TIDAK ADA HUKUM SEBELUM DATANGNYA SYARA’
Segala sesuatu dan perbuatan itu tidak boleh diberi status hukum kecuali apabila terdapat dalil syar’I atas hukum tersebut. Karena tidak ada hukum atas segala sesuatu demikian pula dengan perbuatan bagi orang yang berakal sebelum datangnya syara’. Allah Ta’ala berfirman:
"…dan Kami tidak akan meng`azab sebelum Kami mengutus seorang rasul" (TQS. Al Isra'(17):15)
Allah Ta’ala berfirman:
"…agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu" (TQS An Nisa' (4):165)
Dan karena hukum tidak bisa ditetapkan kecuali salah satu dari dua hal, mungkin syara’ dan mungkin akal. Adapun akal, tidak ada tempat bagi akal disini karena masalahnya adalah masalah mewajibkan dan mengharamkan dan akal tidak mungkin untuk mewajibkan atau mengharamkan, dan hal tersebut memang tidak mengikuti akal tapi mengikuti syara’ maka hukum tersebut tergantung pada syara’. Dengan asumsi bahwa tidak ada hukum sebelum datangnya syara’ maka hukum tergantung pada datangnya syara’ dari Allah, artinya terkait dengan syariat sebagai satu kesatuan tergantung pada kedatangan seorang Rasul, dan dalil syara' apabila terkait dengan masalah yang diinginkan proses istidlal atas masalah tersebut. Adapun terkait dengan Rasul, maka ini tampak jelas pada ayat, karena penafian adzab atas manusia sebelum diutusnya seorang Rasul menunjukkan bahwa mereka tidak dibebani untuk melaksanakan hukum maupun akidah, maksudnya tidak adanya taklif atas mereka dengan sesuatu, dan memang tidak ada pengertian lain selain peniadaan hukum secara pasti atas manusia sebelum Allah mengutus seorang Rasul pada mereka. Berdasarkan ini maka ahlul fatrah yang selamat, yaitu mereka yang hidup diantara lenyapnya risalah dan bangkitnya risalah. Maka hukum atas mereka adalah hukum mereka yang risalah tidak sampai pada mereka, dan itu berlaku sebagaimana orang yang hidup sebelum diutusnya Rasulullah Muhammad SAW. Ini juga berlaku bagi siapa saja yang risalah Sayyidina Muhammad SAW belum sampai pada mereka dalam bentuk yang dapat dilihat, merekapun seperti ahlul-fatrah yang selamat, karena ayat diatas (juga) berlaku untuk mereka, dan mereka dipandang bahwa Rasul belum diutus pada mereka, karena risalah Rasul memang belum disampaikan pada mereka. Maka dosa tidak sampainya risalah tersebut dibebankan pada mereka yang mampu tapi tidak melakukan. Karena itu, sebelum diutusnya seorang Rasul tidak bisa dikatakan bahwa hukum atas sesuatu itu halal maupun haram, karena tidak ada hukum atas sesuatu tersebut, demikian pula dengan perbuatan. Bahkan manusia mengerjakan perbuatan yang ia kehendaki tanpa terikat dengan suatu hukum. Dan dalam pandangan Allah tidak ada sesuatupun sampai Allah mengutus pada mereka seorang Rasul. Dengan begitu keterikatan pada hukum-hukum Allah yang disampaikan oleh seorang rasul itu berdasarkan apa yang disampaikan.
Adapun setelah diutusnya seorang Rasul dan setelah penyampaian risalahnya, dilihat terlebih dahulu. Jika risalah tersebut datang dengan sesuatu tertentu dan mereka diperintahkan untuk mengikuti risalah lainnya sebagaimana yang terjadi pada Sayyidina Isa maka mereka terikat dengan hukum-hukum risalah yang disampaikan pada mereka, mereka wajib mengikuti risalah tersebut dan mereka akan disiksa karena tidak terikat dengan risalah tersebut sampai dengan dihapuskannya risalah ini. Tapi apabila risalah rasul itu datang dengan sesuatu dan tidak berlawanan dengan sesuatu (yang lain) maka mereka terikat dengan apa yang datang saja dan mereka tidak disiksa atas risalah yang tidak sampai pada mereka. Adapun apabila risalah rasul tersebut bersifat umum atas segala sesuatu dan risalah tersebut datang untuk menjelaskan segala sesuatu maka mereka terikat dalam semua hal pada risalah ini. Itu sebagaimana kondisi bersama dengan Sayyidina Muhammad Rasulullah, risalah beliau bersifat umum mencakup segala sesuatu dan risalah tersebut datang untuk menjelaskan segala sesuatu, oleh karena itu tidak ada hukum kecuali apa yang ada di dalamnya. Karena mafhum firman-Nya Ta’ala:
“…dan Kami tidak akan menyiksa sampai Kami mengutus seorang Rasul” (TQS Al Isra' (17):15)
artinya bahwa sesunguhnya Kami akan menyiksa siapa saja yang telah Kami utus pada mereka seorang Rasul dan mereka menyalahi risalah yang dibawa oleh Rasul tersebut. Dan hukum satu-satunya adalah risalah rasul yang disampaikan oleh beliau maka Allah akan menyiksa setiap orang yang menyalahinya. Oleh karena itu tidak ada hukum atas sesuatu maupun perbuatan sampai ada dalil atas sesuatu atau perbuatan tersebut. Atas dasar ini tidak bisa dikatakan bahwa pada dasarnya hukum atas sesuatu maupun perbuatan adalah haram, dengan argumentasi bahwa mengelola milik Allah tanpa idzin-Nya adalah haram sebagai bentuk analog dengan makhluk sebab ayat tersebut secara sharih (menyatakan) bahwa sesungguhnya Allah tidak menyiksa sampai Allah mengutus seorang rasul maka tidak berlaku sampai dijelaskan hukum, juga karena anolog suatu yang hadir (syahid) atas sesuatu yang tidak hadir (gahib) itu sama sekali tidak boleh sebab analog itu dilakukan untuk sesuatu yang tidak hadir atas sesuatu yang hadir dan bukan sebaliknya. Lebih dari itu bahwa makhluk itu saling menimbulkan madharat, sedangkan Allah SWT Maha Suci dari segala manfaat dan madharat. Demikian pula tidak bisa dikatakan bahwa pada dasarnya perbuatan dan sesuatu itu adalah mubah dengan argumentasi bahwa pemanfaatan tersebut bebas dari tanda-tanda yang merusak dan madharat bagi pemilik maka dibolehkan. Tidak bisa dikatakan demikian, karena mafhum ayat tersebut bahwa manusia itu sesungguhnya terikat dengan apa saja yang datang bersama Rasul karena Allah Allah akan mengadzab pelanggaran terhadap yang dibawa oleh Rasul tersebut, maka pada dasarnya adalah mengikuti Rasul dan terikat dengan hukum-hukum dari risalah beliau, dan bukannya pada dasarnya adalah mubah atau dengan kata lain tidak terikat (dengan risalah tersebut). Karena keumuman ayat-ayat hukum menunjukkan atas wajibnya kembali pada syara’ dan terikat dengannya. Allah Ta’ala berfirman:
"…Tentang sesuatu apapun kamu berselisih maka putusannya (terserah) kepada Allah" (TQS Asy-syura (42):10)
Dan firman-Nya:
"…Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya)”(TQS An Nisa'(4):59)
Dan firman-Nya:
"Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri" (TQS An Nahl (16):89)
dan karena rasulullah SAW bersabda, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ad Daruquthni:
“setiap hal yang bukan termasuk dalam urusan kami maka itu ditolak” (HR Ad Daruquthni)
ini semua menunjukkan bahwa pada dasarnya adalah mengikuti syara’ dan terikat dengannya. Dan karena pengambilan manfaat yang terlepas dari tanda kerusakan dan madharat dari pemilik itu bukanlah argumetasi bahwa pada dasarnya boleh. Tidakkah anda perhatikan bahwa zina dengan wanita yang dipastikan tidak bersuami membenarkan bentuk pemanfaatan yang bebas dari yang bebas dari tanda-tanda kerusakan dan madharat bagi si pelaku, tapi itu diharamkan. Dan sesungguhnya bohong untuk bergurau padahal untuk tertawa dan untuk kesenangan bagi keduanya, sementara bagi yang berbohong maupun yang dibohongi tersebut bebas dari tanda-tanda kerusakan maupun madharat bagi sang pemilik, meski begitu berbohong tersebut diharamkan. Terlebih lagi bahwa setelah datangnya syara’ maka bagi sesuatu dan perbuatan ada hukum, maka pada dasarnya di dalam syara’ membahas sesuatu dan perbuatan apakah ada hukum atau tidak, bukan menganggap pada dasarnya sebagai hal yang mubah, dan menetapkan hukum mubah atas perbuatan dan sesuatu berdasarkan akal secara langsung padahal syara’ ada. Demikian pula tidak bisa dikatakan bahwa pada dasarnya atas sesuatu itu adalah tawaqquf dan tidak ada hukum. Karena tawaqquf artinya mengabaikan suatu aktifitas dan mengabaikan hukum syara’ dan itu tentu tidak boleh, karena sesungguhnya yang telah ditetapkan dalam Al Qur'an dan as-Sunnah ketika tidak ada pengetahuan adalah bertanya atas suatu hukum dan bukan tawaqquf dan tidak ada hukum. Allah Ta’ala berfirman:
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui…"(TQS An Nahl(16):43).
dan sabda beliau SAW pada hadits tayammum, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dawud:
“..mengapa tidak bertanya karena obat orang yang tidak tahu adalah bertanya” (HR Abu Dawud).
ini (semua) menunjukkan bahwa pada dasarnya bukan tawaqquf dan tidak ada hukum. Atas dasar hal tersebut maka setelah diutusnya Rasulullah SAW maka hukum tersebut adalah bagi syara’ dan lebih menjelaskan lagi bahwa tidak ada hukum sebelum datangnya syara’, maka hukum itu ditentukan oleh syara’ atau dengan kata lain tergantung pada adanya dalil syara' atas satu masalah. Oleh karena itu suatu masalah tidak diberi hukum kecuali dari dalil sebagaimana tidak diberikan suatu hukum kecuali setelah adanya syara’. Maka pada dasarnya hendaknya membahas hukum dalam syara’, maksudnya bahwa pada dasarnya hendaknya membahas tentang dalil syara' bagi suatu hukum syara’.
Tinggal satu persoalan. Yaitu apakah syariah Islam itu mencakup seluruh hukum atas fakta yang telah lewat secara keseluruhan, problematika yang sedangn berlangsung secara keseluruhan serta kejadian-kejadian yang mungkin akan terjadi secara sempurna? Jawabnya adalah bahwa tidak satupun kejadian yang terjadi atau problem yang dihadapi atau kejadian yang berlangsung kecuali baginya terdapat hukum. Sungguh syariat Islam itu telah mencakup semua perbuatan manusia dengan cakupan yang sempurna dan menyeluruh. Maka tidak terjadi sesuatu di masa yang lalu, juga sesuatu yang dihadapi dimasa sekarang dan juga kejadian yang terjadi dimasa yang akan datang kecuali bagi setiap sesuatu tersebut ada hukumnya dalam syariat. Allah Ta’ala berfirman:
“dan sungguh Kami turunkan pada kalian al-Kitab yang menjelaskan segala sesuatu” (TQS An Nahl(16):89)
dan Dia Ta’ala berfirman:
“…hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian dien kalian serta Aku sempurnakan atas kalian nikmat-Ku” (TQS Al Maidah(4):3)
maka syariat sama sekali tidak mengabaikan sesuatupun dari perbuatan-perbuatan hamba, apapun itu. Adakalanya ditegaskan dengan dalil bagi perbuatan hamba tersebut dengan nash al-Qur’an dan Hadits, adakalanya dengan meletakkan indikator baik di dalam al-Qur’an maupun Hadits yang mengingatkan pada orang mukallaf atas maksud indokator tersebut di dalamnya serta atas hal yang membangkitkan pensyari'atan hukum tersebut untuk diterapkan atas setiap hal yang di dalamnya terdapat indikator atau sesuatu yang membangkitkan (hukum) tersebut. Dan secara syar’I tidak mungkin terdapat perbuatan hamba yang tidak ada dalil atau tidak ada indikator yang menunjuk pada hukum perbuatan tersebut. karena didasarkan keumuman firman-Nya:
“..sebagai penjelasan atas semua hal...” (TQS An Nahl (16):89)
dan nash tersebut secara sharih (menjelaskan) bahwa Allah telah menyempurnakan dien ini. Maka apabila ada klaim bahwa sebagian fakta lepas dari hukum syara’ dengan pengertian bahwa disana didapatkan sebagaian perbuatan hamba yang syariat mengabaikan sama sekali dengan tidak ada dalil atau tidak diletakkan indikator yang mengingatkan orang mukallaf terhadap maksud indikator tersebut, maka klaim tersebut berarti bahwa disana terdapat sesuatu yang al-Kitab tidak menjelaskannya, dan bahwa dien ini tidak disempurnakan oleh Allah dengan bukti adanya perbuatan yang disebut hukumnya. Maka berarti Islam adalah dien yang kurang. Ini bertentangan dengan nash al-Qur’an, karenanya klaim tersebut adalah klaim yang batil. Bahkan kalau senadainya terdapat hadits-hadits ahad yang riwayatnya shahih dari Rasulullah SAW yang mengandung pengertian yang semacam ini, maksudnya terdapat sebagian perbuatan manusia yang syara’ tidak datang dengan suatu hukum maka hadits-hadits yang semacam ini secara dirayah tertolak karena bertentangan dengan nash yang qath’I tsubut (pasti penetapannya) dan qath’I dalalah (pasti penunjukannya). Karena ayat:
“…sebagai penjelasan atas segala sesuatu”(TQS An Nahl(16):89)
dan ayat:
“…Aku sempurnakan bagi kalian dien kalian” (TQS Al Maidah (4):3)
adalah qath’I tsubut dan qath’I dalalah, maka khabar ahad manapun yang bertentangan dengan ayat-ayat diatas secara dirayah ditolak. Karena itulah tidak halal bagi seorang muslim setelah memahami dua ayat yang qath’I ini untuk menyatakan adanya satu saja peristiwa yang merupakan bagian dari perbuatan manusia yang syara’ tidak menjelaskan posisi hukum peristiwa tersebut, ditinjau dari sudut pandang manapun.
Adapun apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan At-Tirmidzi dari Salman Al Farisi dia menyatakan: Rasulullah SAW ditanya tentang lemak, keju dan kulit yang di samak, beliau menjawab:
“yang halal itu adalah apa yang dihalalkan oleh Allah di dalam kitab-Nya sedangkan haram adalah apa yang diharamkan di dalam kitab-Nya sedangkan apa yang di diamkan maka itu merupakan bagian yang dimaafkan untuk kalian” (HR At Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Sedangkan yang diriwayatkan oleh Abu Darda’ dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda:
“apa yang dihalalkan oleh Allah dalam kitabnya maka itu halal dan apa yang diharamkan oleh Allah maka itu haram. Sedangkan apa yang didiamkan maka itu dima’afkan, maka terimalah apa yang dima’afkan. Sesungguhnya Allah tidak akan melupakan sesuatu, dan selanjutnya beliau membaca: “ dan tidaklah Rabmu itu lupa” (Hadits dikeluarkan oleh Al Bazzar).
Sedangkan apa yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi dari jalur (sanad) Tsa’labah dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda:
“ Sesungguhnya Allah memfardhukan kwajiban-kwajiban maka janganlah kalian menyempitkannya dan Allah telah menetapkan batasan-batasan maka janganlah kalian melampauinya dan ketika Allah diam atas sesuatu itu merupakan rahmat bagi kalian, bukan karena lupa. Maka janganlah kalian membahasnya” (HR Al Baihaqi).
Dari satu sisi hadits-hadits tersebut merupakan khabar ahad dan —dari sisi pengertian—tidak ada pertentangan dengan nash yang qath’I. Artinya hadits-hadits ini tidak menunjukkan adanya sesuatu yang tidak dijelaskan oleh syara’, tetapi hadits-hsdits tersebut menunjukkan bahwa disana ada sesuatu yang Allah Ta’ala tidak mengharamkannya sebagai rahmat untuk kalian, dan Allah mema’afkan serta tidak mengharamkan sesuatu tersebut. Maka topik bahasan hadits-hadits tersebut bukanlah diam dari mensyariatkan hukum-hukum tapi hadits-hadits tersebut diam dari mengharamkan. Pengertian diam dari mengharamkan itu bukan berarti pensyariatan hukum mubah atas semua hal yang syara’ tidak menjelaskannya, tapi sesungguhnya diam ini adalah diamnya pembuat syara' untuk mengharamkan dan diamnya pembuat syara' untuk mengharamkan itu artinya adalah halal, dan termasuk di dalamnya adalah wajib, sunnah, mubah, makruh dan itu diimplementasikan pada hal-hal yang pembuat syara' diam atas hal-hal tersebut saja, bukan pada terhadap setiap hal yang pembuat syara' tidak menjelaskannya. Karena sesungguhnya pengertian hadits-hadits “memaafkan atas segala sesuatu ini” ditilik dari firman-Nya Ta’ala:
"Semoga Allah mema`afkanmu…" (TQS At Taubah(9):43).
dengan dalil nash-nash hadits-hadits tersebut dan juga berdasarkan dalil atas apa yang ditunjukkan oleh konteks pembicaraan hadits-hadits tersebut yaitu larangan untuk mempertanyakan hal-hal yang tidak diharamkan, karena kemudian akan diharamkan. Dari Ibnu Abbas RA, dia berkata: “ hal-hal yang tidak disebut di dalam Al- Qur’an berarti termasuk hal-hal yang Allah mema’afkannya” sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Asy Syatibi dalam kitab Al Muwafaqat. Dan diriwayatkan dari Ibnu Syaibah dalam kitab Mushannafnya bahwa Ibrahim bin Saad bertanya pada Ibn Abbas tentang apa yang diambil dari harta ahli dzimmah? Dia menjawab: dima’afkan. Ath Thabari meriwayatakan dari Ubaid bin Umair (dia menyatakan): "Allah menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram, maka yang apa yang dihalalkan adalah halal dan apa yang diharamkan adalah haram, sedangkan apa yang didiamkan adalah dima’afkan”. Sungguh Nabi SAW tidak menyukai banyaknya pertanyaan atas hal-hal yang hukumnya tidak diturunkan berdasarkan hukum al-bara’atul-ashliyyah (pada dasarnya dibebaskan), karena al-bara’atul-ashliyyah memang merujuk pada pengertian ini. Dan pengertiannya adalah bahwa perbuatan-perbuatan yang bersama dengan al-bara’atul-ashliyyah dimaafkan darinya. Sungguh beliau Alaihish-shalatu was-salam bersabda:
“sesungguhnya perbuatan kriminal yang paling besar yang dilakukan oleh kaum Muslim atas orang Muslim lainnya adalah orang yang bertanya tentang (hukum) sesuatu yang tidak diharamkan atas mereka kemudian diharamkan atas mereka karena banyaknya bertanya padanya” hadits dikeluarkan oleh Muslim.
dan beliau bersabda:
“apa yang aku larang atas kalian maka jauhilah, dan apa yang aku perintahkan atas kalian maka tunaikan semampu kalian”, hadits dikeluarkan oleh Ahmad.
Muslim dan Ahmad telah mengeluarkan (hadits) dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah SAW telah berkhutbah pada kami, beliaupun bersabda:
"wahai manusia Allah telah memfardhukan pada kalian haji, maka berhajilah kalian". lalu bertanyalah seorang laki-laki: apakah tiap tahun wahai Rasulullah? Beliaupun diam, laki-laki tersebut sampai menanyakannya tiga kali, lalu Rasulullah SAW bersabda:
"kalau seandainya aku katakan ya maka menjadi wajib dan kalian tidak mampu melakukannya", kemudian beliau bersabda:
"biarkanlah dengan apa yang aku tinggalkan pada kalian”. Ini semua menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan sabda beliau:“ dan apa yang didiamkan atas sesuatu” maksudnya adalah yang tidak diharamkan. Dan itu dapat ditilik dari sabda beliau dalam hadits yang lain: “…biarkanlah dengan apa yang aku tinggalkan”. Ditegaskan oleh riwayat yang lain pada hadits yang sama yaitu: “dan apa yang dimaafkan atas sesuatu” maksudnya adalah dibolehkan dan tidak diharamkan. Atas dasar hal tersebut sabda Rasulullah: “ dan ketika membiarkan sesuatu” atau sabda beliau "dan apa saja yang didiamkan maka itu dimaafkan" tidak menjadikan pengertian bahwa syara’ tidak menjelaskan hukum sebagian perbuatan hamba, tapi pengertiannya adalah bahwa syara’ tidak mengharamkan sesuatu sebagai rahmat atas kalian, dan hal-hal yang syara’ tidak mengharamkannya sesuatu tertentu yang termasuk kategori hukum diam maka itu tidak diharamkan, maka hukumnya adalah halal. Maka masalahnya adalah berkaitan dengan diamnya beliau SAW, sedangkan diamnya beliau adalah dalil syara’ sebagaimana sabda beliau, perbuatan beliau, dan sama sekali tidak berkaitan dengan tidak adanya penjelasan terhadap hukum sesuatu.
Ini dari sisi pengertian hadits, sedangkan dari sisi penggunaan hadits dalam hukum syara’, sesungguhnya perbuatan orang-orang mukallaf sebagai mukallaf alternatifnya adalah mungkin secara global tercakup dalam khitab taklif, baik itu iqtidha’ atau takhyir dan mungkin tidak. Apabila secara global tercakup dalam khitab taklif maka merupakan keharusan bahwa dalam syariat tersebut ada satu hukum, karena sesuatu tersebut merupakan bagian yang tercakup dalam khitab taklif. Jika secara global tidak termasuk dalam khitab taklif maka konskuensinya adalah ada sebagian mukallaf keluar dari hukum khitab taklif, meski pada waktu atau dalam kondisi tertentu, ini tentu adalah sesuatu yang bathil dari asasnya. Karena kalau kita sebagai mukallaf diwajibkan terikat dengan syara’ maka sama sekali tidak benar untuk keluar dari syara’ dan jika kita diwajibkan oleh syara’ sebagai orang yang bukan mukallaf maka itu merupakan kwajiban yang bathil karena taklif itu bersifat umum sesuai dengan keumuman khitab taklif, maka khitab taklif tersebut mencakup semua keadaan dan setiap waktu. berdasarkan ini adalah tidak mungkin menjadikan (pengertian) sabda beliau Alaihis-salam: “ dan diamnya atas sesuatu” dengan bahwa syara’ tidak menjelaskan hukumnya sebagai konskensi adanya orang-orang dalam keadaan atau waktu tertentu tidak terkategorikan sebagai mukallaf. Maka tidak ada pengertian lain kecuali diam dari pengharaman atas sesuatu. Karena itu maka sesungguhnya hadits tersebut tidaklah menunjukkan bahwa terdapat perbuatan manusia yang syara’ tidak menjelaskanya, dengan demikian gugurlah istidlal tersebut. Dan dengan begitu semakin menguatkan kaidah syara’
الاصل فى الافعال الانسان التقبد بحكم الله
"bahwa pada dasarnya perbuatan manusia itu terikat dengan hukum Allah”
Maka tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk melakukan suatu perbuatan kecuali setelah mengetahui hukum Allah atas perbuatan tersebut yang bersumber dari seruan pembuat syara'. Adapun mubah adalah merupakan salah satu hukum syara' karenanya harus ada dalil yang menunjukkan atas kemubahan tersebut dari syara’, dan tiadanya penjelasan syara’ atas sesuatu bukanlah merupakan dalil atas kemubahan sesuatu apalagi merupakan dalil atas ketidaksempurnaan syariat. Sejatinya dalil yang menunjukkan kemubahan atas sesuatu adalah merupakan penegasan dari pembuat syara' (adanya kebolehan) untuk memilih di dalamnya.
Ini jika berkaitan dengan amal. Adapun yang berkaitan dengan sesuatu, sebenarnya sesuatu itu selalu terkait dengan perbuatan, pada dasarnya sesuatu itu adalah mubah selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Maka pada dasarnya sesuatu itu adalah mubah dan bukan haram, kecuali ada dalil syara’ yang mengharamkannya. Sebab nash-nash syara’ memang telah membolehkan segala sesuatu dan nash-nash ini datang dalam bentuk umum, mencakup segala sesuatu. Dia Ta’ala berfirman:
"Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi…" (TQS Al Hajj(22):65)
pengertian "Allah menundukkan" bagi manusia atas semua yang ada di bumi adalah Allah memubahkan semua hal yang ada di muka bumi. Dia berfirman:
"Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi…" (TQS Al Baqarah (2):168)
Dan firman-Nya:
"Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah…" (TQS Al A'raf(7):31)
Dan Dia berfirman:
"Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya" (TQS Al Mulk(67):15)
Semua ayat yang ada yang memubahkan sesuatu itu datang bersifat umum, keumuman ayat-ayat tersebut menunjuk pada kebolehan atas segala sesuatu. Maka kebolehan segala sesuatu itu datang melalui seruan pembuat syara' yang umum sifatnya. Dan dalil bolehnya segala sesuatu adalah nash-nash syara’ yang memang datang dengan membolehkan segala sesuatu. Ketika syara’ mengharamkan sesuatu tertentu, harus ada nash yang men-takhsis dalil umum tersebut yang menunjukkan adanya pengecualian sesuatu ini dari keumuman yang mubah. Berdasarkan ini maka pada prinsipnya (hukum) sesuatu adalah mubah. Karena itu kita mendapatkan bahwa syara’ ketika mengharamkan sesuatu sungguh telah menegaskan sesuatu tersebut sebagai pengecualian dari umumnya nash. Maka Dia Ta’ala berfirman:
“diharamkan atas kalian bangkai, darah dan daging babi”(TQS Al Maidah (5):3)
dan beliau Alaihis-salam bersabda: “ khamr itu diharamkan karena dzatnya” kitab Al Mabsuth menyebutkannya dari Ibnu Abbas.
maka apa yang ditegaskan oleh syara’ tentang pengharaman sesuatu itu merupakan pengecualian dari keumuman nash, artinya itu merupakan pengecualian dari (hukum) asal. Dan pada dasarnya segala sesuatu adalah mubah. Tidak bisa dikatakan bahwa sesuatu itu tidak mungkin dipisahkan dari perbuatan hamba dan hukumnya datang dari hukum perbuatan hamba maka hukumnya diambil dari perbuatan hamba. Tidak dapat dikatakan demikian, sebab sesuatu itu meski tidak bisa tidak akan selalu terkait dengan perbuatan hamba dan meski dalilnya datang dalam menjelaskan hukum perbuatan hamba, namun sesungguhnya dalil untuk perbuatan hamba ketika diindikasikan dengan sesuatu maka syara’ menjelaskan tentang sesuatu itu tentang keberadaannya yang terkait dengan perbuatan dengan dua hukum saja, dan tidak ada yang ketiga, yaitu antara mubah dan haram dan syara’ sama sekali tidak menjelaskan (hukum) atas sesuatu itu selain kedua hukum diatas. Oleh karena itu tidak bisa dikatakan bahwa hukum sesuatu itu wajib atau mandub dan syara’ membatasi hukum bagi sesuatu itu dengan mubah dan haram saja. Maka sesuatu itu ditilik dari sisi ini (memang) berbeda dengan perbuatan hamba dan hukum perbuatan hamba tidak diambil untuk sesuatu meski dalilnya datang untuk menjelaskan perbuatan hamba. Dari sisi yang lain sesungguhnya keumuman dalil mubah serta penetapan untuk sesuatu tertentu dengan dalil yang pengharaman akan menjadikan bahwa yang mubah itu bersifat umum mencakup segala sesuatu sedangkan pengharaman itu khusus atas hal-hal yang memang diharamkan saja. Dengan demikian maka hukum sesuatu ditinjau dari hukum asalnya dan dari sisi hukum-hukum yang mensifati sesuatu itu memang berbeda dengan hukum perbuatan.
Maka pada dasarnya, hukum sesuatu adalah mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkan, dan pada dasarnya hukum perbuatan itu adalah terikat dengan hukum syara’. Sesuatu itu tidak disifati kecuali dengan halal dan haram berbeda dengan perbuatan, karena seruan pembuat syara' yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan itu menjadikannya terbagi menjadi dua kategori. Pertama, khitabut-taklif dan kedua khitabul-wadh’i. Pembuat syara’ menjadikan khitabut-taklif ada lima macam, yaitu: fardhu, mandub/ sunnah, haram, makruh serta mubah. Sedangkan khitabul-wadh’I juga dibagi menjadi lima macam, yaitu: sebab, syarat, mani’, sihhah dan buthlan dan fasad, serta azimah dan rukhshah.
Walhasil, tidak boleh dinyatakan setelah diutusnya Sayyidina Muhammad SAW untuk manusia secara keseluruhan, terdapat perbuatan atau sesuatu yang tidak ada hukumnya. Juga tidak boleh terdapat hukum atas sesuatu itu apa atau perbuatan itu apa tanpa adanya dalil syara’ karena hukum itu adalah seruan pembuat syara'. Juga tidak boleh dikatakan bahwa setiap hal yang hukumnya tidak dijelaskan oleh syara’ adalah mubah karena mubah itu merupakan hukum syara’. Karena mubah itu adalah seruan pembuat syara’ yang berkaitan dengan perbuatan hamba yang sifatnya pilihan, juga karena klaim bahwa disana ada sesuatu yang tidak dijelaskan hukumnya oleh pembuat syara' itu artinya terdapat sesuatu yang Al Qur'an tidak menjelaskannya, dan itu artinya syariah tidak sempurna. Ini tentu tidak boleh karena bertentangan dengan Al-Qur’an yang qath’I tsubut dan qath’I dalalah. Karenanya maka tidak ada perbuatan yang mungkin dilakukan oleh manusia dan sesuatu yang yang berkaitan dengan perbuatan manusia kecuali bahwa dalam syariat ada hukumnya. Dan memang tidak ada hukum kecuali setelah adanya dalil yang menunjuk pada hal tersebut dari seruan pembuat syara’. Karena tidak hukum sebelum adanya syara’, yang konskuensinya tidak ada hukum sebelum diutusnya Rasul. Dan tidak ada hukum setelah diutusnya seorang Rasul kecuali dengan dalil dari risalah yang datang yang menunjukkan hukumnya.
Diterjemahkan dari Kitab Asy Syakhshiyyah Islamiyyah Juz 3 Karya Syaikh Taqiyuddin An Nabahani
No comments:
Post a Comment