Tuesday, May 22, 2007

Indonesia, Pakistan dan Bolivia

Dengan mantap juragan wapres JK mengatakan bahwa Indonesia tidak akan meniru baik Pakistan maupun Bolivia, dimana Pakistan manut pada Amerika sementara Bolivia anti Amerika (Kompas 22 Mei 2007).


Bebas aktif, itulah model politik yang sejak SD saya denger dari guru saya, politik yang menjelaskan posisi Indonesia di dunia internasional yaitu bebas, tidak ikut blok manapun, dan aktif dimana Indonesia aktif untuk mengupayakan terciptanya perdamaian dunia.

Tapi sejatinya, politik kayak begini ndak pernah betul-betul terjadi. Sejak zaman Soeharto jadi Presiden kecenderungan negara Indonesia adalah sebagai pemihak kepentingan negara-negara Kapitalis seperti Amerika dan Inggris. Sejak berkuasa Soeharto sudah mempersilahken perusahaan-perusahaan negara tersebut untuk mengambil sebanyak-banyaknya kekayaan alam Indonesia, Freeport dan Caltex adalah contoh pemain lama yang mengeruk kekayaan alam negeri ini.

Kebebasan Indonesia sejak dulu sudah dipasung oleh negara-negara tersebut melalui mekanisme hutang luar negeri yang bejibun. Setiap upaya menentang kehendak negara Barat berarti jatah hutang bakal dikurangi.

Bukan hanya dalam ekonomi, dalam militer pun negeri kita ini di set untuk menekuk lutut dihadapan Amerika, Negeri ini dibikin tergantung dengan berbagai peralatan dan pelatihan militer dari Amerika. Dan negeri ini akhirnya ndak pernah mampu bikin alat pertahanan militer yang canggih, tengok aja, gak sedikit besi yang dipakai sebagai sistem persenjataan sebenarnya lebih layak dilego ke juragan madura buat dikiloin. Padahal dari dulu sudah ada yang namanya PINDAD, perusahaan negara yang berkosentrasi untuk bikin persenjataan.

Berganti Presiden gak otomatis membuat ketergantungan ini pupus. Tercatat sudah berkali-kali ganti penguasa mulai dari Habibie, Gus Dur, Megawati dan SBY, ketergantungan sama Amerika dan negara Kapitalis malah semakin meningkat. Penghentian kucuran untuk industri strategis PT. DI, penghentian subsidi pendidikan, privitasi BUMN, kenaikan harga BBM dan privitasasi Sumber Daya Air adalah contoh nyata ketaatan penguasa negeri ini terhadap tekanan negara barat kapitalis.

Dan sesungguhnya ketaklukan Indonesia kepada negara Barat sebenarnya lebih parah dibanding Pakistan. Kalau Pakistan berkhidmat secara utama kepada Amerika, kalau Indonesia bukan hanya takluk pada Amerika, tapi juga kepada Australia dan bahkan kepada negara secuil seperti Singapura.Parah Bener!

Monday, May 21, 2007

SBY Ngomongin Maunya Rakyat

Apa yang sebenarnya diinginkan rakyat? Terpenuhinya kebutuhan hidup sehari-hari, demikian orang nomor saru di negeri ini--SBY--menyimpulkan (http://www.detiknews.com/indexfr.php?url=http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/05/tgl/21/time/181607/idnews/783000/idkanal/10). Tetapi--lanjutnya--untuk bisa memenuhi hal tersebut sangat berat dan butuh kerja keras bersama.


Tidak salah lagi, terpenuhinya kebutuhan sehari-hari adalah salah satu keinginan paling dasar dari rakyat. Bisa beli beras, minyak goreng (yg lagi mahal bgt), BBM, lauk pauk dan sejenisnya adalah hal-hal yang diharapkan rakyat dapat mereka peroleh secara mudah murah, tanpa harus antri.

Tapi, apa bener cuman itu yang diinginkan rakyat? yang bener ajah boss! Rakyat juga pengen ketika mereka nyekolahin anaknya , anaknya sekolah ditempat yang layak, kagak usah pakai bayar segala, kagak kayak sekarang, masuk TK aja kudu bayar 1 juta perak! yang bener aja nyong! TK yang kerjanya maen prosotan ama nyanyi aja mesti bayar jutaan begitu, gimana masuk kuliahan?

Rakyat juga pengen ketika terpaksa ke rumah sakit mereka mendapat pelayanan yang layak dan murah.

Dan asal tau aja, rakyat juga pengen mendapat kondisi yang aman, kagak kayak sekarang maling, rampok, begal dan sejenisnya rebutan nongol dimana-mana.

Bisa dikatakan SBY dan tandemnya JK, gak berkutik untuk masalah memenuhi hajat rakyat banyak. Angka kemiskinan di saat mereka berkuasa malah bertambah, sebagaimana semakin bertambahnya angka pengangguran.

Memang tidak gampang, cuma mestinya kalau SBY-JK mau mereka bisa menyelesaikan masalah pemenuhan kebutuhan rakyat. Syaratnya, SBY-JK harus tobat dari menggunakan sistem yang berasal dari kapitalisme-liberalisme dan kemudian menjadikan sistem Islam sebagai landasan pengaturan negara. Dengan menghentikan mensupport diri dari sistem batil bin jahiliyah ini, bi idznillah, kehidupan rakyat akan lebih baik.

Menghentikan memakai sistem kapitalisme-liberalisme akan menimbulkan konsekwensi :
a. Semua sumber daya alam yang sifatnya melimpah (i.e sumber-sumber air, gas, Minyak Bumi, Logam-logaman, mineral2 dll) menjadi milik umum, dan tidak diperbolehkan seorangpun mendominasi eksploitasinya. Negara dalam hal ini bisa menjadi pengelola (bukan pemilik), dimana hasil kelolaannya nanti dikembalikan kepada rakyat banyak banyak dalam bentuk penyediaan sarana dan fasilitasi kesehatan, pendidikan dan keamanan secara gratis.

b. Tidak boleh ada lagi praktek-praktek ekonomi non riil dan ribawi seperti bursa saham, bursa komoditas, perdagangan uang, transaksi berbasis bunga, deposito dsb. Semua investasi mesti diarahkan kepada sektor riil, yang berpotensi membuka lapangan kerja

c. Negara bertanggung jawab menjamin mekanisme pemenuhan kebutuhan tiap individu untuk urusan pangan, papan, dan sandang. Mekanisme ini dimulai dengan keharusan tiap laki-laki, baik yang udah merid atau yang masih jomblo yang penting dah dewasa, untuk bekerja. Jika kagak ada kemampuan buat bekerja tanggung jawab ini beralih kepada keluarga terdekat dan ahli warisnya. Jika ternyata keluarganya juga blangsa, tanggung jawabnya beralih kepada negara.

Ini belum apa-apa, masih banyak konsekwensi yang mencerahkan kehidupan ketika kapitalisme-liebralisme ditinggalkan dan kemudian dipakai Islam sebagai landasan pengaturan negara.

Nah, sekarang tinggal kemauan dan keimanan SBY-JK




Monday, May 7, 2007

Christian Science Monitor: Polling Opini: Dunia Islam ingin Syariah.

Kaum muslimin di empat Negara mengatakan bahwa mereka mendukung baik pengaruh islam maupun demokrasi. Mereka juga mengatakan bahwa melemahkan Islam adalah tujuan politik luar negeri Amerika.


KAIRO - Salah satu penemuan yang paling mengkhawatirkan tentang hasil polling terhadap sikap kaum muslimin di empat negara itu adalah mayoritas responden mengatakan bahwa mereka mendukung dua tujuan utama al-Qaeda: Mereka ingin diterapkannya Hukum Islam yang ketat di negara-negara berpenduduk muslim dan untuk “mempersatukan semua Negara Islam menjadi satu Negara, atau Khilafah.”

Keempat negara muslim tampaknya kompak untuk bersama sama memusuhi Amerika. Tapi lebih jauh lagi, sikap kaum muslimin di Mesir dan Pakistan, dua Negara yang disurvei, menunjukkan nuansa yang berbeda yakni bisa menerima demokrasi dan agama.

“Gaung atas pandangan Khilafah dan shariah memiliki nilai dan sejarah budaya yang berakar dalam, dan Osama [bin laden] dapat menjangkau pendukungnya dengan menggunakan pesan-pesan semacam itu…tapi publik tidak berhasrat atas tiap hal hukum Islam, seperti potong tangan,” kata Stephen Weber, dari program mengenai sikap kebijakan internasional (PIPA), yang membantu dilakukannya polling itu, ketika menjawab pertanyaan lewat e-mail. Polling itu dilakukan oleh worldpublicopinion.org

“Pada umumnya, tampaknya tepat untuk mengatakan bahwa Osama memahami pendukungnya dengan baik,” lanjutnya. “seruannya bagi penerapan Syariah dan Khilafah menyentuh nilai-nilai pada komunitas muslim, khususnya di Negara-negara Arab yang kami pelajari.”

Dia mengatakan, sebagai analogi adalah fakta bahwa banyak orang Amerika yang mendukung nilai-nilai Judeo-Kristen dan Sepuluh Perintah Tuhan, “tapi hanya sedikit yang mendukung hukum rajam bagi pezina.”

Polling PIPA, yang dilakukan antara Desember 2006 dan Februari 2007, juga menemukan bahwa mayoritas menolak Al-Qaeda dan taktiknya untuk menyerang penduduk sipil. Lebih dari 75 persen dari mereka yang disurvey di empat Negara – Mesir, Pakistan, Maroko dan Indonesia – mengatakan bahwa serangan terhadap penduduk sipil adalah tidak Islami. Mayoritas di tiga Negara mengatakan bahwa mereka menentang serangan Al-Qaeda di Amerika; di Pakistan, 68 persen menolak menjawab pertanyaan ini, sehingga sulit untuk mengambil kesimpulan sikap mereka.

Polling itu juga menemukan bahwa responden ingin tentara Amerika keluar dari Timur Tengah dan bahkan banyak yang setuju serangan atas tentara Amerika di sana. Mayoritas juga mengatakan bahwa melemahkan Islam adalah tujuan inti kebijakan luar negeri Amerika.

Sedikit orang yang setuju atas visi totaliter

Kebanyakan orang di dalam dan di luar dunia Arab tidak setuju atas visi totaliter yang dikembangkan Al-Qaeda. Dan ketika banyak kaum muslimin yang yakin sharia adalah sesuatu yang diperintahkan dalam agama, mereka mengartikannya dengan berbeda.

Contohnya, dalam polling yang terakhir, yang dikeluarkan pada tanggal 24 April, diketahui bahwa 53 persen orang Indonesia “sangat” atau “agak” setuju bahwa shariah seharusnya diberlakukan pada tiap negara Islam.

Tapi polling yang lebih mendalam atas opini orang Indonesia oleh Asia Foundation tahun 2003 ditemukan bahwa kebanyakan orang Indonesia tidak ingin Hukum Islam menggantikan perundang-undangan yang berlaku, yang memaksa wanita untuk menutup rambutnya, atau membolehkan potong tangan atas pencuri dan pembunuhan atas pelaku zina. Sebaliknya, mereka melihat shariah sebagai suatu nasihat yang diperintahkan oleh lima rukun Islam: iman kepada Allah, sholat, zakat, pergi haji, dan berpuasa di bulan Ramadhan.

Di Pakistan, mayoritas responden mengatakan mereka mendukung shariah dan pendirian Khilafah, yang dilihat oleh para analis berasal dari dua sumber: kebencian atas korupsi dan kurangnya tanggung jawab pemerintah mereka, dan kecendrungan untuk mengkaitkan antara apa yang baik dan buruk.

Sikap yang berbeda atas Al Qaeda

Abdul Kadir Khamosh, ketua Federasi Muslim Kristen yang aktif mempromosikan dialog antar agama di Lahore, Pakistan, mengatakan dukungannya pada shariah tapi memiliki pandangan yang berbeda dengan yang dianut bin Laden.

“Shariah tidak pernah membolehkan seseorang untuk membunuh orang lain. Bahkan syariah tidak membolehkan penebangan sebuah pohon pun,” katanya. Responden di Pakistan menunjukkan kecendrungan atas shariah yang lebih tinggi daripada demokrasi. Dua puluh persen diantaranya mengatakan bahwa demokrasi adalah sistim yang sangat baik, sementara 79 persen mengatakan bahwa mereka mendukung syariah, tapi tidak berarti mereka menentang demokrasi, kata para cendekiawan muslim.

“Kami perlu demokrasi, kami suka demokrasi. Demokrasi adalah jalan yang baik – kami tidak percaya sistim kerajaan. Tapi demokrasi adalah hanya sebagian kecil dari syariah, “kata Khamosh. Dia menambahkan bahwa bahwa orang di Pakistan ingin memadukan antara nilai-nilai mereka dengan sistim demokrasi dan bukan hanya sistim demokrasi saja.

Prinsip-prinsip inti yang dianut bersama

Tampaknya hal yang serupa terjadi di Maroko dan Mesir, dimana politisi Islam terkemuka mengatakan bahwa mereka tidak bisa menerima sistim Islam bergaya diktator. Di kedua Negara itu, kelompok-kelompok oposisi Islam mengatakan bahwa mereka mengartikan Islam sebagai sistim yang menuntut penduduk untuk memberikan input demokrasi pada pemerintahanya.

Kami mengambil prinsip-prinsip inti demokrasi dan kami menyimpulkan bahwa…mereka memiliki nilai-nilai yang sama, kata Mustapha Khalifi, anggota Partai Keadilan dan Pembangunan di Maroko, kelompok Islam yang kuat di parlemen.

“Kami tidak menemukan masalah besar antara nilai-nilai inti demokrasi dan nilai-nilai inti Islam,” tambah Khalifi, yang baru saja kembali setelah bekerja setahun di Capitol Hill di Washington.

Sultan-i-Roma, seorang professor Ilmu-ilmu Sejarah dan Islam di Swat, di Propinsi Pakistan Barat Daya, mengatakan bahwa kaum muslimin di Pakistan tidak menentang nilai-nilai Barat, karena mereka menganutnya – tapi yang mereka tentang adalah kebijakan-kebijakan Barat, khususnya apa yang dilakukan di Irak dan Afghanistan.

“Jika saya ingin hukum Islam, tidak berarti saya tidak percaya lagi pada dunia,” komentarnya. “Tidak berarti saya tidak ingin memiliki hubungan dengan Amerika atau Barat. Mereka ingin tetap berhubungan, tapi mereka punya keberatan atas arah kebijakan-kebijakan itu.”

David Montero di Islamabad, Pakistan, dan Jill Carroll di Cairo menyumbangkan laporan ini.

[Kamis, 26 April 2007 ; Christian Science Monitor; Oleh Dan Murphy | Staff writer]