzaliman dan cenderung meluluskan hajat orang yang hampir mati. Demikian pula dengan sesuatu yang manis itu baik sedangkan suatu yang pahit itu tercela dst. Ini semua terpulang pada fakta sesuatu yang dirasakan oleh manusia dan yang difahami oleh akalnya atau terpulang pada tabiat manusia serta fitrahnya, dia merasakannya dan akalnya memahaminya. Oleh karena itu akallah yang menentukan hukum atas sesuatu tersebut baik terpuji ataupun tercela, bukan syara’. Dengan kata lain yang mengeluarkan hukum atas perbuatan maupun sesuatu atas dua hal ini adalah manusia. Manusialah yang menjadi hakim atas kedua hal diatas.

Adapun hukum atas perbuatan dan sesuatu dari sisi pujian dan celaan atas perbuatan maupun sesuatu di dunia serta pahala dan siksa di akhirat tidak diragukan lagi bahwa yang menentukan adalah hanyalah Allah dan bukan manusia, dengan kata lain merupakan wewenang syara dan bukan akal. Seperti terpujinya Iman, tercelanya kekufuran, terpujinya taat dan tercelanya maksiyat, terpujinya berbohong pada saat pertempuran serta tercelanya berbohong pada penguasa kafir di luar peperangan dst. Hal tersebut disebabkan karena realitas akal itu adalah pengindraan, fakta, informasi sebelumnya dan otak. Pengindraan itu adalah bagian penting dari pilar-pilar akal, apabila manusia tidak dapat mengindera sesuatu maka akalnyapun tidak mungkin untuk mengeluarkan suatu hukum atas sesuatu tersebut. Karena akal dalam menentukan hukum atas sesuatu itu terbatas pada sesuatu yang indrawi saja, dan mustahil bagi akal untuk menentukan hukum atas sesuatu yang non indrawi. Sementara kedzaliman apakah termasuk yang terpuji atau tercela memang bukan sesuatu yang indrawi bagi manusia, karena kedzaliman bukanlah sesuatu yang indrawi, karenanya kedzaliman tidak mungkin dirasionalkan; artinya tidak memungkinkan bagi akal untuk menentukan hukum atas kedzaliman tersebut.

Maka hukum apakah kedzaliman itu terpuji atau tercela, meski perasaan manusia secara fitrah menjahui kedzaliman atau ada kecenderungan padanya tetapi perasaan saja tidaklah bermanfaat (untuk memberikan kontribusi) agar akal dapat mengeluarkan hukum atas sesuatu tersebut yang tidak bisa tidak harus termasuk yang indrawi. Oleh karena itu akal tidak mungkin mengeluarkan hukum baik hasan atau qabih atas perbuatan atau sesuatu. Berdasarkan ini maka akal tidak boleh mengeluarkan hukum baik pujian maupun celaaan atas perbuatan-perbuatan atau sesuatu, karena akal tidak bisa mengeluarkan hukum tersebut dan mustahil bagi akal untuk hal itu.

Juga tidak boleh menjadikan kecenderungan fitri manusia untuk mengeluarkan hukum terpuji dan tercala. Karena kecenderungan tersebut akan mengeluarkan hukum terpuji atas hal-hal yang sejalan dengan kecenderungan tersebut dan mengeluarkan hukum tercela atas hal-hal yang berbeda dengan kecenderungan tersebut. Maka kadangkala hal yang sejalan dengan kecenderungan tersebut justru hal-hal yang tercela. Misalnya zina, homoseksual, melakukan penyembahan pada manusia, dan kadangkala hal-hal yang berbeda dengan kecenderungan manusia tersebut justru merupakan bagian dari hal-hal yang terpuji. Misalnya memerangi musuh, sabar atas hal-hal yang tidak disukai serta perkataan yang benar dalam keadaan-keadaan yang dapat mengakibatkan kesakitan yang teramat sangat. Maka menyerahkan hukum pada kecenderungan dan hawa nafsu artinya menjadikan kecenderungan tersebut sebagai standar bagi terpuji dan tercela, itu adalah standar yang salah secara pasti. Oleh karena itu menjadikan hukum berdasarkan pada kecenderungan adalah suatu kesalahan yang jelas. Karena hal tersebut menjadikan hukum secara salah yang bertentangan dengan fakta. Lebih dari itu hal tersebut berarti menjadikan hukum atas terpuji dan tercela berdasarkan hawa nafsu dan syahwat, bukan berdasarkan apa yang seharusnya terjadi.

Karena itu tidak boleh menjadikan kecenderungan yang sifatnya fitrah bagi manuasia tersebut mengeluarkan hukum atas terpuji dan tercela. Selama tidak diperbolehkannya akal untuk mengeluarkan hukum atas terpuji dan tercela, serta tidak diperbolehkan kecenderungan yang bersifat fitriah untuk mengeluarkan hukumnya atas terpuji dan tercela maka tidak boleh menjadikan manusia (hak) untuk mengeluarkan hukum atas terpuji dan tercala, maka yang mengeluarkan hukum atas perbuatan yang terpuji dan tercala adalah Allah dan bukan manusia. Maka yang mengeluarkan hukum atas terpuji dan tercela adalah syara dan bukan akal.

Dan lagi kalau seandainya manusia dibiarkan untuk menentukan hukum atas perbuatan-perbuatan dan sesuatu dengan terpuji dan tercela maka akan berbeda-beda pulalah hukum tersebut dengan adanya perbedaan person dan waktu, bukan termasuk kapasitas manusia untuk menentukan hukum atas terpuji dan tercela yang sifatnya tetap. Karena itu maka Allahlah yang menentukan hukum atas hal tersebut, bukan manusia. Artinya syara’lah yang menentukan hukum, bukan akal. Karena akal memang tidak dapat terlibat dalam menentukan hukum dari prespektif ini. Karena bukti-bukti yang kasat mata menunjukkan bahwa manusia menghukumi sesuatu sebagai suatu terpuji, hari ini, kemudian besok berubah menjadi tercela. Demikian pula ketika menghukumi sesuatu sebagai hal yang buruk kemarin, kemudian hari ini dia menghukumi sesuatu yang sama sebagai sesuatu yang terpuji. Dengan begitu maka hukum atas sesuatu yang sama akan berubah-ubah danm berbeda-beda, dan tidak menjadi hukum yang tetap. Maka terjadilah kesalahan dalam menentukan hukum. Karena itulah tidak diperbolehkan menjadikan akal atau manusia berhak untuk menentukan hukum atas terpuji dan tercela.
Atas dasar hal tersebut adalah merupakan keharusan untuk menjadikan al-hakim atas perbuatan manusia serta atas sesuatu yang berkaitan dengannya dari sisi terpuji dan tercala adalah Allah Ta’ala, bukan manusia. Atau dengan kata lain syaara’lah yang menetukan hukum, bukan akal.

Ini dari prespektif dalil rasional (aqli) atas hasan dan qabih. Sedangkan dari sisi dalil syar’I, sesungguhnya syara' telah mengharuskan peng-hasanan dan peng-qabihan itu dengan mengikuti Rasul serta mencela hawa nafsu. Karena itu adalah termasuk hal yang qath'I secara syar’I, bahwa yang disebut dengan hasan adalah apa yang dihasankan oleh syara’ sedangkan qabih adalah apa yang diqabihkan oleh syara’.

Maka (penetapan) hukum atas perbuatan dan sesuatu dengan terpuji dan tercela adalah untuk menentukan sikap manusia atas perbuatan dan sesuatu tersebut. Untuk sesuatu, berarti menjelaskan apakah boleh baginya mengambil sesuatu tersebut atau diharamkan, dan secara factual tidak ada diskripsi selain itu. Sedangkan untuk perbuatan manusia apakah Allah menuntut manusia untuk mengerjakan atau menuntut untuk meninggalkan atau bahkan memberikan pilihan diantara mengerjakan dan meninggalkan. Tetkala hukum tersebut (dilihat) dari prespektif ini tidak boleh ada kecuali dari syara’, maka merupakan kwajiban hendaknya hukum-hukum perbuatan manusia serta hukum-hukum atas sesuatu di dalamnya dikembalikan pada syara’, bukan pada akal. Maka adalah merupakan kewajiban menjadikan hukum syara’ saja yang berlaku terhadap perbuatan-perbuatan manusia serta segala sesuatu yang terkait dengan perbuatan-perbuatan mereka.

Lebih dari itu sesungguhnya hukum atas sesuatu dari prespektif halal dan haram, dan perbuatan-perbuatan manusia dari prespektif kwajiban, yang diharamkan, yang disunnahkan, yang dimakruhkan atau yang dimubahkan, dan atas perkara-perkara maupun akad-akad dari sisi keberadaannya sebagai sebab atau syarat, atau mani’ atau shahih, dan bathil dan fasid, atau ‘azimah dan rukhshah, itu semua bukan dari prespektif sesuai dan tidaknya dengan tabiat (manusia) dan bukan dari aspek faktanya seperti apa, Tapi dari prespektif terpuji dan tercela atas hal tersebut di dunia serta pahala dan siksa di akhirat. Oleh karena itu maka hukum dalam hal ini adalah wewenang syara’ saja, bukan akal. Maka al-hakim yang sebenarnya atas perbuatan-perbuatan dan atas segala sesuatu yang berkaitan dengan perbuatan, serta perkara-perkara dan akad-akad adalah syara’ saja dan hukum yang ditetapkan oleh akal sama sekali tidak berlaku.


Diterjamahkan dari Kitab Asy Syakhshiyyah Islamiyyah Juz 3 Karya Al 'Alamah Syaikh Taqiyuddin An Nabahani

1 comment:

Anonymous said...

Hello. This post is likeable, and your blog is very interesting, congratulations :-). I will add in my blogroll =). If possible gives a last there on my blog, it is about the Massagem, I hope you enjoy. The address is http://massagem-brasil.blogspot.com. A hug.