Oleh : fadhli Yafas
Pemanasan Global dan Hutan Indonesia
Seiring dengan semakin menguatnya kesadaran akan perubahan iklim, keberadaan hutan menjadi semakin sering diperbincangkan. Perubahan iklim yang disebabkan efek gas rumah kaca berdasarkan banyak kajian dan analisa memberikan ancaman masa depan yang suram bagi bumi dan kehidupan manusia. Ancaman ketahanan pangan, penyebaran penyakit malaria, tenggelamnya banyak daerah pesisir dan bahaya kekeringan membuat dunia saat ini mulai merancang-rancang dan mencari cara untuk mengurangi efek rumah kaca tersebut.
Secara alami gas rumah kaca telah eksis di atmosfer. Keberadaan gas-gas seperti CO2, Methana, N2O, Ozon, uap air dan lainnya secara alami justru menguntungkan kehidupan manusia. Panas dari matahari yang diperangkap oleh gas-gas tersebut mampu membuat bumi menjadi hangat hingga cukup nyaman untuk ditinggali. Tanpa keberadaan gas-gas tersebut bumi diperkirakan lebih dingin 330 C.
Namun semuanya menjadi berbeda ketika aktivitas manusia menyebabkan konsentrasi gas-gas tersebut semakin pekat. Pembakaran bahan bakar fosil, kegiatan industri yang massif, produksi BBM di kilang-kilang, pembakaran hutan dan sebagainya telah menyebakan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer semakin tinggi, terutama CO2. Menurut IPCC konsentrasi karbondioksida di atmosfer saat ini, menurut pengukuran pada udara yang terperangkap pada inti es, jauh lebih besar dibandingkan dengan 650.000 tahun terakhir.
Disini kemudian peran hutan menjadi salah satu isu sentral dalam upaya mereduksi konsentrasi gas karbondioksida di atmosfer. Tegakan hutan dan tumbuhan hijau lainnya menyerap CO2 dari atmosfer pada masa pertumbuhannya melalui proses fotosintesis. Ini akan membantu mengurangi konsentrasi karbondioksida di udara dan berdampak pula pada pengurangan efek rumah kaca. Selama tegakan hutan mengalami pertumbuhan berarti proses penyerapan karbondioksida akan terus berlangsung, model seperti ini sering disebut juga sebagai carbon sink. Jumlah karbondioksida yang mampu diserap oleh tegakan hutan akan dipengaruhi oleh kondisi tempat tumbuh hutan tersebut seperti iklim, topografi dan kondisi tanah. Selain itu karakter pohon yang tumbuh dan pola manajemen pengelolaan hutanpun akan mempengaruhi tingkat penyerapan karbondioksida.
Indonesia adalah salah satu pemilik kawasan hutan tropis utama di dunia. Sehingga semestinya Indonesia dapat berkontribusi dalam mengurangi konsentrasi gas rumah kaca, terutama karbondioksida. Namun semua menjadi kurang meyakinkan ketika melihat bagaimana hutan Indonesia dikelola.
Sejarah Singkat Pengelolaan Hutan Indonesia
Pengelolaan hutan di Indonesia mulai memasuki masa ekploitasi sistematis pada zaman orde baru. Target utama dari pengelolaan pada masa awal-awal kekuasaan orde baru adalah untuk pemulihan ekonomi. Sehingga pola-pola sustainable management tidak menjadi perhatian saat itu. Sektor kehutanan diharapkan pada saat itu karena sektor-sektor lain tidak mampu memberikan kontribusi yang memuaskan. Sektor industri sulit berkembang disebabkan sejak pertengahan 1965 hingga awal 1966 terjadi hiperinflasi. Begitu juga sektor perkebunan, tingkat produksi dan investasi di berbagai komoditas utama seperti kopra, teh, karet dan kopi merosot sejak 1950. Pada tahun 1965 defisit anggaran belanja mencapai 248 juta dollar. Tahun berikutnya defisit mencapai dua kali lipatnya.
Menghadapi hal ini pemerintahan Orde Baru menjadikan pemulihan ekonomi sebagai program utama. Konsep pembangunan Orde Baru yang terkenal, yaitu Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) menjadikan pemulihan ekonomi sebagai salah satu program utama pada lima tahun pertamanya, dimana peningkatan produksi pangan dan sektor industri terutama sandang dan pengelohan sumber daya alam (pertambangan dan hasil hutan). Pada fase-fase awal ini dimulai berbagai kebijakan yang mendukung program tersebut, pada sektor pertanian misalnya seiring dengan revolusi hijau dimulailah era penggunaan pupuk anorganik dan alam mekanisasi pertanian. Untuk sektor industri pemerintah mengeluarkan UU Penanaman Modal Asing tahun 1967 dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri tahun 1968. Khusus untuk kehutanan pemerintah mengeluarkan UU No. 5 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan pada tahun 1967. Pemberlakukan undang-undang ini menjadi awal dikenalnya pola Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di Indonesia.
Sejak diberlakukannya UU Pokok Kehutanan tahun 1967 permintaan untuk mendapatkan HPH meningkat pesat. Hingga menjelang 1970 jumlah pemegang HPH tercatat 64 perusahaan dengan meliputi luasan 8 juta hektar. Hingga sekarang dengan dikeluarkannya UU No. 41 tahun 1999 pengusahaan hutan oleh investor perorangan dan badan usaha tetap berlaku. Yang terjadi hanya penggantian nama. Kalau dulu dikenal dengan HPH (Hak Pengusahaan Hutan) sekarang disebut sebagai Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu.
Kerusakan Hutan Indonesia
Berdasarkan data-data dari berbagai pihak yang berkompeten, diketahui hutan Indonesia mengalami kerusakan yang cukup mengkhawatirkan. Kerusakan itu diakibatkan oleh laju deforestasi yang tinggi. Tahun 1997 saja menurut World Resource Institute sebagaimana yang dikutip Walhi, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya seluas 72 persen. Laju kerusakan hutan pada periode 1985-1997 sebesar 1,6 juta hektar pertahun, dan pada periode 1997-2000 laju kerusakan hutan sebesar 3,8 juta hektar pertahun.
Apa penyebab utamanya? Beberapa faktor dapat dapat diklasifikasikan sebagai penyebab utama yaitu penebangan oleh HPH (legal dan illegal), konversi ke lahan perkebunan (terutama sawit), kebakaran hutan serta proyek transmigrasi. Beberapa pihak menyertakan peladang berpindah sebagai salah satu penyebab kerusakan hutan. Namun berbagai pihak pula terutama kalangan akademisi dan NGO menyangkal hal ini, karena kemampuan yang dimiliki oleh para peladang berpindah baik potensi SDM yang sedikit maupun peralatan yang digunakan mustahil mampu melakukan kerusakan hutan yang demikian luas.
Penebangan yang dilakukan oleh HPH banyak disorot oleh berbagai kalangan sebagai penyebab paling utama kerusakan hutan. Ini tidak mengherankan karena beberapa HPH besar memegang konsesi yang sangat besar, sampai tiga juta hektar lebih. Memang pemerintah telah menetapkan berbagai sistem penebangan dan silvikultur yang harus diadopsi oleh pemegang HPH yang diharapkan mampu mengendalikan deforestasi dan memperbaiki hutan seperti sistem Tebang Pilih Indonesia (TPI) dan Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Namun dalam prakteknya banyak operator HPH yang tidak mempedulikan sistem tersebut. Tebang Pilih yang menetapkan seleksi terhadap pohon yang akan ditebang yaitu yang berdiameter 50 cm keatas, sering tidak diindahkan. Banyak kayu-kayu yang berdiameter 30-an cm bahkan lebih kecil juga ditebang. Belum lagi perilaku HPH yang menebang pohon pada zona terlarang seperti sempadan sungai dan lereng bukit. Pemegang HPH juga sering abai terhadap kewajiban mereka untuk melakukan penanaman kemabli di area/blok bekas tebangan. Luas konsesi yang sedemikian besar menyebabkan ketiadaan fungsi kontrol dari pemerintah yang selalu dirundung keterbatasan sumber daya manusia dan peralatan. Atas hal inilah, menurut Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN), pada tahun 1985 Bank Dunia menyebutkan ” dalam 40 tahun Indonesia akan menjadi tandus. Faktor penyebabnya praktek penebangan kayu (logging) tanpa perhatian.
Grup pemilik HPH besar
No Nama Group Luas Konsesi (Ha) Pemilik
1 Barito Pacific 3,536,800 Prajogo Pangestu
2 Djajanti 2,805,500 Burhan Uray
3 Budhi Nusa 1,190,700 Burhan Uray
4 Korindo 1,493,500 In Yong Sun
5 Kayu Lapis Indonesia 3,142,800 Andi Sutanto
6 Alas Kusuma 2,189,000 PO. Suwandi
7 Kulamur 969,500 Antony Salim
8 Bumi Indah Raya 427,000 Soenaryo
9 Bumi Raya Utama 609,455 Pintarso, Adiyanto
10 Surya Dumai 1,108,000 Martias
11 Panca Eka Bina Playwood 835,000 Supendi
12 Daya Sakti Group 672,000 Widya Rahman
13 Siak Raya Group 329,000 Sumarta
14 Kalimanis 1,352,000 Bob Hasan
15 Tanjung Raya 476,000 H. A Bakrie
16 Raja Garuda Mas 659,500 Sukanto Tanoto
17 Hutrindo Wanabangun 649,000 Ale Karampis
18 Hutrindo Prajen 438,000 Aki Setiawan
19 Bhra Induk Grup 345,000 Much. Jamal
20 Sumber Mas 597,000 Yos Sutomo
21 Satya Djaja Raya 1,026,000 Asbert Lyman
22 Sumalindo 796,300 Winarto Oetomo
23 Dayak Besar 544,000 Yusuf Hamka,KSO,Inhutani I
24 Benua Indah 563,000 Boediono
25 Kayu Mas 519,000 Tekman K
26 Wahana Sari 100,000 Sigit Harjojudanto
27 Rante Marip 114,000 Hutomo Mandala
Total 27,387,155
Sumber : Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), 1998 (dikutip dari LATIN)
Selain kegiatan logging oleh HPH, konversi hutan menjadi lahan perkebunan, terutama sawit, juga memberikan andil yang tidak sedikit bagi kerusakan hutan. Pada data tahun 1998 saja menurut Paul K. Gelen, sebagaimana yang dikutip LATIN, telah terjadi konversi lahan hutan alam yang dicadangkan untuk hutan produksi ke perkebunan sawit seluas 2.721.428 Hektar dan telah disetujui untuk dikonversi berikutnya seluas 3.504.084 hektar. Kecenderungan konversi ini dari tahun ke tahun semakin meningkat, mengingat harga produk sawit seperti crude palm oil (CPO) juga cenderung terus naik dari tahun ke tahun. Bukan cuma lahan hutan, bahkan banyak lahan persawahan pun terutama di Sumatera dan Kalimantan juga dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan sawit.
Selain pengaruh langsung dari konversi lahan hutan, perkebunan sawit ditengarai juga berperan bagi kebakaran hutan besar-besaran yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan. Memang harus dicatat kebakaran hutan bukan hanya disebabkan oleh pengusaha perkebunan kelapa sawit, land clearing dengan metode bakar yang dilakukan oleh pengusaha HTI juga memberikan sumbangan bagi luasnya lahan hutan yang terbakar. Kebakaran hutan hebat yang terjadi 1997 telah mengakibatkan hutan terbakar seluas 102.431,36 hektar di pulau Sumatera. Pada dekade sebelumnya di Kalimantan kebakaran hebat terjadi tahun 1982/83 dimana diperkirakan tidak kurang dari 3,5 juta hektar hutan Kalimantan Timur habis terbakar.
Hutan Indonesia dan Warung Rosot Karbon ala REDD (Reducing Emission from Deforetation dan Degradation)
Dengan segala sejarah panjang kerusakan hutan Indonesia, pemerintah republik ini mencoba menebar asa pada sisa-sisa tegakan hutan yang ada. Kekhawatiran global pada semakin naiknya suhu bumi akibat gas rumah kaca menyelipkan sebuah harapan jatah dollar yang akan diraih dari ”warung rosot karbon” yang dimiliki negeri ini. Saat ini penduduk dunia menaruh harapan besar kepada sisa-sisa tegakan yang ada di wilayah tropis Asia, Amerika Selatan dan Afrika. Terutama negara-negara barat, mereka yang merupakan penyebab utama semakin pekatnya konsentrasi CO2 di atmosfer mencoba mengiming-imingi negara-negara pemilik hutan tropis basah untuk menjaga hutan yang dimiliki. Hutan pun sekarang dihargai bukan karena potensi kayu dan selulosa yang dimiliki, tapi dari kemampuannya mengikat tiap molekul CO2 yang ada di atmosfer. Pasar karbon dunia disebutkan mencapai 566 juta ton/tahun.
Berbagai skema kemudian coba ditawarkan, mulai dari skema Clean Developmen Mechanism (CDM) sampai yang teranyar REDD (Reducing Emission from Deforestation dan Degradation). Intinya sama, negara-negara pemilik hutan tropis—yang rata-rata negara berkembang—diminta untuk menjaga hutan yang mereka miliki, atas jasa linkungan yang diberikan oleh hutan tropis ini nantinya akan diberi imbalan sesuai dengan luasan yang dimiliki. Semakin luas hutan yang dimiliki, semakin besar pula fulus yang akan diterima. Sampai disini semua seperti suatu hal yang normal bahkan mulia. Negara-negara barat yang merupakan penghasil utama gas rumah kaca bersedia membayar atas kesalahan dan dosa mereka. Namun kalau ditelaah lagi justru disinilah watak kapitalisme sejati tetap mencuat.
Sebagai sebuah sistem hidup, kapitalisme memiliki sistem perekonomian liberal yang menjadikan pertumbuhan keuntungan dan akumulasi modal sebagai tujuan. Untuk memastikan tujuan tersebut tercapai, apapun akan dilakukan, mulai dari lobi, suap, penekanan bahkan invasi. Para pengemban kapitalisme ini—para capitalist dan pemerintahnya—akan tetap berupaya agar mesin-mesin produksi keuntungan mereka tidak terganggu dan tetap beroperasi. Bagi mereka, apapun bisa diselesaikan dengan mekanisme pasar, termasuk masalah lingkungan hidup. Maka kemudian mereka membuat apa yang disebut pasar karbon. Namun berbeda dengan pasar normalnya, dimana para pemilik uang mencari dan membayar barang diantara para pemilik warung atau toko, pasar karbon justru sebaliknya, para pemilik uang membayar para pemilik warung atau toko ”hutan” agar mereka tidak mengusik dan menjaga hutan mereka, dengan begitu mereka bisa memastikan aktivitas pertumbuhan perekonomian mereka tidak terganggu, kalaupun aktivitas perekonomian tersebut berdampak pada semakin menumpuknya gas rumah kaca di atmosfer, hutan-hutan di negara berkembang telah disewa untuk jadi rosotnya. Maka jadilah perdagangan karbon ini menjadi semacam lisensi bagi negara-negara kapitalisme barat untuk tetap mengotori atmosfer.
Sadar atau tidak, negara-negara berkembang telah masuk jerat pola kapitalisme ini. Bahkan Indonesia, walaupun diberbagai media Presiden COP (Conference of Parties) 13 yang juga Menteri Lingkungan Hidup Indonesia menyebutkan bahwa konferensi Perubahan Iklim di Bali menargetkan penurunan emisi, tapi sejatinya forum itu lebih ditargetkan untuk meloloskan skema REDD. Akhirnya memang terbukti, konferensi Perubahan Iklim di Bali tahun kemaren tidak berhasil menyepakati penurunan emisi, dan REDD kemudian diadopsi sebagai sebuah skema resmi untuk negara-negara berkembang.
Banyak pihak yang meragukan efektifitas perdagangan karbon untuk mengurangi kadar emisi. Pola mitigasi yang diberikan hutan mestinya jangan dijadikan sebagai tumpuan utama dalam pengurangan emisi karbon. Tidak ada yang bisa memastikan keberlanjutan kondisi tegakan hutan, terutama di negara berkembang. Problem kebakaran, konversi areal hutan, perubahan rencana tata guna lahan dan keberlanjutan proses logging membuat hutan hanya mampu menyimpan karbon dalam waktu terbatas. Apalagi hutan pada malam hari malah merupakan pengimisi CO2 juga.
Upaya mereduksi gas rumah kaca mesti lintas sektoral. Harus dikombinasikan antara upaya mengurangi emisi gas rumah kaca dari sumber-sumbernya dan upaya penyerapan gas rumah kaca yang sudah di emisikan ke angkasa. Maka disini perlu memadukan kesadaran dari negara-negara pencemar dan sumber gas rumah kaca untuk mengurangi tingkat emisi mereka dengan upaya dari negara-negara pemilik hutan untuk melestarikan hutan yang mereka miliki.
Merubah Paradigma Pengelolaan Hutan : Demi Lingkungan dan Kesejahteraan Rakyat.
Problem utama dari pengelolaan hutan selama ini adalah pandangan yang menetapkan bahwa hutan adalah milik negara. Dengan cara pandang seperti maka negara merasa berhak untuk memberikan hak kepada siapa saja untuk mengelola hutan dengan luasan yang tidak proporsional. Maka siapa yang dekat dengan lingkar kekuasaan negara akan berpeluang mendapatkan jatah yang besar, sementara rakyat kecil yang hidup disekitar hutan dibatasi aksesnya untuk memanfaatkan hutan dan bahkan mereka bisa dipidanakan jika dianggap mengganggu operasional pembalakan oleh HPH.
Mestinya pandangan terhadap kawasan hutan adalah sebagaimana pandangan terhadap sumber daya alam lainnya seperti mata air, sungai, danau, barang tambang dan lainnya. Tidak boleh ada klaim eksklusif terhadap sumber daya alam tersebut. Semua pihak dari rakyat mestinya berhak mendapat manfaat dari keberadaan sumber daya alam tersebut.
Maka negara sebagai institusi resmi yang mengayomi rakyat harus memformulasikan suatu konsep agar pengelolaan hutan tidak hanya menjadi privilege beberapa gelintir orang saja sebagaimana yang terjadi selama ini. Untuk itu negara harus berani keluar dari pola dan sistem kapitalisme yang selama ini menjadi basis pengaturan kehidupan bernegara.
Dalam pengaturan pemanfaatan aset-aset sumber daya alam, kapitalisme mengaturnya dengan pola liberalisme, dimana setiap individu memiliki kesempatan untuk mengusahakan segala potensi yang dianggap bisa menghasilkan keuntungan. Mulai dari barang yang nilai ekonominya kecil sampai yang bernilai ekonomi tinggi, dari yang aset produksi yang berkuantitas kecil sampai yang berkuantitas tinggi, semuanya boleh dikuasai dan diusahakan oleh individu dalam prinsip ekonomi liberal-kapitalisme. Semua orang kemudian diperkenan untuk saling berupaya untuk menguasai dan mengusahakan apapun, dengan mekanisme pasar yang menjadi pola. Maka siapa yang kuat, bermodal besar dan dekat dengan kekuasaan dialah yang paling mungkin untuk menguasai aset lebih banyak, semantara yang bermodal kecil atau yang tidak bermodal, maka mereka hanya akan menjadi penonton keriuhan pesta pora para konglomerat. Disini berlaku prinsip survival the fittes, yang kuatlah yang bertahan.
Dengan pola ini tidaklah mengherankan, puluhan juta hektar hutan hanya dikuasai oleh segelintir orang. Padahal sebelumnya hutan-hutan tersebut menjadi tumpuan hidup masyarakat sekitar hutan, dimana mereka mencari makanan, bercocok tanam, mencari obat-obatan dan kebutuhan hidup lainnya.
Tidak hanya itu, dunia pun telah mengakui keberadaan hutan sebagai salah satu penyangga penting bagi kehidupan umat manusia. Hutan memiliki fungsi hidrologis, dimana hutan berfungsi dalam menjaga kuantitas dan kualitas air, baik air tanah maupun air permukaan. Hutan pula yang berjasa dalam menjaga kelembapan udara, sehingga bisa dirasakan daerah-daerah yang dekat atau yang memiliki hutan bisanya berhawa sejuk. Hutan juga menjadi rumah bagi keragaman hayati yang tidak ditemui di ekosistem selain hutan. Dari hutan juga diperoleh berbagai macam tanaman obat yang berguna bagi kesehatan manusia.
Dan terkait dengan keberadaan CO2 di atmosfer, maka hutan yang didominasi oleh tanaman berdaun hijau adalah penambat utama dari gas tersebut. Menurut pakar ekologi Zoer’aini Jamal, setiap jam 1 hektar tumbuhan berdaun hijau mampu menyerap 8 Kg CO2, setara dengan CO2 yang dikeluarkan oleh sekitar 200 orang dalam waktu yang sama sebagai hasil pernafasannya. Saat ini luas tutupan hutan pada pengamatan tahun 2003 oleh satelit LANDSAT 7 ETM sekitar 93.924.330 hektar. Namun banyak pihak menyebutkan sekitar setengahnya sudah mengalami degradasi dan kerusakan. Padahal jika citra satelit tersebut adalah data aktual, maka setiap jamnya hutan Indonesia mampu menyerap sekitar 751.394.640 Kg CO2. Jika diasumsi hutan tinggal setengahnya maka tiap jam ada sekitar 375.697 ton CO2 yang mampu ditambat oleh hutan Indonesia. Dengan kemampuan penyerapan yang begitu besar tidak mengherankan sebagaimana yang disampaikan FAO bahwa biomassa yang dimiliki tegakan hutan Indonesia mampu menyimpan karbon sebanyak 3,5 milyar ton. Sangat jelas, hutan di Indonesia berpotensi besar dalam menyerap karbon di atmosfer. Makanya tidak mengherankan, pada saat konferensi Perubahan Iklim PBB di Bali hadir juga sekitar 200 orang konsultan perdagangan karbon.
Namun segala kebaikan hutan ini akan tinggal kenangan ketika hutan masih dikelola dengan pendekatan kapitalisme dengan pengusaha pemilik IUPHHK sebagai pemainnya. Maka harus ada perubahan mendasar dari pola pengelolaan hutan. Beberapa hal berikut layak untuk diadopsi guna merestorasi fungsi hutan sebagai penyangga lingkungan dan penyedia kesejahteraan rakyat :
a. Penetapan status kepemilikan hutan, bahwa hutan adalah aset publik, bukan milik negara. Penetapan status hutan sebagai kepemilikan kolektif rakyat ini mestinya berkonsekwensi negara tidak diperkenankan memberikan hak eksklusif pengusahaan hasil hutan kepada individu atau pihak tertentu. Sekaligus dalam hal ini pemerintah mesti menetapkan areal-areal yang dimaksud sebagai kawasan hutan.
b. Pengelolaan hutan sebagai aset kolektif publik hanya dilakukan oleh negara saja, bukan oleh pihak lain (misalnya swasta atau asing). Mengutip Abdul Qadim Zallum, Shiddiq Al Jawi menyebutkan ada dua model pemanfaatan kepemilikan atau aset publik ini :
1. Untuk benda-benda milik umum yang mudah dimanfaatkan secara langsung, seperti jalan umum, rakyat berhak memanfaatkannya secara langsung. Namun disyaratkan tidak boleh menimbulkan bahaya kepada orang lain dan tidak menghalangi hak orang lain untuk turut memanfaatkannya.
2. Untuk benda-benda milik umum yang tidak mudah dimanfaatkan secara langsung, serta membutuhkan keahlian, sarana, atau dana besar untuk memanfaatkannya, seperti tambang gas, minyak, hutan dan emas, hanya negaralah selaku institusi pengatur kehidupan rakyat yang berhak untuk mengelolanya.
Dikecualikan dalam hal ini, pemanfaatan hutan yang mudah dilakukan secara langsung oleh individu (misalnya oleh masyarakat sekitar hutan) dalam skala terbatas di bawah pengawasan negara. Misalnya, pengambilan ranting-ranting kayu, atau penebangan pohon dalam skala terbatas, atau pemanfaatan hutan untuk berburu hewan liar, mengambil madu, rotan, buah-buahan, dan air dalam hutan. Semua ini dibolehkan selama tidak menimbulkan bahaya dan tidak menghalangi hak orang lain untuk turut memanfaatkan hutan.
Adapun hasil pengelolaan ini nantinya masuk ke kas negara yang harus digunakan untuk pos pengeluaran kepentingan publik seperti penjaminan pendidikan, penjaminan kesehatan, penjaminan keamanan dan kebutuhan publik lainnya.
c. Penetapan kawasan hutan khusus konservasi
Penetapan kawsaan khusu konservasi sebenarnya sudah dikenal dan diterapkan, namun dengan segala alasan investasi dan korupsi banyak kawasan konservasi yang diganggu baik secara legal maupun illegal dalam kasus izin tambang, illegal logging, pembuatan jalan, perkebunan, bahan baku pulp dsb. Maka perlu secara ketat dan serius dalam mengawasi kawasan ini.
1. Meliputi kawasan-kawasan yang tidak layak dibudidayakan seperti hutan dipegunungan dan dilereng, hutan di sempadan sungai dan danau, hutan yang tumbuh di daerah rawa lebak dalam, hutan yang tumbuh pada lahan gambut yang berkedalaman 2 meter, hutan mangrove dsb.
2. Penetapan kawasan hutan yang dilindungi bukan hanya akan berguna untuk mereduksi karbon, tapi juga untuk memperbaiki kualitas udara, memperbaiki kelembapan udara, memperbaiki kuantitas kualitas air sungai dan air tanah, melindungi keanekaragaman hayati, mengurangi sedimentasi sungai, mencegah banjir dan erosi, mencegah tanah lonsor dsb.
d. Secara serius mengadopsi berbagai teknik silvikultur guna mempertahankan kelestarian hutan. Berbagai teknik silvikultur seperti TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia) dan TPI (Tebang Pilih Indonesia) terbukti tidak berjalan baik. Indikasinya adalah banyak kondisi lapangan hutan yang tetap gundul tidak ditanami setelah sekian waktu penebangan. Padahal HPH diwajibkan melakukan kembali areal hutan yang ditebangi. Indikasi lain bisa dilihat di nursery bibit hutan yang dimiliki HPH, banyak yang tidak diurus dengan baik.
Perubahan dalam cara memandang hutan, dimana hutan ditetapkan sebagai kepemilikan publik dan kemudian hutan dijauhkan dari aspek-aspek kapitalisme meniscayakan perubahan perundangan dan peraturan yang mengatur hutan. Namun yang menjadi pertanyaan adalah mungkinkah perundangandan peraturan kehutanan dijauhkan dari segala aspek kapitalismenya sementara sistem kenegaraan yang menghasilkan perundangan dan peraturan tersebut masih berpatron kepada Kapitalisme?
Tugas kita kedepan adalah mewujudkan perubahan, ini kalau kita sepakat bahwa kebaikan mesti diwujudkan untuk generasi mendatang.
Daftar Bacaan dan Kutipan
Prof. DR. Zoer’aini Djamal Irwan, Msi. Prinsip-Prinsip Ekologi, Ekosistem, Lingkungan dan Pelestraiannya, Penerbit Bumi Aksara, 2007
LATIN. Kehutanan Indonesia Pasca Soeharto, Reformasi Tanpa Perubahan, Pustaka Latin, 1998
Shiddiq Al Jawi. Pengelolaan Hutan Berdasarkan Syariah
Daniel Murdiyaso. Protokol Kyoto Implikasinya Bagi Negara Berkembang, Penerbit Buku Kompas, 2007
No comments:
Post a Comment