Yang bersemboyan :
Wahai Diri ……..
Jika Kau Tidak Gugur di Medan Juang ……..
Kau Tetap Akan Mati ……..
Walau di Atas Ranjang ..……
Waktu itu Rasulullah saw. sedang duduk di suatu tempat dataran tinggi kota Mekah, menghadapi para utusan yang datang dari kota Madinah, dengan bersembunyi-sembunyi dari kaum Quraisy. Mereka yang datang ini terdiri dari duabelas orang utusan suku atau kelompok yang kemudian dikenal dengan nama Kaum Anshar.(penolong Rasul). Mereka sedang dibai'at Rasul (diambil Janji sumpah setia) yang terkenal pula dengan nama Bai'ah Al-Aqabah al-Ula (Aqabah pertama). Merekalah pembawa dan penyi'ar IsIam pertama ke kota Madinah, dan bai'at merekalah yang membuka jalan bagi hijrah Nabi beserta pengikut beliau, yang pada gilirannya kemudian, membawa kemajuan pesat bagi Agama Allah yaitu Islam ....Maka salah seorang dari utusan yang dibai'at Nabi itu, adalah Abdullah bin Rawahah.
Dan sewaktu pada tahun berikutnya, Rasulullah saw. membai'at. lagi tujuhpuluh tiga orang Anshar dari penduduk Madinah pada bai'at 'Aqabah kedua, maka tokoh Ibnu Rawahah ini pun termasuk salah seorang utusan yang dibai'at itu.
Kemudian sesudah Rasullullah bersama shahabatnya hijrah ke Madinah dan menetap di sana, maka Abdullah bin Rawahah pulalah yang paling banyak usaha dan kegiatannya dalam membela Agama dan mengukuhkan sendi-sendinya. Ialah yang paling waspada mengawasi sepak terjang dan tipu muslihat Abdulla bin Ubay (pemimpin golongan munafik) yang oleh penduduk Madinah telah dipersiapkan untuk diangkat menjadi raja sebelum Islam hijrah ke sana, dan yang tak putus-putusnya berusaha menjatuhkan Islam dengan tidak menyia-nyiakan setiap kesempatan yang ada. Berkat kesiagaan Abdullah bin Rawahah yang terus-menerus mengikuti gerak-gerik Abdullah bin Ubay dengan cermat, maka gagalah usahanya, dan maksud-maksud jahatnya terhadap Islam dapat di patahkan.
Ibnu Rawahah adalah seorang penulis yang tinggal di suatu lingkungan yang langka degan kepandaian tulisi baca. Ia juga seorang penyair yang lancar, untaian syair-syairnya meluncur dari lidahnya dengan kuat dan indah didengar ....
Semenjak ia memeluk Islam, dibaktikannya kemampuannya bersyair itu untuk mengabdi bagi kejayaan Islam .....Dan Rasullullah menyukai dan menikmati syair-syairnya dan sering beliau minta untuk lebih tekun lagi membuat syair.
Pada suatu hari, beliau duduk bersama para sahabatnya, tiba-tiba datanglah Abdullah bin Rawahah, lalu Nabi bertanya kepadanya: "Apa yang anda lakukan jika anda hendak mengucapkan syair?"
Jawab Abdullah: "Kurenungkan dulu, kemudian baru kuucapkan". Lalu teruslah ia mengucapkan syairnya tanpa bertangguh, demikian kira-kira artinya secara bebas:
"Wahai putera Hasyim yang baik, sungguh Allah telah melebihkanmu dari seluruh manusia.dan memberimu keutamaan, di mana orang tak usah iri.
Dan sungguh aku menaruh firasat baik yang kuyakini terhadap dirimu. Suatu firasat yang berbeda dengan pandangan hidup mereka.
Seandainya anda bertanya dan meminta pertolongan mereka dan memecahkan persoalan tiadalah mereka henhak menjawab atau membela
Karena itu Allah mengukuhkan kebaikan dan ajaran yang anda,bawa
Sebagaimana Ia telah mengukuhkan dan memberi pertolongan kepada Musa".
Mendengar itu Rasul menjadi gembira dan ridla kepadanya, lalu sabdanya: "Dan engkau pun akan diteguhkan Allah".
Dan sewaktu Rasulullah sedang thawaf di Baitullah pada 'umrah qadla, Ibnu Rawahah berada di muka beliau sambil membaca syair dari rajaznya:
"Oh Tuhan, kalauIah tidak karena Engkau, niscaya tidaklah ami akan mendapat petunjuk, tidak akan bersedeqah dan Shalat!
Maka mohon diturunkan sakinah atas kami dan diteguhkan pendirian kami jika musuh datang menghadang.
,Sesuhgguhnya Qrang-orang yang telah aniaya terhadap kami, biIa mereka membuat fitnah akan kami tolak dan kami tentang".
Orang-orang Islam pun sering mengulang-ulangi syair-syairnya yang indah.
Penyair Rawahah yang produktif ini amat berduka sewaktu turun ayat al-Quranul Karim yang artinya :
"Dan para penyair, banyak pengikut mereka orang-orang sesat". (Q.S. Asy-syu'ara: 224)
Tetapi kedukaan hatinya jadi terlipur waktu turun pula ayat lainnya : Artinya :
"Kecuali orang-orang(penyair) yang beriman dan beramal shaleh dan banyak ingat kepada Allah, dan menuntut bela sesudah mereka dianiaya". (Q.S. Asy-syu'ara : 227)
Dan sewaktu Islam terpaksa terjun ke medan perang karena membela diri, tampillah Abdullah ibnu Rawahah membawa pedangnya ke medan tempur Badar, Uhud, Khandak, Hudaibiah dan Khaibar, seraya menjadikan kalimat-kalimat syairnya dan qashidahnya menjadi slogan perjuangan:
"Wahai diri! Seandainya engkau tidak tewas terbunuh, tetapi engkau pasti akan mati juga!"
Ia juga menyorakkan teriakan perang:
"Menyingkir kamu, hai anak-anak kafir dari jalannya. Menyingkir kamu setiap kebaikkan akan ditemui pada Rasulnya".
Dan datanglah waktunya perang Muktah ….Abdullah bin Rawahah adalah panglima yang ketiga dalam pasukan Islam.
Ibnu Rawahah berdiri dalam keadaan siap bersama pasukkan Islam yang berangkat meninggalkan kota Madinah …ia tegak sejenak lalu berkata, mengucapkan syairnya;
" Yang kupinta kepada Allah Yang Maha Rahman
Keampunan dan kemenangan di medan perang
Dan setiap ayunan pedangku memberi ketentuan
Bertekuk lututnya angkatan perang syetan
Akhirnya aku tersungkur memenuhi harapan ….. Mati syahid di medan perang…!!"
Benar, itulah cita-citanya kemenangan dan hilang terbilang …., pukulan pedang atau tusukan tombak, yang akan membawanya ke alam syuhada yang berbahagia…!!
Balatentara Islam maju bergerak kemedan perang muktah. Sewaktu orang-orang Islam dari kejauhan telah dapat melihat musuh-musuh mereka, mereka memperkirakan besarnya balatentara Romawi sekitar duaratus ribu orang …, karena menurut kenyataan barisan tentara mereka seakan tak ada ujung alhir dan seolah-olah tidak terbilang banyaknya ….!
Orang-orang Islam melihat jumlahmereka yang sedikit, lalu terdiam …dan sebagian ada yang menyeletuk berkata:
"Baiknya kita kirim utusan kepada Rasulullah, memberitakan jurnlah musuh yang besar. Mungkin kita dapat bantuan tambahan pasukan, atau jika diperintahkan tetap maju maka kita patuhi".
Tetapi.Ibnu Rawahah,.bagaikan datangnya siang bangun berdiri di antara barisan pasukan-pasukannya lalu berucap:
"Kawan:kawan sekalian! Demi Ailah, sesungguhnya kita berperang melawan musuh-musuh kita bukan berdasar bilangan, kekuatan atau banyaknya jumlah Kita tidak memerangi memerangi mereka, melainkan karena mempertahankan Agama kita ini, yang dengan memeluknya kita telah dimuliakan Allah ... !
Ayohlah kita maju ….! Salah satu dari dua kebaikan pasti kita capai, kemenagan atau syahid di jalan Allah ... !"
Dengan bersorak-sorai Kaum Muslimin yang sedikit bilangannya tetapi besar imannya itu menyatakan setuju. Mereka berteriak: "Sungguh, demi Allah, benar yang dibilang Ibnu Rawahah.. !"
Demikianlah, pasukan terus ke tujuannya, dengan bilangan yang jauh lebih sedikit menghadapi musuh yang berjumlah 200.000 yang berhasil dihimpun orang Romawi untuk menghadapi suatu peperangan dahsyat yang belum ada taranya.
Kedua pasukan, balatentara itu pun bertemu, lalu berkecamuklah pertempuran di antara keduanya.
Pemimpin yang pertama Zaid bin Haritsah gugur sebagai syahid yang mulia, disusul oleh pemimpin yang kedua Ja'far bin Abi Thalib, hingga ia memperoleh syahidnya pula dengan penuh kesabaran, dan menyusl pula sesudah itu pemimpin yang ketiga ini, Abdullah bin Rawahah. Dikala itu ia memungut panji perang dari tangan kananya Ja'far, sementara peperangan sudah mencapai puncaknya. Hampir-hampirlah pasukan Islam yang kecil itu, tersapu musnah diantara pasukan-pasukan Romawi yang datang membajir laksana air bah, yang berhasil dihimpun oleh Heraklius untuk maksud ini.
Ketika ia bertempur sebagai seorang prajurit, ibnu Rawahah ini menerjang ke muka dan ke belakang, ke kiri dan ke kanan tanpa ragu-ragu dan perduli. Sekarang setelah menjadi panglima seluruh pasukan yang akan dimintai tanggung jawabnya atas hidup mati pasukannya, demi terlihat kehebatan tentara romawi seketika seolah terlintas rasa kecut dan ragu-ragu pada dirinya. Tetapi saat itu hanya sekejap, kemudian ia membangkitkan seluruh semangat dan kekutannya dan melenyapkan semua kekhawatiran dari dirinya, sambil berseru:
"Aku telah bersumpah wahai diri, maju ke medan laga
Tapi kenapa kulihat engkau menolak syurga …..
Wahai diri, bila kau tak tewas terbunuh, kau kan pasti mati
Inilah kematian sejati yang sejak lama kau nanti …….
Tibalah waktunya apa yng engkau idam-idamkan selama ini
Jika kau ikuti jejak keduanya, itulah ksatria sejati ….!"
(Maksudnya, kedua sahabatnya Zaid dan Ja'far yang telah mendahului gugur sebagai syuhada).
Jika kamu berbuat seperti keduanya, itulah ksatria sejati…..!" Ia pun maju menyerbu orang-orang Romawi dengan tabahnya …… Kalau tidaklah taqdir Allah yang menentukan, bahwa hari itu adalah saat janjinya akan ke syurga, niscaya ia akan terus menebas musuh dengan pedangnya, hingga dapat menewaskan sejumlah besar dari mereka …. Tetapi waktu keberangkatan sudah tiba, yang memberitahukan awal perjalananya pulang ke hadirat Allah, maka naiklah ia sebagai syahid…..
Jasadnya jatuh terkapar, tapi rohnya yang suci dan perwira naik menghadap Zat Yang Maha Pengasih lagi Maha Tinggi, dan tercapailah puncak idamannya:
"Hingga dikatakan, yaitu bila mereka meliwati mayatku:
Wahai prajurit perang yang dipimpin Allah, dan benar ia telah terpimpin!"
"Benar engkau, ya Ibnu Rawahah….! Anda adalah seorang prajurit yang telah dipimpin oleh Allah…..!"
Selagi pertempuran sengit sedang berkecamuk di bumi Balqa' di Syam, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam sedang duduk beserta para shahabat di Madinah sambil mempercakapkan mereka. Tiba-tiba percakapan yang berjalan dengan tenang tenteram, Nabi ter;liam, kedua matanya jadi basah berkaca-kaca. Beliau mengangkatkan wajahnya dengan mengedipkan kedua matanya, untuk melepas air mata yang jatu disebabkan rasa duka dan belas kasihan ... ! Seraya memandang berkeliling ke wajah para shahabatnya dengan pandangan haru, beliau berkata: "Panji perang dipegang oleh Zaid bin Haritsah, ia bertempur bersamanya hingga ia gugur sebagai syahid ..... Kemudian diambil alih oleh Ja'far, dan ia bertempur pula bersamanya sampai syahid pula ....". Be!iau berdiam sebentar, lain diteruskannya ucapannya: "Kemudian panji itu dipegang oleh Abdulah bin Rawahah dan ia bertempur bersama panji itu, sampai akhirnya ia•pun syahid pula".
Kemudian Rasul diam lagi seketika, sementara mata beliau bercahaya, menyinarkan kegembiraan, ketentraman dan kerinduan, lalu katanya pula : "Mereka bertiga diangkatkan ke tempatku ke syurga …"
Perjalanan manalagi yang lebih mulia …….
Kesepakatan mana lagi yang lebih berbahagia …….
Mereka maju ke medan laga bersama-sama …….
Dan mereka naik ke syurga bersama-sama pula ….
Dan penghormatan terbaik yang diberikan untuk mengenangkan jasa mereka yang abadi, ialah ucapan Rasullullah Shallallahu alaihi wa sallam yang berbunyi :
"Mereka telah diangkatkan ke tempatku ke syurga……
Disclaimer : Ini adalah blog pribadi, tidak terkait secara struktural dengan organisasi manapun.
Saturday, June 30, 2007
Teroris Membeli Media Massa?
Oleh : Y Herman Ibrahim (Mantan Kepala Penerangan Kodam III/Siliwangi)
Kalau Anda tidak memiliki cukup waktu untuk membaca, tolong sempatkanlah untuk membaca satu alinea saja tulisan Ilham Prisgunanto di opini Republika, Selasa 19 Juni 2007. Alinea tersebut berbunyi, “Dengan demikian terjawablah pertanyaan besar, mengapa jaringan teroris lebih memilih Indonesia sebagai medan perang aksi mereka? Faktor kunci adalah dari begitu ‘longgar’ dan penuh lubangnya sistem pemberitaan dan pers Indonesia. Tidak adanya ketegasan aturan perundang-undangan adalah ‘opsi’ dari mudahnya lahan publikasi dibeli karena masuk ke ranah yang tak bertuan dan tak terkontrol.”
Sungguh ini suatu kebohongan publik yang sangat dahsyat. Adhian Husaini mengatakan bahwa Barat mengontrol informasi dunia dan memproduk rata-rata 6 juta kata per hari, sementara Timur (Islam) hanya mampu 500 ribu kata per hari. Dari perbandingan produksi kata melalui berbagai jenis media cetak, elektronik, dan dunia maya tampak jelas bahwa diseminasi nilai yang terus menerus dicangkokan ke benak manusia adalah nilai-nilai, doktrin, ideologi serta budaya Barat. Tengok jaringan informasi seperti CNN yang ditayangkan 24 jam terus-menerus melalui jaringan satelit yang bisa ditonton di seluruh pelosok dunia melakukan cuci otak tanpa henti. Media massa nasional pun lebih banyak merujuk kepada informasi yang diproduksi oleh kantor berita seperti UPI, Reuters, dan BBC. Tidak ada ceritanya media di Indonesia mengambil referensi dari As Sahab, Ar Rahmah, Al Muhajirun, atau secara mandiri mengembangkan informasi tanding.
Salah merujuk
Ilham juga menyoal lubuk hati manusia yang jika ada rasa pembenaran terhadap aksi teroris merupakan keberhasilan taktik komunikasi jaringan teroris terhadap Indonesia. Ilham tidak salah dengan merujuk konsep agenda setting Maxwell Mc Comb 1995, tapi jika itu ditujukan kepada terorisme di Indonesia jelas menyesatkan. Semua orang menyaksikan betapa pemberitaan media ihwal kejahatan terorisme di Indonesia sungguh berlebihan.
Jauh sebelum proses pengadilan dijalankan, media menyebar informasi bahwa Abu Bakar Ba’asyir melakukan kejahatan makar, merancang membunuh Megawati, dan melakukan pelanggaran imigrasi. Tatkala pengadilan dijalankan, semua tuduhan itu tidak terbukti dan hanya satu pelanggaran (bukan kejahatan) yang terbukti yakni pemalsuan nama pada KTP tatkala kabur ke Malaysia untuk menghindari kejaran Benny Moerdani. Sebuah pelanggaran yang sama dengan yang dilakukan Casingkem, seorang TKW yang memalsu nama menjadi Novita Sari. Bedanya, Casingkem disambut Megawati di Istana Negara sementara Abu Bakar Ba’asyir dihukum 3 tahun penjara. Bukankah ini hasil pembentukan opini?
Bisa jadi agenda setting Maxwell Mc Comb yang dirujuk Ilham benar sejauh itu digunakan justru untuk membenarkan terorisme yang dilakukan oleh Barat. Operasi Northwood yang kendati dibatalkan oleh Kennedy dirancang untuk memojokkan Kuba. Demikian juga operasi intelijen Teluk Babi di-setting seakan-akan dilakukan oleh teroris komunis.
Belakangan masyarakat dunia terhenyak dengan sinyalemen Ahmadinejad bahwa Holocaust sebuah kekejaman teror yang luar biasa dahsyat adalah suatu kebohongan Yahudi untuk mempengaruhi opini dunia. Dusta tentang pembunuhan 6 juta Yahudi oleh Jerman diperlukan untuk pembenaran exodus Yahudi ke Tanah Palestina dan mendirikan negara di sana.
Dr Frederisk Toben, asli Jerman dan menjadi warga negara Australia mengatakan bahwa Holocaust adalah kebohongan yang dilindungi secara legal. Tanpa Holocaust tidak ada alasan bagi Yahudi untuk membantai rakyat Palestina. Di negara-negara Eropa, Anda boleh mengritik atau menghina Yesus, Bunda Maria, dan sebagainya, tetapi anda dilarang mengkritik Yahudi dan Holocaustnya.
Terorisme memang memerlukan kebohongan untuk pembenaran aksinya, tetapi tidak untuk Islam. Islam tidak mengenal konsep teror, yang ada adalah jihad. Di dalam Islam harus ada kekuatan untuk membuat musuh gentar tetapi bukan seperti terorisme yang dilakukan oleh Barat. Bahwa ada sebagian orang Islam di Indonesia yang marah kepada Barat karena kejahatan yang dilakukan Barat di Palestina, Irak, Afghanistan, Somalia, dan Chechnya lantas melakukan aksi perlawanan berupa pengeboman terhadap kepentingan Barat di negeri ini, memang itu kenyataan.
Meski demikian David O Shea, orang Australia mengatakan bahwa aksi bom di Indonesia merupakan jalinan dari tiga kepentingan. Tiga kepentingan itu adalah pertama, Barat memerlukan aksi bom di Indonesia untuk membenarkan perang melawan terorisme. Kedua, ghiroh yang tinggi di kalangan anak-anak muda Islam khususnya alumni Afghanistan, dan ketiga budaya korupsi di kalangan aparat keamanan.
Jadi, untuk konteks terorisme di Indonesia sesungguhnya bukanlah hasil persahabatan kental antara terorisme dan media massa seperti yang dirujuk oleh Ilham dari pendapat ahli masalah teroris Walter Laqueur. Tidak ada fakta yang menunjukkan bahwa teroris di Indonesia memiliki kemampuan finansial untuk menyewa media massa. Yang ada adalah justru sebaliknya yaitu pembentukan opini massal seakan-akan Nurdin M Top dan kawan-kawan adalah ancaman serius bagi rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim.
Tentang Kepolisian RI perlu ada penjelasan bahwa kegelisahan dan kegerahan aparat di lapangan terhadap awak jurnalis seperti yang dicontohkan Robert L Rabe wakil kepala Kepolisian Washington dalam pembajakan sebuah gedung oleh Hanafi Muslim pada Maret 1977, tidak pernah terjadi di Indonesia. Pihak Kepolisian RI tidak terkesan takut kepada wartawan dan tidak merasa tertekan untuk mengisahkan penyergapan dan penangkapan teroris berikut opini yang dibangun seakan-akan para teroris seperti Abu Dujana benar-benar durjana. Seorang Sidney Jones warga AS yang diduga agen CIA bahkan dengan nyaman bicara bebas di berbagai media televisi tanpa rasa sungkan sedikitpun.
Agen asing
Mantan KSAD, Jend Ryamizard Ryacudu, mengatakan bahwa ada lebih dari 60 ribu intel asing berkeliaran bebas di Indonesia. Jika kedaulatan kita merasa terganggu sehingga perlu interpelasi parlemen ihwal kebijakan luar negeri mendukung resolusi PBB terhadap Iran, mengapa tidak pernah ada interpelasi tentang kehadiran agen-agen asing tersebut. Sungguh aneh penangkapan Abu Dujana yang peristiwanya bahkan telah diketahui dan diumumkan lebih dulu oleh pihak Australia. Apapun sanggahan kepala Polri tentang ini sulit diterima karena penangkapan dan pembunuhan Azhari sungguh sangat terbuka dan tidak ditunda-tunda pengumumannya.
Yang terakhir, aparat hendaknya melakukan introspeksi bahwa jika ada empati sebagian masyarakat Muslim kepada ‘teroris’, hendaknya jangan dianggap sebagai sebuah pembenaran dari masyarakat Muslim itu terhadap aksi terorisme atau menuduh mereka memiliki kemampuan membayar media massa. Aparat kepolisian memiliki citra yang buruk, tidak saja dalam soal penangkapan ‘teroris’ melainkan juga nyaris dalam semua cara penanganan terhadap berbagai tindak keamanan dan ketertiban di masyarakat.
From: http://www.republika.co.id
Kalau Anda tidak memiliki cukup waktu untuk membaca, tolong sempatkanlah untuk membaca satu alinea saja tulisan Ilham Prisgunanto di opini Republika, Selasa 19 Juni 2007. Alinea tersebut berbunyi, “Dengan demikian terjawablah pertanyaan besar, mengapa jaringan teroris lebih memilih Indonesia sebagai medan perang aksi mereka? Faktor kunci adalah dari begitu ‘longgar’ dan penuh lubangnya sistem pemberitaan dan pers Indonesia. Tidak adanya ketegasan aturan perundang-undangan adalah ‘opsi’ dari mudahnya lahan publikasi dibeli karena masuk ke ranah yang tak bertuan dan tak terkontrol.”
Sungguh ini suatu kebohongan publik yang sangat dahsyat. Adhian Husaini mengatakan bahwa Barat mengontrol informasi dunia dan memproduk rata-rata 6 juta kata per hari, sementara Timur (Islam) hanya mampu 500 ribu kata per hari. Dari perbandingan produksi kata melalui berbagai jenis media cetak, elektronik, dan dunia maya tampak jelas bahwa diseminasi nilai yang terus menerus dicangkokan ke benak manusia adalah nilai-nilai, doktrin, ideologi serta budaya Barat. Tengok jaringan informasi seperti CNN yang ditayangkan 24 jam terus-menerus melalui jaringan satelit yang bisa ditonton di seluruh pelosok dunia melakukan cuci otak tanpa henti. Media massa nasional pun lebih banyak merujuk kepada informasi yang diproduksi oleh kantor berita seperti UPI, Reuters, dan BBC. Tidak ada ceritanya media di Indonesia mengambil referensi dari As Sahab, Ar Rahmah, Al Muhajirun, atau secara mandiri mengembangkan informasi tanding.
Salah merujuk
Ilham juga menyoal lubuk hati manusia yang jika ada rasa pembenaran terhadap aksi teroris merupakan keberhasilan taktik komunikasi jaringan teroris terhadap Indonesia. Ilham tidak salah dengan merujuk konsep agenda setting Maxwell Mc Comb 1995, tapi jika itu ditujukan kepada terorisme di Indonesia jelas menyesatkan. Semua orang menyaksikan betapa pemberitaan media ihwal kejahatan terorisme di Indonesia sungguh berlebihan.
Jauh sebelum proses pengadilan dijalankan, media menyebar informasi bahwa Abu Bakar Ba’asyir melakukan kejahatan makar, merancang membunuh Megawati, dan melakukan pelanggaran imigrasi. Tatkala pengadilan dijalankan, semua tuduhan itu tidak terbukti dan hanya satu pelanggaran (bukan kejahatan) yang terbukti yakni pemalsuan nama pada KTP tatkala kabur ke Malaysia untuk menghindari kejaran Benny Moerdani. Sebuah pelanggaran yang sama dengan yang dilakukan Casingkem, seorang TKW yang memalsu nama menjadi Novita Sari. Bedanya, Casingkem disambut Megawati di Istana Negara sementara Abu Bakar Ba’asyir dihukum 3 tahun penjara. Bukankah ini hasil pembentukan opini?
Bisa jadi agenda setting Maxwell Mc Comb yang dirujuk Ilham benar sejauh itu digunakan justru untuk membenarkan terorisme yang dilakukan oleh Barat. Operasi Northwood yang kendati dibatalkan oleh Kennedy dirancang untuk memojokkan Kuba. Demikian juga operasi intelijen Teluk Babi di-setting seakan-akan dilakukan oleh teroris komunis.
Belakangan masyarakat dunia terhenyak dengan sinyalemen Ahmadinejad bahwa Holocaust sebuah kekejaman teror yang luar biasa dahsyat adalah suatu kebohongan Yahudi untuk mempengaruhi opini dunia. Dusta tentang pembunuhan 6 juta Yahudi oleh Jerman diperlukan untuk pembenaran exodus Yahudi ke Tanah Palestina dan mendirikan negara di sana.
Dr Frederisk Toben, asli Jerman dan menjadi warga negara Australia mengatakan bahwa Holocaust adalah kebohongan yang dilindungi secara legal. Tanpa Holocaust tidak ada alasan bagi Yahudi untuk membantai rakyat Palestina. Di negara-negara Eropa, Anda boleh mengritik atau menghina Yesus, Bunda Maria, dan sebagainya, tetapi anda dilarang mengkritik Yahudi dan Holocaustnya.
Terorisme memang memerlukan kebohongan untuk pembenaran aksinya, tetapi tidak untuk Islam. Islam tidak mengenal konsep teror, yang ada adalah jihad. Di dalam Islam harus ada kekuatan untuk membuat musuh gentar tetapi bukan seperti terorisme yang dilakukan oleh Barat. Bahwa ada sebagian orang Islam di Indonesia yang marah kepada Barat karena kejahatan yang dilakukan Barat di Palestina, Irak, Afghanistan, Somalia, dan Chechnya lantas melakukan aksi perlawanan berupa pengeboman terhadap kepentingan Barat di negeri ini, memang itu kenyataan.
Meski demikian David O Shea, orang Australia mengatakan bahwa aksi bom di Indonesia merupakan jalinan dari tiga kepentingan. Tiga kepentingan itu adalah pertama, Barat memerlukan aksi bom di Indonesia untuk membenarkan perang melawan terorisme. Kedua, ghiroh yang tinggi di kalangan anak-anak muda Islam khususnya alumni Afghanistan, dan ketiga budaya korupsi di kalangan aparat keamanan.
Jadi, untuk konteks terorisme di Indonesia sesungguhnya bukanlah hasil persahabatan kental antara terorisme dan media massa seperti yang dirujuk oleh Ilham dari pendapat ahli masalah teroris Walter Laqueur. Tidak ada fakta yang menunjukkan bahwa teroris di Indonesia memiliki kemampuan finansial untuk menyewa media massa. Yang ada adalah justru sebaliknya yaitu pembentukan opini massal seakan-akan Nurdin M Top dan kawan-kawan adalah ancaman serius bagi rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim.
Tentang Kepolisian RI perlu ada penjelasan bahwa kegelisahan dan kegerahan aparat di lapangan terhadap awak jurnalis seperti yang dicontohkan Robert L Rabe wakil kepala Kepolisian Washington dalam pembajakan sebuah gedung oleh Hanafi Muslim pada Maret 1977, tidak pernah terjadi di Indonesia. Pihak Kepolisian RI tidak terkesan takut kepada wartawan dan tidak merasa tertekan untuk mengisahkan penyergapan dan penangkapan teroris berikut opini yang dibangun seakan-akan para teroris seperti Abu Dujana benar-benar durjana. Seorang Sidney Jones warga AS yang diduga agen CIA bahkan dengan nyaman bicara bebas di berbagai media televisi tanpa rasa sungkan sedikitpun.
Agen asing
Mantan KSAD, Jend Ryamizard Ryacudu, mengatakan bahwa ada lebih dari 60 ribu intel asing berkeliaran bebas di Indonesia. Jika kedaulatan kita merasa terganggu sehingga perlu interpelasi parlemen ihwal kebijakan luar negeri mendukung resolusi PBB terhadap Iran, mengapa tidak pernah ada interpelasi tentang kehadiran agen-agen asing tersebut. Sungguh aneh penangkapan Abu Dujana yang peristiwanya bahkan telah diketahui dan diumumkan lebih dulu oleh pihak Australia. Apapun sanggahan kepala Polri tentang ini sulit diterima karena penangkapan dan pembunuhan Azhari sungguh sangat terbuka dan tidak ditunda-tunda pengumumannya.
Yang terakhir, aparat hendaknya melakukan introspeksi bahwa jika ada empati sebagian masyarakat Muslim kepada ‘teroris’, hendaknya jangan dianggap sebagai sebuah pembenaran dari masyarakat Muslim itu terhadap aksi terorisme atau menuduh mereka memiliki kemampuan membayar media massa. Aparat kepolisian memiliki citra yang buruk, tidak saja dalam soal penangkapan ‘teroris’ melainkan juga nyaris dalam semua cara penanganan terhadap berbagai tindak keamanan dan ketertiban di masyarakat.
From: http://www.republika.co.id
Thursday, June 7, 2007
Aparat Yang Gagah(-Gagahan)
Entah apa yang bikin para aparat bersenjata sering jumawa kalau berhadapan dengan massa sipil, apa karena seragamnya, apa karena megang bedil, apa karena latihannya yang berat atau kenapa ya? Yang pasti bukan karena gajinya yang sedeng-sedeng aja--walaupun banyak perwira yang punya kendaraan beroda 4 lebih dari, entah duit darimana--karena banyak kalangan gajinya yang juga sedeng-sedeng aja kaga ada suka belagu, kayak saya misalnya, hehehehe.
Yang pasti juga bukan karena genetika, karena tidak ada pasangan asam basa DNA yang berkombinasi dari T-N-I atau P-O-L-I-S-I, yang ada juga A-G-U-T. Entah darimana, tapi yang jelas sikap jumawa ini telah berujung kepada berbagai prestasi kelam. Sebut aja misalnya kasus pembunuhan rakyat di Tanjung Priok, di Lampung, di Aceh, pembunuhan mahasiswa sampai terakhir pembunuhan rakyat sipil di Solok dan Pasuruan.
Kejumawaan ini bahkan sepertinya menjadi karakter hidup. Jangan pernah coba-coba menghalangi jalan aparat ini di Jalan raya--sengaja maupun tidak--kalau kaga mau didamprat atau bahkan dihajar. Atau coba saja bikin ribut sama satu orang anggota mereka, siap-siap saja malamnya satu truk gerombolan mereka akan menghajar anda!
Emang masih ada kali ya aparat yang gak seperti itu--yang gak suka petantang-petenteng, yang kalau naek kreta bayar tiket--tapi itu kan cuma oknum! :P
Ayo dong pak aparat, jangan suka gitu ama rakyat kecil dan massa sipil lainnya. Kan anda sering didoktrin bahwa TNI itu dari rakyat dan untuk rakyat, sementara kalau Polisi sering berdoktrin to protect and to serve.
Takutlah sama Allah, takutlah nanti ketika dihisab oleh Allah, sikap zhalim dan aniaya akan dibalas dengan siksa yang pedih. Na'udzubillah min dzalik
Yang pasti juga bukan karena genetika, karena tidak ada pasangan asam basa DNA yang berkombinasi dari T-N-I atau P-O-L-I-S-I, yang ada juga A-G-U-T. Entah darimana, tapi yang jelas sikap jumawa ini telah berujung kepada berbagai prestasi kelam. Sebut aja misalnya kasus pembunuhan rakyat di Tanjung Priok, di Lampung, di Aceh, pembunuhan mahasiswa sampai terakhir pembunuhan rakyat sipil di Solok dan Pasuruan.
Kejumawaan ini bahkan sepertinya menjadi karakter hidup. Jangan pernah coba-coba menghalangi jalan aparat ini di Jalan raya--sengaja maupun tidak--kalau kaga mau didamprat atau bahkan dihajar. Atau coba saja bikin ribut sama satu orang anggota mereka, siap-siap saja malamnya satu truk gerombolan mereka akan menghajar anda!
Emang masih ada kali ya aparat yang gak seperti itu--yang gak suka petantang-petenteng, yang kalau naek kreta bayar tiket--tapi itu kan cuma oknum! :P
Ayo dong pak aparat, jangan suka gitu ama rakyat kecil dan massa sipil lainnya. Kan anda sering didoktrin bahwa TNI itu dari rakyat dan untuk rakyat, sementara kalau Polisi sering berdoktrin to protect and to serve.
Takutlah sama Allah, takutlah nanti ketika dihisab oleh Allah, sikap zhalim dan aniaya akan dibalas dengan siksa yang pedih. Na'udzubillah min dzalik
Sunday, June 3, 2007
Pengkhianatan Penguasa Saudi (Dulu dan Kini)
Dalam pidato pembukaan KTT Liga Arab yang dilangsungkan di Riyadh tanggal 28 Maret 2007, Raja Abdullah Ibnu Saud mengatakan bahwa kesengsaraan yang dialami bangsa Arab adalah akibat perselisihan yang kerap terjadi di antara para penguasa Arab. Padahal mereka hanya dapat mencegah “kekuatan asing untuk merumuskan masa depan wilayah itu” jika mereka bersatu. Kemudian dia melanjutkan pidatonya tentang sejarah Liga Arab, “Pertanyaannya adalah, apa yang telah kita lakukan dalam tahun-tahun belakangan ini untuk menyelesaikan semua permasalahan itu? Saya tidak ingin menyalahkan Liga Arab karena ia adalah sebuah entitas yang mencerminkan kondisi kita secara menyeluruh. Kita seharusnya menyalahkan diri kita sendiri; kita semua; pemimpin bangsa-bangsa Arab. Perbedaan-perbedaan kita yang permanen, penolakan kita untuk mengambil jalan persatuan, semuanya itu menyebabkan negara-negara Arab kehilangan kepercayaan diri dan kredibilitas serta kehilangan harapan pada masa kini dan masa depan kita.”
Dia lalu menggambarkan beberapa persoalan yang dihadapi oleh Dunia Islam, “Di Irak yang kita cintai, pertumpahan darah terjadi di antara saudara-saudara kita, dibayangi oleh pendudukan asing yang ilegal, dan kebencian sektarianisme yang menjurus pada perang saudara…Di Palestina, banyak orang menderita karena penindasan dan pendudukan. Sangat mendesak untuk mengakhiri blokade yang diberlakukan atas bangsa Palestina sehingga proses perdamaian dapat terus berjalan dalam kondisi tanpa penindasan.”
Apa yang digarisbawahi oleh Raja Abdullah dalam pidato pembukaanya tentang problem masa kini yang dihadapi kaum Muslim sudah sangat dimengerti oleh kaum Muslim di seluruh dunia. Namun, Dia melupakan peran yang telah dimainkannya, juga peran keluarga Saudi dalam menciptakan dan memperpanjang isu-isu semacam itu. Keluarga Saudi memiliki riwayat panjang terkait dengan pengkhianatan mereka terhadap umat. Mereka justru telah memainkan peran pentingnya dalam mencegah persatuan di Dunia Islam.
Mulai awal tahun 2006, Raja Abdullah telah mencetuskan inisiatif perdamaian yang akan mengakui Israel jika negara itu mengembalikan tanah yang dirampasnya pada perang tahun 1967. Untuk itu, Raja Abdullah bersedia menjadi perantara pada perjanjian antara Pemerintahan Hamas dan Fatah. Raja Abdullah menunjukkan sikap yang sebenarnya ketika Israel menginvasi Libanon pada bulan Juli 2006. Saat itu, pada pertemuan KTT Liga Arab dia bersama Yordania, Mesir, beberapa negara Teluk dan Otoritas Palestina, menghukum Hizbullah atas tindakannya yang dianggap tidak diharapkan, tidak pantas dan tidak bertanggung jawab. Menlu Arab Pangeran Saud al-Faisal pada saat itu mengatakan, “Tindakan itu akan membawa keseluruhan wilayah ini kembali beberapa tahun mundur ke belakang. Kami tidak bisa menerima hal itu.”
Saudi Arabia, bahkan meminta Sheikh terkemuka, Abdullah bin Jabrin, untuk mengeluarkan fatwa yang menyatakan tidak sahnya dukungan, bantuan dan doa bagi Hizbullah.
Keluarga Saudi sering dalam beberapa kesempatan, bersama dengan kekuatan penjajah Barat, bahu-membahu dalam menyediakan dukungan aktif. Dalam Perang Teluk yang pertama, Raja Fahd dengan resmi memerintah-kan penggelaran pasukan Amerika di tanah Saudi. Kerajaan itu menjadi tuan rumah bagi 600,000 pasukan Sekutu hingga kas negara mengalami defisit. Amerika mengeluarkan $60 miliar pada Perang Teluk pertama. Kuwait membayar separuhnya dari anggaran itu. Saat ini, 5000 tentara AS masih bercokol di kerajaan itu sejak akhir Perang Teluk. Sejak 1999, kehadiran mereka telah menimbulkan kejengkelan bagi warga Saudi hingga dikeluarkannya “Memorandum Nasihat” setebal 46 halaman oleh 107 pemuka kelompok Wahabi kepada Raja Fahd. Memorandum tersebut mengkritik pemerintah atas korupsi dan pelanggaran lainnya serta kebijakan pemerintah yang tetap membiarkan kehadiran tentara AS di tanah Saudi. Namun, jawaban yang diambil oleh Raja Fahd adalah menangkap mereka.
Sejarah Pengkhianatan al-Saud
Pengkhiatan telah berakar dalam di tubuh Kerajaan Saudi, yakni sejak keluarga Saudi memainkan peran langsungnya atas kehancuran Khilafah dan pembentukan negara Israel. Kantor Kementerian Luar Negeri Inggris melakukan kontak-kontak dengan Ibnu Saud tahun 1851 untuk berhubungan dengan pihak-pihak yang dianggap pantas untuk menjadi penentang Khilafah yang beribukota di Istanbul. Keluarga Saudi pada saat itu adalah segerombolan bandit yang terlibat dalam percekcokan kesukuan, namun dengan uang dan senjata dari Inggris. Ibnu Saud mampu mengkonsolidasikan posisinya di wilayah-wilayah kunci di semenanjung Arab dan akhirnya di seluruh semenanjung itu. Ini terlihat pada perjanjian yang ditandatangani oleh Inggris tahun 1865. Ketika itu Inggris menginginkan sekutunya di wilayah itu untuk memberikan pijakan pada wilayah Kekhalifahan Usmaniah yang sedang sekarat. Sebagai imbalannya, Ibnu Saud menginginkan bantuan logistik dan militer Inggris untuk mengacaukan Kekhalifahan dari dalam.
Inggris memberikan Ibnu Saud sedikit subsidi yang dipakai untuk memperluas dan mempertahankan pasukan Wahabi. Pasukan ini adalah tulang punggung pasukan Ibnu Saud untuk melawan Khilafah. Ibnu Saud berusaha untuk memperoleh legitimasi dengan memakai gerakan Wahabi, pengikut Muhammad ibnu Wahab, yang berkeyakinan bahwa tanah Arab perlu dibersihkan dengan opini Islamnya. Ibnu Wahab menggunakan Wahabi untuk memberikan kredibilitas agama atas kebijakan pro-Inggrisnya. kaum Wahabi melihat kesempatan ini untuk melihat interpretasinya atas Islam agar menjadi mazhab yang dominan di wilayah itu.
Tahun 1910 keluarga al-Saud menjadi orang-orang yang lebih penting lagi bagi Inggris ketika mereka memberontak terhadap Kekhalifahan Usmani, dengan dukungan Inggris, dengan menyerang saudara sepupunya Ibnu Rashid yang mendukung Khilafah. Subsidi yang tadinya kecil menjadi bertambah dan sekomplotan penasihat dikirim untuk membantu gerakan Ibnu Saud.
Pemberontakan Arab (1916-1918) diawali oleh Syarif Hussein ibnu Ali dengan restu penuh Inggris. Tujuannya adalah untuk memisahkan semenanjung Arab dari Istanbul. Perjanjian ini diakhiri pada bulan Juni 1916 setelah dilakukan surat-menyurat dengan Komisi Tinggi Inggris Henry McMahon yang mampu meyakinkan Syarif Hussein akan imbalan yang diterimanya atas penghianatannya terhadap Kekhalifahan, yakni berupa tanah yang membentang dari Mesir dan Persia; dengan pengecualian penguasaan kerajaan di wilayah Kuwait, Aden, dan pesisir Syria. Pemerintah Inggris di Mesir langsung mengirim seorang opsir muda untuk bekerja bersama orang Arab. Orang itu adalah Kapten Timothy Edward Lawrence, atau yang dikenal dengan nama Lawrence dari Arab.
Setelah kekalahan Kekhalifahan Usmani tahun 1918 dan keruntuhan sepenuhnya tahun 1924, Inggris memberikan kontrol penuh atas negara-negara yang baru terbentuk, yakni Irak dan Trans-Jordan, kepada anak laki-laki Syarif Hussein yaitu Faisal dan Abdullah seperti yang sebelumnya dijanjikan. Keluarga al-Saud berhasil membawa seluruh Arab di bawah kontrolnya tahun 1930. Pandangan Inggris atas nasib Arab menyusul kekalahan Khilafah tercermin pada kata-kata Lord Crewe bahwa ia menginginkan, “Arab yang terpecah menjadi kerajaan-kerajaan di bawah mandat kami.” Untuk peran itu, keluarga Saudi menerimanya dengan senang hati.
Keluarga Saudi langsung bersekongkol dengan Inggris untuk menghancurkan Khilafah. Jika tidak terlalu buruk keluarga Saud juga akan langsung bersekongkol dengan Zionis untuk mendirikan Israel. Raja Abdullah 1 dari Trans-Jordan yang diciptakan Inggris mempelajari kemungkinan itu dengan David Ben Gurion (Perdana Menteri Israel yang pertama) di Istanbul tahun 1930-an. Abdullah menawarkan untuk menerima pendirian Israel. Sebagai imbalannya, dia akan menerima Jordania di bawah kontrol penduduk Arab di Palestina. Tahun 1946 Abdullah mengungkapkan minatnya untuk menguasai wilayah Arab di Palestina. Dia tidak berniat untuk menentang atau menghalangi pembagian Palestina dan pendirian negara Israel, seperti yang digambarkan oleh seorang sejarawan.
Saudaranya Raja Faisal dari Irak bahkan melebihi pengkhiatan Abdullah. Ketika itu, pada tahun 1919 Faisal menandatangani Perjanjian Faisal-Weizmann, dengan Dr. Chaim Weizmann, Presiden organisasi Zionis Dunia; dialah yang menerima dengan syarat Deklarasi Balfour berdasarkan janji yang dipenuhi oleh Inggris pada masa perang untuk kemerdekaan Arab.
Sejak tahun 1995 Saudi Arabia telah mengimpor $64.5 miliar dalam bentuk persenjataan, yang jauh melebihi pengimpor kedua terbesar, Taiwan, yang melakukan transaksi hanya sebesar $20.2 untuk persenjataan. Namun, tidak satu pun senjata-senjata itu yang digunakan untuk pertahanan bagi kaum Muslim atau di area konflik tempat kaum Muslim ditindas. Satu-satunya saat bagi Saudi ikut terlibat perang adalah ketika terjadi Perang Teluk. Saat itu, dia terlibat dalam mendukung koalisi terhadap Irak dan selama PD I. Pembatalan yang baru-baru ini dilakukan antara Saudi dan Inggris menunjukkan, bahwa keluarga Saudi tidak pernah berkeinginan untuk membela kepentingan kaum Muslim. Mereka hanya membeli persenjataan untuk memastikan berlanjutan industri persenjataan tuan-tuannya di Barat, sementara mereka tetap mengkhianati umat. [Riza Aulia; sumber www.khilafah.com]
Dia lalu menggambarkan beberapa persoalan yang dihadapi oleh Dunia Islam, “Di Irak yang kita cintai, pertumpahan darah terjadi di antara saudara-saudara kita, dibayangi oleh pendudukan asing yang ilegal, dan kebencian sektarianisme yang menjurus pada perang saudara…Di Palestina, banyak orang menderita karena penindasan dan pendudukan. Sangat mendesak untuk mengakhiri blokade yang diberlakukan atas bangsa Palestina sehingga proses perdamaian dapat terus berjalan dalam kondisi tanpa penindasan.”
Apa yang digarisbawahi oleh Raja Abdullah dalam pidato pembukaanya tentang problem masa kini yang dihadapi kaum Muslim sudah sangat dimengerti oleh kaum Muslim di seluruh dunia. Namun, Dia melupakan peran yang telah dimainkannya, juga peran keluarga Saudi dalam menciptakan dan memperpanjang isu-isu semacam itu. Keluarga Saudi memiliki riwayat panjang terkait dengan pengkhianatan mereka terhadap umat. Mereka justru telah memainkan peran pentingnya dalam mencegah persatuan di Dunia Islam.
Mulai awal tahun 2006, Raja Abdullah telah mencetuskan inisiatif perdamaian yang akan mengakui Israel jika negara itu mengembalikan tanah yang dirampasnya pada perang tahun 1967. Untuk itu, Raja Abdullah bersedia menjadi perantara pada perjanjian antara Pemerintahan Hamas dan Fatah. Raja Abdullah menunjukkan sikap yang sebenarnya ketika Israel menginvasi Libanon pada bulan Juli 2006. Saat itu, pada pertemuan KTT Liga Arab dia bersama Yordania, Mesir, beberapa negara Teluk dan Otoritas Palestina, menghukum Hizbullah atas tindakannya yang dianggap tidak diharapkan, tidak pantas dan tidak bertanggung jawab. Menlu Arab Pangeran Saud al-Faisal pada saat itu mengatakan, “Tindakan itu akan membawa keseluruhan wilayah ini kembali beberapa tahun mundur ke belakang. Kami tidak bisa menerima hal itu.”
Saudi Arabia, bahkan meminta Sheikh terkemuka, Abdullah bin Jabrin, untuk mengeluarkan fatwa yang menyatakan tidak sahnya dukungan, bantuan dan doa bagi Hizbullah.
Keluarga Saudi sering dalam beberapa kesempatan, bersama dengan kekuatan penjajah Barat, bahu-membahu dalam menyediakan dukungan aktif. Dalam Perang Teluk yang pertama, Raja Fahd dengan resmi memerintah-kan penggelaran pasukan Amerika di tanah Saudi. Kerajaan itu menjadi tuan rumah bagi 600,000 pasukan Sekutu hingga kas negara mengalami defisit. Amerika mengeluarkan $60 miliar pada Perang Teluk pertama. Kuwait membayar separuhnya dari anggaran itu. Saat ini, 5000 tentara AS masih bercokol di kerajaan itu sejak akhir Perang Teluk. Sejak 1999, kehadiran mereka telah menimbulkan kejengkelan bagi warga Saudi hingga dikeluarkannya “Memorandum Nasihat” setebal 46 halaman oleh 107 pemuka kelompok Wahabi kepada Raja Fahd. Memorandum tersebut mengkritik pemerintah atas korupsi dan pelanggaran lainnya serta kebijakan pemerintah yang tetap membiarkan kehadiran tentara AS di tanah Saudi. Namun, jawaban yang diambil oleh Raja Fahd adalah menangkap mereka.
Sejarah Pengkhianatan al-Saud
Pengkhiatan telah berakar dalam di tubuh Kerajaan Saudi, yakni sejak keluarga Saudi memainkan peran langsungnya atas kehancuran Khilafah dan pembentukan negara Israel. Kantor Kementerian Luar Negeri Inggris melakukan kontak-kontak dengan Ibnu Saud tahun 1851 untuk berhubungan dengan pihak-pihak yang dianggap pantas untuk menjadi penentang Khilafah yang beribukota di Istanbul. Keluarga Saudi pada saat itu adalah segerombolan bandit yang terlibat dalam percekcokan kesukuan, namun dengan uang dan senjata dari Inggris. Ibnu Saud mampu mengkonsolidasikan posisinya di wilayah-wilayah kunci di semenanjung Arab dan akhirnya di seluruh semenanjung itu. Ini terlihat pada perjanjian yang ditandatangani oleh Inggris tahun 1865. Ketika itu Inggris menginginkan sekutunya di wilayah itu untuk memberikan pijakan pada wilayah Kekhalifahan Usmaniah yang sedang sekarat. Sebagai imbalannya, Ibnu Saud menginginkan bantuan logistik dan militer Inggris untuk mengacaukan Kekhalifahan dari dalam.
Inggris memberikan Ibnu Saud sedikit subsidi yang dipakai untuk memperluas dan mempertahankan pasukan Wahabi. Pasukan ini adalah tulang punggung pasukan Ibnu Saud untuk melawan Khilafah. Ibnu Saud berusaha untuk memperoleh legitimasi dengan memakai gerakan Wahabi, pengikut Muhammad ibnu Wahab, yang berkeyakinan bahwa tanah Arab perlu dibersihkan dengan opini Islamnya. Ibnu Wahab menggunakan Wahabi untuk memberikan kredibilitas agama atas kebijakan pro-Inggrisnya. kaum Wahabi melihat kesempatan ini untuk melihat interpretasinya atas Islam agar menjadi mazhab yang dominan di wilayah itu.
Tahun 1910 keluarga al-Saud menjadi orang-orang yang lebih penting lagi bagi Inggris ketika mereka memberontak terhadap Kekhalifahan Usmani, dengan dukungan Inggris, dengan menyerang saudara sepupunya Ibnu Rashid yang mendukung Khilafah. Subsidi yang tadinya kecil menjadi bertambah dan sekomplotan penasihat dikirim untuk membantu gerakan Ibnu Saud.
Pemberontakan Arab (1916-1918) diawali oleh Syarif Hussein ibnu Ali dengan restu penuh Inggris. Tujuannya adalah untuk memisahkan semenanjung Arab dari Istanbul. Perjanjian ini diakhiri pada bulan Juni 1916 setelah dilakukan surat-menyurat dengan Komisi Tinggi Inggris Henry McMahon yang mampu meyakinkan Syarif Hussein akan imbalan yang diterimanya atas penghianatannya terhadap Kekhalifahan, yakni berupa tanah yang membentang dari Mesir dan Persia; dengan pengecualian penguasaan kerajaan di wilayah Kuwait, Aden, dan pesisir Syria. Pemerintah Inggris di Mesir langsung mengirim seorang opsir muda untuk bekerja bersama orang Arab. Orang itu adalah Kapten Timothy Edward Lawrence, atau yang dikenal dengan nama Lawrence dari Arab.
Setelah kekalahan Kekhalifahan Usmani tahun 1918 dan keruntuhan sepenuhnya tahun 1924, Inggris memberikan kontrol penuh atas negara-negara yang baru terbentuk, yakni Irak dan Trans-Jordan, kepada anak laki-laki Syarif Hussein yaitu Faisal dan Abdullah seperti yang sebelumnya dijanjikan. Keluarga al-Saud berhasil membawa seluruh Arab di bawah kontrolnya tahun 1930. Pandangan Inggris atas nasib Arab menyusul kekalahan Khilafah tercermin pada kata-kata Lord Crewe bahwa ia menginginkan, “Arab yang terpecah menjadi kerajaan-kerajaan di bawah mandat kami.” Untuk peran itu, keluarga Saudi menerimanya dengan senang hati.
Keluarga Saudi langsung bersekongkol dengan Inggris untuk menghancurkan Khilafah. Jika tidak terlalu buruk keluarga Saud juga akan langsung bersekongkol dengan Zionis untuk mendirikan Israel. Raja Abdullah 1 dari Trans-Jordan yang diciptakan Inggris mempelajari kemungkinan itu dengan David Ben Gurion (Perdana Menteri Israel yang pertama) di Istanbul tahun 1930-an. Abdullah menawarkan untuk menerima pendirian Israel. Sebagai imbalannya, dia akan menerima Jordania di bawah kontrol penduduk Arab di Palestina. Tahun 1946 Abdullah mengungkapkan minatnya untuk menguasai wilayah Arab di Palestina. Dia tidak berniat untuk menentang atau menghalangi pembagian Palestina dan pendirian negara Israel, seperti yang digambarkan oleh seorang sejarawan.
Saudaranya Raja Faisal dari Irak bahkan melebihi pengkhiatan Abdullah. Ketika itu, pada tahun 1919 Faisal menandatangani Perjanjian Faisal-Weizmann, dengan Dr. Chaim Weizmann, Presiden organisasi Zionis Dunia; dialah yang menerima dengan syarat Deklarasi Balfour berdasarkan janji yang dipenuhi oleh Inggris pada masa perang untuk kemerdekaan Arab.
Sejak tahun 1995 Saudi Arabia telah mengimpor $64.5 miliar dalam bentuk persenjataan, yang jauh melebihi pengimpor kedua terbesar, Taiwan, yang melakukan transaksi hanya sebesar $20.2 untuk persenjataan. Namun, tidak satu pun senjata-senjata itu yang digunakan untuk pertahanan bagi kaum Muslim atau di area konflik tempat kaum Muslim ditindas. Satu-satunya saat bagi Saudi ikut terlibat perang adalah ketika terjadi Perang Teluk. Saat itu, dia terlibat dalam mendukung koalisi terhadap Irak dan selama PD I. Pembatalan yang baru-baru ini dilakukan antara Saudi dan Inggris menunjukkan, bahwa keluarga Saudi tidak pernah berkeinginan untuk membela kepentingan kaum Muslim. Mereka hanya membeli persenjataan untuk memastikan berlanjutan industri persenjataan tuan-tuannya di Barat, sementara mereka tetap mengkhianati umat. [Riza Aulia; sumber www.khilafah.com]
Subscribe to:
Posts (Atom)