Dalam pidato pembukaan KTT Liga Arab yang dilangsungkan di Riyadh tanggal 28 Maret 2007, Raja Abdullah Ibnu Saud mengatakan bahwa kesengsaraan yang dialami bangsa Arab adalah akibat perselisihan yang kerap terjadi di antara para penguasa Arab. Padahal mereka hanya dapat mencegah “kekuatan asing untuk merumuskan masa depan wilayah itu” jika mereka bersatu. Kemudian dia melanjutkan pidatonya tentang sejarah Liga Arab, “Pertanyaannya adalah, apa yang telah kita lakukan dalam tahun-tahun belakangan ini untuk menyelesaikan semua permasalahan itu? Saya tidak ingin menyalahkan Liga Arab karena ia adalah sebuah entitas yang mencerminkan kondisi kita secara menyeluruh. Kita seharusnya menyalahkan diri kita sendiri; kita semua; pemimpin bangsa-bangsa Arab. Perbedaan-perbedaan kita yang permanen, penolakan kita untuk mengambil jalan persatuan, semuanya itu menyebabkan negara-negara Arab kehilangan kepercayaan diri dan kredibilitas serta kehilangan harapan pada masa kini dan masa depan kita.”
Dia lalu menggambarkan beberapa persoalan yang dihadapi oleh Dunia Islam, “Di Irak yang kita cintai, pertumpahan darah terjadi di antara saudara-saudara kita, dibayangi oleh pendudukan asing yang ilegal, dan kebencian sektarianisme yang menjurus pada perang saudara…Di Palestina, banyak orang menderita karena penindasan dan pendudukan. Sangat mendesak untuk mengakhiri blokade yang diberlakukan atas bangsa Palestina sehingga proses perdamaian dapat terus berjalan dalam kondisi tanpa penindasan.”
Apa yang digarisbawahi oleh Raja Abdullah dalam pidato pembukaanya tentang problem masa kini yang dihadapi kaum Muslim sudah sangat dimengerti oleh kaum Muslim di seluruh dunia. Namun, Dia melupakan peran yang telah dimainkannya, juga peran keluarga Saudi dalam menciptakan dan memperpanjang isu-isu semacam itu. Keluarga Saudi memiliki riwayat panjang terkait dengan pengkhianatan mereka terhadap umat. Mereka justru telah memainkan peran pentingnya dalam mencegah persatuan di Dunia Islam.
Mulai awal tahun 2006, Raja Abdullah telah mencetuskan inisiatif perdamaian yang akan mengakui Israel jika negara itu mengembalikan tanah yang dirampasnya pada perang tahun 1967. Untuk itu, Raja Abdullah bersedia menjadi perantara pada perjanjian antara Pemerintahan Hamas dan Fatah. Raja Abdullah menunjukkan sikap yang sebenarnya ketika Israel menginvasi Libanon pada bulan Juli 2006. Saat itu, pada pertemuan KTT Liga Arab dia bersama Yordania, Mesir, beberapa negara Teluk dan Otoritas Palestina, menghukum Hizbullah atas tindakannya yang dianggap tidak diharapkan, tidak pantas dan tidak bertanggung jawab. Menlu Arab Pangeran Saud al-Faisal pada saat itu mengatakan, “Tindakan itu akan membawa keseluruhan wilayah ini kembali beberapa tahun mundur ke belakang. Kami tidak bisa menerima hal itu.”
Saudi Arabia, bahkan meminta Sheikh terkemuka, Abdullah bin Jabrin, untuk mengeluarkan fatwa yang menyatakan tidak sahnya dukungan, bantuan dan doa bagi Hizbullah.
Keluarga Saudi sering dalam beberapa kesempatan, bersama dengan kekuatan penjajah Barat, bahu-membahu dalam menyediakan dukungan aktif. Dalam Perang Teluk yang pertama, Raja Fahd dengan resmi memerintah-kan penggelaran pasukan Amerika di tanah Saudi. Kerajaan itu menjadi tuan rumah bagi 600,000 pasukan Sekutu hingga kas negara mengalami defisit. Amerika mengeluarkan $60 miliar pada Perang Teluk pertama. Kuwait membayar separuhnya dari anggaran itu. Saat ini, 5000 tentara AS masih bercokol di kerajaan itu sejak akhir Perang Teluk. Sejak 1999, kehadiran mereka telah menimbulkan kejengkelan bagi warga Saudi hingga dikeluarkannya “Memorandum Nasihat” setebal 46 halaman oleh 107 pemuka kelompok Wahabi kepada Raja Fahd. Memorandum tersebut mengkritik pemerintah atas korupsi dan pelanggaran lainnya serta kebijakan pemerintah yang tetap membiarkan kehadiran tentara AS di tanah Saudi. Namun, jawaban yang diambil oleh Raja Fahd adalah menangkap mereka.
Sejarah Pengkhianatan al-Saud
Pengkhiatan telah berakar dalam di tubuh Kerajaan Saudi, yakni sejak keluarga Saudi memainkan peran langsungnya atas kehancuran Khilafah dan pembentukan negara Israel. Kantor Kementerian Luar Negeri Inggris melakukan kontak-kontak dengan Ibnu Saud tahun 1851 untuk berhubungan dengan pihak-pihak yang dianggap pantas untuk menjadi penentang Khilafah yang beribukota di Istanbul. Keluarga Saudi pada saat itu adalah segerombolan bandit yang terlibat dalam percekcokan kesukuan, namun dengan uang dan senjata dari Inggris. Ibnu Saud mampu mengkonsolidasikan posisinya di wilayah-wilayah kunci di semenanjung Arab dan akhirnya di seluruh semenanjung itu. Ini terlihat pada perjanjian yang ditandatangani oleh Inggris tahun 1865. Ketika itu Inggris menginginkan sekutunya di wilayah itu untuk memberikan pijakan pada wilayah Kekhalifahan Usmaniah yang sedang sekarat. Sebagai imbalannya, Ibnu Saud menginginkan bantuan logistik dan militer Inggris untuk mengacaukan Kekhalifahan dari dalam.
Inggris memberikan Ibnu Saud sedikit subsidi yang dipakai untuk memperluas dan mempertahankan pasukan Wahabi. Pasukan ini adalah tulang punggung pasukan Ibnu Saud untuk melawan Khilafah. Ibnu Saud berusaha untuk memperoleh legitimasi dengan memakai gerakan Wahabi, pengikut Muhammad ibnu Wahab, yang berkeyakinan bahwa tanah Arab perlu dibersihkan dengan opini Islamnya. Ibnu Wahab menggunakan Wahabi untuk memberikan kredibilitas agama atas kebijakan pro-Inggrisnya. kaum Wahabi melihat kesempatan ini untuk melihat interpretasinya atas Islam agar menjadi mazhab yang dominan di wilayah itu.
Tahun 1910 keluarga al-Saud menjadi orang-orang yang lebih penting lagi bagi Inggris ketika mereka memberontak terhadap Kekhalifahan Usmani, dengan dukungan Inggris, dengan menyerang saudara sepupunya Ibnu Rashid yang mendukung Khilafah. Subsidi yang tadinya kecil menjadi bertambah dan sekomplotan penasihat dikirim untuk membantu gerakan Ibnu Saud.
Pemberontakan Arab (1916-1918) diawali oleh Syarif Hussein ibnu Ali dengan restu penuh Inggris. Tujuannya adalah untuk memisahkan semenanjung Arab dari Istanbul. Perjanjian ini diakhiri pada bulan Juni 1916 setelah dilakukan surat-menyurat dengan Komisi Tinggi Inggris Henry McMahon yang mampu meyakinkan Syarif Hussein akan imbalan yang diterimanya atas penghianatannya terhadap Kekhalifahan, yakni berupa tanah yang membentang dari Mesir dan Persia; dengan pengecualian penguasaan kerajaan di wilayah Kuwait, Aden, dan pesisir Syria. Pemerintah Inggris di Mesir langsung mengirim seorang opsir muda untuk bekerja bersama orang Arab. Orang itu adalah Kapten Timothy Edward Lawrence, atau yang dikenal dengan nama Lawrence dari Arab.
Setelah kekalahan Kekhalifahan Usmani tahun 1918 dan keruntuhan sepenuhnya tahun 1924, Inggris memberikan kontrol penuh atas negara-negara yang baru terbentuk, yakni Irak dan Trans-Jordan, kepada anak laki-laki Syarif Hussein yaitu Faisal dan Abdullah seperti yang sebelumnya dijanjikan. Keluarga al-Saud berhasil membawa seluruh Arab di bawah kontrolnya tahun 1930. Pandangan Inggris atas nasib Arab menyusul kekalahan Khilafah tercermin pada kata-kata Lord Crewe bahwa ia menginginkan, “Arab yang terpecah menjadi kerajaan-kerajaan di bawah mandat kami.” Untuk peran itu, keluarga Saudi menerimanya dengan senang hati.
Keluarga Saudi langsung bersekongkol dengan Inggris untuk menghancurkan Khilafah. Jika tidak terlalu buruk keluarga Saud juga akan langsung bersekongkol dengan Zionis untuk mendirikan Israel. Raja Abdullah 1 dari Trans-Jordan yang diciptakan Inggris mempelajari kemungkinan itu dengan David Ben Gurion (Perdana Menteri Israel yang pertama) di Istanbul tahun 1930-an. Abdullah menawarkan untuk menerima pendirian Israel. Sebagai imbalannya, dia akan menerima Jordania di bawah kontrol penduduk Arab di Palestina. Tahun 1946 Abdullah mengungkapkan minatnya untuk menguasai wilayah Arab di Palestina. Dia tidak berniat untuk menentang atau menghalangi pembagian Palestina dan pendirian negara Israel, seperti yang digambarkan oleh seorang sejarawan.
Saudaranya Raja Faisal dari Irak bahkan melebihi pengkhiatan Abdullah. Ketika itu, pada tahun 1919 Faisal menandatangani Perjanjian Faisal-Weizmann, dengan Dr. Chaim Weizmann, Presiden organisasi Zionis Dunia; dialah yang menerima dengan syarat Deklarasi Balfour berdasarkan janji yang dipenuhi oleh Inggris pada masa perang untuk kemerdekaan Arab.
Sejak tahun 1995 Saudi Arabia telah mengimpor $64.5 miliar dalam bentuk persenjataan, yang jauh melebihi pengimpor kedua terbesar, Taiwan, yang melakukan transaksi hanya sebesar $20.2 untuk persenjataan. Namun, tidak satu pun senjata-senjata itu yang digunakan untuk pertahanan bagi kaum Muslim atau di area konflik tempat kaum Muslim ditindas. Satu-satunya saat bagi Saudi ikut terlibat perang adalah ketika terjadi Perang Teluk. Saat itu, dia terlibat dalam mendukung koalisi terhadap Irak dan selama PD I. Pembatalan yang baru-baru ini dilakukan antara Saudi dan Inggris menunjukkan, bahwa keluarga Saudi tidak pernah berkeinginan untuk membela kepentingan kaum Muslim. Mereka hanya membeli persenjataan untuk memastikan berlanjutan industri persenjataan tuan-tuannya di Barat, sementara mereka tetap mengkhianati umat. [Riza Aulia; sumber www.khilafah.com]
1 comment:
Good words.
Post a Comment