Tuesday, January 16, 2007

WAJAH KELAM SEKULERISME, KAPITALISME DAN DEMOKRASI


Oleh : Fadhli Yafas


Sekularisme adalah sistem etika yang berdiri diatas prinsip-prinsip moralitas alami dan bebas dari pengaruh agama dan supernaturalisme[1]. Kemunculan terma sekularisme (secularism) tidak dapat dipisahkan dari dua nama yaitu George Jacob Holyoake (lahir 1817, wafat 1906) seorang penganut agnostisisme dan Charles Bradlaugh (lahir 1833 wafat 1891) seorang penganut atheisme. Kedua-duanya pernah menjadi Presiden London Secular Society. Terma ini pertama kali dikenalkan sebagai sistem filosofis formal pada tahun 1846 di Inggris oleh Holyoake[2]. Saat menjadi Presiden organisasi ini, Bradlaugh memperluas organisasi ini menjadi National Secular Society pada tahun 1866. Dalam English Secularism (hal.60) disebutkan bahwa sekularisme merujuk pada kepada sebuah bentuk opini yang menitikberatkan pada pertanyaan-pertanyaan yang dapat diuji melalui pengalaman-pengalaman dalam hidup ini[3]. Lebih lanjut disebutkan bahwa “Secularism is a code of duty pertaining (berkenaan) to this life,

founded on considerations (pertimbangan) purely human, and intended (diharapkan) mainly for those who find theology indefinite or inadequate, unreliable or unbelievable”. Dan kemudian dilanjutkan, tiga prinsip penting dari sekularisme adalah :

a. Peningkatan level kehidupan berada dalam konteks kematerian

b. Ilmu Pengetahuan menyediakan pemeliharaan bagi manusia

c. Adalah baik untuk melakukan kebaikan. Kebaikan pada hidup saat ini merupakan hal yang baik, tidak peduli apakah ada kebaikan lain atau tidak, dan adalah baik untuk mencari kebaikan.(English Secularism, p.35)[4].

Walaupun baru ”resmi” menjadi sebuah terma pada abad 19, aura sekularisme sudah bisa dirasakan sejak abad 15-16, ketika mulai meningkatnya gerakan humanisme seiring dengan masuknya Eropa dalam masa renaissance yang pertama kali berawal di Italia.

Gerakan humanisme berpangkal pada sebuah upaya mengubah orientasi kehiudpan masyarakat Eropa kala itu, dari theosentris menjadi antroposentris. Langkah penting yang diambil kaum humanis Italia adalah meninggalkan tradisi pengetahuan abad pertengahan yang selalu mengaitkan berbagai peristiwa sejarah dengan sebab-sebab supranatural. Kaum humanis berpendapat bahwa sejarah bukanlah bersifat divine providence melainkan sebagai kegiatan kemanusiaan yang sepenuhnya diinspirasi oleh dorongan-dorongan manusiawi[5]. Zaman renaissance juga ditandai dengan kehancuran moral. Para penguasa negara kejam. Di gereja, uskup dan kepausan terjadi korupsi yang akut dan tidak ada hukum yang tegas bagi mereka. Pada masa renaissance ini Italia dihantui oleh adanya serangan dari pihak asing, yaitu Turki Ottoman.[6]

Semangat antroposentris ini semakin menguat pada abad-abad 17-18 Ciri-ciri dari pemikiran pada abad tersebut diantaranya pentahtaan akal dan kemasukakalan, kegigihan melawan kekuasaan gereja, munculnya Deism[7] dan semakin menguatnya liberalisme. Ciri-ciri ini sangat sesuai dengan semangat sekularisme yang memarginalkan agama dan Tuhan, berfokus pada kebenaran yang empiris dan tidak menerima hal-hal yang bersifat supranatural dan keagamaan. Maka sekularisme sebagai sebuah sistem filosofis kemudian dapat kita pahami disusun dari berbagai ide-ide filsafat Deistic dan liberalisme yang berkembang pasca Renaissance—seperti empirisme[8], skeptisme[9], hedonisme[10] ,dsb—menjadi sebuah sistematika filosofis baru yang dilabeli Sekularisme. Dalam pengembangan dan penyebaran ide sekularisme ini Holyoake dan Bradlaugh banyak melakukan debat publik, tulisan-tulisan dan kuliah-kuliah.

Saat ini sekulerisme telah diterima baik oleh masyarakat Barat. Bahkan semua negara Barat telah menjadikan sekulerisme sebagai asas negara. Hal ini tidak mengherankan karena para peletak pemikiran politik Barat banyak yang berlatar Deist diantaranya para penyusun Encyclopedia[11] di Perancis seperti J.J.Rosseau, Voltaire dan dari Amerika Thomas Jefferson, Benjamin Franklin dan Thomas Paine[12].

Dan Barat begitu gigih untuk mempertahankan identitas ini. Perancis begitu gigih melarang pemakaian kerudung bagi muslimah ditempat publik karena dianggap mencederai identitas sekulerisme yang diadopsi negara. Begitu juga Amerika Serikat, pengadilan di salah satu negara bagiannya menolak tuntutan orang tua murid yang menginginkan teori Inteligent Design diajarkan di sekolah-sekolah sebagaimana halnya teori evolusi. Namun pengadilan menolak teori yang mengajarkan bahwa alam semesta ini di desain oleh sebuah kecerdasan yang bersifat metafisis, dengan alasan teori ini tidak memiliki bukti ilmiah. Dan bahkan dipenghujung tahun 2005, demi alasan sekulerisme ini, sebuah jaringan ritel besar Amerika, Walt Mart, telah mengganti ucapan Merry Christmas (selamat natal) menjadi Happy Holiday (selamat berlibur). Dan berkat sekulerisme juga—yang salah satu akar idenya adalah liberalisme—Elton John resmi menikah dengan pasangan gay-nya setelah Pemerintah Inggris mensahkan undang-undang yang melegalkan pernikahan pasangan homoseksual.



Sekulerisme : Sebagai Asas dan Hubungannya Dengan Konsep-Konsep Lain


Sebagai sebuah sistem filosofis—apalagi kemudian dijadikan sebagai asas negara—maka Sekularisme berkompeten untuk menjadi platform bagi sistem-sistem kehidupan praktis lainnya dalam bidang politik, ekonomi, dan bahkan agama.



a. Politik

Sistem politik yang berkembang di Barat adalah Demokrasi. Walau telah berkembang semenjak zaman Yunani kuno, demokrasi yang dipakai adalah pemaknaan modern terhadap Demokrasi yaitu pembicaraan mengenai otoritas politik, dimana otoritas tertinggi dalam urusan politik sepenuhnya hak rakyat[13].Otoritas ini bukan hanya pada tingkatan kekuasaan pemerintahan tetapi juga kekuasaan untuk membentuk hukum sendiri, sebagaimana yang disebutkan John Locke : Undang-undang harus ditegakkan dengan cara yang cocok dan sesuai dengan kodrat manusia, sesuai dengan keyakinan dan persetujuan banyak orang[14]. Sebelumnya, pembicaraan mengenai Demokrasi di Eropa sendiri telah jamak di kalangan filosof di abad pencerahan eropa (16-18), sebagaimana mereka juga telah membincangkan mengenai hak asasi manusia, sebagai sebuah hal ideal.

Kesesuaian sistem politik ini untuk tumbuh dalam atmosfer sekularisme terkait dengan filosofi yang melandasi demokrasi. Bertland Russel menyebutkan secara alami filosofi yang dekat dengan demokrasi adalah empirisme[15]. Keeratan hubungan dengan empirisme dapat dilihat juga dari apa yang disebut sebagai Faith in Democracy (keyakinan dalam demokrasi) yaitu keyakinan demokrasi bukan dibentuk dari kepercayaan akan kebaikan alami manusia tapi dibentuk dari keyakinan bahwa kebanyakan manusia dapat belajar dari pengalaman[16]. Dan dalam pengembangannya, para kaum utilitarianisme Inggris dan pragmatisme Amerika berada di garis terdepan, membawa demokrasi ketengah-tengah dinamika sosial dengan mengadopsi pendekatan empirisme dari Hobbes dan Hume[17].

Bagaimana hubungannya dengan agama? Disebutkan bahwa pembusukan agama memberikan kontribusi bagi kemenangan demokrasi[18]. Hal ini tidaklah mengherankan karena konsep-konsep yang kemudian dipakai dalam demokrasi dihasilkan oleh para pemikir yang beraliran deist dan liberalisme seperti Rosseau, Locke, Hume, Hobbes, Voltaire, Jefferson, Mostesquieu dan Paine, bahkan David Hume adalah seorang atheis.

Dalam perkembangannya ada beberapa prinsip yang dianut dalam demokrasi[19]:

1. Prinsip kebebasan individu (individual freedom)

2. Kontrak sosial

3. Masyarakat pasar bebas (free market society)

4. Pengakuan terhadap realitas pluralistik sosio-kultural dan politik masyarakat



b. Ekonomi

Selain sebagai salah satu dari backbone sekularisme, ide liberalisme juga berperan dalam melahirkan kegiatan ekonomi yang memberi kebebasan dalam perilaku ekonomi manusia atau yang kemudian dikenal sebagai ekonomi liberal. Ide ini dibentuk pada abad 18 oleh kelompok pemikir dari Perancis yang merupakan murid dari Francois Quesnay, salah seorang kontributor proyek Encyclopedia Perancis, yang dikenal sebagai Physiocrats[20]. Mereka mempercayai hukum-hukum alam yang dibangun oleh ilmuwan seperti Isaac Newton dan yang lainnya dapat diaplikasikan untuk menjelaskan ekonomi, sosial dan politik[21], dan agar ini bisa berlangsung mereka percaya bahwa sangatlah penting untuk menghilangkan segala hambatan terhadap perilaku manusia. Mereka menginginkan pengurangan pengaturan negara terhadap individu dan kepemilikannya, pengurangan administrasi peradilan dan mengurangi peran negara dalam pekerjaan-pekerjaan yang terkait dengan urusan publik. Filosofi ini kemudian dikenal sebagai

doktrin laissez faire[22]. Filosofi inilah nantinya yang menjadi fondasi bagi pengembangan ide kapitalisme yang dipelopori oleh Adam Smith.

Abad-abad revolusi industri di Eropa (abad 18-19), semakin membuka jalan bagi doktrin laissez faire menancapkan pengaruhnya, dan kemudian doktrin ini bukan saja mempengaruhi pelaku ekonomi, tapi seluruh daya energi masyarakat Eropa tersedot kepada kegiatan ekonomi yang berorientasi untuk membebaskan individu untuk mengakumulasi kapital sebesar-besarnya ini. Disinilah kemudian muncul kritik terhadap doktrin ini. Salah satunya dari Karl Marx. Bagi Marx praktek ekonomi laissez faire telah menghasilkan pengkelasan masyarakat dengan dominasi kelas borjuis (kelas elit pelaku ekonomi) atas proletar (kelas pekerja) yang tersisih. Marx jugalah yang kemudian memberikan nama atas praktek laissez faire sebagai kapitalisme[23]. Selain kritik, sistem ini juga memiliki pendukung dari kalangan pemikir, sistem ini diperkuat dengan ide utilitarianisme[24] yang dipelopori Jeremy Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1873). Ide dari utilitarianisme yang menjadi prinsip dalam

masyarakat sekularisme Barat hingga saat ini terkait dengan kebebasan individu dan tolok ukur perbuatan. Terkait dengan kebebasan individu, Mill menyebutkan pembatasan sipil terhadap kebebasan individu hanya diperbolehkan bila hal itu sangat mutlak perlu untuk menghindari kerugian pihak lain[25]. Sementara terkait dengan tolok ukur perbuatan, utilitarianisme menetapkan yang menjadi tolok ukur perbuatan adalah kegunaan atau kemanfaatan (al mashlahah)



c. Agama

Sejak awal pencetusannya, sekularisme dan ide-ide yang membangunnya memiliki satu kejelasan tujuan yaitu mencegah dijadikannya agama dan Tuhan sebagai rujukan (reference) dalam masalah moral, sosial, ekonomi dan politik.Bahkan disebutkan bahwa sekularisme difungsikan sebagai ”a tool of counter religious ideologies”[26], sebagai perangkat untuk menangkal ideologi-ideologi yang berasal dari agama.

Agama (Kristen), dengan segala kisah pahit yang pernah dialami orang-orang Eropa terhadapnya, hanya berlaku sebagai fakta sosio-kultural masyarakat, bukan lagi sumber nilai-nilai, bahkan untuk sekedar nilai-nilai etika dan moral. Bahkan yang terjadi kemudian di Eropa, agama bukanlah hal penting lagi bagi kebanyakan orang. Pembiasaan untuk mengasingkan agama telah membuat tidak sedikit orang Eropa menjadi tidak peduli lagi apakah Tuhan itu ada atau tidak, bahkan tidak sedikit yang atheis. Apakah ini konsekwensi dari sekularisme? Bisa jadi, Bradlaugh pernah menyebutkan ”Although at present it may be perfectly true that all men who are Secularists are not Atheists, I put it that in my opinion the logical consequence of the acceptance of Secularism must be that the man gets to Atheism if he has brains enough to comprehend ”[27], intinya, jika seseorang betul-betul mampu memahami sekularisme maka menjadi seorang atheis adalah sebuah konsekwensi yang logis. Tidak

mengherankan memang, beberapa orang pemikir utama yang idenya terpakai untuk terbentuknya sekularisme adalah penganut atheis seperti David Hume dan Jeremy Bentham.

Namun tidak semua pemikir sekular yang berpendapat demikian, beberapa orang tetap meyakini adanya Tuhan, tetapi tidak meyakini akan aturannya (the faith without religion). Bahkan dalam konteks utilitarianis dan pragmatis, Niccolo Machiavelli[28] menyebutkan agama itu bermanfaat. Ia menyarankan kepada penguasa agar tetap mempertahankan dan memelihara ritus-ritus ibadah keagamaan dan senantiasa melaksanakan sebaik-baiknya. Dengan cara itulah republik akan terbebas dari kebobrokan Pemikiran ini terinspirasi dari kondisi agama pada zaman Romawi kuno. Dalam bukunya The Discourse, Machiavelli menyebutkan Agama Romawi kuno berhasil mempersatukan negara, membina loyalitas, kepatuhan dan ketundukan rakyat terhadap otoritas penguasa Romawi[29]. Hanya saja kondisi ini tentu membutuhkan suatu prasyarat yaitu agama masih menjadi hal yang penting bagi masyarakat. Dalam masyarakat Barat saat ini, agama bukanlah hal yang terlalu penting lagi. Banyak hal yang telah menyimpang dari

ajaran Kristen—agama yang menjadi identitas Barat—yang dilakukan dan disepakati orang-orang Barat. Mulai dari riba sampai homoseksualitas. Semuanya merupakan hal-hal yang dulunya dilarang Kristen, tapi kemudian mereka sepakati untuk menjadi hal yang dibolehkan. Maka, jika anda saat ini mengetahui apa yang tidak boleh dalam Kristen, bisa jadi suatu saat kedepan, hal itu telah menjadi hal yang diperbolehkan berdasarkan kehendak mayoritas.



Sekularisme : Sebagai asas dari ideologi Kapitalisme

Walau kapitalisme berawal dari penamaan terhadap suatu aktivitas ekonomi (yaitu laissez faire), tapi pada perkembangan selanjutnya Kapitalisme berkembang menjadi suatu sistem sosial yang menyeluruh, lebih dari sekedar suatu tipe tertentu dalam perekonomian[30]. Periode pembentukkannya sebagai sebuah tata nilai pada abad 18 di Inggris, seiring dengan semakin giatnya perindustrian di negara tersebut.

Sebagai sebuah sistem sosial, kapitalisme merupakan kompilasi ide-ide yang berkembang di masyarakat Barat setelah Renaissance. Ia memuat empirisme, liberalisme, utilitarianisme, laissez faire, pragmatisme dan demokrasi. Semua ide tersebut berakar pada suatu ketetapan keyakinan bahwa agama dan Tuhan tidak boleh melakukan intervensi dalam semua matra kehidupan (sekularisme). Bahkan lebih dari sekedar sebuah sistem sosial, kapitalisme telah menjadi ideologi di tengah-tengah masyarakat barat. Kapitalisme telah menjadi semacam setter dalam kehidupan masyarakat barat. Ini berarti ”bau” kapitalisme tidak saja bisa diendus dalam kegiatan ekonomi tapi juga dalam politik, sosial, pertahanan dan hal-hal lain yang terkait dengan sistem pengaturan kehidupan bernegara. Yang disajikan kapitalisme bukan hanya berbagai konsep dan ide pemecahan permasalahan kehidupan saja—yang melingkupi ekonomi, politik, sosial, budaya—tetapi juga cara agar bagaimana konsep dan ide tersebut
bisa dijaga dan dipertahankan, serta disebarkan keseluruh dunia.

Anak Kembar Kapitalisme : Demokrasi dan Ekonomi Laissez Faire

Banyak—bahkan terlalu banyak—ketetapan dan keputusan politik di negara-negara Barat yang ditentukan oleh kepentingan ”pemegang kapital” sejak awal-awal penguatan kapitalisme—sekitar abad 18—hingga sekarang di abad 21. Saat Amerika merampas wilayah Mexico (California, Utah, Texas, Nevada, Arizona dan New Mexico) pada tahun 1848 alasannya sama dengan ketika menjajah Irak pada 2004 yaitu untuk perluasan Demokrasi. Tapi sejatinya keputusan ini lebih karena pengaruh ”kapital”. Kalau tahun 1848 yang diuntungkan adalah para juragan tambang emas (karena didaerah tersebut pada saat itu kaya akan emas), maka pada 2004 yang diuntungkan adalah perusahaan-perusahaan raksasa semacam General Dynamics, Halliburton, Lockhead Martin, Boeing dan beberapa perusahaan besar lainnya. Sejak abad-abad awal pengadopsiaannya imperealisme, demokratisasi, pengerukan sumber daya dan perluasan pasar merupakan motif-motif yang secara konsisten dijalankan oleh negara-negara
kapitalisme.

”Saya sepenuhnya yakin, bila wilayah diluar Amerika saat ini diperlukan untuk pertahanan atau penting bagi pertumbuhan bisnis kita, kita tidak boleh membuang waktu untuk menguasainya” (Senator Orville Pratt dari Connecticut, 1894)[31]

Saat Presiden Woodrow Wilson memutuskan turut berperang dalam PD 1, ia memberitahu rakyat Amerika bahwa ia mengirim pasukan ke Eropa demi mengamankan dunia demi demokrasi. Tapi motifnya ternyata bukan hanya itu. Dubes Amerika untuk Inggris W.H. Page pada tahun 1917 menyebutkan keterlibatan AS tersebut merupakan satu-satunya cara menjaga status dagang istimewa saat itu[32]

Atau seperti yang disampaikan Warren Crishtoper (Menlu AS saat Presiden Clinton) ketika bicara mengenai usulan-usulan Amerika untuk membantu demokrasi di Rusia: ”Bahwa melalui program pertukaran pemuda, kaum muda Rusia dapat dibawa ke Barat guna melihat cara kerja demokrasi dan pasar”[33]

Kenapa negara-negara kapitalisme selalu mengatas namakan demokrasi? Hal ini sangat terkait dengan perkembangan kedua konsep ini. Menurut C.B. Macpherson—penulis The Political Theory of Possesive Individualism, Hobbes to Locke—Demokrasi liberal hanya akan tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang tingkat perkembangan kapitalismenya relatif tinggi[34]. Sebaliknya Jean Baechler—seorang penulis dari UNESCO—menyebutkan bahwa perkembangan ekonomi kapitalisme adalah salah satu konsekwensi demokratisasi [35]. Bagaimana hubungan ini bisa terbentuk? Disinilah kita harus kembalikan ingatan kita kepada asal muasal demokrasi, sekularisme dan kapitalisme. Ketiga hal ini merupakan hal yang saling kait-mengkait. Sekularisme memberika landasan untuk membuang pengaruh agama dari politik dan pemerintahan. Ketika pengaruh agama (dan Tuhan) sudah nihil, maka ini akan melempangkan jalan untuk melaksanakan sistem demokrasi. Dengan demokrasi, yang menjadi reference bukan lagi nilai-nilai
dan konsep-konsep agama, tapi kehendak-kehendak manusia, dengan tolok ukur adalah nilai-nilai utilitarianis, empiris dan kebebasan (liberalism). Berikutnya, ketiadaan nilai-nilai agama dan penentuan peraturan-peraturan oleh manusia (dalam hal ini wakil rakyat) akan memberikan ruang yang sangat leluasa bagi para pemodal untuk melakukan berbagai manuver agar kepentingan mereka dapat masuk. Perlu diingat (sekali lagi) dalam demokrasi :
1. Tolok ukur bukan halal-haram, tapi bermanfaat atau tidak
2. Peraturan, ketentuan, hukum dirumuskan oleh lembaga perwakilan, yang berisi orang-orang yang sepanjang sejarah demokrasi—sejak abad pembentukan demokrasi modern abad 18 sampai sekarang—selalu gampang dipengaruhi oleh jabatan, uang dan seks.
Dan terbukti cara ini cukup ampuh selama lebih dari 2-3 abad. Berkat cara itulah sampai saat ini berbagai sumberdaya alam dan berbagai aset publik berhasil dikuasai oleh negara-negara kapitalisme. Dan yang mengherankan adalah banyak pegiat pergerakan Islam yang ikut-ikutan dalam konsep nirsyara’ ini. Entah apa yang mereka harapkan.
Secara ringkas gambaran ideologi kapitalisme dapat dijabarkan sebagai berikut:
Nama ideologi/sistem : Kapitalisme
Asas : Sekularisme
Konsep pengaturan hidup (major sectors)
Politik : Demokrasi
Ekonomi : Laissez faire
Sosial Budaya : Individualisme dan liberalisme
Metode penjagaan dan penyebaran nilai-nilai
a. Lewat jalur politik : penyeruan, penekanan, aneksasi, intervensi kebijakan, penjajahan
b. Lewat jalur ekonomi : Pemberian bantuan, pinjaman/hutang
c. Lewat jalur sosio kultural : Globalisasi

Sekularisme dan Penyebaran Demokrasi : Singularisasi Peradaban Menuju Keseragaman Identitas Politik Dunia

Akhir dari sejarah, menurut Francis Fukuyama—penulis The End of History—adalah dunia yang telah seragam, dimana dunia disatukan oleh satu identitas tunggal yaitu Demokrasi. Demokrasi, bagi banyak orang adalah sistem idaman, identik dengan kebebasan, lepas dari diktatorian, penghargaan terhadap HAM dan penghargaan yang tinggi terhadap aspirasi rakyat. Setidaknya demikianlah promosinya. Dunia pada awalnya tidak terlalu mengenal sistem ini. Induksi awal demokrasi di dunia Barat sendiri bukanlah atas kesadaran bangsa-bangsa tersebut, tapi lebih karena intervensi dan bahkan paksaan bersenjata oleh Inggris dan Amerika. Cara yang sama juga dipakai negara-negara sekular utama tersebut ke belahan dunia yang lain. Menurut Paul Treanor, sebagian besar rezim demokratis di Eropa diperkuat dari luar—dengan invasi, pendudukan atau dengan bantuan ekonomi, dan demokrasi di Eropa, masih menurut Treanor, berasal dari laras senjata, atau dari kekuatan Dollar tetapi jarang dari
rakyat[36]. Beberapa negera tersebut:

Albania
Demokratisasi dibantu oleh pasukan Italia, setelah hancurnya rezim komunis pada tahun 1990/91

Belanda
Pemerintahan militer sementara dibentuk oleh invasi Amerika Serikat, Inggris dan Kanada pada tahun 1944, dan membangun kembali demokrasi setelah tekanan AS pada tahin 1945

Portugal
Demokrasi dibangun oleh kudeta militer pada tahun 1975. Demokrasi dibangun kembali oleh empat kekuatan penjajah sekutu antara tahun 1945 hingga 1955

Belgia
Demokrasi dibangun kembali oleh pasukan Amerika Serikat dan Inggris pada tahun 1944

Iceland
Republik demokratis didirikan dibawah pendudukan militer Amerika Serikat pada tahun 1944

Italia
Demokratisasi dibangun kembali oleh invasi kekuatan-kekuatan Amerika Serikat dan Inggris pada tahun 1944

Perancis
Demokrasi dibangun kembali pada tahun 1944 oleh invasi AS, Inggris dan kekuatan pendudukan Perancis

Jerman (Barat)
Republik Federal Jerman didirikan oleh kekuatan penjajah AS, Inggris dan Perancis.

Rumania
Demokratisasi dilakukan dengan bantuan asing setelah pecahnya Uni Sovyet

Negara-negara lain seperti Turki, Georgia, Azerbaijan, Belarusia, Slovakia, Kazakhstan, Kosovo, Latvia, Lithuania, juga memiliki pola yang sama, demokrasi dibangun bukan atas sebuah keinginan sadar dari rakyat setempat, tapi merupakan sebuah pengkondisian yang dilakukan oleh pihak asing—terutama Amerika Serikat dan Inggris. Dari sebuah perspektif sejarah yang panjang inilah kenyataan demokrasi : sebuah aliansi negara-negara demokratis yang menyusun penaklukan dunia dengan berhasil[37].

Islam vis a vis Sekularisme

Masuknya Sekularisme ke Dunia Islam
Periode masuknya sekularisme ke dunia Islam seiring dengan dimulainya era penjajahan bangsa Eropa modern ke berbagai belahan dunia, termasuk negeri-negeri Islam. Konfrontasi dengan Islam sendiri telah dimulai bangsa Eropa pada abad 11, ketika mereka memaklumkan perang kepada kaum muslimin, perang yang kemudian dikenal dengan perang salib. Namun dalam perang yang berlangsung hampir 2 abad ini, bangsa Eropa mengalami kekalahan, dan mereka kembali terusir dari kota Al Quds yang sempat dikuasai.
Setelah masa renaissance, bangsa Eropa kembali mencoba menguasai wilayah Islam. Namun berbeda dengan motif penyerangan mereka pada saat perang salib, penyerangan yang mereka lakukan pada masa ini sama sekali bukan lagi atas motif keagamaan. Menurut DR. Muhammad Imarah tujuan penyerbuan imperealisme barat tersebut adalah upaya penjajahan akal, mengganti pola pikir dan identitas bersamaan dengan pendudukan negeri, eksploitasi sumber alam dan pembudakan manusia[38]. Era kebangkitan yang ditandai dengan menguatnya sekularisme dan kapitalisme telah membuat motif penjajahan Eropa berbeda dengan motif mereka pada masa-masa sebelum abad 15.
Serbuan pertama Imperialis Eropa ke jantung dunia Islam dilakukan pada tahun 1798 ke Mesir yang dilakukan oleh Perancis dibawah pimpinan Napoleon Bonaparte. Dan dalam penyerbuan ini sekularisme adalah salah satu misi yang dibawa. Sejak penyerbuan itu mulai dikenalkan istilah Lailque dalam kamus Perancis-Arab yang terbit tahun 1828. Dalam kamus tersebut Lailque diterjemahkan kedalam bahasa Arab dengan ’ilmani[39], dan hingga sekarang ’ilmani/yah merupakan padanan kata dari sekularisme[40]. Serangan Perancis ini bisa dikatakan gagal, karena akhirnya mereka dapat diusir dari Mesir.
Walau gagal, upaya menyerang kaum muslimin oleh bangsa Eropa bukan berarti berakhir. Seiring dengan upaya bangsa Eropa untuk menguasai wilayah-wilayah negara Islam Khilafah Utsmani, kondisi internal kaum muslimin mengalami ketidakstabilan. Diberbagai wilayah perwalian, para penguasanya berupaya untuk melepaskan diri dari daulah Islamiyyah. Para penguasa inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh negara-negara Eropa. Inggris memasukkan pengaruhnya kepada keluarga Saud—yang sekarang secara turun temurun menjadi penguasa Saudi Arabia—untuk menentang kekhilafahan yang syah. Perancis juga ikut dalam upaya ini. Mereka memanfaatkan agennya Gubernur Mesir Muhammad Ali untuk memberontak kepada kekhilafahan pada tahun 1831.
Yang patut dicatat pada abad 19 ini adalah, selain dimulainya upaya kolonialisme oleh bangsa Barat terhadap dunia Islam, kekhilafahan Utsmani mengalami proses kemunduran yang berkelanjutan. Ketika bangsa-bangsa Eropa semakin menemukan fokus visi ideologis mereka, negara khilafah Utsmani justru kehilangan visi ideologis tersebut. Ketika Eropa memantapkan diri mengadopsi sekularisme sebagai asas kehidupan dan kapitalisme sebagai ideologi, kaum muslimin justru perlahan-lahan mulai mengabaikan ideologi Islam yang telah membuat mereka berjaya dan menguasai dunia. Pada abad ini tercatat kaum muslimin telah mulai mengadopsi UU dari negara Barat. Di Daulah Khilafah sendiri dengan berbagai intrik—agen negara-negara Barat—akhirnya mengadopsi UU dari Swiss
Sebagaimana kebanyakan kaum muslimin dewasa ini, kaum muslimin pada abad tersebut secara perlahan mulai menjadikan Barat sebagai tempat mencari petunjuk. Para penguasa muslim dari Utsmaniyyah, Mesir dan Iran berpaling ke Barat untuk mengembangkan program-program dengan Barat sebagai patronnya. Bersamaan dengan itu masuklah banyak misi dari Barat yang mengatasnamakan diri sebagai misi pendidikan dan ilmiah. Rasa inferior yang ada dalam diri kaum muslimin membuat mereka membiarkan misi ini mengaduk-aduk kaum muslimin.
Dari upaya ini lahirlah generasi elit yang telah terbaratkan. Mereka berada dalam inner circle kekuasaan. Dengan menggunakan berbagai pengabsahan yang berbasis argumen-argumen Islam mereka mulai melakukan proses perubahan dalam daulah Islam, perubahan yang menyiratkan penerimaan secara bertahap terhadap pandangan sekular yang membatasi agama pada kehidupan pribadi saja sambil menoleh Barat untuk mencari model pembangunan dalam kehidupan masyarakat [41]. Hasilnya adalah sederetan reformasi militer, administrasi, pendidikan, ekonomi, hukum dan sosial yang sangat dipengaruhi dan diilhami Barat, untuk ”memodernkan” masyarakat Islam. Basis Islam tradisional dan legitimasi masyarakat Muslim perlahan-lahan berubah sejalan dengan makin disekularkannya ideologi, hukum dan lembaga-lembaga negara yang berutang kepada model-model yang didatangkan dari Barat[42].
Salah seorang dari kalangan elit dari mereka adalah Rasyid Pasha. Mantan duta besar daulah utsmani menjabat Menteri Luar Negeri pada saat pemerintahan Khalifah Abdul Madjid I. Tidak lama setelah menjabat, Rasyid Pasha mulai mengkampanyekan sistem pemerintahan parlementer. Rasyid Pasha jugalah tokoh dibalik penyusunan dokumen konstitusi yang belakangan dikenal dengan dokumen Hemayun, suatu dokumen yang penuh dengan kumpulan hukum Eropa[43]. Contoh lainnya adalah Abdullah Cevdet, seorang tokoh Gerakan Turki Muda, ia pernah mengatakan :”Yang ada hanya satu peradaban, dan itu adalah peradaban Eropa, karena itu, kita harus meminjam peradaban Barat, baik bunga mawarnya maupun durinya sekaligus”[44].
Inilah sejarah persentuhan sekularisme dengan Islam, dimulai pada abad 18 dan berpuncak kepada abad 20, disaat Kemal Pasha Attaturk resmi mendirikan Republik Turki, setelah sebelumnya Ia mengkudeta kekhilafahan dengan pertolongan Inggris. Namun apakah betul Turki maju sebagai suatu peradaban setelah menjadi negara sekular? Yang terjadi sebaliknya. Turki saat ini adalah salah negara dengan tingkat pengangguran tertinggi, pertumbuhan ekonominya seret, dan selalu merengek-rengek untuk dijadikan sebagai anggota Uni Eropa, suatu permintaan yang sulit dikabulkan oleh negara-negara Eropa yang masih memendam dendam pada kaum muslimin. Hina sekali memang.

Posisi Sekularisme Dalam Timbangan Argumen Islam

Sekularisme telah kadung menjadi identitas banyak negeri Islam, walaupun tidak dinyatakan secara terang-terangan. Namun dari penerapan berbagai prinsip dalam sekularisme sesungguhnya telah menampakkan secara terbuka bahwa sekularisme telah diadopsi secara resmi. Beberapa prinsip yang diterapkan tersebut:
1. Penerapan pemisahan kekuasaan (trias politica)
2. Menjadikan parlemen sebagai pembuat hukum dan undang-undang sebagai wujud dari kedaulatan rakyat.
3. Tidak menjadikan agama sebagai rujukan dalam pembuatan peraturan dan perundangan.
Padahal mestinya sekularisme tidak dapat diadopsi oleh kaum muslimin, karena terkait dengan problem-problem prinsipil yang dimiliki oleh sekularisme ketika dihadapkan dengan Islam.

a. Problem ide mendasar sekularisme

Sebagaimana yang telah dibahas, sekularisme didasarkan pada ide deisme, yang tidak menolak keberadaan Tuhan, tapi menolak kehadiran aturan-aturan yang berasal dari Tuhan, karena bagi paham ini, Tuhan, setelah selesai menciptakan seluruh alam ini, membiarkan alam dan segala isinya berjalan tanpa mengintervensi. Hal ini bertentangan secara diametral dengan Islam. Dalam Islam diyakini bahwa Allah, Tuhan semesta alam, selain menciptakan juga mengatur alam ini, memberikan petunjuk dan menurunkan hukum-hukum terhadap ciptaanNya tersebut.

”Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, Kemudian Dia bersemayam di atas arsy untuk mengatur segala urusan. Tiada seorangpun yang akan memberi syafa’at kecuali sesudah ada izinNya. (Dzat) demikian itulah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia. Apakah kamu tidak mengambil pelajaran?” (Yunus : 3)

”Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah, Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”. (Al-A’raaf : 54)

”Berkata Fir-aun: Maka siapakah Tuhanmu berdua, hai Musa? Musa berkata :”Tuhan kami ialah Tuhan yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya kemudian memberinya petunjuk”.(Thaahaa: 49-50)

b. Problem Empirisme dalam sekularisme

Empirisme merupakan ide pembentuk sekularisme berikutnya. Empirisme menekankan kepada konsep bahwa keyakinan dan pengetahuan hanya didapat melalui pengalaman dan hal-hal yang kita alami, sementara hal-hal yang sifatnya yang tidak kita alami tidak bisa diterima. Ide ini memiliki konsekwensi menolak segala pengetahuan yang bersifat ghaib, seperti malaikat, surga, neraka, hari kiamat, bahkan Tuhan!

”Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya Yang tidak nampak oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar” (Al-Mulk : 12)

”....yaitu surga Adn yang telah dijanjikan oleh Tuhan Yang Maha Pemurah kepada hamba-hamba-Nya, sekalipun (surga itu) tidak nampak. Sesungguhnya janji Allah itu pasti akan ditepati.” (Maryam : 61)

c. Problem Kedaulatan manusia

Humanisme, yang menjadi asal usul dari segala ide yang berkembang di Eropa modern memberikan landasan bagi sekularisme untuk bersikap bahwa manusialah yang berdaulat untuk membuat hukum bagi diri mereka sendiri. Hal ini dimanifestasikan dalam sistem politik mereka yaitu demokrasi. Hal ini bertentangan dengan konsep Islam

“Barangsiapa yang tidak memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Maa'idah: 44).

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah untuk mengingkari thaghut itu…” (An-Nisaa`: 60).

d. Sekularisme Bertentangan Dengan Institusi Negara Resmi dalam Islam : Khilafah

Sekularisme jika diyakini dan diterapkan, akan dapat menghancurkan konsep Islam yang agung, yaitu Khilafah. Jadi sekularisme bertentangan dengan Khilafah. Sebab sekularisme melahirkan pemisahan agama dari politik dan negara. Ujungnya, agama hanya mengatur secuil aspek kehidupan, dan tidak mengatur segala aspek kehidupan. Padahal Islam mewajibkan penerapan Syariat Islam pada seluruh aspek kehidupan, seperti aspek pemerintahan, ekonomi, hubungan internasional, muamalah dalam negeri, dan peradilan. Tak ada pemisahan agama dari kehidupan dan negara dalam Islam. Karenanya wajarlah bila dalam Islam ada kewajiban mendirikan negara Khilafah Islamiyah. Sabda Rasulullah SAW:

“...dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah.” [HR. Muslim]

Dari dalil yang seperti inilah, para imam mewajibkan eksistensi Khilafah. Abdurrahman Al Jaziri telah berkata:

“Para imam (Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, dan Ahmad) –rahimahumulah— telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu, dan bahwa tidak boleh tidak kaum muslimin harus mempunyai seorang Imam (Khalifah)...”

Maka, sekularisme jelas bertentangan dengan Khilafah. Siapa saja yang menganut sekularisme, pasti akan bersemangat untuk menghancurkan Khilafah. Jika sekularisme ini dianut oleh orang Islam, maka berarti dia telah memakai cara pandang musuh yang akan menyesatkannya. Inilah bunuh diri ideologis paling mengerikan yang banyak menimpa umat Islam sekarang. Padahal, Rasulullah SAW sebenarnya telah mewanti-wanti agar tidak terjadi pemisahan kekuasaan dari Islam, atau keruntuhan Khilafah itu sendiri. Sabda Rasulullah :

“Ingatlah! Sesungguhnya Al Kitab (al-Qur`an) dan kekuasaan akan berpisah. Maka (jika hal itu terjadi) janganlah kalian berpisah dengan al Qur`an!” [HR. Ath Thabrani].

Sabda Rasulullah SAW:
“Sungguh akan terurai simpul-simpul Islam satu demi satu. Maka setiap kali satu simpul terurai, orang-orang akan bergelantungan dengan simpul yang berikutnya (yang tersisa). Simpul yang pertama kali terurai adalah pemerintahan/kekuasaan. Sedang yang paling akhir adalah shalat.” [HR. Ahmad, Ibnu Hibban, dan Al Hakim].

Sekularisme dan Kerusakan Akibat Dominasinya

Usaha bangsa Eropa untuk menguasai wilayah-wilayah kaum muslimin baru terealisir setelah Perang Dunia 1. Perancis, Inggris, Italia dan Rusia mulai menduduki wilayah-wilayah kaum muslimin. Hingga tahun 1920 hanya empat wilayah kaum muslimin yang masih tetap medeka dari berbagai bentuk pemerintahan non-muslim yaitu Turki, Arab Saudi, Iran dan Afghanistan[45], walaupun memang pemerintahan-pemerintahan tersebut—dengan segala model koneksinya—tidak lepas dari pengaruh bangsa Barat.
Penjajahan terhadap negeri-negeri muslim, sebenarnya adalah model dari respon bangsa Barat terhadap keberadaan Peradaban Islam. Islam, sebagaimana yang dinyatakan Huntington, adalah satu-satunya peradaban yang mampu membuat Barat selalu berada dalam keraguan antara hidup dan mati, dan ia (peradaban Islam-pen) telah melakukannya setidak-tidaknya dua kali[46]. Penjajahan ini merupakan sebuah bentuk dari upaya Barat untuk memenangkan kontestasi antar peradaban dan agama, peradaban dan agama Islam disatu sisi dan peradaban Barat dengan agama Kristennya di sisi lain. Kontestasi—atau konflik dalam bahasa Huntington—fundamental antara dua peradaban besar dan dua way of life ini akan terus terjadi di masa yang akan datang, sebagaimana pernah terjadi empat belas abad yang lalu[47].
Adalah penting bagi Barat untuk memastikan kelumpuhan permanen kekuatan Islam. Penjajahan secara fisik hanyalah babak awal dari periode penguasaan Barat terhadap kaum muslimin. Tahap pertama penjajahan bangsa Eropa, setelah para tentara dan birokrat, masuklah kaum misionaris. Seperti yang dinyatakan Esposito, kolonialisme Eropa memberikan ancaman ganda, kekuasaan dan salib[48]. Hal berikut yang diinduksi penjajah Eropa adalah nasionalisme. Menurut Esposito nasionalisme adalah produk abad westernisasi[49]. Nasionalisme terutama diajarkan kepada para elitis yang belajar di negara-negara Barat. Esposito menyebutkan[50] :
Banyak diantara tokoh-tokoh yang memimpin gerakan nasionalis dan kemerdekaan hasil didikan Barat dan dipengaruhi oleh keyakinan dan ideal nasionalis liberal Revolusi Perancis dan khususnya lembaga-lembaga dan nilai-nilai politik Barat modern seperti demokrasi, pemerintahan konstitusional, peraturan parlemen, hak-hak individu dan nasionalisme. Berbeda dengan ideal Islam tradisional yang mengajarkan loyalitas dan solidaritas politik dalam ummat Islam transnasional yang berdasarkan kepercayaan yang sama, nasionalisme modern mengajarkan gagasan komunitas nasional yang dasarnya bukan agama tetapi bahasa, wilayah, ikatan etnis dan sejarah yang sama.

Tokoh-tokoh ini yang kemudian menularkan ide-ide produk Barat ini ke tanah airnya. Mereka adalah orang-orang serupa Kemal Pasha Attaturk—salah seorang tokoh dibalik makar terhadap kekhilafahan Islam—yang memandang bahwa peradaban Barat adalah solusi untuk kebangkitan. Dari merekalah kemudian anak-anak di negerinya belajar ide-ide Barat seperti nasionalisme, sekularisme dan demokrasi. Seperti yang diungkapakan Soekarno, salah seorang tokoh pergerakan di Indonesia[51]:
Maka oleh karena itu, menurut pemimpin-peminpin Turki, justru buat kesuburan Islam itu, maka Islam dimerdekakan dari pemeliharaan pemerintah. Justru buat kesuburan Islam, maka khalifat dihapuskan, kantor komisariat syariat ditutup. Kode (Undang-undang) Swiss sama sekali diambil oper buat mengganti hukum famili yang tua, bahasa Arab dan huruf Arab yang tidak dimengerti oleh kebanyakan rakyat Turki diganti dengan bahasa Turki dan huruf latin.

Secara sadar ataupun tidak mereka telah mengajarkan ide-ide yang telah mengganti identitas keislaman dengan identitas kebangsaan. Ini bisa terlihat dari pola perubahan perjuangan, dari jihad melawan orang-orang kafir, menjadi sekedar perlawanan melawan penjajah asing. Penguasaan bangsa Eropa terhadap kaum muslimin memasuki fase berikutnya, penguasaan secara ide-ide. Memang secara umum negeri-negeri Islam—yang kemudian Barat menarik diri dari sana—tidak memaklumkan sekularisme sebagai asas sebagaimana yang dilakukan di Turki. Namun secara efektif berbagai model struktur sistem Barat yang sekular diterapkan secara konsisten, seperti UU atau konstitusi yang sekuler, sistem pemerintahan parlementer, trias politica dan sebagainya. Apakah itu menghasilkan kemajuan sebagaimana yang diimpikan? Sejak pertengahan abad 20, ketika para elit penguasa mulai menerapkan produk ide Barat, hingga saat ini apakah ada yang betul berubah dari kondisi kaum muslimin? Secara jujur,
gambaran yang lekat dalam kondisi muslimin adalah sebuah gambar yang lusuh. Inilah sebuah ironi kaum yang pernah menguasai dunia dan disegani semua negara di bumi ini, hidup dalam ketergantungan dan kepatuhan yang keterlaluan terhadap bangsa Barat. Negeri-negeri kaum muslimin identik dengan kemiskinan, keterbelakangan dan banyak hutang.
Selama kurang lebih menerapkan sekularisme selama hampir dua abad, berbagai konsep dan ide Barat telah menancapkan kuku yang begitu dalam, dan berdampak begitu nyata dalam kondisi kaum muslimin.

Dalam bidang politik, demokrasi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari panggung politik di negeri kaum muslimin. Beberapa negeri masih berusaha menolak demokrasi—seperti beberapa negara di Timur Tengah—mendapat tekanan dari Amerika. Demi untuk menyenangkan Amerika, beberapa negara Teluk mulai membentuk parlemen dan mengadakan pemilihan umum.
Konsekwensi dari penerapan demokrasi adalah bahwa hukum dan undang-undang dibuat bukan merujuk kepada Al Quran dan As Sunnah, tapi kepada pendapat-pendapat manusia. Misalnya yang terjadi di Indonesia. Pada awal tahun 2006 ini ramai dibicarakan mengenai UU anti pornografi. Dan bahan-bahan untuk UU anti pornografi bukan digali—oleh parlemen—dari sumber-sumber hukum syara’, tapi dari pendapat para seniman, aktivis feminis, budayawan bahkan penyanyi dangdut yang sering tampil tidak senonoh. Sempurna, inilah wujud demokrasi yang sesungguhnya, pendapat manusia untuk hukum dan undang-undang. Demokrasi bagi beberapa kalangan—termasuk aktivis Islam—menjadi suatu realita yang tidak terubahkan, keagungannya bahkan melebihi ajaran Islam. Ketika beberapa kalangan merancang dan menyerukan perubahan hukum Islam, nyaris tidak ada yang menuntut untuk merubuhkan demokrasi. Demokrasi telah serupa ajaran suci dimana semua konsep lain—termasuk Islam—harus tunduk dan mengadaptasi diri. Demokrasi, dengan demikian, telah menjadi sebuah ide panutan (qiyadah fikriyah) bagi kebanyakan kaum muslimin saat ini. Dan bahkan secara keterlaluan beberapa kalangan aktivis Islam (?) dengan berani dan bangga mengatakan bahwa tidak ada dikotomi antara demokrasi dan Islam. Padahal kalau mau dipelajari lagi, sungguh terdapat perbedaan yang mendasar dan terlalu kasat mata antara demokrasi dan Islam, perbedaannya seperti langit dan bumi. Namun inilah kenyataan yang dialami oleh dunia Islam secara dominan saat ini. Atas pengaruh dan penyebaran demokrasi yang begitu luasnya dan tidak menyisakan ruang bagi konsep politik ideologi lain—termasuk Islam—tidak heran Francis Fukumaya menyebutkan masa depan politik dunia adalah kemenangan bagi demokrasi.
Kondisi politik lain yang begitu mencolok saat ini adalah rendahnya posisi tawar kaum muslimin dihadapan negeri-negeri Barat. Banyak perilaku ”kurang ajar” pihak Barat yang diterima secara ”qanaah” oleh para penguasan di negeri kaum muslimin. Yang terbaru adalah berbagai kasus penghinaan terhadap beberapa nilai pangkal keimanan kaum muslimin, yaitu Al Quran dan Nabi Muhammad SAW. Pelecehan terhadap Al Quran terjadi di penjara Guantanamo Kuba, tempat dimana banyak muslim yang ditahan tanpa proses peradilan dengan dalih terorisme. Di tempat ini Al Quran dijejalkan kedalam WC oleh tentara Amerika. Sementara pelecehan terhadap Nabi Muhammad dilakukan oleh harian Denmark Jylland Posten Denmark, dimana sosok Rasulullah dikartunkan secara brutal oleh para kartunis Denmark, sebagai sosok yang bersorban bom dan beringas sebagai laiknya nenek moyang orang Denmark yang kejam, bangsa Viking. Namun segala penghinaan yang sangat prinsipil ini ditanggapi dengan respon laiknya para banci penakut oleh penguasa kaum muslimin. Mereka cuma bisa protes dan menghimbau, tidak lebih. Bahkan untuk sekedar memutus hubungan ”silahturahmi” alias hubungan diplomatik dengan negara-negara kafir itu saja mereka tidak berani. Ketergantungan yang keterlaluan terhadap bangsa Barat—terutama dalam bidang perekonomian dan teknologi—yang bercampur dengan rasa inferioritas akut yang dialami para penguasa ini membuat mereka bersikap seperti ini. Bahkan seandainya massa kaum muslimin tidak bergolak terhadap penghinaan ini bisa jadi mereka juga ikut-ikutan membiarkan penghinaan terjadi dan kemudian berlalu seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa. Sementara para penguasa di Eropa, justru mereka saling menguatkan dan semakin bersatu ketika massa kaum muslimin bereaksi keras terhadap penghinaan ini. ..........(kutip dari kompas hari jumat atau kamis 16 atau 17 februari).

Bukan hanya mempengaruhi kondisi sistem dan dan konsep kehidupan, demokrasi pun telah melahirkan personal-personal dan kelompok pelaku politik yang pragmatis dan oportunis. Fokus perhatian dari golongan ini adalah kekuasaan. Demi kekuasaan apapun akan dilakukan, termasuk bersekutu dan berkoaliasi dengan kelompok yang berseberangan secara keyakinan visi ideologis. Bila diperhatikan gejala ini tidak hanya berlaku bagi partai dan kelompok yang sejak awal menyatakan diri sebagai kelompok sekular, tapi juga kelompok-kelompok yang diawal berdirinya menyatakan berasas Islam. Tengok saja yang terjadi di Indonesia. Beberapa partai yang mengaku berasas Islam—PKS, PBB, PPP—ikut dalam barisan pendukung SBY-Kalla, Presiden-Wapres usungan dari partai sekular, Partai Demokrat dan Golkar. Dan bahkan walaupun SBY-JK menetapkan keputusan yang menyengsarakan rakyat seperti menaikkan harga BBM, parta-partai ini tetap setia mendukung SBY-Kalla

Dalam bidang ekonomi, Identitas pembaratan secara nyata terlihat pula dalam bidang ekonomi. Ini sangat lumrah, mengingat—seperti yang telah nyinyir dibahas diatas—demokrasi dan aktivitas ekonomi kapitalisme (laissez faire namun lebih sering disebut ekonomi pasar bebas) merupakan suatu yang susah untuk dipisahkan. Mengembangkan demokrasi berarti bermakna pula mengembangkan ekonomi pasar bebas. Maka besar sekali kepentingan dari para pelaku ekonomi kapitalisme untuk mensponsori kegiatan demokratisasi. Para kapitalis ini misalnya mendirikan The Center for Democracy and Technology[52], perusahaan yang ada dibelakangnya antara lain American Online, Inc, American Association of Advertising Agencies, American Express, Association of National Advertiser, AT&T, Bell Atlantic, Bussiness Software Alliance, Cellular Telecommunications Industry Association, Coalition for Encryption Reform, Deer Creek Foundation, Disney Worldwide Services, IBM Corporation, Interactive Digital
Software Association, Lotus Development Corporation, Markle Foundation, MCA/Universal, MCI WorldCom, Microsoft Corporation, Mindspring, Newspaper Association of America, Novell, Open Society Institute, Time Warner dan lainnya.

Dengan demokrasi maka meluncurlah berbagai kebijakan yang sangat berpihak kepada para kapitalis. Dengan privatisasi, deregulasi dan liberalisasi perdagangan, semakin dalamlah menancapnya kuku-kuku kekuasaan kelompok kapitalis. Peran dominan mereka secara terselubung telah membuat terjadinya pergeseran kekuasaan. Secara de jure memang pemerintahlah yang berkuasa, namun secara de facto korporasilah yang menjadi tuannya.
Dengan konsistensi yang tinggi, para penguasa negara menjaga kepentingan kelompok kapitalis. Kalau dulu sekali para penguasa adalah para pemimpin yang mempertahankan wilayah teritorial yang sifatnya fisik, maka saat ini para penguasa pemerintahan lebih banyak bertarung utnuk memperebutkan saham pasar. Salah satu pekerjaan mereka—menurut Noreena Hertz—berubah kearah penjaminan suatu lingungan yang mendukung untuk pengembangan bisnis dan ranah yang mampu menyedot aliran modal bisnis. Peranan negara saat ini lebih banyak bergeser menjadi semata-semata menyediakan barang-barang dan infrastruktur publik yang dibutuhkan oleh kehidupan bisnis denga ongkos semurah-murahnya sambil melindungi sistem perdagangan bebas dunia[53].

Sayangnya kemudian, dengan segala pengorbanan konyol para penguasa ini yang dihasilkan adalah kerusakan yang masif. Sistem kapitalisme ternyata sangat signifikan menghasilkan ketimpangan sosial. Invisible hand-nya Adam Smith yang dipercaya dalam konsep ekonomi liberal akan menjaga level kesejahteraan pada titik equilibrium tidak berfungsi. Karena memang sejak semula tangan itu tidak pernah ada. Sebagaimana terdahulu telah dibahas, bahwa ide-ide Adam Smith banyak dipengaruhi oleh pengikut Francois Quesnay yang menganggap hukum –hukum alam dapat diterapkan untuk menjelaskan berbagai kondisi sosial. Invisible hand ini sejatinya sangat dipengaruhi pemikiran Newtonian mengenai kesetimbangan mekanis. Yang terlupa oleh Smith adalah sekumpulan manusia berbeda dengan benda-benda pada percobaan mekanis. Benda-benda tersebut tidak memiliki apa yang dimiliki oleh sekumpulan manusia : kemampuan berfikir dan kehendak.

Maka yang terjadi kemudian adalah ketimpangan yang keterlaluan. Bayangkan penjualan General Motor dan Ford ternyata melebihi GDP seluruh sub-sahara Afrika. Dan Exxon dapat disamakan tingkat ekonominya dengan kemampuan ekonomi Chili dan Pakistan[54]. Sementara di Indonesia sendiri, geliat ekonomi yang semakin liberal—dengan privatisasi BUMN, liberalisasi pengelolaan sumber daya alam dan berbagai deregulasi yang pro korporat global—ternyata semakin menaikkan tingkat kemiskinan, 36,17 juta jiwa pada 2003 menjadi 40 juta jiwa pada 2005 (BPS 2005). Inilah faktanya, kapitalisme semakin berjaya, akan tetapi hasil rampasannya tidak dinikmati oleh semua orang.

Selain di bidang politik dan ekonomi jejak suram dari sekulerisme juga akan kita dapati pada bidang kehidupan yang lain. Dalam bidang pendidikan, sekulerisme telah menghasilkan manusia didik yang cenderung materialistik dan dangkal secara pemahaman agama. Epistimologi keilmuan yang mengakar pada empirisme membuat anak didik cenderung berfikir pragmatis-materialis dan memiliki orientasi yang sangat lemah terhadap maksud penciptaan manusia; penghambaan kepada Allah. Terbiasa dengan kehidupan yang pragmatis-materialis, maka individualistik menjadi kecenderungan berikutnya dari masyarakat yang mengadopsi sekulerisme. Karakter individualistik merupakan salah satu cacat bawaan dari masyakat sekuler, karena sejak awalnya sekulerisme turut dibangun oleh filsafat individualisme[55]. Ketika empirisme, materialisme dan pragmatisme mempengaruhi bidang pendidikan dan kemudian individualisme membentuk karakter sosial masyarakat, maka dalam pola kehidupan kultural masyarakat sekulerisme dibentuk oleh konsep hedonisme. Hedonisme telah mengarahkan manusia-manusia sekuler untuk menjadikan kesenangan dan kenikmatan duniawi sebagai poros kehidupan. Maka tidak mengherankan dalam masyarakat sekuler berbagai “hal yang menyenangkan” seperti seks bebas, judi dan mabuk-mabukan merupakan hal yang biasa. Exploitasi dunia hedonisme bahkan telah menjadikan praktek hedonis sebagai sumber perputaran uang yang tidak sedikit jumlahnya melalui prostitusi, pub dan nite club, casino dan industri minuman keras.

Demikanlah wajah suram nan kelam dari sekulerisme beserta ide-ide filialnya. Padanya terkumpul kerusakan, kebobrokan, keharaman dan ancaman kehancuran ketika diadopsi oleh kaum muslimin. Maka adalah kewajiban dari kita bersama untuk melancarkan upaya dekonstruksi terhadap sekulerisme. Dekonstruksi permanen yang membuatnya tidak akan pernah bangun lagi dari kuburnya.






[1] The Encyclopedia Americana, International Edition, Vol. 24, Grolier Incorporated, 1983, hal.510
[2] Ibid
[3] Lihat www.newadvent.org/cathen/136a.htm
[4] Lihat www.newadvent.org/cathen/136a.htm
[5] Ahmad Suhelmi,Pemikiran Politik Barat,Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2004
[6] ibid, hal. 115-116
[7] Deisme adalah sebuah ide yang menetapkan bahwa Tuhan yang menciptakan alam dan kemudian memberkati alam tersebut dengan hukum yang abadi setelah itu alam tersebut berjalan tanpa intervensi dari Tuhan. Lihat The Encyclopedia Americana, International Edition, Vol. 8, Grolier Incorporated, 1983, hal.644
[8] Empirisme merupakan ide yang menetapkan pengetahuan langsung berakar dalam data yang kita alami, yang tidak kita alami tidak ada, sekurang-kurangnya tidak dikenal (lihat Dick Hartoko, Kamus Populer Lengkap,1986, Rajawali Pers). Dengan paham ini sebuah keyakinan terhadap hal-hal yang ghaib seperti malaikat, surga, neraka bisa dikatakan tidak ada. Inilah kesesatan paham ini menurut Iman Islam.
[9] Skeptisme secara umum ragu dengan apakah pengetahuan itu mungkin. Skeptisme dapat mengambil beberapa bentuk, sehingga seorang yang skeptis dapat meragukan apakah pengalaman inderawi itu bisa menghasilkan pengetahuan, atau apakah Tuhan, dunia eksternal dan pikiran-pikiran lain ada (lihat Diane Collinson, Lima Puluh Filosof Dunia yang Menggerakkan,2001, RajaGrafindo Persada)
[10] Aliran filsafat yang mengajarkan kenikmatan merupakan nilai tertinggi serta tujuan segala perbuatan moral. Dirintis oleh Aristipos dari Kyrene dan pada abad 18 oleh Lamettrie (lihat Dick Hartoko, op.cit).
[11] Encyclopedi yang disusun beberapa orang filosof perancis pada abad 18 seperi Mostesquieu, D’Alembert, Voltaire, Rosseau, Buffon, Quesnay dan Diderot. Rosseau sendiri kemudian keluar dari proyek ini kemudian.Lihat Filsafat Untuk Pemula, Richard Osborne, Penerbit Kanisius.
[12] The Encyclopedia Americana, International Edition, Vol. 8, Grolier Incorporated, 1983, hal.644
[13] The Encyclopedia Americana, International Edition, Vol. 8, Grolier Incorporated, 1983, hal.684
[14] Ahmad Suhelmi, op.cit, hal. 206
[15] The Encyclopedia Americana, International Edition, Vol. 8, Grolier Incorporated, 1983, hal. 690
[16] The Encyclopedia Americana, International Edition, Vol. 8, Grolier Incorporated, 1983, hal. 691
[17] The Encyclopedia Americana, International Edition, Vol. 8, Grolier Incorporated, 1983, hal. 690
[18] ibid
[19] Ahmad Suhelmi, op.cit, hal.316. Dalam bukunya Ahmad Suhelmi menyebutnya prinsip-prinsip demokrasi barat. Tapi kalau kita pahami lebih dalam lagi penggunaan kata-kata barat setelah demokrasi sebenarnya tidak diperlukan lagi, karena sudah dimafhumi bahwa demokrasi berasal dari barat (dan sangat khas barat) dan berakar pada filsafat dan pemikiran barat. Adapun dipakainya demokrasi di beberapa negara bukan barat—dan bahkan di negeri Islam—tidak kemudian menghilangkan ide-ide yang inherent dengan demokrasi (barat) seperti kontrak sosial, kebebasan individu dan kedaulatan (pembuatan hukum) di tentukan orang banyak, bukannya Tuhan.
[20] The Encyclopedia Americana, International Edition, Vol.5, Grolier Incorporated, 1983, hal. 600
[21] Aplikasinya misalnya terlihat dari kepercayaan ekomomi liberal bahwa dinamika masyarakat selalu menuju kesetimbangan, ini serupa dengan terori kesetimbangan mekanis pada teori Newton. Dalam ilmu biologi mereka mengadopsi pemikiran Darwin tentang seleksi alam (survival the fittest), dimana yang terkuatlah yang akan bertahan dalam kegiatan ekonomi
[22] ibid
[23] ibid
[24] Utilitarianisme menetapkan bahwa yang berguna juga dihalalkan, secara moral dapat dibenarkan. Kegunaan merupakan tolok ukur bagi moralitas perbuatan manusia. Bagi beberapa kritikus utilarianisme tidak lain adalah empirisme yang di reproduksi.
[25] Lihat Filsafat Untuk Pemula, Richard Osborne, Penerbit Kanisius
[26] Desacralizing Secularism, www.algonet.se/~pmanzoor/Des-Sec.htm
[27] Secularism, www.newadvent.org/cathen/136a.htm
[28] Niccolo Machiavelli (1469-1527), pemikir politik asal Italia, salah seorang penggerak zaman Renaisance. Merupakan perintis yang menjauhkan politik dari pengaruh agama.
[29] Ahmad Suhelmi, op.cit, hal. 139
[30] William Ebenstein dan Edwin Fogelman, Isme-Isme Dewasa Ini , edisi sembilan, Penerbit Erlangga, 1994, hal.148
[31] Joel Andreas, Nafsu Perang-Sejarah Militerisme Amerika di Dunia, Penerbit Profetik, 2004, hal. 5
[32]Joel Andreas, ibid. Hal. 9
[33] John L. Esposito dan John O. Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim, Penerbit Mizan, 1999, hal. 22
[34] Ahmad Suhelmi, op.cit, hal. 315
[35] Jean Baechler, Demokrasi, Sebuah Tinjauan Analitis, Penerbit Kanisius, 2001, hal.272
[36] Paul Treanor, Kebohongan Demokrasi, Penerbit Istawa-Wacana, 2001, hal. 71
[37] Paul Treanor, ibid, hal. 79
[38] DR. Muhammad ’Imarah, Perang Terminologi Islam Versus Barat, Robbani Press, 1998
[39] DR. Muhammad ’Imarah, ibid
[40] Dalam kamus Arab-Indonesia Al Munawwir ’ilmaniyah diterjemahkan sebagai faham yang memisahkan negara dari pengaruh agama.
[41] John L. Esposito, Ancaman Islam, Mitos atau Realitas?, Penerbit Mizan, 1995, hal. 66
[42] ibid
[43] Lihat Abdul Qadim Zallum, Konspirasi Barat Meruntuhkan Khilafah Islamiyyah, Penerbit Al-Izzah, 1991
[44] Lihat Wajah Peradaban Barat oleh Adian Husaini, MA. Penerbit Gema Insani Pers, 2005
[45] Samuel P. Huntington, Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, Penerbit Qalam, 2001 , hal. 392
[46] Samuel P. Huntington, ibid, hal. 391
[47] Samuel P, Huntington, ibid, hal. 395
[48] John L. Esposito, op.cit, hal. 64
[49] John L. Esposito, ibid, hal. 75
[50] John L. Esposito, ibid, hal. 75
[51] Adian Husaini, op.cit, hal. 276
[52] Paul Treanor, Kebohongan Demokrasi, penerbit ISTAWA-WACANA, 2001, hal.34
[53] Noreena Hertz, Membunuh Atas Nama Kebebasan, Penerbit Nuansa, 2004, hal. 18
[54] Noreena Hertz, Ibid, hal. 16
[55] Individualisme adalah suatu filsafat yang berpandangan bahwa sifat khusus tiap-tiap orang hendaknya diperhatikan. Tiap-tiap orang orang mempunyai watak dan sifat yang khas yang dibentuk oleh kemauannya sendiri yang bebas. Ind. menyangkal keterikatan manusia dan masyarakat. Untuk masalah transendensi, indv. Percaya tiap orang langsung bertanggung jawab terhadap Tuhannya, maka adalah hak tiap orang utnuk menentukan bagaimana dia berhubungan dengan Tuhannya, dan menolak intervensi atas individu.





 

No comments: