Thursday, November 29, 2007

Rekayasa Sosial (Social Engineering)

Dalam dunia pemaknaan, engineering akan lebih dikenal sebagai sebuah diksi dari dunia sains dan teknologi. Istilah mengacu kepada suatu proses rancang bangun yang disengaja dan direncanakan dengan cara dan teknik tertentu untuk mendapatkan sebuah hasil (berupa produk maupun karya) yang diinginkan.


Dalam konteks sosial, pemakaian istilah engineering pernah disosialisasikan misalnya oleh Jalaludin Rahmat dalam bukunya Rekayasa Sosial, Reformasi atau Revolusi. Dalam buku ini engineering diartika sebagai sebuah rekayasa. Dalam konteks sosial ini engineering bisa dimaknai sebagai sebuah proses perancangan kondisi social seperti yang diinginkan (das sollen). Misi dalam proses ini jelas yaitu wujudnya kondisi sosial yang diharapkan. Keinginan untuk merancang kondisi sosial ini muncul ketika kondisi faktual (das sein) berjalan tidak seperti apa yang diharapkan. Atau dalam kata lain terdapat gap antara kondisi yang diinginkan (das sollen) dengan kondisi faktual (das sen). Dengan kondisi ini maka sebuah proses engineering dalam konteks sosial (yang bisa disebut juga sebagai social engineering) bisa disebut sebagai bagian dari disiplin aktifitas perubahan sosial.

Social Engineering vis a vis Unplanned Social Change

Kalau kita perhatikan dinamika sosial yang terjadi ditengah masyarakat, maka kita akan dapati perubahan selalu berjalan seiring dengan dinamika itu. Tanpa kita duga dan kita rencanakan banyak terjadi perubahan dalam masyarakat. Misalnya dalam masyarakat Minangkabau. Dahulu ada semacam atauran tidak tertulis dalam masyarakat bahwa setiap anak lelaki yang telah baligh harus ditempa di Surau (semacam langgar kalau di Jawa). Mereka belajar Al Quran disana dan juga Pencak Silat. Surau juga merupakan tempat yang paling sering mereka jadikan sebagai tempat beristirahat dimalam hari. Tapi pada kurun waktu terakhir ini, budaya seperti ini tidak lagi dilakoni oleh anak-anak muda yang baru baligh. Surau pun sering lebih sering kosong melompong.
Perubahan sosial semacam ini dapat disebut sebagai perubahan sosial yang tidak direncanakan (unplanned social change). Ciri utama perubahan semacam ini yaitu terjadi secara terus menerus dan perlahan-lahan tanpa ada yang mengarahkan dan merencanakan. Perubahan model begini lebih sering merupakan akibat perkembangan teknologi, pengetahuan dan globalisasi.
Berbeda dengan Social Engineering, seperti yang kita bahas diatas perubahan model ini adalah perubahan yang disengaja, direncanakan dan memiliki cara dan teknik tertentu (yang bisa juga disebut sebagai metodologi). Selain itu perubahan ini juga menentukan disain akhir dari proses perubahan yang dilakukan.
Dengan melihat kondisi perubahan diatas, dalam konteks pergerakan yang menginginkan adanya perubahan masyarakat menuju kondisi yang lebih baik tentulah model perubahan yang terencana yang menjadi concern kita. Karena ketika kita menetapkan akan mewujudkan masyarakat yang lebih baik, maka sesungguhnya kita telah menetapkan sebuah disain akhir dari proses yang akan kita lakukan, dan ini merupakan karakter khas dari social engineering.

Problem Sosial dan Problem Individu

Terkait dengan Sosial Engineering, kita perlu memahami apa yang disebut problem sosial dan problem individu. Sebuah proyek sosial engineering ditetapkan karena adanya kondisi factual yang tidak seperti apa yang diharapkan. Seperti misalnya ada keinginan kita untuk memiliki sebuah institusi pemerintahan dan system yang betul menegakkan hukum, yang bebas dari intervensi asing dan mampu mensejahterakan masyarakat. Namun faktanya ternyata system kita adalah mandul dalam penegakkan hukum, selalu diintervensi asing dan gagal dalam mensejahterakan masyarakat. Maka disini ada ketidak sesuaian antara yang ideal (yang diharapkan) dengan hal yang real (factual). Dipandang dari sudut hal yang ideal, kondisi real yang seperti ini disebut sebagai sebuah masalah sosial atau problem sosial.
Maka sebuah “proyek” Social Engineering (sepertinya bisa juga kita sebagai rancang bangun sosial) adalah sebuah proyek yang diluncurkan sebagai sebuah upaya dan proses untuk mengentaskan permasalahan sosial atau problem sosial.
Dalam masyarakat selain terdapat problem sosial seperti yang kita contohkan, terdapat pula problem personal atau problem individu. Dalam menyelesaikan kasus atau masalah individui maka tentu tidak sama dengan menyelesaikan probem sosial. Akan terdapat perbedaan dari segi sasaran atau objek yang akan dirubah atau diselesaikan dan dari segi cara yang dipakai untuk merubah masalah tersebut.
Bagi sebuah problem individual tentu objeknya adalah individual atau personal, karena permasalahan yang terjadi skalanya adalah perorangan. Contoh permasalahan individu adalah kebodohan seorang anak. Maka untuk menyelesaikan masalah si anak tadi cukup meneliti keadaan si anak itu saja, kalau secara intelektual dia normal maka cukup dengan menyuruh sang anak untuk belajar lebih giat misalnya, atau memasukkan si anak bimbingan belajar atau dengan memberi motivasi berprestasi kepada si anak.
Namun bagaimana kalau ternyata kebodohan anak ternyata dialami banyak anak? Nah, disinilah kemudian kita haruslah jeli, jika sebuah problem yang sepertinya masalah individual ternyata terjadi secara massif dan banyak hal itu tidak lagi dapat disebut sebagai masalah atau problem individual, tapi sudah tergolong sebagai sebuah problem sosial. Dan tentu dari segi cara yang dipakai untuk menyelesaikannya tidak bisa lagi dengan individual therapy, karena yang akan terselesaikan hanya permasalahan satu atau dua anak.
Pembedaan antara problem sosial dan problem individual harus betul-betul kita pahami, agar kita tidak salah dalam memberikan obat. Bukannya problemnya selesai, salah-salah malah kita kemudian menjadi bagian dari masalah nantinya.

Revolusi dan Reformasi

Sebagai sebuah proses, Social Engineering memiliki tujuan mewujudkan sebuah bangunan sosial yang baru. Dimana terjadi perubahan pada berbagai tatanan sosial, relasi kekuasaan, bentuk dan fungsionalisasi institusi dan lembaga, serta komponen-komponen lain yang merupakan bagian dari pembentuk sebuah kondisi sosial. Bahkan proses ini bisa mendisain sebuah system sosial yang sama sekali baru untuk menggantikan system lama yang sudah “berkarat” dan bikin susah.
Dari sini kemudian sebuah proses rancang bangun sosial bisa diarahkan kepada dua bentuk: revolusi atau reformasi. Pemilihan dari bentuk ini sangat tergantung dari :
1. Ideas atau pemikiran
2. Pemahaman tentang fakta masyarakat
Bisa dikatakan ideas atau pemikiran merupakan basis utama konseptual dalam menentukan bentuk perubahan sosial yang kita tuju. Sebuah ideas atau pemikiran yang ideal akan mampu menjelaskan secara terperinci bangunan sosial yang ideal yang harus dirinci. Bahkan sebuah ideas yang paripurna bisa menerangkan metodologi yang harus ditempuh untuk mewujudkan sebuah perubahan sosial. Sebagai sebuah pemikiran, ideas tadi bisa bersumber dari dua hal, dari kemampuan atau kecerdasan intelektual dan dari wahyu.

Ketika harus Memilih : Revolusi atau Reformasi?

Jika kita betul-betul menguasai ideas tentang wujud ideal kondisi sosial yang kita inginkan maka kita telah memiliki semacam standar yang akan kita gunakan sebagai pembanding dengan kondisi actual dari masyarakat.
a. Memilih Revolusi
Revolusi adalah sebuah perubahan total. Ia tidak sekedar merubah perbagian dari komponen sosial. Revolusi diluncurkan untuk mengganti sebuah tatanan atau system. Penggantian berasal dari pemahaman yang mendalam terhadap fakta yang dialami masyarakat. Penggantian tatanan atau system harus berangkat dari sebuah kondisi bahwa problem sosial yang terjadi telah begitu akut dan sangat jauh menyimpang dari ideas yang dimiliki. Permasalahan utama yang kemudian menyebabkan munculnya ide revolusi adalah perkara asas yang diterapkan dalam sebuah system. Asas dalam sebuah system merupakan hal yang fundamental. Asaslah yang menentukan menentukan banyak hal dalam masyarakat, terutama peraturan dan undang-undang yang akan dijalankan oleh masyarakat. Rusaknya sebuah asas ibarat rusaknya akar dalam sebatang pohon, yang akan menyebabkan kerusakan pada keseluruhan bagian dari pohon. Kerusakan sebauah asas dalam sebuah system akan berakibat fatal. Akan terjadi kerusakan dan penyimpangan dalam sebagian besar aspek kehidupan masyarakat.
Disinilah dibutuhkan revolusi. Sasaran utama dari revolusi merubah asas dari sebuah system. Penyebutan dari asas adalah ideology. Perubahan ini akan mewujudkan sebuah konsekwensi berubahnya secara total relasi kekuasaan dan bentuk serta fungsi lembaga dan institusi. Dalam sebuah revolusi masyarakat betul-betula akan dibawa ke dalam sebuah “alam” yang betul-betul baru. Mengenai ini Piotr Sztompka sebagaiman yang dikutip Jalaludin Rahmat menyebutkan: Revolusi adalah manifestitasi perubahan yang paling spektakuler. Revolusi menengarai guncanagn fundamental dalam proses sejarah, membentuk kembali masyarakat dari dalam dan merancang lagi bangsa. Revolusi tidak membiarkan apapun seperti sebelumnya, revolusi menutup satu zaman dan membuka zaman baru. Pada saat revolusi masyarakat mengalami puncak perannya, ledakan potensi transformasi diri. Pada bangkitnya revolusi, masyarakat dan para anggotanya seakan-akan dihidupkan kembali, hampir dilahirkan kembali. Dalam pengertian ini, revolusi adalah tanda kesehatan sosial. Masih menurut Sztomka sebuah
Dalam dinamika sosial ada beberapa perubahan yang sering disebut-sebut sebagai revolusi, padahal tidak :
1. Kudeta (coup d`etat)
2. Pemberontakan
3. Mutiny (perlawanan), sebuah bentuk reaksi sosial berupa perlawanan tanpa disertai dengan visi yang jelas mengenai perubahan yang diperlukan
4. Perang saudara
5. Perang kemerdekaan
6. Kerusuhan sosial
Apa yang menyebabkan perubahan sosial tidak dapat dikatakan sebagai revolusi? Karena:
1. Skala perubahan terbatas, tidak sampai mencakup semua tahap dan dimensi masyarakat: ekonomi, politik, budaya, kehidupan sehari-hari dan bentuk serta fungsi lembaga
2. Perubahan tersebut tidak sampai mencapai akar atau inti dari konstitusi dan fungsi dari tahap dan dimensi masyarakat yang disebut diatas.
Dalam mewujudkan sebuah revolusi ada 3 hal yang harus terpenuhi:
1. Adanya ideology alternative
2. Adanya organisasi yang kuat yang menjadi pelaku utama
3. Penciptaan momentum

b. Memilih Reformasi
Semua adalah kebalikan dari revolusi. Reformasi hanya menyentuh beberapa dimensi saja dan tidak memerlukan perubahan asas. Sebuah reformasi dilakukan ketika yang bermasalah hanyalah sebatas kesalahan fungsi dari beberapa organ atau cabang saja. Reformasi dilakukan ketika asas yang berlaku masih sesuai dengan konsep dari ideas.



Tuesday, November 27, 2007

George Yang Mujahid

Jelang Perang Yarmuk berkecamuk, Panglima Romawi bernama George minta bertemu muka dengan Panglima Muslim Khalid bin Walid. George seorang satria ningrat yang sangat menghargai kejantanan. Sebelum beradu senjata, ia ingin mengenali sosok yang pedangnya telah membuat jeri pasukan Romawi.

Mereka pun saling mendekat, sampai kepala kuda keduanya beradu. George duduk tegak di pelana mewah kuda kelas satu, dengan baju dinas lengkap bertabur pangkat dan bintang penghargaan. Sementara Khalid tampak seperti prajurit Muslim lainnya, begitu bersahaja. Ia memang tak memerlukan aksesoris-aksesoris seperti yang dikenakan George untuk membantunya percaya diri.


''Khalid!'' kata George. ''Aku minta kau bicara jujur, karena orang mulia tidak pernah berdusta.
Jangan menipuku, karena orang besar takut pada Tuhan untuk berdusta.
Apa Tuhan menurunkan pedang kepada Nabimu yang kemudian diberikan kepadamu sehingga dengan senjata itu kamu pasti memenangkan peperangan?''
''Tidak!'' tegas Khalid.
''Mengapa kamu dijuluki Pedang Allah?'' kejar George.
''Aku dulu termasuk yang paling membenci Muhammad, sebelum Allah memberikan hidayah kepada kami untuk memeluk Islam. Setelah menjadi Muslim, Nabi Muhammad memberiku julukan Saifullah Maslul (pedang Allah yang terhunus).''
''Apa yang kamu dakwahkan?''
''Kami mengajak bersyahadat dan komit terhadapnya.''
''Kalau kami menolak?''
''Anda membayar pajak perlindungan sehingga Anda aman bersama kami.''
''Kalau kami menolak?''
''Berarti Anda menghalangi dakwah Islam sehingga kami mengumumkan perang pada Anda.''
''Bagaimana kedudukan orang yang masuk Islam hari ini?''
''Sebagai makhluk, di hadapan Allah kita sama saja.''
''Lalu apa hebatnya orang yang masuk Islam belakangan?''
''Kami yang duluan memeluk Islam, sempat hidup bersama Nabi dan menyaksikan turunnya wahyu dari Allah. Tentu lebih mulia orang yang beriman belakangan, karena ia memeluk Islam meski pembawa risalahnya sudah tiada.''
''Apakah ucapanmu bisa dipegang?''
''Demi Allah!'' tegas Khalid.
''Aku percaya padamu,'' kata George. Ia kemudian membalikkan perisainya tanda bersahabat, lantas berkata pada Khalid, ''Ajarkan kepadaku agama Islam.''

Khalid membimbing George ke kemahnya. Ia menimba air, lalu mengajari George bersuci. Setelah itu Panglima Romawi dituntun bersyahadat dan sholat dua rakaat.

Di luar kemah, pasukan besar Romawi yang malu dan marah pada panglimanya, merangsek pasukan Muslim. Perang berkecamuk seharian.

Ketika langit senja memerah, di antara jenazah Muslim tampak mujahid berkulit putih. Dialah George, yang hanya sempat sholat sunat dua rakaat. Sekali, dan sesudah itu sangat berarti.

Kehadiran Indonesia Pada Konferensi Annapolis: Kontribusi Legitimasi Penjajahan Israel

Indonesia dipastikan akan menghadiri konferensi Annapolis pada 27 November . Konferensi skenario Amerika ini akan membicarakan negoisasi perdamaian Israel Palestina. Sikap pemerintah yang sangat memalukan, pasalnya pada konferensi yang merupakan skenario AS ini hanya untuk legimitasi penjajahan.

"Kita bertujuan meletakkan dasar bagi penyelesaian atas konflik Israel-Palestina. RI memutuskan untuk turut hadir sebagai peserta dan berpartisipasi dalam konferensi itu." Kata Hassan Wirajuda.

Menurut Menteri Luar Negeri ini, pemerintah RI akan menyampaikan pandangannya mengenai arti pentingnya penyelesaian konflik Israel Palestina dengan jalan damai.


Solusi Dua Negara

Padahal Perdana Menteri Israel, Olmert menginginkan dari pertemuan ini dicapai kesepakatan perjanjian two state solution, yakni berdirinya dua negara, Palestina dan Israel. Jelas pengakuan penerimaan terhadap solusi ini berarti mengakui keberadaan Negara Israel sama artinya menerima penjajahan yang dilakukan Israel atas rakyat Palestina.

Sebelumnya Mahmoud Abbas datang ke SBY meminta dukungan atas perjanjian yang akan dibahas pada konferensi tersebut. Jelas perjanjian tersebut skenario AS yang hanya akan menguntungkan AS dan Israel. Keikutsertaan Indonesia dalam konferensi ini bukan saja telah mengkhianati UUD 1945 tetapi juga mengkhianati kaum Muslim.

Sedangkan pernyataan pers Deplu Amerika Serikat menyebutkan:

"Konferensi Annapolis merupakan tanda dukungan internasional yang luas bagi upaya-upaya berani pemimpin Israel dan Palestina, dan akan menjadi peluncuran penting bagi perundingan-perundingan yang menuju pada terbentuknya negara Palestina dan realisasi perdamaian Israel dan Palestina,"

Legitimasi Penjajahan


Israel telah lama merampas tanah Palestina dan mengusir, menghancurkan serta membunuh rakyat Palestina. Sikap Indonesia yang tidak berani menolak pertemuan ini ini menujukkan ketundukkannya pada Amerika. Sama halnya dengan para penguasa Arab yang tidak memiliki nyali sama sekali untuk bersikap tegas terhadap Amerika dan Israel yang telah lama menjajah negeri-negeri Muslim termasuk Palestina.

Solusi atas krisis Timur Tengah bukanlah solusi dua negara. Namun, merebut kembali tanah rampasan milik kaum Muslim tersebut dari tangan penjajah Israel.

Indonesia semestinya menolak pertemuan tersebut, sebab perjanjian pada konferensi tersebut hanya untuk legitimasi penjajahan. Apalagi Indonesia merupakan negeri yang berpenduduk muslim. Lalu di mana makna al-Quran yang menyatakan, "Sesungguhnya mukmin itu bersaudara."? [m/z/sycom]

Sumber : syabab.com

Skenario AS pada Konferensi Annapolis

Syabab.Com - Hari ini, Selasa (27/11) Konferensi Annapolis digelar di Maryland. Konferensi skenario AS ini akan membicarakan negoisasi perdamaian Israel Palestina yang tentu saja menguntungkan Israel. Karena pada dasarnya konferensi ini sebagai legitimasi penjajahan Israel atas Palestina. Sebelum pelaksanaan konferensi, AS telah menyatakan akan meluncurkan strategi tiga-arah bagi perdamaian Palestina-Israel ketika Washington menjadi tuan rumah konferensi Annapolis akhi pekan ini.


Skenario Amerika Melegalkan Penjajahan Israel


"Apa yang akan kami lakukan ialah menggagas tiga langkah paralel, jika anda bersedia," kata Penasehat Keamanan Nasional Gedung Putih, Stephen Hadley, kepada wartawan sebelum konferensi tersebut dibuka di Annapolis, Maryland, Selasa.

"Satu adalah peluncuran melalui perundingan semua pihak ke arah berdirinya negara Palestina dan perdamaian yang lebih luas," kata Hadley dalam taklimatnya, seperti dilaporkan AFP.

Pada saat yang sama, ia mengatakan perunding Palestina dan Israel akan mulai melaksanakan kewajiban mereka berdasarkan peta jalan yang dirancang masyarakat internasional pada 2003.

Itu berarti Israel akan "membuka jalan guna meredakan dan mengizinkan hidup yang lebih baik bagi rakyat Palestina dan lembaga yang dibuat Palestina guna mengelola Tepi Barat Sungai Jordan dan menyediakan keamanan, baik bagi rakyat Palestina maupun meningkatkan keamanan bagi Israel dan wilayah itu secara keseluruhan", katanya.

Aspek ketiga dari rencana perundingan tersebut ialah pembentukan berbagai lembaga Palestina dengan dukungan internasional guna memberi Palestina "kemampuan untuk melaksanakan tanggung jawab mereka dalam peta jalan".

Lebih dari 40 negara dan organisasi internasional telah diundang ke konferensi tersebut guna memberi dukungan mereka bagi upaya perdamaian Palestina dan Israel.

Hadley mengatakan masyarakat internasional akan memiliki kesempatan untuk mendukung berdirinya pemerintah Palestina, lembaga polisik dan ekonomi di Annapolis dan kemudian pada konferensi donor di Paris pada Desember. Tentu ini juga mendukung untuk pengakuan terhadap berdirinya negara Israel di tanah Palestina.

Pemerintah Presiden AS George W. Bush melancarkan apa yang digembar-gemborkannya sebagai dorongan sungguh-sungguh pertama bagi perdamaian Palestina-Israel sejak pembicaraan terakhir ambruk pada 2000, pada akhir masa jabatan pendahulunya Bill Clinton.

Bush sendiri akan menyelenggarakan pembicaraan bilateral di Gedung Putih, Senin dan Rabu, dengan Perdana Menteri Israel Ehud Olmert dan Presiden Palestina Mahmud Abbas.

Semua ketiga pejabat tersebut akan bertemu sebelum mereka berpidato pada awal konferensi di Annapolis, Selasa, kata Hadley.

Pendirian Negara Palestina Merdeka, Pengakuan Berdirinya Negara Penjajah

Bila diperhatikan, perdamaian yang selama ini digemborkan AS nampak seolah menjanjikan dan memberikan harapan baru bagi rakyat Palestina. Namun, dibalik itu terdapat skenario yang sangat memalukan bila dunia menerimanya. Para penguasa dunia Muslim pun tidak punya nyali, malah senang berjabat tangan dengan para penjajah tersebut.



Tanah Palestina telah dibebaskan pertama kali oleh Umar bin Khathathab. Bagaimanapun, Israel telah merampas tanah milik kaum Muslim di Palestina. Bahkan mereka merobohkan rumah-rumah muslim Palestina serta mengusirnya. Rakyat Palestina pun telah banyak yang menjadi korban. Tragedi Sabra dan Shatila tidak pernah bisa dilupakan.

Dengan berdirinya Negara Palestina Merdeka pemberian AS berarti mengakui juga berdirinya Negara Israel yang telah menjajah tanah Palestina tersebut. Itulah solusi dua negara yang selalu ditawarkan oleh Barat. Tanpa mereka menyadari kejahatan atas tingkah lakunya yang telah menjajah dan membunuh ribuan rakyat Palestina.

Merebut kembali tanah Palestina merupakan solusi adil bagi krisis Timur Tengah. Tentu hal ini tidak akan terjadi kecuali kaum Muslim sedunia bersatu di bawah bendera Rasulullah Saw, di bawah komando Khalifah kaum Muslim. Suatu saat, insya Allah.[z/ant/sycom]

Sumber : Syabab.com


Friday, November 16, 2007

Hakikat Buruk Demokrasi

Keberhasilan Indonesia meraih “Medali Demokrasi” baru-baru ini menjadi berita utama di halaman muka sejumlah media cetak di Tanah Air. Harian Republika menulis, medali tersebut diberikan oleh IAPC (Asosiasi Internasional Konsultan Politik)—sebuah organisasi profesi yang memperjuangkan demokrasi di seluruh dunia—karena Indonesia merupakan negara pertama berpenduduk mayoritas Muslim yang dinilai melakukan proses demokrasi dengan sungguh-sungguh. Ketua Komite Konferensi Dunia IAPC ke-40, Pri Sulisto, di Nusa Dua, Bali (12/11), mengatakan, bukti bahwa Indonesia berhasil mengembangkan dan mempraktikkan demokrasi adalah suksesnya penyelenggaraan Pemilu 2004 yang mengantarkan SBY—dari parpol yang baru terbentuk—menjadi presiden. (Republika, 12/11/07).

Sementara itu, Co Chairman Komite Konferensi IAPC, ke-40, Robert Murdoch, menambahkan, Selain sebagai penghargaan, dipilihnya Indonesia menjadi tempat pertemuan juga merupakan perwujudan perjuangan IAPC untuk mempromosikan demokrasi di seluruh dunia, ujar Robert. (web.bisnis.com, 13/11/07)


Antara “Demokrasi Prosedural” dan Sistem Demokrasi

Siapapun yang mengkaji demokrasi tentu tidak akan melupakan dua hal: “demokrasi prosedural” dan sistem demokrasi. “Demokrasi prosedural” di antaranya mewujud dalam partisipasi rakyat dalam Pemilu, transparansi dan akuntabilitas. Dalam konteks Pemilu, misalnya, sejak merdeka hingga hari ini, Indonesia sudah menyelenggarakan beberapa kali Pemilu. Yang terakhir adalah Pemilu 2004, yang dinilai paling demokratis dalam sejarah politik Indonesia dan relatif aman terkendali. Jadi, wajar belaka jika dari sisi ini, Indonesia dianggap sebagai salah satu negara paling demokratis.



Namun, jangan lupa, penilaian itu hanya menyangkut Pemilu sebagai salah satu instrumen “demokrasi prosedural”. Apalagi IAPC sendiri adalah lembaga yang hanya menganalisis Pemilu di seluruh dunia. (http://innphotoes.com, 13/11/07). Ini berarti, keberhasilan demokrasi Indonesia hanya dinilai dari tertibnya Pemilu 2004 saja.



Pemilu yang demokratis tentu tidak bisa dijadikan ukuran suksesnya sebuah negara, apalagi jika dikaitkan dengan persoalan kemakmuran warga negaranya, misalnya. Berdasarkan laporan penelitian Guru Besar Ilmu Politik University of California, Los Angeles (UCLA) Michael Ross, yang diberi judul, “Is Democracy Good for the Poor?” pemerintahan yang demokratis terbukti tidak mendorong perbaikan kesejahteraan kaum termiskin. Setidaknya itulah yang terjadi di 169 negara dalam kurun waktu 1970-2000. Di Indonesia sendiri, seiring dengan puja-puji atas Pemilu yang dianggap demokratis tersebut, laporan Bank Dunia justru menyebutkan bahwa sampai September tahun 2006 terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin hingga mencapai 17,5 persen dari total penduduk Indonesia atau sekitar 39 juta penduduk. Angka ini tidak jauh berbeda dengan temuan Biro Pusat Statistik (BPS) dari Februari 2005 sampai Maret 2006. Bahkan BPS menyatakan, pada Februari 2005, sekitar 30,29% penduduk hampir miskin menjadi jatuh miskin pada Maret 2006. Pada saat yang sama, 11,82% penduduk hampir tidak miskin pada Februari 2005, jatuh miskin pada Maret 2006 (Demografi, Oktober 2006).

Karena itu, Pemilu demokratis jelas tidak bisa dijadikan ukuran kesuksesan sebuah negara. Lebih dari itu, terlalu dangkal jika demokrasi dipahami sebatas “demokrasi prosedural” semacam ini, apalagi hanya dipahami lewat Pemilu, seraya mengabaikan demokrasi sebagai sistem (baca: sistem demokrasi), yang justru telah memproduksi banyak keburukan.


Hakikat Sistem Demokrasi

Sistem demokrasi di negara manapun selalu mencerminkan paling tidak dua hal: (1) Kedaulatan rakyat; (2) Jaminan atas kebebasan umum.


Kedaulatan rakyat.

Demokrasi identik dengan jargon “dari rakyat-oleh rakyat-untuk rakyat”. Secara teoretis memang demikian. Justru di sinilah pangkal persoalan demokrasi, khususnya jika dilihat dari sudut pandang ajaran Islam yang hanya mengakui “kedaulatan Hukum Syariah (Hukum Allah)”. Dalam demokrasi, rakyat (manusia) diberi kewenangan penuh untuk membuat hukum, termasuk membuat hukum yang bertentangan dengan aturan-aturan Allah (syariah). Inilah yang terjadi di negara-negara yang menerapkan demokrasi, termasuk Indonesia . Padahal dalam Islam, hanya Allah yang berhak menetapkan hukum (Lihat: QS an-An‘am [6]: 57), yakni dengan memberikan kewenangan kepada penguasa (khalifah) untuk mengadopsi hukum dari al-Quran dan as-Sunnah, dengan didasarkan pada ijtihad yang benar.



Adapun secara praktis, kedaulatan rakyat sebetulnya hanyalah ‘lipstik’. Faktanya, di Indonesia sendiri, yang berdaulat bukanlah rakyat, tetapi para elit wakil rakyat, termasuk elit penguasa, yang bahkan sering dipengaruhi oleh kepentingan para pemilik modal atau negara-negara asing. Tidak aneh jika banyak UU atau keputusan yang merupakan produk lembaga wakil rakyat (DPR) maupun Presiden—yang juga langsung dipilih oleh rakyat—sering bertabrakan dengan kemauan rakyat. Betapa sering kebijakan Pemerintah yang diamini para wakil rakyat justru didemo oleh rakyat sendiri.


Jaminan atas kebebasan umum.

Pertama: kebebasan beragama. Intinya, seseorang berhak meyakini suatu agama/keyakinan yang dikehendakinya tanpa tekanan atau paksaan. Dia berhak pula meninggalkan agama dan keyakinannya, lalu berpindah pada agama atau keyakinan baru.



Kedua: kebebasan berpendapat. Intinya, setiap individu berhak mengembangkan pendapat atau ide apapun dan bagaimanapun bentuknya tanpa tolok ukur halal-haram.



Ketiga: kebebasan kepemilikan. Intinya, seseorang boleh memiliki harta (modal) sekaligus mengembangkannya dengan sarana dan cara apa pun. Di Indonesia, pihak asing bahkan diberikan kebebasan untuk menguasai sumberdaya alam milik rakyat, antara lain melalui UU Migas, UU SDA, UU Penanaman Modal, dll.



Keempat: kebebasan berperilaku. Intinya, setiap orang bebas untuk berekspresi, termasuk mengekspresikan kemaksiatan seperti: membuka aurat di tempat umum, berpacaran, berzina, menyebarluaskan pornografi, melakukan pornoaksi, melakukan praktik homoseksual dan lesbianisme, dll.



Jelaslah, hakikat sistem demokrasi menjauhkan hukum Allah dan menanamkan liberalisasi.


Dampak Buruk Sistem Demokrasi

Dampak paling buruk dari penerapan sitem demokrasi tentu saja adalah tersingkirnya aturan-aturan Allah (syariah Islam) dari kehidupan masyarakat. Selama lebih dari setengah abad, negeri yang notabene berpenduduk mayoritas Muslim ini menerapkan sistem demokrasi. Selama itu pula syariah Islam selalu dicampakkan. Segala upaya untuk memformalkannya dalam negara selalu dihambat, baik pada masa Orde Lama, Orde Baru hingga Orde Reformasi saat ini.

Dampak buruk lainnya antara lain sebagai berikut:



Pertama, akibat kebebasan beragama: muncul banyak aliran sesat di Indonesia. Sejak 2001 hingga 2007, sedikitnya ada 250 aliran sesat yang berkembang di Indonesia. (Waspada.co.id, 1/11/07). Para penganut aliran-aliran tersebut seolah dibiarkan begitu saja oleh Pemerintah tanpa dikenai sanksi yang tegas.



Kedua, akibat kebebasan berpendapat: muncul ide-ide liberal seperti pendapat yang mengatakan bahwa syariah Islam, misalnya, jika diterapkan, akan mengganggu stabilitas, mengancam kemajemukan, menimbulkan disintegrasi, dll. Mereka yang berpendapat demikian, yang jelas-jelas melecehkan Islam, juga dibiarkan tanpa pernah bisa diajukan ke pengadilan. Itulah yang terjadi, khususnya di Indonesia saat ini, sebagaimana sering disuarakan oleh kalangan liberal.



Ketiga, akibat kebebasan kepemilikan: banyak sumberdaya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh individu, swasta atau pihak asing. Sejak tahun 60-an Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan UU Penanaman Modal Dalam Negeri (UU No. 6/1968). UU ini memberikan peluang kepada perusahaan swasta untuk menguasai 49 persen saham di sektor-sektor milik publik, termasuk BUMN. Tahun 90-an Pemerintah kemudian mengeluarkan PP No. 20/1994. Isinya antara lain ketentuan bahwa investor asing boleh menguasai modal di sektor-sektor milik publik, termasuk BUMN, hingga 95 persen. Kini, pada masa yang disebut dengan ‘Orde Reformasi’, privatisasi dan liberalisasi atas sektor-sektor milik publik semakin tak terkendali. Minyak dan gas, misalnya, yang seharusnya menjadi sumber utama pendapatan negara, 92%-nya sudah dikuasai oleh asing.



Keempat, akibat kebebasan berperilaku: Tersebarluasnya pornografi dan pornoaksi. Laporan kantor berita Associated Press (AP) menyebutkan, Indonesia berada di urutan kedua setelah Rusia yang menjadi surga bagi pornografi. (Republika, 17/7/03). Sudah banyak bukti, pornografi-pornoaks i memicu perilaku seks bebas. Berdasarkan sebuah penelitian, sebagian remaja di 4 kota besar Indonesia pernah melakukan hubungan seks, bahkan hal itu mereka lakukan pertama kali di rumah! (Detik.com, 26/1/05).


Khatimah

Dari paparan di atas, jelas bahwa sebagai negeri yang berpenduduk mayoritas Muslim, sebetulnya Indonesia harus malu; malu karena justru demokrasi yang dipuja-puji oleh pihak lain pada faktanya hanya memproduksi banyak keburukan.

Karena itu, belum saatnyakah kita mencampakkan demokrasi yang terbukti buruk dan menjadi sumber keburukan? Belum saatnyakah kita segera beralih pada aturan-aturan Allah, yakni syariah Islam, dan menerapkannya secara total dalam seluruh aspek kehidupan? Belum tibakah saatnya kita bertobat dan segera menyambut seruan Allah:

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَاْلأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

Bersegeralah kalian menuju ampunan dari Tuhan kalian dan menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa? (QS Ali Imran [3]: 133). []

Sumber: Buletin Al Islam Edisi Jum'at 16/11/2007