Wednesday, September 26, 2007

Islam Sebagai Pandangan Hidup

Kalau kita perhatikan apa yang dimuat dalam Al Quran dan Assunnah, maka kita akan dapati bahwa Allah dan RasulNya telah menetapkan berbagai perkara, bukan hanya perkara-perkara ibadah ritual dan urusan pribadi lainnya, tapi juga urusan2 publik.
Ketika Allah meerintahkan kita untuk mengerjakan shalat

وأقيموا الصلاة


Maka Allah juga mengatakan kepada kita

يا أيها الذين آمنوا لا تأكلوا الربا
Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian memakan riba

Dan ketika Allah memerintahkan

يا أيها الذين آمنوا كتب عليكم الصيام
Wahai orang yang beriman diwajibkan atas kalian untuk berpuasa

Maka Allah juga memerintahkan

يا أيها الذين آمنوا كتب عليكم القصاص في القتلى
Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kalian qishas dalam pembunuhan (QS 2: 178)

Inilah wajah Islam, wajah kesempurnaan, yang berasal dari Allah ’Azza Wa Jalla. Islam diturunkan oleh Allah kepada Rasulullah Muhammad SAW untuk mengatur segala peri kehidupan, mulai dari lingkup pribadi, bermasyarakat hingga bernegara.

Islam adalah suatu pola hidup yang khas, yang sangat berbeda dengan pola hidup lainnya. Islam mewajibkan pemeluknya untuk hiudp dalam satu warna kehidupan tertentu secara konstan, tidak berganti dan berubah karena situasi maupun kondisi. Islam mengharuskan mereka untuk selalu mengikatkan diri dengan pola kehidupan tersebut dengan membentuk suatu kepribadian, yang menjadikan jiwa dan pikiran mereka tidak akan merasakan ketenangan dan kebahagian kecuali berada dalam kehidupan tersebut.

Islam datang dengan serangkaian pemahaman tentang kehidupan yang membentuk pandangan hidup tertentu. Islam hadir dalam bentuk garis-garis hukum yang global (khuthuuth ’aridhah), yakni makna-makna tekstual yang umum, yang mampu memecahkan seluruh problem kehidupan manusia.

Pandangan hidup Islam terhimpun dalam hukum-hukum Islam, dan hukum-hukum islam telah memberikan cara untuk masalah perdagangan dengan metodenya yang khas, sebagaimana Islam menerangkan tata cara shalat. Islam mengatur masalah pernikahan dengan cara yang khas, sebagaimana Islam mengatur masalah zakat. Islampun menjelaskan cara-cara pemilikan harta benda berikut cara membelanjakannya dengan tata cara yang khas, sebagaimana menjelaskan masalah-masalah haji. Islamjuga memberikan perincian tentang transaksi dan mu’amalat dengan cara yang khas, sebagaimana menjelaskan masalah-masalah haji. Islam menjelaskan masalah-masalah pidana dan hudud sebagaimana Islam menjelaskan tentang kenikmatan jannah dan siksa jahannam.

Demikianlah padangan hidup Islam, mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan dengan manusia lain dan mengatur hubungan dengan Allah Rabbul Jalil. Maka dalam pandangan hidup Islam, manusia adalah mukallaf yang senantiasa menjadikan setiap urusan kehidupannya sebagai bentuk ibadah.

وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.(Ad-Dzariyat : 56)

Oleh karena itu, seorang muslim akan menjalani kehidupan ini dengan suatu pemahaman yang khas tentang kehidupan. Ia akan hidup dengan suatu corak dan pola kehidupan yang tertentu pula, sebagai konsekwensi dari kepemelukannya terhadap aqidah Islam, dan kewajibannya untuk mentaati perintah Allah ta’ala dan menjauhi larangannya.Jadi, memiliki suatu pemahaman tertentu tentang kehidupan dan menjalani suatu pola kehidupan tertentu adalah wajib bagi setiap muslim dan seluruh kaum muslimin, tanpa ada keraguan sedikitpun.

Maka perlu ditegaskan lagi, bahwa Islam bukan hanya sekedar agama ritual semata, bukan sekedar ide-ide teologi. Akan tetapi Islam adalah suatu metode kehidupan tertentu dimana setiap muslim dan seluruh kaum muslimin wajib menjalani kehidupannya sesuai dengan metode ini.

Kesempurnaan sebagai sebuah pandangan dan meode kehidupan yang berasal dari Allah yang Maha Tahu membuat Islam dan pemeluknya tidak membutuhkan tambahan aturan dan sistem yang berasal dari aqidah, sistem dan peradaban selain islam. Islam tidak membutuhkan cara peribadatan dengan memakai perantara seperti yang dilakukan agama lain, sebagaimana Islam juga tidak membutuhkan model-model sistem seperti demokrasi dan pluralisme.

ومن يبتغ غير الإسلام دينا فلن يقبل منه وهو في الآخرة من الخاسرين
Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (Ali Imran : 85)


Friday, September 14, 2007

MENGUAK FUNDAMENTALISME

Oleh : Fadhli Yafas

Walaupun tidak dikenal dalam sejarah Islam, saat ini fundamentalisme menjadi salah terma yang sering dikaitkan dengan Islam. Kondisi ini serupa dengan terma-terma lain seperti demokrasi, sekulerisme, sosialisme dan sebagainya. Walaupun tidak memiliki akar dalam Islam, terma-terma tersebut sering diasosiasikan dengan Islam sehingga munculah kemudian istilah-istilah seperti fundamentalisme Islam, demokrasi Islami, sosialisme Islam dan sebagainya.


Berkenaan dengan fundamentalisme, terma ini bukan sekedar terma akademis atau terma sosiologis yang bebas nilai. Fundamentalisme merupakan sebuah sikap dan pandangan hidup yang dimunculkan pada abad 19 masehi oleh orang-orang Kristen protestan. Sikap dan pandangan hidup ini merupakan reaksi mereka terhadap penerapan sekularisme dan kemajuan ilmu pengetahuan di Eropa. Penerapan sekularisme dan kemajuan ilmu pengetahuan telah membuat apa yang mereka yakini dalam injil menjadi terkoreksi. Apalagi kemudian dengan potensi masalah teks yang dimilki injil , berkembang kemudian tafsir teks injil yang menggabungkan nilai-nilai sekuler dengan metodologi intepretasi pembacaan teks yang berbasis pada filsafat yunani yaitu hermeneutika. Dengan metodologi tafsir ini keberadaan injil, dan bahkan Tuhan, tidak lagi menjadi sakral, karena dalam konsep ini keberadaan teks injil dianggap sama dengan teks-teks lain, tidak sakral dan tidak dipakai makna literalnya. Dan memang pada faktanya kemudian Injil tidak mampu lagi menyajikan solusi praktis terhadap dinamika kehidupan yang dihasilkan oleh kemajuan ilmu teknologi. Hasil-hasil intepretasi Injil atau Bible menghasilkan kesenjangan dengan kemajuan ilmu pengetahuan.

Kondisi ini kemudian mendorong gerakan Protestan untuk mengambil langkah menolak kemajuan materi dan peradaban barat . Kemudian mereka juga membentuk sejumlah organisasi pada 1902 yang dikenal dengan nama The Society of The Holy Scripture. Organisasi ini menerbitkan 12 penerbitan dengan nama Fundamentals . Gerakan ini dirancang oleh kaum protestan untuk melindungi kitab suci mereka dari proses desakralisasi oleh para penafsir liberal. Selain The Society of The Holy Scripture, kemudian didirikan juga Lembaga Kristen Fundamentalis Internasional dan Perhimpunan Fundamentalis Nasional pada tahun 1919 . Inilah akar fundamentalisme, sebuah pandangan hidup yang lahir sebagai reaksi atas kemajuan ilmu pengetahuan dan penafsiran injil yang menafikan makna literal injil.

Dengan melihat sejarah fundamentalisme jelaslah bahwa konsepsi ini merupakan sebuah pandangan hidup orang Protestan kala itu. Dan sebagai sebuah pandangan hidup, jelas terma fundamentalisme bukankah sebuah terma yang netral dan bebas nilai. Konsepsi ini jelas-jelas memiliki muatan nilai-nilai pandangan teologi Kristen.Dan saat ini, bagi orang kebanyakan orang Kristen sendiri menurut John L.Esposito, sebutan fundamentalisme merupakan sebuah hinaan .

Walau nyata-nyata fundamentalisme merupakan sebuah pandangan hidup yang khas dari orang Protestan, belakangan kaum orientalis dan para liberalis yang tinggal di negeri kaum muslimin, teramat sering mengaitkan antara fundamentalisme dengan Islam. Sepertinya mereka mencoba untuk melemparkan hinaan itu kepada kaum muslimin juga. Bagi mereka, terdapat irisan antara konsepsi fundamentalisme dengan keberadaan beberapa kelompok kaum muslimin. Dengan alasan bahwa kaum muslimin tersebut melakukan beberapa hal yang dilakukan oleh orang Protestan dulu yaitu : 1) Mereka menolak metode tafsir hermeneutic sekuler dalam menafsirkan Kitab Suci; 2) Menolak keberadaan paham Liberalis Sekuler.

Kalau kita betul-betul pahami akar permasalahannya, maka tuduhan fundamentalisme terhadap kaum muslimin adalah suatu hal yang keliru dan sembrono. Penyebab utama dari munculnya fundamentalisme adalah ancaman desakralisasi terhadap bible (injil) akibat tafsir hermeneutika-sekuler.

Hermeneutika sendiri bukanlah konsep asli teologi Kristen. Konsep ini merupakan serapan dari filsafat Yunani . Konsep ini misalnya dapat ditemukan dalam karya Plato (429-347) Politikos, Epinomis,Defitione dan Timeus. Dahulu, orang-orang Yunani menggunakannya sebagai sutu metodologi intepretasi teks-teks karya sastra dan mitos-mitos yang bersifat Ketuhanan (divine). Salah satu model hermeneutika yang berkembang adalah intepretasi allegoris yaitu sebuah metode memahami teks dengan mencari makna yang lebih dari sekedar pengertian literal (tekstual). Metode ini dikembangkan oleh Stoicisme (300 SM).

Secara umum hermeneutika kemudian diadopsi kalangan Kristen dan Yahudi. Adapun penyebab diadopsinya metode ini pada awalnya diakibatkan oleh permasalahan yang dimiliki oleh Bible. Minimal ada dua problem pada Bible yang menyebabkan diadopsinya hermeneutika.

a. Problem pada teks Bible
Dalam lingkup teks pada Bible terdapat tiga bahasa yang digunakan. Bahasa Hebrew sebagai bahasa asal kitab perjanjian lama (old testament), bahasa Yunani (Greek) sebagai asal kitab perjanjian baru (new testament) dan bahasa Aramaic, bahasa yang digunakan oleh Yesus. Problem timbul ketika hendak menerjemahkan dan menafsirkan Bible kedalam bahasa lain.

Kitab Perjanjian lama misalnya. Bahasa Hebrew yang digunakan pada kitab ini adalah bahasa kuno yang tidak digunakan lagi dan tidak ditemukan seorangpun native dalam bahasa ini. Maka untuk dapat memahami Hebrew Bible ini, para teolog Kristen dan Yahudi menggunakan bahasa serumpun dengan Hebrew (rumpun semitic) yaitu bahasa Arab . Disinilah kemudian hermeneutika digunakan. Sebagai jembatan yang diharapkan bisa menangkap makna yang dikandung Bible. Namun kalau diperhatikan, sebenarnya tidak lebih dari sekedar akal-akalan dari orang Kristen dan Yahudi. Tidak dikuasainya bahasa Hebrew sudah jelas membuat mereka tidak akan bisa memahami makna literal dari Bible. Penggunaan hermeneutika tidak lebih dari sekedar sebuah upaya menutupi kelemahan Bible dan sebuah upaya agar Bible masih dapat dipakai.

b. Masalah Orisinalitas
Walau merupakan kitab yang sangat tua, Hebrew Bible masih merupakan misteri yang belum terpecahkan, yaitu berkenaan dengan siapa yang menulis kitab ini. Kondisi ini juga diperparah dengan banyaknya kontradiksi dalam Bible ini. Hebrew Bible ini, sebagaimana dikutip Prof. Dr. Wan Mohd Nor, menurut para cendekiawan mereka, tidaklah dibangun sepenuhnya atas dasar ilmiah historis yang menunjukkan keasliannya, tapi berdasrkan pada kepercayaan belaka . Permasalahan orisinilitas ini juga pernah diungkap Al Quran dalam Al Baqarah ayat 79.

Demikian juga dengan New Testament. Kitab yang berbahasa asli Yunani ini memiliki versi manuskrip yang sangat banyak. Bruce M. Metzer menyebutkan terdapat sekitar 5000 manuskrip teks Greek Bible yang berbeda satu dengan yang lainnya. . Hal ini tentu akan menyebabkan banyak ”lubang” ketika kitab-kitab ini di intepretasikan. Disinilah fungsi hermenutika, membuat agar kontradiksi-kontradiksi yang terdapat pada Bible bisa dikompromikan dengan rekayasa makna dan untuk menjaga agar Bible tetap dianggap sebagai kitab keagamaan mereka.

Pada perkembangan berikutnya metode hermeneutika yang diadopsi Kristen berkembang menjadi dua metode utama, metode alegoris (metode simbolik) yang dipengaruhi hermeneutika Plato dan berpusat di Alexandria dan metode literal (yang menekankan pada arti jelas dan harfiah sebuah teks) yang dipengaruhi hermeneutika Aristoteles yang berpusat di Antioch. Hermeneutika alegoris mendominasi pada masa-masa awal masa kristianitas sekitar abad ke-2 M. Adalah Origen (185-254) yang dapat dianggap sebagai pelopor diadopsinya hermeneutika kedalam teologi Kristen. Ia mengembangkan metode alegoris yang disusun oleh Philo (25 SM-50 M) dari Alexandria. Pada masa ini juga merupakan masa-masa awal dominasi teologi Kristen terhadap filsafat. Pada masa ini keruntuhan kekaisaran Romawi terjadi.

Inilah masa-masa yang kemudian dikenal sebagai masa kegelapan Eropa. Pada masa ini pula Gereja Katolik Romawi berkuasa secara politik. Kepausan dengan mantap memperluas kekuasaannya. Sementara itu, Hermenuetika Aristoteles mendapat tempat pada masa-masa skolatisisme yang tampil pada abad XI. Pada masa ini berlanjut masa dimana para pejabat gereja memegang otoritas tertinggi, bukan hanya dalam masalah keagamaan, tetapi juga dalam masalah ilmu pengetahuan. Tokoh yang terkenal dari masa ini adalah Thomas Aquinas (1225-1274). Ajarannya banyak menekankan pada hermeneutika literal dan menolak intepretasi alegoris ala Plato.

Walaupun telah memakai hermeneutika, ternyata hal ini tidak otomatis menyelesaikan permasalahan Bible dalam teologi Kristen. Berkembang misalnya perbedaan pendapat apakah Bible merupakan kalam Tuhan atau merupakan hasil tulisan dan intepretasi tokoh-tokoh dalam teologi Kristen? Berkembang pula tradisi-tradisi gereja seperti api pencucian, misa dan indulgensi (praktek penjualan pengampunan dosa) oleh paus, yang kemudian dianggap sebagai tradisi Kristen dan merupakan sumber keimanan disamping Bible. Hal ini yang mendorong Marthin Luther (1483-1546) melakukan pemberontakan terhadap gereja Katholik. Gerakan Martin Luther ini dianggap sebagai pendorong terjadinya reformasi Kristen sekaligus sebagai awal berkembangnya sekte Protestan dalam teologi Kristen. Dalam pemikiran teologinya, gerakan Protestan ini menekankan penggunaan metode hermeneutika literal dalam memahami Bible. Namun lagi-lagi gerakan reformasi ini tetap belum sepenuhnya bisa memuaskan orang-orang Kristen. Hermeneutika literal yang diusung gerakan Protestan tetap tidak dapat memecahkan persoalan kesulitan bacaan suatu paragrap Bible. Demikian juga, hermeneutika literal tidak dapat mengelak dari intepretasi yang arbitraryly yang pada masa-masa itu sudah mulai meresahkan.

Walaupun saling bertentangan, pihak gereja Katholik dan Protestan sama-sama tergagap ketika menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan yang mulai terjadi pada abad XV dan XVI. Sikap ini misalnya terlihat ketika mereka sama-sama menolak penemuan ilmiah Johannes Kepler (1571-1630) tentang lintasan planet yang berbentuk elips dan teori Galileo Galilei (1569-1624) yang memperkuat pendapat Copernicus tentang bumi yang mengelilingi matahari (heliocentric). Terjadinya gap antara intepretasi Bible—dengan segala model hermeneutika—dengan penemuan-penemuan ilmiah membawa kepada konsekwensi runtuhnya kepercayaan terhadap Bible dan pola-pola intepretasi model lama, hermeneutika tradisional—baik model Plato maupun cara Aristoteles—dianggap tidak memadai lagi untuk dipakai. Disinilah kemudian era hermenutika liberal mulai dikembangkan. Spirit utama dari era ini adalah pembebasan diri dari hegemoni intepretasi pihak gereja dan dari tradisi-tradisi Kristen yang irrasional. Fokus utama dari metode ini adalah bagaimana menerjemahkan dan menangkap realitas yang ada pada teks kuno Bible ke dalam bahasa yang difahami oleh manusia modern.
Salah satu tokoh utama dari proyek hermeneutika modern ini adalah Schleiermacher (1768-1834). Pemahaman hermeneutikanya membahas dua lingkup, yaitu pemahaman ketatabahasaan (gramatikal) dan kedua pemahaman terhadap kondisi psikologis pengarang. Dalam kondisi pemahaman terhadap pengarang ini Schleiermacher menyebutkan bahwa seorang interpreter yang baik adalah yang berhasil memahami kondisi pengarang sebaik dan—bahkan melebihi—pengarang tersebut memahami dirinya, karena interpreter dapat merekonstruksi segala motivasi dan asumsi yang tersebunyi dari pengarang sehingga membuka selubung segala motivasi dan strategi yang tersembunyi dari si pengarang. Konsekwensi dari teori ini adalah seorang intepreter dapat mereproduksi ulang sebuah isi kitab lebih baik dari pengarang terdahulu karena ia telah memahami segala motivasi dan situasi strategis yang melingkupi pengarang terdahulu. Selain itu terbuka juga peluang desakralisasi terhadap teks yang bersifat divine (yang berasal dari Tuhan), karena metode ini menyamaratakan semua teks, semua teks adalah produksi dari pengarangnya dan dapat diberi perlakukan yang sama.

Disinilah mulai terlihat semangat liberalisasi intepretasi Bible. Jika dahulu intepretasi Biblelah yang mengatur kebebasan berfikir, tapi pada zaman ini kebebasan berfikirlah yang menentukan bagaimana intepretasi dari Bible. Hal ini seperti yang disebutkan Spinoza (1632-1677) dalam Tractus Theologica Politicus, dia menyebutkan bahwa standar exegesis (intepretasi) untuk Bible hanyalah akal yang dapat diterima oleh semua.

Gerakan liberalisasi Bible inilah yang ditentang Protestan ortodok. Mereka menetapkan prinsip-prinsip fundamentalisme pada konferensi Bible di Niagara 1878 dan konferensi Presbyterian pada tahun 1910. Mereka juga mengaku mendapatkan ajaran langsung dari Tuhan dan mengarah pada pola hidup eksklusif dan menjauhi interaksi dengan kehidupan sosial yang ada, menolak interaksi dengan kenyataan hidup, memusuhi akal, fikiran ilmiah dan penemuan-penenemuan ilmiah. Dengan sikap seperti itu tidak heran sebagaimana yang disampaikan Esposito bahwa bagi masyarakat barat sebutan fundamentalisme pada saat ini adalah sebuah hinaan.

Jadi dimanakah adanya irisan antara sejarah fundamentalisme ini dengan Islam? Sama sekali tidak ada. Kalau dikatakan disebabkan penolakan terhadap hermeneutika sebagai alasan untuk melabelkan fundamentalisme kepada beberapa kelompok kaum muslimin, sudah barang tentu ini adalah tuduhan yang serampangan. Islam tidak memerlukan hermeneutika sebagaimana orang-orang Kristen ketika berinteraksi dengan kitab sucinya. Kitab suci kaum muslimin—yaitu Al Quran—sama sekali tidak memiliki problem teks sebagaimana bible. Al Quran sejak zaman diturunkan kepada Muhammad SAW hingga sekarang tidak memiliki permasalahan dalam hal orisinalitas Kemudian dalam intepretasi, Islam memiliki metodologi tersendiri, sehingga sama sekali tidak membutuhkan hermeneutika. Lagi pula karakteristik hermenutika yang bersumber dari dongeng-dongeng Yunani ( bukankah mitologi dapat disamakan dengan dongeng?, bahkan hermeneutika sendiri berasal dari nama tokoh dongeng Yunani, Hermes) tentu sama sekali tidak layak disentuhkan dengan Al Quran yang berasal dari Allah SWT. Dan metodologi intepretasi atau tafsir ini telah diterapkan sejak zaman Islam berkuasa dulu, dan sama sekali tidak ada satupun catatan sejarah yang bercerita mengenai adanya pertentangan antara hasil intepretasi Ulama terdahulu dengan kemajuan yang dicapai kaum muslimin. Pada masa itu juga ilmu pengetahuan berkembang dengan sangat baik. Bahkan yang terjadi adalah justru Islam yang mengubah kehidupan para pengembara dan pedagang padang pasir menjadi penguasa dunia. Ditangan mereka kemudian muncul banyak penemuan-penemuan ilmiah. Disnilah perbedaan Al Qur`an dan Bible. Penerapan Bible malah mengakibatkan kemunduran berfikir, sebaliknya Al Qur`an menghasilkan peradaban yang gilang gemilang, Disinilah Al Qura`an berfungsi secara sempurna yaitu menjadi pegangan yang mencerahkan, Allah berfirman:

Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur`an) sebagai penjelas segala sesuatu (QS An-Nahl :89)

Dan semuanya tanpa ada pertentangan dengan tafsir Al Quran sama sekali. Dan harus diingat kondisi ini berjarak cukup jauh dengan zaman pertama kali Al Quran turun, sampai ribuan tahun. Maka untuk permasalahan intepretasi teks ini bisa disimpulkan; 1)Islam sama sekali tidak membutuhkan metodologi hermeneutika dalam hal intepretasi, karena Islam memiliki metodologi intepretasi sendiri. Dipakainya hermeneutika sebagai metodologi tidak lebih disebabkan oleh kebingungan orang-orang Kristen dalam menyikapi kondisi teks Bible yang bermasalah dalam teksnya. Tidak heran mereka kemudian berpaling kepada hermeneutika—sebuah cara intepretasi yang berasal dari Yunani—karena Bible telah dipenuhi oleh sentuhan pemikiran dan filsafat Yunani, termasuk bahasa dalam Bible itu sendiri; 2) Metodologi intepretasi kitab suci versi ulama Islam terbukti bisa menyeiring dengan kemajuan teknologi dan Ilmu pengetahuan.
Sementara berkenaan dengan penolakan sekulerisme dan liberalisme, sudah barang tentu penolakan itu akan terjadi. Konsep sekulerisme yang hanya mengakui agama untuk private domain dan tidak untuk public domain bertentangan secara diametral dengan konsep Islam yang telah diterapkan selama ribuan tahun. Semua konteks kehidupan baik pribadi maupun kemasyarakatan (public) diatur dalam Islam. Bahkan Islam memiliki system kenegaraan sendiri yang disebut dengan Khilafah, sebagaimana sekulerisme memiliki Demokrasi. Wajar sajalah jika sekulerisme—yang menghendaki pemisahan antara islam dengan pengaturan kenegaraan—tertolak dalam Islam, sebagaimana tertolaknya juga Liberalisme. Sikap hidup yang mendewakan keinginan dan nafsu manusia ini sama sekali tidak ada tempat dalam Islam. Dalam islam segala keinginan dan nafsu harus tunduk dengan syariat islam, karena Islam hendak membedakan antara manusia dengan binatang.
Penolakan terhadap sekulerisme dan liberalisme oleh Islam bukan karena latah terhadap orang-orang protestan. Jauh sebelum orang protestan melakukannya islam telah memiliki konsep yang bertentangan dengan sekulerisme, bahkan konsep Islam tersebut ada jauh sebelum Sekulerisme dan Liberalisme muncul di Eropa.

Dengan ini maka pelabelan fundamentalisme terhadap kaum muslimin yang menolak tafsir hermeneutika dan sekulerisme-liberalisme adalah hal yang tidak beralasan bahkan konyol. Jika mereka—orang-orang kafir dan kaum liberal yang tinggal dinegeri islam—tetap memaksakan melabelkan fundamentalisme kepada kaum muslimin, maka ada kemungkinan mereka adalah orang-orang yang memiliki cara berfikir yang disebut sebagai fallacy of dramatic instance. Dalam pola berfikir ini, jika mereka menemukan hal yang sama dalam dua hal yang berbeda maka mereka langsung menganggap dua hal tersebut ada kesamaan. Bisa juga hal tersebut merupakan sebuah kesengajaan yang memiliki target, munculnya kesan bahwa penentang sekulerisme-liberalisme adalah orang-orang yang memiliki citra jelek, anti kemajuan dan Ilmu pengetahuan.






Wednesday, September 12, 2007

Penentuan Awal dan Akhir Ramadhan

Ada yang menyatakan, bahwa menentukan awal-akhir Ramadhan tidak harus dengan rukyat, tetapi bisa dengan hisab (perhitungan astronomi), sebagaimana yang digunakan dalam menentukan waktu shalat. Apakah memang boleh demikian? Jika tidak, mengapa? Bukankah, hisab boleh digunakan dalam menentukan waktu shalat, berarti seharusnya boleh juga digunakan untuk menentukan awal-akhir Ramadhan?



Untuk menjelaskan boleh dan tidaknya hal di atas, kami akan jelaskan beberapa ketentuan sebagai berikut:

1- Allah SWT meminta kita agar beribadah sebagaimana yang Dia perintahkan. Jika kita beribadah kepada-Nya bukan dengan cara yang Dia perintahkan, maka kita telah melakukan kesalahan, bahkan apa yang kita lakukan itu kita anggap baik dan benar sekalipun.

2- Allah SWT memerintahkan kita berpuasa dan berhariraya karena melihat hilal (rukyat al-hilal). Dia juga telah menjadikan rukyat sebagai sebab berpuasa dan berhari raya:

«صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ»

“Berpuasalah kalian karena melihat bulan, dan berhari rayalah kalian karena melihatnya.” (HR. Muslim)

Jika kita telah melihat hilal Ramadhan, maka kita berpuasa, dan jika kita melihat hilal Syawal, maka kita pun berhari raya.

3- Jika kita tidak melihat hilal Syawal, misalnya, karena mendung benar-benar telah menyelimutinya, sekalipun hilal tersebut nyata-nyata ada, tetapi kita tidak bisa melihatnya, karena ada penghalang (mendung) yang menghalanginya, maka kenyataannya kita tidak akan berpuasa dan berhari raya karena alasan awal bulan. Sebab, haditsnya dengan tegas menyatakan:

«فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ»

“Jika mendung telah menghalangi kalian, maka sempurnakanlah (genapkanlah) hitungan Sya’ban.” (HR. Muslim)

4- Allah SWT tidak membebani kita untuk beribadah kepada-Nya dengan cara yang tidak Dia perintahkan. Misalnya, kalau seandainya hisab (perhitungan astronomi) menyatakan, bahwa besok secara pasti adalah bulan Ramadhan —dimana pada zaman sekarang perhitungan astronomi bisa menetapkan posisi bulan sejak bulan tersebut lahir hingga bulan purnama, kemudian menyusut, serta menghitungnya dari waktu ke waktu— tetapi faktanya kita memang benar-benar tidak bisa melihat hilal tersebut, karena mendung misalnya, maka status orang yang berpuasa —karena perhitungan tersebut— adalah dosa, meski dengan alasan bahwa Ramadhan memang benar-benar telah masuk. Dia tetap dianggap berdosa, karena hilal belum bisa dilihat, tetapi dia tetap berpuasa, padahal seharusnya dia menyempurnakan Sya’ban menjadi 30 hari. Setelah itu, baru berpuasa. Jadi, orang yang berpuasa Ramadhan dalam kondisi seperti ini pada dasarnya berdosa, karena dia telah melakukan pelanggaran. Sementara itu orang yang menyempurnakan hitungan Sya’ban juga belum berpuasa, meski hilal tadi nyata-nyata ada, tetapi tertutup awan, maka orang seperti ini tetap mendapatkan pahala karena mengikuti hadits Nabi di atas.

5- Dari sini tampak dengan jelas, bahwa kita tidak berpuasa dan berhari raya karena faktor bulannya, tetapi karena melihat hilal. Jika kita telah melihatnya, maka kita wajib berpuasa. Jika belum melihatnya, maka kita pun tidak boleh berpuasa, sekalipun bulan tersebut —menurut perhitungan astronomi— benar-benar telah masuk.

6- Jika ada sejumlah saksi, dan mereka telah memberikan kesaksian terhadap rukyat, maka mereka pun harus diperlakukan sama dengan kasus kesaksian yang lain. Jika saksinya Muslim dan tidak Fasik, maka kesaksiannya bisa diterima. Jika saksi tersebut tampaknya bulan Muslim, dan tidak adil, atau Fasik, maka kesaksiannya tidak boleh diterima.

7- Penetapan kefasikan saksi juga harus dilakukan melalui pembuktian syar’i, bukan berdasarkan perhitungan astronomi. Dengan kata lain, perhitungan tersebut tidak bisa digunakan untuk membangun hujah (argumentasi). Misalnya, Anda mengatakan, “Beberapa jam lalu, telah terjadi lahirnya anak bulan, sehingga sekarang tidak bisa dilihat…” Memang ada perbedaan pendapat di kalangan ahli astronomi tentang tenggat waktu setelah lahirnya anak bulan yang memungkinkan dilakukannya rukyat. Jadi, kesaksian yang menjadi saksi perhitungan astronomi tersebut tidak boleh dijadikan hujah, tetapi perhitungannya bisa dibahas, dan dinyatakan benar setelah melihat hilal. Dia juga boleh ditanya, di mana hilal tersebut muncul, sementara yang lain menyaksikannya secara langsung. Begitu seterusnya. Setelah itu, kesaksian rukyat tersebut diterima atau ditolak berdasarkan prinsip ini.

8- Siapa saja yang menelaah nas-nas yang menyatakan hukum puasa, pasti akan menemukan adanya perbedaan antara nas-nas yang menyatakan hukum shalat. Puasa dan hari raya telah dihubungkan dengan rukyat:

«صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ»

“Berpuasalah kalian karena melihat bulan, dan berhari rayalah kalian karena melihatnya.” (HR. Muslim)

« فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ»

“Siapa saja di antara kalian yang menyaksikan bulan (hilal Ramadhan), maka hendaknya dia berpuasa.” (QS. Al-Baqarah [02]: 185)

Jadi, yang menentukan (puasa dan hari raya) adalah rukyat. Berbeda dengan nas-nas shalat, yang dihubungkan dengan waktu:

«أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوْكِ الشَّمْسِ»

“Dirikanlah shalat, karena matahari telah tergelincir.” (QS. Al-Isra’ [17]: 78)

«إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ فَصَلَّوْا»

“Jika matahari telah tergelincir, maka shalatlah kalian.” (HR. at-Thabrani)

Jadi, praktik shalat tergantung pada waktu, dan dengan cara apapun agar waktu shalat itu bisa dibuktikan, maka shalat pun bisa dilakukan dengan cara tersebut. Jika Anda melihat matahari untuk melihat waktu zawal (tergelincirnya matahari), atau melihat bayangan agar Anda bisa melihat bayangan benda, apakah sama atau melebihinya, sebagaimana yang dinyatakan dalam hadits-hadits tentang waktu shalat; jika Anda melakukanya, dan Anda bisa membuktikan waktu tersebut, maka shalat Anda pun sah. Jika Anda tidak melakukannya, tetapi cukup dengan menghitungnya dengan perhitungan astronomi, kemudian Anda tahu bahwa waktu zawal itu jatuh jam ini, kemudian Anda melihat jam Anda, tanpa harus keluar untuk melihat matahari atau bayangan, maka shalat Anda pun sah. Dengan kata lain, waktu tersebut bisa dibuktikan dengan cara apapun. Mengapa? Karena Allah SWT telah memerintahkan Anda untuk melakukan shalat ketika waktunya masuk, dan menyerahkan kepada Anda untuk melakukan pembuktian masuknya waktu tersebut tanpa memberikan ketentuan detail, tentang bagaimana cara membuktikannya. Berbeda dengan puasa. Dia memerintahkan Anda berpuasa berdasarkan rukyat. Dia pun menentukan sebab (berpuasa dan berhari raya) untuk Anda. Lebih dari itu, Dia menyatakan kepada Anda: “Jika mendung menghalangi rukyat, sehingga tidak terlihat, maka janganlah Anda berpuasa, meskipun hilal tersebut ada di balik mendung, dimana Anda yakin hilal tersebut ada melalui perhitungan astronomi.”

9- Allah SWT adalah pencipta alam ini. Dialah yang mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Pengetahuan tentang pergerakan bintang dan rinciannya adalah anugerah dari Allah kepada umat manusia. Tetapi, Allah SWT tidak memerintahkan kita untuk beribadah dengan berpijak kepada perhitungan astronomi, tetapi memerintahkan kita untuk melakukan rukyat, sehingga kita pun beribadah kepada-Nya sebagaimana yang diperintahkan, dan tidak beribadah kepada-Nya dengan apa yang tidak diperintahkan.

Dengan demikian, hanya rukyat-lah satu-satunya penentu dalam berpuasa dan berhariraya, bukan perhitungan astronomi. Berangkat dari sana, maka saya tegaskan, bahwa perhitungan astronomi tersebut tidak boleh digunakan untuk berpuasa dan berhariraya, tetapi hanya rukyat-lah satu-satunya yang boleh. Sebab itulah yang dinyatakan dalam nas-nas syariah.



Thursday, September 6, 2007

Apakah Khilafah Islamiyyah Hanya Berumur 30 Tahun dan Selebihnya Kerajaan?

Sebagian kaum muslim ada yang berpendapat bahwa masa kekhilafahan hanya berumur 30 tahun dan selebihnya adalah kerajaan. Mereka mengetengahkan hadits-hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Ibnu Hibban dan ulama-ulama lainnya.


Rasulullah saw bersabda, ”Setelah aku, khilafah yang ada pada umatku hanya berumur 30 tahun, setelah itu adalah kerajaan.”[HR. Imam Ahmad, Tirmidziy, dan Abu Ya’la dengan isnad hasan]

“Khilafah itu hanya berumur 30 tahun dan setelah itu adalah raja-raja, sedangkan para khalifah dan raja-raja berjumlah 12.”[HR.. Ibnu Hibban]

“Sesungguhnya awal adari agama ini adalah nubuwwah dan rahmat, setelah itu akan tiba masa khilafah dan rahmat, setelah itu akan datang masa raja-raja dan para diktator. Keduanya akan membuat kerusakan di tengah-tengah umat. Mereka telah menghalalkan sutr, khamer, dan kefasidan. Mereka selalu mendapatkan pertolongan dalam mengerjakan hal-hal tersebu; mereka juga mendapatkan rejeki selama-selamanya, sampai menghadap kepada Allah swt.”[HR. Abu Ya’la dan Al-Bazar dengan isnad hasan]

Hadits-hadits inilah yang dijadikan dalil bahwa masa kekhilafahan itu hanya 30 tahun dan selebihnya adalah kerajaan. Lebih dari itu, mereka juga menyatakan bahwa perjuangan menegakkan khilafah Islamiyyah hanyalah perjuangan kosong dan khayalan. Sebab, Rasulullah saw telah menyatakan dengan sangat jelas bahwa masa kekhilafahan itu hanya berumur 30 tahun. Walhasil, kekhilafahan tidak mungkin berdiri meskipun diperjuangkan oleh gerakan-gerakan Islam. Kalau pun pemerintahan Islam berdiri bentuknya tidak khilafah akan tetapi kerajaan.

Lalu, apakah benar bahwa hadits-hadits di atas dalalahnya menunjukkan bahwa umur khilafah Islamiyyah itu hanya 30 tahun dan selebihnya adalah kerajaan?

Untuk menjawab pendapat-pendapat ini kita harus menjelaskan satu persatu maksud dari hadits-hadits di atas.


Hadits Pertama

Kata khilafah yang tercantum dalam hadits pertama maknanya adalah khilafah nubuwwah, bukan khilafah secara mutlak.

Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fath al-Bariy berkata, “Yang dimaksud dengan khilafah pada hadits ini adalah khilafah al-Nubuwwah (khilafah yang berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip nubuwwah), sedangkan Mu’awiyyah dan khalifah-khalifah setelahnya menjalankan pemerintahan layaknya raja-raja. Akan tetapi mereka tetap dinamakan sebagai khalifah.” Pengertian semacam ini diperkuat oleh sebuah riwayat yang dituturkan oleh Imam Abu Dawud,”Khilafah Nubuwwah itu berumur 30 tahun”[HR. Abu Dawud dalam Sunan Abu Dawud no.4646, 4647]

Yang dimaksud khilafah Nubuwwah di sini adalah empat khulafaur Rasyidin; Abu Bakar, ‘Umar , ‘Utsman, dan Ali Bin Thalib. Mereka adalah para khalifah yang menjalankan roda pemerintahan seperti Rasulullah saw. Mereka tidak hanya berkedudukan sebagai penguasa, akan tetapi secara langsung benar-benar seperti Rasulullah saw dalam mengatur urusan pemerintahan. Sedangkan kebanyakan khalifah-khalifah dari dinasti Umayyah, ‘Abbasiyyah dan ‘Utsmaniyyah banyak yang tidak menjalankan roda pemerintahan seperti halnya Rasulullah saw, namun demikian mereka tetap disebut sebagai amirul mukminin atau khalifah.

Ada diantara mereka yang dikategorikan sebagai khulafaur rasyidin, yakni Umar bin ‘Abdul ‘Aziz yang dibaiat pada bulan Shafar tahun 99 H. Diantara mereka yang menjalankan roda pemerintahan hampir-hampir dekat dengan apa yang dilakukan oleh Nabi saw, misalnya Al-Dzahir bi Amrillah yang dibaiat pada tahun 622 H. Ibnu Atsir menuturkan, “Ketika Al-Dzahir diangkat menjadi khalifah, keadilan dan kebaikan telah tampak di mana-mana seperti pada masa khalifah dua Umar (Umar bin Khaththab dan Ibnu Umar). Seandainya dikatakan, “Dirinya tidak ubahnya dengan khalifah Umar bin Abdul Aziz, maka ini adalah perkataan yang baik.”

Para khalifah pada masa-masa berikutnya meskipun tak ubahnya seorang raja, akan tetapi mereka tetap menjalankan roda pemerintahan berdasarkan sistem pemerintahan Islam, yakni khilafah Islamiyyah. Mereka tidak pernah menggunakan sistem kerajaan, kesultanan maupun sistem lainnyan. Walaupun kaum muslim berada pada masa-masa kemunduran dan keterpurukan, namun mereka tetap menjalankan roda pemerintahan dalam koridor sistem kekhilafahan bukan dengan sistem pemerintahan yang lain. Walhasil, tidak benar jika dinyatakan bahwa umur khilafah Islamiyyah itu hanya 30 tahun. Yang benar adalah, sistem kekhilafahan tetap ditegakkan oleh penguasa-penguasa Islam hingga tahun 1924 M.


Hadits Kedua & Ketiga

Kata “al-muluuk”(raja-raja) dalam hadits di atas bermakna adalah,” Sebagian tingkah laku dari para khalifah itu tidak ubahnya dengan raja-raja”. Hadits di atas sama sekali tidak memberikan arti bahwa mereka adalah raja secara mutlak, akan tetapi hanya menunjukkan bahwa para khalifah itu dalam hal-hal tertentu bertingkah laku seperti seorang raja. Fakta sejarah telah menunjukkan pengertian semacam ini. Sebab, para khalifah dinasti ‘Abbasiyyah, Umayyah, dan ‘Utsmaniyyah tidak pernah berusaha menghancurkan sistem kekhilafahan, atau menggantinya dengan sistem kerajaan. Mereka tetap berpegang teguh dengan sistem kekhilafahan, meskipun sebagian perilaku mereka seperti seorang raja.

Meskipun kebanyakan khalifah pada masa dinasti ‘Abbasiyyah, Umayyah, dan ‘Utsmaniyyah ditunjuk selagi khalifah sebelumnya masih hidup dan memerintah, akan tetapi proses pengangkatan sang khalifah tetap dilakukan dengan cara baiat oleh seluruh kaum muslim; bukan dengan putra mahkota (wilayat al-‘ahdi).

Makna yang ditunjuk oleh frasa “dan setelah itu adalah raja-raja” adalah makna bahasa, bukan makna istilah. Dengan kata lain, arti dari frasa tersebut adalah “raja dan sultan” bukan sistem kerajaan dan kesultanan. Atas dasar itu, dalam hadits-hadits yang lain dinyatakan bahwa mereka adalah seorang penguasa (khalifah) yang memerintah kaum muslim dengan sistem khilafah. Dituturkan oleh Ibnu Hibban, “Rasulullah saw bersabda,”Setelah aku akan ada para khalifah yang berbuat sebagaimana yang mereka ketahui dan mengerjakan sesuatu yang diperintahkan kepada mereka. Setelah mereka berlalu, akan ada para khalifah yang berbuat tidak atas dasar apa yang diketahuinya dan mengerjakan sesuatu tidak atas apa yang diperintahkan kepada mereka. Siapa saja yang ingkar maka ia terbebas dari dosa, dan barangsiapa berlepas diri maka ia akan selamat. Akan tetapi, siapa saja yang ridlo dan mengikuti mereka maka ia berdosa.”

Penjelasan di atas sudah cukup untuk menggugurkan pendapat yang menyatakan bahwa sistem khilafah Islamiyyah hanya berumur 30 tahun dan selebihnya adalah kerajaan. Hadits-hadits yang mereka ketengahkan sama sekali tidak menunjukkan makna tersebut. Sistem khilafah Islamiyyah tetap berlangsung dan terus dipertahankan di sepanjang sejarah Islam, hingga tahun 1924 M. Meskipun sebagian besar khalifah dinasti ‘Abbasiyyah, Umayyah, dan ‘Utsmaniyyah bertingkah laku tak ubahnya seorang raja, namun mereka tetap konsisten dengan sistem pemerintahan yang telah digariskan oleh Rasulullah saw, yakni khilafah Islamiyyah.

Tugas kita sekarang adalah berjuang untuk menegakkan kembali khilafah Islamiyyah sesuai dengan manhaj Rasulullah saw. Sebab, tertegaknya khilafah merupakan prasyarat bagi tersempurnanya agama Islam. Tidak ada Islam tanpa syariah, dan tidak ada syariah tanpa khilafah Islamiyyah.




Wednesday, September 5, 2007

Surat Raja George II (Inggris) Kepada Khalifah Kaum Muslimin

Dari George II, Raja Inggeris, Swedia dan Norwegia,
Kepada Khalifah - penguasa kaum Muslimin -
di Kerajaan Andalusia,
Yang Dipertuan Agung, Hisyam III,


Yang Mulia..

Setelah salam hormat dan takdzim, kami beritahukan kepada yang Mulia, bahwa kami telah mendengar tentang kemajuan yang luar biasa, dimana berbagai sekolah sains dan industri bisa menikmatinya di negeri yang Mulia, yang metropolit itu.

Kami mengharapkan anak-anak kami bisa menimba keagungan yang ideal ini agar kelak menjadi cikal bakal kebaikan untuk mewarisi peninggalan yang Mulia guna menebar cahaya ilmu di negeri kami, yang masih diliputi kebodohan dari berbagai penjuru.

Kami telah memutuskan puteri saudara kandung kami, Dubant, untuk memimpin delegasi dari puteri-puteri pemuka Inggeris agar bisa memetik kemuliaan … agar kelak beliau bisa ditempatkan bersama teman-teman puterinya dalam naungan kebesaran yang Mulia.

Puteri kecil kami, juga telah dibekali dengan hadiah kehormatan untuk menghormati kedudukan yang Mulia nan agung..

Hamba mengharapkan kemuliaan yang Mulia dengan berkenan menerimanya, dengan penuh hormat dan penuh cinta yang tulus.

Tertanda,
Pelayan yang Mulia nan taat,
George II


Source: HT Sudan