Thursday, April 17, 2008

Memahami Ushul Fiqh : Al Hakim

AL HAKIM

Pembahasan yang paling penting yang berkaitan dengan hukum, yang pertama, yang paling mendesak untuk dijelaskan adalah pengetahuan tentang siapa yang menjadi rujukan sumber hukum, maksudnya siapa al-hakim itu, karena pengetahuan atas hukum dan kategorisasinya tergantung pada pengetahuan tentang al-hakim tersebut. Dan yang dimaksud dengan al-hakim disini bukanlah pemegang kekuasaan yang menerapkan semua hal yang dia memiliki kekuasaan atas hal tersebut, tapi yang dimaksud dengan al-hakim disini adalah yang memiliki otoritas untuk mengeluarkan hukum atas perbuatan dan sesuatu. Sebab apa saja yang ada yang bersifat indrawi tidak akan kaluar dari kategori sebagai perbuatan manusia atau sesuatu yang tidak termasuk perbuatan manusia. Ketika manusia dengan sifatnya sebagai manusia yang hidup di dalam alam semesta ini menjadi obyek bahasan, maka pengeluaran hukum adalah karena manusia dan berkaitan dengannya. Karenanya adalah merupakan keharusan adanya hukum atas perbuatan manusia dan sesuatu yang berkaitan dengan perbuatan manusia tersebut. (Pertanyaannya) adalah siapa satu-satunya yang memiliki otoritas untuk mengeluarkan hukum atas hal diata, apakah Allah atau manusia itu sendiri? Atau dengan ungkapan lain apakah syara’ atau akal? Karena yang menjadikan kita tahu bahwa ini hukum Allah adalah syara’, sedangkan yang menjadikan manusia dapat menghukumi adalah akal. Maka (pertanyaannya) adalah siapa yang yang menghukumi, syara' ataukah akal?


Adapun topik bahasan hukum, maksudnya adalah sesuatu yang dikeluarkan atasnya hukum baik atas sesuatu atau perbuatan adalah hasan dan qabih, karena maksud dikeluarkannya suatu hukum adalah untuk menentukan sikap manusia terhadap suatu perbuatan apakah dia mengerjakannya atau tidak, atau dia memilih antara mengerjakan atau tidak? Serta menentukan sikapnya atas sesuatu yang berkaitan dengan perbuatannya apakah dia mengambilnya atau tidak atau dia memilih antara mengambil dan tidak. Dan penentuan sikap manusia atas hal tersebut tentu tergantung pada pandangan manusia atas sesuatu apakah merupakan suatu yang hasan atau qabih, atau bukan hasan dan juga bukan qabih? Oleh karena itu maka obyek hukum yang dimaksud adalah hasan dan qabih.

Maka (pertanyaannya) adalah apakah hukum atas hasan dan qabih itu ditentukan oleh akal atau syara’? karena memang tidak ada alternatif yang ketiga untuk mengeluarkan hukum ini. Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah bahwa hukum atas perbuatan maupun sesuatu itu adalah adakalanya ditentukan dari aspek faktanya, sesuatu itu apa; dari aspek kesesuaiannya dengan tabiat manusia serta kecenderungan naluriah manusia dan pertentangan sesuatu tersebut dengan kecenderungan naluriah manusia. Ada kalanya dari aspek pujian ketika perbuatan tersebut dikerjakan serta celaan ketika meninggalkannya, atau tidak adanya celaan dan pujian, Atau dengan kata lain ditilik dari aspek pahala dan siksa atas perbuatan tersebut atau tidak adanya pahala serta siksa. Inilah tiga prespektif untuk hukum atas sesuatu: pertama, ditinjau dari faktanya itu apa, kedua dari aspek kesesuaian dan pertentangannya dengan tabiat manusia dan ketiga adalah dari aspek pahala dan siksa, atau pujian atau celaan.

Adapun hukum atas sesuatu ditilik dari aspek yang pertama yaitu dari aspek faktanya itu sendiri itu apa, dan aspek yang kedua yakni dari sisi sesuai dan tidaknya terhadap naluri manusia maka tidak diragukan lagi bahwa itu semua adalah manusia sendiri yang menentukan. atau dengan kata lain ditentukan oleh akal dan bukan syara’. Akal-lah yang memberikan hukum atas perbuatan dan sesuatu pada dua aspek ini, syara’ tidak menentukan hukum atas keduanya. Karena mamang syara’ tidak terlibat di dalamnya. Contohnya pandai itu terpuji sedangkan bodoh adalah tercela memang fakta keduanya gamblang sekali, antara lain adalah kesempurnaan dan kekurangan. Demikian pula dengan penilaian bahwa kaya itu terpuji dan miskin itu tercela dst. Contoh lain misalnya bahwa menyelamatkan orang yang tenggelam adalah terpuji dan mengambil harta secara dzalim adalah tercela maka sesungguhnya tabiat (manusia) menjauhi kedzaliman dan cenderung meluluskan hajat orang yang hampir mati. Demikian pula dengan sesuatu yang manis itu baik sedangkan suatu yang pahit itu tercela dst. Ini semua terpulang pada fakta sesuatu yang dirasakan oleh manusia dan yang difahami oleh akalnya atau terpulang pada tabiat manusia serta fitrahnya, dia merasakannya dan akalnya memahaminya. Oleh karena itu akallah yang menentukan hukum atas sesuatu tersebut baik terpuji ataupun tercela, bukan syara’. Dengan kata lain yang mengeluarkan hukum atas perbuatan maupun sesuatu atas dua hal ini adalah manusia. Manusialah yang menjadi hakim atas kedua hal diatas.

Adapun hukum atas perbuatan dan sesuatu dari sisi pujian dan celaan atas perbuatan maupun sesuatu di dunia serta pahala dan siksa di akhirat tidak diragukan lagi bahwa yang menentukan adalah hanyalah Allah dan bukan manusia, dengan kata lain merupakan wewenang syara dan bukan akal. Seperti terpujinya Iman, tercelanya kekufuran, terpujinya taat dan tercelanya maksiyat, terpujinya berbohong pada saat pertempuran serta tercelanya berbohong pada penguasa kafir di luar peperangan dst. Hal tersebut disebabkan karena realitas akal itu adalah pengindraan, fakta, informasi sebelumnya dan otak. Pengindraan itu adalah bagian penting dari pilar-pilar akal, apabila manusia tidak dapat mengindera sesuatu maka akalnyapun tidak mungkin untuk mengeluarkan suatu hukum atas sesuatu tersebut. Karena akal dalam menentukan hukum atas sesuatu itu terbatas pada sesuatu yang indrawi saja, dan mustahil bagi akal untuk menentukan hukum atas sesuatu yang non indrawi. Sementara kedzaliman apakah termasuk yang terpuji atau tercela memang bukan sesuatu yang indrawi bagi manusia, karena kedzaliman bukanlah sesuatu yang indrawi, karenanya kedzaliman tidak mungkin dirasionalkan; artinya tidak memungkinkan bagi akal untuk menentukan hukum atas kedzaliman tersebut.

Maka hukum apakah kedzaliman itu terpuji atau tercela, meski perasaan manusia secara fitrah menjahui kedzaliman atau ada kecenderungan padanya tetapi perasaan saja tidaklah bermanfaat (untuk memberikan kontribusi) agar akal dapat mengeluarkan hukum atas sesuatu tersebut yang tidak bisa tidak harus termasuk yang indrawi. Oleh karena itu akal tidak mungkin mengeluarkan hukum baik hasan atau qabih atas perbuatan atau sesuatu. Berdasarkan ini maka akal tidak boleh mengeluarkan hukum baik pujian maupun celaaan atas perbuatan-perbuatan atau sesuatu, karena akal tidak bisa mengeluarkan hukum tersebut dan mustahil bagi akal untuk hal itu.

Juga tidak boleh menjadikan kecenderungan fitri manusia untuk mengeluarkan hukum terpuji dan tercala. Karena kecenderungan tersebut akan mengeluarkan hukum terpuji atas hal-hal yang sejalan dengan kecenderungan tersebut dan mengeluarkan hukum tercela atas hal-hal yang berbeda dengan kecenderungan tersebut. Maka kadangkala hal yang sejalan dengan kecenderungan tersebut justru hal-hal yang tercela. Misalnya zina, homoseksual, melakukan penyembahan pada manusia, dan kadangkala hal-hal yang berbeda dengan kecenderungan manusia tersebut justru merupakan bagian dari hal-hal yang terpuji. Misalnya memerangi musuh, sabar atas hal-hal yang tidak disukai serta perkataan yang benar dalam keadaan-keadaan yang dapat mengakibatkan kesakitan yang teramat sangat. Maka menyerahkan hukum pada kecenderungan dan hawa nafsu artinya menjadikan kecenderungan tersebut sebagai standar bagi terpuji dan tercela, itu adalah standar yang salah secara pasti. Oleh karena itu menjadikan hukum berdasarkan pada kecenderungan adalah suatu kesalahan yang jelas. Karena hal tersebut menjadikan hukum secara salah yang bertentangan dengan fakta. Lebih dari itu hal tersebut berarti menjadikan hukum atas terpuji dan tercela berdasarkan hawa nafsu dan syahwat, bukan berdasarkan apa yang seharusnya terjadi.

Karena itu tidak boleh menjadikan kecenderungan yang sifatnya fitrah bagi manuasia tersebut mengeluarkan hukum atas terpuji dan tercela. Selama tidak diperbolehkannya akal untuk mengeluarkan hukum atas terpuji dan tercela, serta tidak diperbolehkan kecenderungan yang bersifat fitriah untuk mengeluarkan hukumnya atas terpuji dan tercela maka tidak boleh menjadikan manusia (hak) untuk mengeluarkan hukum atas terpuji dan tercala, maka yang mengeluarkan hukum atas perbuatan yang terpuji dan tercala adalah Allah dan bukan manusia. Maka yang mengeluarkan hukum atas terpuji dan tercela adalah syara dan bukan akal.

Dan lagi kalau seandainya manusia dibiarkan untuk menentukan hukum atas perbuatan-perbuatan dan sesuatu dengan terpuji dan tercela maka akan berbeda-beda pulalah hukum tersebut dengan adanya perbedaan person dan waktu, bukan termasuk kapasitas manusia untuk menentukan hukum atas terpuji dan tercela yang sifatnya tetap. Karena itu maka Allahlah yang menentukan hukum atas hal tersebut, bukan manusia. Artinya syara’lah yang menentukan hukum, bukan akal. Karena akal memang tidak dapat terlibat dalam menentukan hukum dari prespektif ini. Karena bukti-bukti yang kasat mata menunjukkan bahwa manusia menghukumi sesuatu sebagai suatu terpuji, hari ini, kemudian besok berubah menjadi tercela. Demikian pula ketika menghukumi sesuatu sebagai hal yang buruk kemarin, kemudian hari ini dia menghukumi sesuatu yang sama sebagai sesuatu yang terpuji. Dengan begitu maka hukum atas sesuatu yang sama akan berubah-ubah danm berbeda-beda, dan tidak menjadi hukum yang tetap. Maka terjadilah kesalahan dalam menentukan hukum. Karena itulah tidak diperbolehkan menjadikan akal atau manusia berhak untuk menentukan hukum atas terpuji dan tercela.
Atas dasar hal tersebut adalah merupakan keharusan untuk menjadikan al-hakim atas perbuatan manusia serta atas sesuatu yang berkaitan dengannya dari sisi terpuji dan tercala adalah Allah Ta’ala, bukan manusia. Atau dengan kata lain syaara’lah yang menetukan hukum, bukan akal.

Ini dari prespektif dalil rasional (aqli) atas hasan dan qabih. Sedangkan dari sisi dalil syar’I, sesungguhnya syara' telah mengharuskan peng-hasanan dan peng-qabihan itu dengan mengikuti Rasul serta mencela hawa nafsu. Karena itu adalah termasuk hal yang qath'I secara syar’I, bahwa yang disebut dengan hasan adalah apa yang dihasankan oleh syara’ sedangkan qabih adalah apa yang diqabihkan oleh syara’.

Maka (penetapan) hukum atas perbuatan dan sesuatu dengan terpuji dan tercela adalah untuk menentukan sikap manusia atas perbuatan dan sesuatu tersebut. Untuk sesuatu, berarti menjelaskan apakah boleh baginya mengambil sesuatu tersebut atau diharamkan, dan secara factual tidak ada diskripsi selain itu. Sedangkan untuk perbuatan manusia apakah Allah menuntut manusia untuk mengerjakan atau menuntut untuk meninggalkan atau bahkan memberikan pilihan diantara mengerjakan dan meninggalkan. Tetkala hukum tersebut (dilihat) dari prespektif ini tidak boleh ada kecuali dari syara’, maka merupakan kwajiban hendaknya hukum-hukum perbuatan manusia serta hukum-hukum atas sesuatu di dalamnya dikembalikan pada syara’, bukan pada akal. Maka adalah merupakan kewajiban menjadikan hukum syara’ saja yang berlaku terhadap perbuatan-perbuatan manusia serta segala sesuatu yang terkait dengan perbuatan-perbuatan mereka.

Lebih dari itu sesungguhnya hukum atas sesuatu dari prespektif halal dan haram, dan perbuatan-perbuatan manusia dari prespektif kwajiban, yang diharamkan, yang disunnahkan, yang dimakruhkan atau yang dimubahkan, dan atas perkara-perkara maupun akad-akad dari sisi keberadaannya sebagai sebab atau syarat, atau mani’ atau shahih, dan bathil dan fasid, atau ‘azimah dan rukhshah, itu semua bukan dari prespektif sesuai dan tidaknya dengan tabiat (manusia) dan bukan dari aspek faktanya seperti apa, Tapi dari prespektif terpuji dan tercela atas hal tersebut di dunia serta pahala dan siksa di akhirat. Oleh karena itu maka hukum dalam hal ini adalah wewenang syara’ saja, bukan akal. Maka al-hakim yang sebenarnya atas perbuatan-perbuatan dan atas segala sesuatu yang berkaitan dengan perbuatan, serta perkara-perkara dan akad-akad adalah syara’ saja dan hukum yang ditetapkan oleh akal sama sekali tidak berlaku.


Diterjamahkan dari Kitab Asy Syakhshiyyah Islamiyyah Juz 3 Karya Al 'Alamah Syaikh Taqiyuddin An Nabahani

Monday, April 14, 2008

Buya Kami Bukan Pluralis!

Ya, Buya kami yaitu Buya Hamka bukanlah seorang pluralis seperti yang diocehkan banyak pihak. Dan bahkan demi memperkuat bangunan argumennya tentang pembenaran pluralisme, seorang tokoh yang juga berasal dari ranah Minang sebagaimana halnya Buya Hamka, tanpa tahu malu mencatut nama Buya dan memplintir tafsir Al Azh-har. Padahal, Buya kami bukanlah orang yang gila popularitas dan kekuasaan, sebagaimana yang dipertontonkan para elit sekarang. Mereka tanpa risih dan malu tidak segan-segan bersyahadat bahwa mereka adalah adalah yang pluralis, hanya demi stempel moderat, hanya demi kemenangan di Pilkada. Ingek! Buya kami urang nan luruih, indak sarupo jo urang-urang gadang sarawa nan ado di parpol (Icak-Icak) Islam, indak samo jo angku-angku tele nan mamuta-muta tulisan Buya. Jan dikecek-kan jo Buya kami pluralis ndak, Den tekuih kaniang tu ciek ko!



TOLERANSI, SEKULERISME, ATAU SINKRETISME
Dari Hati ke Hati - HAMKA

Tahun 1968 yang baru kita lalui adalah tahun yang luar biasa. Di tahun 1968 kita berhari raya Idul Fitri samapai dua kali, yaitu 1 Januari 1968 dan 21 Desember 1968.

Maka timbullah inspirasi pada beberapa orang Kepala Jawatan dan juga pada beberapa orang Menteri Kabinet Pembangunan, dan keluarlah perintah supaya peringatan halal bi halal Idul Fitri dan hari Natal digabungkan jadi satu. Diadakan pertemuan serentak disatu tempat, biasanya biasanya dijawatan-jawatan, dan departemen-departem en; "Lebaran-Natal" . Maka tersebutlah perkataan bahwasannya bapak Kepala Jawatan atau bapak Menteri atau bapak Jenderal memulai sambutan beliau, bahwa demi kesaktian Pancasila yang wajib kita amalkan dan amankan, dalam "Lebaran-Natal" ini kita menananmkan dalam hati kita, sedalam-dalamnya, apa arti toleransi. Dan diaturlah acara mula-mula membaca Al Quran, oleh seorang pegawai yang pandai 'mengaji', kemudian itu diiringi oleh seorang pendeta atau pastor yang sengaja diundang, dengan membacakan ayat-ayat injil, terutama yang berkenaan dengan kelahiran 'Tuhan' Yesus. Yesus Kristus Juru Selamat Dunia, Anak Alah Yang Tunggal, tetapi Dia sendiri adalah Alah Bapak juga, menjelma menjadi ke dalam tubuh Santa Maria yang suci, untuk kemudian lahir sebagai manusia.

Tentu saja yang lebih banyak hadir dalam pertemuan "Lebaran-Natal" itu adalah orang-orang Islam dari pada orang-orang yang beragama Kristen. Si orang Islam diharuskan mendengarkan dengan khusyu' bahwa Tuhan Alah beranak, dan Yesus ialah Alah. Sebagaimana tadi orang-orang Kristen disuruh mendengar tentang Nabi MUhammad Saw dengan tenang, padahal mereka diajarkan oleh pendetanya bahwa Nabi Muhammad bukanlah Nabi, melainkan penjahat. Dan Alqur'an bukanlah kitab suci, melainkan buku karangan Muhammad saja.

Kedua belah pihak, baik orang Kristen yang disuruh tafakur mendengarkan Alqur'an, atau orang Islam yang disuruh mendengarkan bahwa Tuhan Alah itu ialah satu ditambah dua sama dengan satu, semuanya disuruh mendengarkan hal-hal yang tidak mereka percayai dan tidak dapat mereka terima. Kemudian datanglah komentar dari protokol, bahwa semuanya itulah yang bernama toleransi, demi kesaktian Pancasila!.

Dan sebagai penutup disuruh kemuka seorang Kyai membaca do'a. Seluruh hadirin yang Islam membaca amin. Pihak Kristen duduk berdiam diri, dan kita tahu apa yang terasa dalam hatinya, yaitu muak dan mual. Kemudian naik pula yang pendeta menyebut do'a-do'a hari Natal, dan semua orang Islam berdiam diri saja, dan kitapun tahu apa yang ada dalam hati mereka.

Pada hakikatnya mereka itu tidak ada yang toleransi. Mereka kedua belah pihak hanya menekan perasaan, mendengarkan ucapan-ucapan yang dimuntahkan oleh telinga mereka. Jiwa, raga, hati sanubari, dan otak tidak bisa menerima. Kalau keterangan orang Islam bahwa Nabi Muhammad Saw adalah Nabi akhir zaman, penutup sekalian Rasul. Jiwa raga orang Kristen akan mengatakan bahwa keterangan orang Islam ini harus ditolak, sebab kalau diterima kita tidak Kristen lagi. Dalam hal kepercayaan tidak ada toleransi.

Sementara sang Pastor dan Pendeta menerangkan dosa waris Nabi adam, ditebus oleh Yesus Kristus di atas kayu palang, dan manusia ini dilahirkan dalam dosa, dan jalan selamat hanya percaya dan cinta dalam Yesus. Telinga orang Islam muntah mendengarkan.

Bertambah mendalam orang-orang yang beragama itu meyakini agamanya, bertambah muntah telinganya mendengar kepercayaan- kepercayaan yang bertentangan dengan akidah agamanya. Barulah mereka menerima semuanya itu dengan toleransi kalau agama itu tidak ada yang dipegangya lagi.

Lantaran itu maka kalau dengan menggabungkan Lebaran dengan Natal, Muhammad Saw menjemput syari'at sembahyang, lalu turun lagi ke bumi menyampaikan perintah itu, jika misalnya pula berdekatan tanggalnya dengan Mi'raj Nabi Isa, yang menurut kepercayaan Kristen, bangkit dari kuburnya setelah tiga hari, lalu naik ke langit dan kini duduk di sisi kanan Alah, Bapaknya yang disurga; kalau hal-hal seperti ini diadakan untuk toleransi, demi kesaktian Pancasila, atau demi mengamalkan dan mengamankan Pancasila, dengan sungguh-sungguh kita katakan bahwa, ini bukan toleransi, melainkan memaksa kedua belah pihak jadi orang munafik, mengangguk-angguk menerima hal yang tak masuk diakal; dengan sengaja dan diatur, supaya membuktikan toleransi.

Baru-baru ini Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, sudah menjelaskan bahwasanya do'a bersama dalam hari-hari peringatan, tidaklah dibolehkan dalam ajaran Islam. Do'a demikian pun tidak akan dapat diterima, karena do'a adalah ibadah dan ada sendiri ketentuannya. Orang Islam meminta kepada Tuhan Allah Yang Satu, yang tidak ada syarikat bagi-Nya, sedangkan Pastor dan Pendeta akan berdo'a meminta kepada Alah Bapak, Alah Putera, dan Alah Roh Kudus.

Semangat toleransi yang sejati, yang logis, yang masuk akal ialah, ketika orang Islam berdo'a, orang Kristen meninggalkan tempat berkumpul. Dan ketika Pastor berdo'a kepada Tiga Tuhan orang Islam keluar.

Zaman akhir-akhir ini sudah ada gejala toleransi paksaan itu, dalam hal-hal resmi atau tidak resmi. Untuk tenggang menggang, seorang Kyai disuruh baca do'a dan untuk menunjukkan Pemerintah berlapang dada, ditambah lagi dengan do'a Katholik. Sesudah itu dengan doa' Protestan, sesudah itu dengan do'a Hindu-Bali. dan dengan do'a secara Budha.

Orang tidak memperhitungkan bagaimana perasaan dari pemeluk agama itu sendiri, atau orang yang tekun utuh dalam agama yang dipeluknya. Terutama orang Islam yang 85% bangsa Indonesia ini terdiri dari mereka.

Yang menganjurkan do'a bersama, atau perayaan 'Lebaran-Natal' , atau barangkali nanti Natal-Maulid, bukanlah orang yang mempunyai kesadaran agama, melainkan orang-orang sekuler, yang baginya masa bodoh, apakah Tuhan satu atau beranak, sebab bagi mereka agama hanya iseng! Atau orang-orang sinkritisme, yang mencari segala persesuaian diantara yang berbeda, lalu dari segala yang sesuai itu mereka membuat sesuatu yang baru.

Gejala seperti ini yang kita lihat sekarang. Dengan setengah paksaan dianjurkan do'a bersama, beribadat bersama, kebaktian bersama diantara orang-orang yang berlainan kepercayaan, dan dikatakan itu semangat Pancasila! Sehingga disadari atau tidak, Pancasila boven alles diatas dari semua agama, dan orang-orang yang sama sekali tidak mengamalkan satu agama, merasa dirinya pemimpin tertinggi, melebihi ulama dan pendeta, kyai dan pastor. Dan barangsiapa yang tidak menyetujui, dituduh anti Pancasila dan tidak toleransi, dan tidak menunjukkan 'kepribadian' Indonesia.

Selama pena ini masih bisa menulis dan mulut ini masih bisa berkata, kita katakan terus terang : "Bukan begitu yang toleransi"!

Bahkan itu adalah merusak agama, memaksa orang menelan sesuatu yang berlawanan dengan inti kepercayaannya. Dan pemuka-pemuka agama yang sadar akan tetap menolaknya. Kita bukanlah menolak Pancasila. Sejak Pancasila diasaskan pada 25 tahun yang lalu, kita sudah menyatakan tidak keberatan.

Tetapi kita tegaskan bahwasannya keselamatan dan keamanan Pancasila itu hanya akan terjamin, apabila umat yang beragama, khususnya umat Islam taat setia melaksanakan agamanya, bukan disuruh pindah dari agamanya menuju suatu kekaburan yang namanya Pancasila. Dan bukan disuruh membuat suatu macam upacara, kebaktian, do'a dan sebagainya bersama-sama dengan pemeluk agama lain yang berlainan akidah dan kepercayaan.

Orang agma lain pun tidak akan dapat menerima suatu upacara baru yang tidak ada dalam agama itu. Dan ini hanya akan akan bisa dilakukan oleh pemeluk-pemeluk agama yang tidak punya pendirian, yang lupa tanggung jawabnya di hadapan Tuhan, karena hendak mengambil muka kepada atasan.

Sehingga pernah terjadi, seorang pembicara di dalam pertemuan besar mengatakan bahwa "Nabi Isa disalib" padahal dia pemuka Islam. Dan pernah terjadi seorang Kyai membaca do'a dihadapan umum, dan do'a itu diambilnya dari "khutbah gunung", pidato Yesus Kristus dalam Injil yang beredar sekarang. Demi toleransi, Kyai tidak membaca lagi do'a yang warid dari ajaran Rasulullah Saw.

Tentu orang-orang seperti itu dapat pujian atasan, dan disambut dengan tepuk tangan oleh orang-orang Kristen, tetapi dia tidak sadar bahwa dengan apa yang dinamainya "toleransi" itu dia telah mengorbankan akidah agamanya. ***

Catatan :
Sikap almarhum Buya Hamka mengenai Natal dan Idul Fitri bersama ini berlanjut menjadi fatwa Majelis Ulama, yang Buya Hamka sendiri sebagai ketuanya; "Natal dan Idul Fitri bersama hukumnya haram". Pemerintah melalui Menteri Agama, Alamsyah Ratuprawiranegara meminta supaya fatwa itu dicabut. Buya Hamka kemudian memilih sikap meletakkan jabatan sebagai Ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia).

sumber :
Dari Hati ke Hati, tentang : Agama, Sosial-Budaya, Politik Oleh Prof.DR.Hamka. Cetakan I, Penerbit Pustakan Panjimas, Jakarta 2002.


Tuesday, April 8, 2008

Memahami Ushul Fiqh

Secara bahasa yang dimaksud dengan al-ashlu adalah sesuatu yang diatasnya dibangun sesuatu yang lain. Baik apakah bangunan tersebut sifatnya indrawi seperti pembangunan tembok diatas fondasi atau yang sifatnya pemikiran seperti membangun ma’lul (hukum yang terdapat ilat) berdasarkan illat dan (sesuatu) yang ditunjuk oleh suatu dalil. Maka ushul fiqh adalah kaidah-kaidah yang fiqh dibangun diatasnya. pengertian fiqh, secara bahasa, adalah faham. Pengertian seperti itu antara lain terdapat dalam firman-Nya Ta’ala :

"…kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu… " (TQS.Hud (11):91)

Sedangkan menurut istilah para ahli syariah yang dimaksud dengan fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syariah yang sifatnya oprasional yang diistimbathkan dari dalil-dalil yang sifatnya rinci. Dan yang dimaksud dengan ilmu tentang hukum-hukum, terkait dengan si alim terhadap fiqh tersebut, bukanlah sekedartahu, tapi pengetahuan yang memungkinkan dia memiliki otoritas atas hukum-hukum syara’ tersebut. Atau dengan kata lain bahwa pengetahuan dan pendalaman tersebut sampai pada level yang dapat mengantarkan si alim terhadap hukum-hukum tersebut memiliki otoritas atas hukum-hukum tersebut. Maka dengan sekedar adanya otoritas tersebut sudah cukup untuk menganggap siapa saja yang sampai pada level tersebut sebagai orang yang layak untuk disebut sebagai orang yang faqih, meski tidak meliputi semuanya. Namun merupakan keharusan baginya untuk memiliki pengetahuan atas hukum-hukum syara’ yang sifatnya cabang, meski secara global, berdasarkan proses kajian dan proses istidlal, dan pengetahuan atas satu atau dua hukum saja tidak disebut sebagai fiqh.

Demikian pula tidak disebut sebagai fiqh ilmu tentang macam-macam dalil yang dapat digunakan sebagai hujjah. Maka ketika aku menyebut fiqh, yang aku maksud adalah kumpulan hukum-hukum oprasional yang cabang sifatnya yang diistimbathkan dari dalil-dali yang bersifat rinci, dan ketika dikatakan bahwa ini adalah kitab fiqh, maka yang dimaksud adalah suatu buku yang didalamnya terkandung hukum-hukum oprasional yang bersifat cabang. Maka ketika dikatakan sebagai ilmu fiqh, yang dimaksud adalah kumpulan hukum-hukum yang sifatnya oprasional. Namun ini hanya khusus untuk hukum-hukum yang sifatnya oprasional. Karenanya secara istilah hukum-hukum cabang dalam masalah aqidah tidak disebut sebagai fiqh, sebab istilah fiqh memang khusus untuk hukum-hukum oprasional, cabang. Artinya (istilah fiqh hanya berkaitan) dengan hukum-hukum yang perbuatan itu dilakukan berdasar pada hukum-hukum tersebut, bukan masalah I’tiqad.

Maka pengertian ushul fiqh adalah kaidah-kaidah yang dibangun diatasnya suatu proses didapatnya otoritas dalam hukum-hukum oprasional berdasarkan dalil-dalil yang sifatnya rinci. Oleh karenanya ushul fiqh itu ditakrifkan sebagai pengetahuan atas kaidah-kaidah yang dapat mengantarkan pada proses istimbath atas hukum-hukum syara’ dari dalil dalil yang bersifat rinci. Sebutan ushul fiqh ini juga berlaku atas kaidah-kaidah itu sendiri. Maka ketika kita menyebut kitab ushul fiqh, maksudnya adalah kitab yang didalamnya termaktub kaidah-kaidah tadi. Dan ketika kita katakan ini ilmu ushul fiqh maksudnya adalah kaidah-kaidah yang mengantarkan pada proses istimbath hukum-hukum syara’ dari dalil-dalil yang sifatnya rinci. Maka pembahasan ushul fiqh adalah pembahasan tentang kaidah-kaidah dan dalil-dalil, pembahasan tentang hukum, sumber-sumber hukum, serta tatacara istimbath hukum dari sumber-sumber ini. Termasuk cakupan ushul fiqh adalah dalil-dalil yang global dan arah penunjukannya atas hukum-hukum syara’, sebagaimana tercakupnya bagaimana kondisi orang yang beristidlal dalam hukum-hukum syara’, namun secara global dan tidak bersifat rinci, atau dengan kata lain pengetahuan tentang ijtihad.

Ushul fiqh mencakup pula tatacara beristidlal, yaitu at-ta’adul dan tarajih terhadap dalil-dalil. Tapi ingat bahwa ijtihad dan tarjih diantara dalil-dalil itu tergantung pada pengetahuan atas dalil-dalil dan arah dalalah dari dalil-dalil tersebut. Karena itulah dua pembahasan ini: dalil-dalil dan arah dalalahnya, merupakan landasan ushul fiqh, disamping pembahasan hukum dan hal-hal yang berkaitan dengan hukum tersebut.
Maka ushul fiqh adalah dalil-dalil fiqh yang sifatnya global, tidak spesifik. Seperti mutlaknya perintah, larangan, perbuatan nabi, ijma’ shahabat serta qiyas. Dengan begitu dalil-dalil yang bersifat rinci tidak masuk dalam pembahasan ushul fiqh, misalnya firman Allah :

“…dan dirikanlah shalat…”(TQS An Nur (24):56)

“…dan janganlah kalian mendekati zina…”(TQS Al Isra'(17):32)

shalatnya Rasulullah SAW di tengah-tengah ka’bah, penetapan perwalian untuk yang dibawah perwalian, dan bahwa wakil berhak mendapatkan upah jika akad perwakilannya berdasarkan upah, diqiyaskan pada hukum karyawan. Itu semua tidak termasuk kategori pembahasan ushul fiqh karena merupakan dalil-dalil yang rinci , spesifik, adapun keberadaannya sebagai contoh dalam pembahasan ushul fiqh bukan berarti merupakan bagian pembahasan ushul fiqh, karena yang dikategorikan sebagai ushul (fiqh) adalah dalil-dalil yang sifatnya global, arah penunjukkan, keadaan orang yang berdalil dan tatacara beristidlal.

Ushul fiqh dibedakan dengan ilmu fiqh karena obyek fiqh adalah perbuatan orang-orang mukallaf , ditinjau dari bahwa perbuatan-perbuatan mukallaf ada yang halal dan haram, sah, batal dan fasad. Sedangkan ushul fiqh obyeknya adalah dalil-dalil sam’I, ditinjau dari sudut pandang bahwa dalil-dalil tersebut diistambathkan hukum-hukum syara’ artinya dari sisi penetapan oleh dalil-dalil tersebut atas hukum-hukum syara’. Maka menjadi keharusan untuk membahas hukum, dan hal-hal yang berkaitan dengannya, dari sisi penjelasan siapa yang memiliki otoritas mengeluarkan hukum, atau dengan kata lain siapa yang berhak mengeluarkan hukum, maksudnya al-hakim, dan dari sisi penjelasan untuk siapa hukum tersebut dikeluarkan, atau dengan kata lain siapa yang dibebani untuk melaksanakan hukum tersebut, mahkum alaihi, dan dari sisi penjelasan hukum itu sendiri, hukum itu apa dan hakikat hukum itu sebenarnya apa. Baru setelah itu diikuti dengan penjelasan dalil-dalil dan arah penunjukan dari dalil-dalil tersebut.

Diterjemahkan dari Kitab Asy Syakhshiyyah Islamiyyah Juz 3 Karya Syaikh Taqiyuddin An Nabahani