Disclaimer : Ini adalah blog pribadi, tidak terkait secara struktural dengan organisasi manapun.
Tuesday, February 26, 2008
Monday, February 11, 2008
Studi Analitis-Kritis Diskursus Filsafat Hermeneutika Al-Quran
Oleh : Fahmi Salim, MA
I. Mukaddimah.
Al-Qur’an seperti diyakini kaum muslim merupakan kitab hudan, petunjuk bagi manusia dalam membedakan yang haq dengan yang batil. Dalam berbagai versinya, Al-Qur’an sendiri menegaskan beberapa sifat dan ciri yang melekat dalam dirinya, di antaranya bersifat “transformatif”; yaitu membawa misi perubahan untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan-kegelapan, Zhulumât (di bidang akidah, hukum, politik, ekonomi, sosial budaya dll) kepada sebuah cahaya, Nûr petunjuk ilahi untuk menciptakan kebahagiaan dan kesentosaan hidup manusia, dunia-akhirat. Dari prinsip yang diyakini kaum muslim inilah usaha-usaha manusia muslim dikerahkan untuk menggali format-format petunjuk Allah yang dijanjikan bakal mendatangkan kebahagiaan bagi manusia. Nah dalam rangka penggalian prinsip dan nilai-nilai Qur’ani yang berdimensi keilahian dan kemanusiaan itulah penafsiran dihasilkan
Dialektika antara manusia dengan realitasnya ditengarai turut masuk mempengaruhi proses penafsiran itu. Bukankah Al-Qur’an diturunkan bagi manusia, untuk kemaslahatan manusia dan last but not least untuk “memanusiakan” manusia (bukan menjadikannya makhluk otomatis seperti robot, mesin, hewan ataupun malaikat)? Maka dari diktum itu pula lah, konsep tentang manusia dan identitasnya dalam menjabarkan misi kekhalifahan dan ubudiyyah di muka bumi menjadi faktor determinan dalam proses mengkaji dan memahami teks suci yang diyakini akan memberikan kesejahteraan bagi umat manusia.
Akan tetapi, posisi sentral manusia yang oleh peradaban Barat menjadi tema utama abad pencerahan juga bukan tanpa cela dalam sudut pandang Islam. Manusia dalam kacamata Islam tidak lah hidup dari, oleh dan untuk dirinya sendiri dan terkungkung dalam dunia yang profan ini. Falsafah hidup Islam tidak mengenal mazhab sekularisme yang memisahkan manusia dari dimensi keilahian dan melucuti aspek moral dan nilai dari kegiatan manusia. Falsafah hidup Islam menggariskan perpaduan nilai agama dan dunia, kehidupan manusia untuk misi khilâfah/’imârat al-ardl (keduniaan) dan ‘ubûdiyyah (keakhiratan). Prinsip-prinsip tersebut yang senantiasa harus diindahkan ketika kaum muslim berinteraksi dengan Al-Qur’an.
Dewasa ini pola interaksi kaum muslim dengan Al-Qur’an bukan hanya bercorak hudâ’iy, ijtimâ’iy dan ishlâhiy (mencari petunjuk untuk kebahagiaan), tetapi juga ‘ilmiy (dalam pengertiannya yang luas mencakup intellectual exercise, tidak hanya mencari pembenaran teori-teori sains dengan landasan ayat suci Al-Qur’an), bahkan cenderung filosofis murni dan tak ada kaitannya dengan misi transformatif yang menjadi ciri utama kehadiran Al-Qur’an di pentas kehidupan manusia. Hal ini bisa dilihat terutama dari berbagai kecenderungan (ittijâhât) upaya penafsiran dan penakwilan kitab suci yang terseret ke dalam diskusi panjang apakah manusia (secara umum sebagai pembaca dan penafsir teks) merupakan makhluk historis atau filosofis? Makhluk yang setiap saat berubah (sesuai dengan pengayaan pengalaman hidup) atau yang konstan? Sejauh mana posisi dan peran manusia dalam proses penafsiran; apakah tugasnya hanya menganalisa dan kemudian menerima otoritas tafsir di era pembentukannya ataukah hanya melibatkan pengetahuan dan pengalaman penafsir/pembaca teks sebagai barometer dan menganggap penafsiran otoritas di masa lalu hanya berlaku untuk saat itu (historisitas)? Apakah tugas penafsir kitab suci diarahkan semata untuk menangkap maksud pemilik dan pencipta teks ataukah justru bebas menciptakan maksud dan makna baru seiring dengan jarak waktu yang memisahkan antara pengarang dan pembaca teks, bahkan “kematian” pengarang dianggap “berkah” untuk melahirkan makna-makna segar yang tidak terkungkung oleh kehendak dan maksud pengarangnya?
Pertanyaan filosofis diatas mulai menggerogoti upaya sebagian elit muslim dalam banyak kajian mereka terhadap Al-Qur’an. Persinggungan intens dunia pemikiran muslim (yang tereleminasi dari pergaulan dunia) dengan dunia pemikiran Barat (yang dominan dan hegemonik) telah menyeret wacana ‘Hermeneutika’ masuk ke dalam kajian Al-Qur’an kontemporer. Dunia pemikiran muslim telah kehilangan world view dan jati dirinya ketika berhadapan dengan dunia pemikiran Barat yang notabene hegemonik dan kuat baik secara program/agenda maupun funding untuk tujuan ekspansinya. Sadar atau tidak, elit muslim telah masuk dalam agenda dan propaganda Barat bahwa budaya, teknologi dan bahkan metodologi Barat lebih unggul dan karena itu mesti digugu dan ditiru. Yang sungguh mengkhawatirkan bagi penulis adalah peniruan terhadap metodologi Barat di bidang Humaniora (sastra, psikologi, sosiologi, antropologi, dll) yang terbukti membawa arus sekulerisme yang tidak sesuai dengan falsafah hidup Islam.
Ide dan pemikiran untuk mencari-cari aspek kesamaan-kesamaan (Fiqh al-Muqârabât) antara metodologi Barat dan Islam di bidang kajian humaniora (sastra dan sejarah agama secara khusus, yang terkuak jelas dalam kasus hermeneutika) menjadi trend pada dekade akhir abad 20 dan awal abad 21 ini. Dalam kajian Al-Qur’an, Fiqh al-Muqârabât antara tafsir (terlebih khusus lagi takwil) dengan hermeneutika yang berkembang di Barat (baik dalam studi biblikal/teologis maupun filsafat sastra secara umum) menjadi tak terelakkan.
II. Studi komparatif antara ta’wil dalam tradisi keilmuan Islam dan hermeneutika dalam tradisi filsafat Barat.
Dalam membandingkan terminologi takwil sebagai teori penafsiran khas peradaban Islam dan hermeneutika yang lahir dari rahim dan khas miliu peradaban Barat- Kristen, kita akan bertolak dari pernyataan Mustafa Kaylani yang menerangkan proses transformasi dalam sejarah perjalanan takwil sebagai berikut:
“Dahulu takwil pada awalnya sangat kental bernuansa gramatikal sebatas penjelasan lafal dan susunan kalimat yang telah termakan zaman dengan lafal dan susunan kalimat baru sambil tetap menjaga maknanya yang cocok untuk setiap zaman. Sedangkan jenis takwil kedua (dalam peradaban Barat modern), telah merasuk jauh ke dalam dunia metafor (majaz); hermeneutika adalah takwil semiotis atas tanda-tanda (signs) yang telah terasa asing pada era terkini untuk mendapatkan makna semantik baru yang akan merujuk secara langsung kepada idea pengarang teks” (Wujud al-Nash wa Nash al-Wujud; hlm. 34).
Dari kutipan di atas, kita dapat mencandra dua aliran yang memperebutkan hakikat makna teks. Aliran pertama (tradisionalistik), berupaya membakukan makna dalam petenjuk semantik tertentu dengan cara menjadikan makna itu muhkam yang tidak bisa serampangan ditarik ke dalam wacana metaforis. Tentu saja aliran ini berupaya mempertahankan makna asli suatu teks. Sehingga takwil dalam tradisi aliran pertama difungsikan untuk mengalihkan pemahaman lahir suatu lafal dari makna aslinya kepada makna lain dengan indikasi tertentu yang menyebabkan makna aslinya ditinggalkan. Posisi dasar pemahaman teks adalah lahiriahnya, ia hanya dapat ditinggalkan jika ada indikasi kuat untuk keserasian makna itu dengan tujuan syariah. Dari situ, maka konsep takwil menurut para ahli ushul fiqh berjalin kelindan dengan pembagian tingkatan lafal teks agama:
Setiap bentuk lafal yang hanya menerima satu makna tertentu, ia disebut sebagai Nash; teks. (dari sana kita dapat menyimpulkan bahwa kosakata bahasa Arab mengidentikkan teks dengan pembakuan dan penunggalan makna suatu teks)
Jika bentuk lafal teks dapat menerima lebih dari satu makna/pemahaman yang sama-sama kuat, maka ia disebut sebagai Mujmal; teks global (yang memerlukan perincian)
Jika bentuk lafal teks menerima lebih dari satu makna/pemahaman yang salah satunya lebih kuat dari makna lain, maka makna yang kuat itu disebut Zhahir (teks yang asli) dan makna yang lemah itu disebut Mu’awwal (teks yang dialihkan maknanya). Perubahan dari makna zhahir kepada makna mu’awwal itu mensyaratkan adanya dalil; indikator yang kuat dan memperkuat satu makna atas makna lainnya.
Sedangkan aliran kedua (modernistik) dalam teori pentakwilan telah mengalami lompatan kualitatif dalam tradisi filsafat Jerman, terutama di tangan F.D.E. Schleirmacher (1768-1834 M) yang mengadakan reorientasi paradigma dari “makna” teks kepada “pemahaman” teks. Rasionalitas modern seperti dianut oleh mazhab protestantisme telah mengubah makna literal Bible yang selama ini dianggap oleh mazhab resmi gereja sebagai “makna historis” menjadi “pemahaman historis” yang segala sesuatunya merujuk kepada masa silam. Afiliasi suatu teks kepada masa silam itu menyebabkan kehadirannya di masa kini menjadi sebentuk kecurigaan; mengapa teks yang merespon kejadian masa lalu harus menjadi jawaban problem kekinian?! Tidak kah lebih baik jika teks masa silam itu dienyahkan karena realitas yang terus berubah dari waktu ke waktu?
Rasionalitas protestantisme itu telah menantang otoritas gereja yang selalu mengklaim arti Bible yang sah, serta meneguhkan semangat liberalisasi simbol-simbol otoritas agama yang eksklusif dan tertutup. Akibatnya, metodologi tafsir tradisionalis telah tergantikan dan disaingi metodologi yang lebih humanis dan memberi ruang kesadaran kritis atas keseluruhan sumber teks-teks agama. Semangat liberalisasi dan humanisasi inilah yang ikut andil merobohkan tembok sakralisasi teks sehingga teks agama tak lagi sakral dan bahkan mengalami proses humanisasi. (lihat Isykaliyyat al-Qira’ah fi al-Fikr al-’Araby al-Mu’ashir, hlm. 88)
Schleirmacher telah menubuhkan asas seni pemahaman teks; pemahaman yang selalu terkait mengikuti perkembangan dari setiap orang dan dari satu zaman ke zaman yang lain. Jarak pemisah antara zaman produksi teks dengan zaman pemahaman kekinian sedemikian meluas dan membentang, sehingga diperlukan ilmu yang mencegah kekeliruan pemahaman. Atas dasar itu, Schleirmacher meletakkan kaidah pemahaman teks yang terbatas pada dua aspek utama yaitu: aspek kebahasaan (tata bahasa yang dipakai pengarang) dan aspek kemampuan menembus karakter psikis pengarang. Kedua aspek itu saling melengkapi satu dengan lainnya. (Isykaliyyat al-Qira’ah wa Aaliyyat al-Ta’wil, hlm. 21). Tugas kaedah hermeneutik Schleirmacher-ian itu adalah untuk sejauh mungkin memahami teks seperti yang dipahami pengarangnya dan bahkan lebih baik dari apa yang dipahami oleh si pengarang. Tugas itulah yang kemudian dikenal dengan “Hermeneutical Circle”.
Lingkar hermeneutik itu akan mengubah yang konstan menjadi dinamis dan terus bergerak, dikarenakan teori “makna” dalam teori penafsiran klasik diubah menjadi “pemahaman” yang terkait dengan akal manusia yang terus berkembang dan berubah. Oleh karena itu, pemahaman teks adalah apa yang diinginkan oleh pembaca teks, bukan yang dimaksudkan oleh pengarang teks. Dikarenakan masa kelahiran teks telah menjadi bagian masa lalu, maka tidak ada makna yang tetap seperti sediakala. Lingkar hermeneutik meniscayakan produksi makna-makna baru yang tidak pernah final. Orientasi heremeneutik inilah yang kemudian dikembangkan oleh para filosof aliran eksistensialisme pasca-Schleirmacher.
Adalah Martin Heidegger (1889-1976 M) yang mencoba memahami teks dengan metode eksistensialis. Ia menganggap teks sebagai suatu “ketegangan” dan “tarik-menarik” antara kejelasan dan ketertutupan, antara ada dan tidak ada. Eksistensi, menurut Heidegger, bukanlah eksistensi yang terbagi antara wujud transendent dan horisontal. Sejak abad pencerahan dan humanisme Barat dimulai, eksistensi bersifat tunggal; eksistensi humanisme! Semakin dalam kesadaran manusia terhadap eksistensinya, maka sedalam itu pula lah pemahamannya atas teks; karena itu, teks tidak lagi mengungkapkan pengalaman historis yang terkait dengan suatu peristiwa. Dengan pengalaman eksistensialnya itulah manusia bisa meresapi wujudnya dan cara dia bereksistensi sebagai unsur penegas dalam proses memahami suatu teks.
Pemahaman eksistensialis model Heidegger teraplikasikan secara penuh terhadap semua jenis teks. Amat wajar jika kekhasan teks agama dari sudut pentakwilan menjadi terabaikan. Jika hermeneutika dahulu berarti pentakwilan teks suci yang terpasung oleh makna yang ditentukan pihak otoritas gereja, maka ia kini telah bebas dari belenggu sakralitas dan memungkinkan pentakwilan semua jenis teks, karena bagi hermeneut modern semua teks sama secara hirarkis. Sakralitas teks agama tidak lagi mendapatkan tempat dalam rasionalitas modern.
Resepsi dan pembacaan manusia adalah dasar bagi kebangkitan dan transformasi teks dari sesuatu yang diwarisi antar generasi menjadi warisan masal silam. Ketika kita membaca suatu teks kuno maka teks itu kembali dihidupkan dan berubah dari sesuatu yang tadinya mati dan asing kepada keadaan sesuatu yang hidup saat ini. Dengan demikian, pembacaan dan pemahaman adalah asas bagi transformasi teks dari ketiadaan kepada keefektifan.
Hermeneutika Heidegger kemudian dilanjutkan oleh Hans George Gadamer (1900-2002 M) yang menolak segala bentuk kepastian dan meneruskan eksistensialisme Heidegger dengan titik tekan logika dialektik antara aku (pembaca) dan teks/karya. Dialektika itu mesti difahami secara eksistensialis, karena hakikatnya memahami teks itu sama dengan pemahaman kita atas diri dan wujud kita sendiri. Pada saat kita membaca suatu karya agung, ketika itu kita lantas menghadirkan pengalaman-pengalaman hidup kita di masa silam, sehingga melahirkan keseimbangan pemahaman atas diri kita sendiri. Proses dialektika memahami karya seni berdiri atas asas pertanyaan yang diajukan karya itu kepada kita; pertanyaan yang menjadi sebab karya itu ada. (Isykaliyyat al-Qira’ah wa Aaliyyat al-Ta’wil, hlm. 40)
Filsafat hermeneutika Gadamer meniscayakan wujud kita berpijak pada asas hermeneutis, dan hermeneutika berpijak pada asas eksistensial manusia. Eksistensi yang dibangun Heidegger dan Gadamer terasa idealis yang dipengaruhi logika dialektik Hegellian, yang menyatakan historisitas yang tidak dipersyaratkan wujud materil yang dikendalikan oleh faktor sosial ekonomi. Untuk menautkan proses pemahaman dengan wujud materil, maka telah menjadi keharusan untuk keluar dari metafisika transendent yang khusus dalam konsep eksistensial. Penubuhan asas konsep wujud itu akan mengubah proses pemahaman. Selain itu ia akan disyaratkan dengan prasyarat materil yang akan mengendalikan wujud ini. (Isykaliyyat al-Qira’ah wa Aaliyyat al-Ta’wil, hlm. 44)
Menghadapi dialektika Heidegger dan Gadamer, tokoh-tokoh filsafat hermeneutika seperti: Paul Ricoer (1913-2005 M), Eric D. Hirsch (1928-….), dan Emillio Betti (1890-1968 M) mengajukan teori objektifitas dalam aliran hermeneutika. Mereka berusaha mendirikan hermeneutika sebagai ilmu penafsiran teks yang menekankan metode objektif, sehingga melampaui subjektifitas hermeneutika Gadamer. Hermeneutika, bagi mereka, tidak berdiri atas asas filsafat. Sederhananya, hermeneutika adalah ilmu penafsiran teks atau teori tafsir. (Isykaliyyat al-Qira’ah wa Aaliyyat al-Ta’wil, hlm. 49)
Jika kita kaitkan dengan Dr. Nasr Hamid AbuZayd (1943-…) yang terkenal lewat pendekatan hermeneutiknya dalam membaca teks-teks Islam, maka kita akan menemukan penekanan Nasr Hamid atas prinsip simbol teks yang berafiliasi kepada kondisi sosial dan realitas ketika teks itu diciptakan. Artinya teks adalah produk lingkungan tertentu yang dilingkupi oleh faktor ekonomi-sosial yang menjadi pra-kondisi kelahiran dan kemunculan suatu teks. Oleh sebab itu, realitas yang berdialektik dengan teks mendapat apresiasi dan perhatian serius Nasr Hamid. Untuk menuju arah tafsir yang objektif dan ilmiah atas teks agama, ia berangkat dari simbol sosial dengan penekanan melampaui makna lahiriah teks kepada makna batinnya.
Bagaimana Nasr Hamid meresepsi teks dan cara dia memperlakukannya? Pertama sekali dia mendukung orientasi Gadamer yang berangkat dari posisi penafsir saat ini karena setiap asas epistemologi pemahaman apa saja berawal dari posisi eksistensial. (Isykaliyyat al-Qira’ah, hlm. 49) Kedua, dia mengajukan upaya modifikasi terhadap orientasi hermeneutika Gadamer dengan perspektif materialisme; dua tahap yang saling mendukung itulah, dalam persepsi Nasr Hamid, titik tolak asli bagi upaya pembacaan ulang seluruh dasar agama Islam dan upaya menyingkap kepalsuan pembacaan-pembacaan masa silam atas teks Islam. (Isykaliyyat al-Qira’ah wa Aaliyyat al-Ta’wil, hlm. 49)
III. Perbedaan esensial antara ta’wil dengan hermeneutika.
Takwil dalam tradisi keilmuan Islam mengakui dan tunduk kepada kesucian teks dan keilahian sumbernya, terlebih khusus dalam masalah teks-teks agama. Sedangkan hermeneutika di Barat memperlakukan teks sebagai murni fenomena bahasa, dan tidak mengakui kesucian teks yang menuntut perlakuan khusus.
Takwil dalam tradisi keilmuan Islam mengakui jenis tingkatan lafal, dalam pengertian bahwa di antara jenis-jenis teks itu ada yang bisa menerima takwil seperti lafal “zhahir”, dan ada pula yang hanya menunjukkan satu makna dan tidak dapat ditakwil seperti lafal “nash”. Sedangkan hermeneutika Barat memukul rata semua jenis teks dengan memisahkan mana yang menjadi makna tanda (signifier) dan tujuan dasar teks (significance).
Takwil dalam tradisi keilmuan Islam menekankan makna yang tetap tidak berubah kecuali jika ada dalil lain yang mengharuskan takwil. Dan makna takwil yang baru itu masih dapat diterima oleh lafal zhahirnya dan juga sesuai dengan sirkulasi penggunaan bahasa dan adat kebisaaan yang lazim dalam syariah. Sedangkan hermeneutika di Barat berarti perpindahan orientasi dari “makna” kepada “pemahaman” yang dapat berubah setiap saat sesuai dengan perkembangan pembaca teks. Pemahaman adalah apa yang diinginkan oleh pembaca, bukan yang dimaksudkan oleh pengarang. Pemahaman tidak pernah final, karena selalu memperhatikan dimensi realitas kemanusiaan. Bahkan dalam bentuk ekstrim, hermeneutika menganggap Sunnah (yang berfungsi sebagai penjelas Alquran) sebatas ijtihad manusia dan terbatas pada skup budaya tertentu.
Takwil dalam tradisi keilmuan Islam adalah suatu cara untuk mempertahankan norma keimanan terhadap dasar-dasar keyakinan agama. Ia juga metode yang baik untuk menghilangkan keragu-raguan dan semakin menambah mantap keimanan. Jelasnya, takwil bukanlah alat untuk membatalkan keimanan atau untuk mengosongkan teks agama dari ruh agama seperti yang dipraktekkan dalam filsafat hermeneutika di Barat. (Muhammad ‘Imarah, hlm. 55)
IV. Pengaruh hermeneutika dalam pemikiran agama.
Perlu ditekankan di sini bahwa perspektif hermeneutika filosofis atas pemahaman eksistensial secara umum dan pemahaman teks secara khusus merupakan terobosan mutakhir dan tidak pernah dikenal sebelumnya. Diskusi dan perdebatan seputar sah tidaknya aplikasi hermeneutika juga betul-betul tidak ada presedennya dalam benak para ulama muslim yang masih meyakini keampuhan terminologi tafsir dan takwil klasik dalam memecahkan isu-isu kontemporer. Dengan demikian, tidak memungkinkan kita mencari berbagai perspektif hermeneutika dalam cabang-cabang Islamic Studies yang telah mapan. Sebaliknya, jika kita telusuri dan dalami filsafat pemahaman teks-teks Islam yang telah dikonstruk dan diaplikasikan selama berabad-abad oleh ulama muslim, kita dapatkan kesimpulan yang kontraproduktif dengan perspektif filsafat “pemahaman” Barat.
Pemikiran agama mutakhir saat ini menyaksikan kajian-kajian dan pertanyaan-pertanyaan baru yang memiliki akar dalam filsafat hermeneutika. Di antaranya adalah:
Kemungkinan mengajukan bacaan-bacaan yang berbeda dan tak terbatas bagi teks agama.
Historisitas pemahaman dan keajegan perubahan pemahaman itu sendiri.
Batasan legalitas terlibatnya subjektifitas penafsir dalam proses penafsiran teks.
Pengaruh pra-konsepsi, kecenderungan, dan harapan penafsir teks kepada pemahaman agama.
Sejatinya hermeneutika selalu berpusat pada fungsi penafsiran teks. Meski terjadi perubahan dan modifikasi radikal terhadap teori-teori hermeneutika, tetap saja berintikan seni memahami teks. Pada kenyataannya, hermeneutika pra-Heidegger (sebelum abad 20) tidak membentuk suatu tantangan pemikiran yang berarti bagi pemikiran agama, sekalipun telah terjadi evaluasi radikal dalam aliran-aliran filsafat hermeneutika. Sementara itu, hermeneutika filosofis dan turunannya dalam teori-teori kritik sastra dan semantik telah merintis jalan bagi tantangan serius yang membentur metode klasik dan pengetahuan agama.
Sebelum kita menyinggung tantangan pemikiran yang disebabkan hermeneutika filsafat kontemporer, ada baiknya kita menyimak secara global metode umum dalam pemahaman teks yang selama ini kita kenal:
1- Tugas mufassir adalah menangkap makna teks. Makna teks adalah apa yang dikehendaki oleh pembicara atau pengarang teks. Maksud atau makna yang pasti adalah tujuan utama pengarang teks. Makna yang final itu adalah suatu hal yang objektif dan ril, mufasir berusaha untuk sampai dan menangkap makna itu.
2- Untuk mencapai tujuan di atas, sewajarnya penafsir teks menempuh alur metode yang umum dalam menangkap teks. Hal ini diformulasikan dalam bentuk bahasa teks sebagai jembatan memahami tujuan hakiki atau makna yang diinginkan. Karena pengarang teks menjadikan bahasa sebagai sarana mengungkapkan kehendaknya, maka penafsir teks harus menguasai bahasa serta tata bahasa yang lazim dipakai oleh pengarang. Tanpanya, maka tindakan penafsir yang semena-mena akan mencederai proses pemahaman teks.
3- Kondisi penafsir yang diidealkan adalah sampai kepada pemahaman yang valid dan meyakinkan terhadap kehendak pengarang teks. Meskipun pemahaman yang valid hanya dapat ditangkap melalui bentuk “nash” yang berindikasi pemahaman objektif yang sesuai dengan fakta, dalam bentuk “zhahir”nya pun redaksi teks tetap tidak tercerabut dari objektifitas dan norma asli pemahaman.
4- Jarak waktu yang memisahkan masa penafsir dengan masa teks diproduksi tidak akan menghalangi penafsir untuk menangkap makna hakiki yang dimaksud oleh teks agama. Karena dalam sinaran metode klasik, amat dimungkinkan pemahaman objektif atas teks meski terdapat jarak waktu dan tempat antara pengarang dengan penafsir teks.
5- Perhatian penafsir harus terpusat kepada kesadaran memahami misi teks. Seperti dimaklumi, proses pemahaman teks berporos kepada dua aspek: teks dan pengarang, sehingga tugas penafsir adalah untuk menangkap maksud pengarang melalui fungsi semantik teks. Dalam teori tafsir semacam ini, tidak diperkenankan munculnya pra-konsepsi dan pra-asumsi penafsir, karena hal itu akan mengotori upaya penafsiran, sehingga dikategorikan sebagai tafsir dengan pandangan akal semata yang dicela agama (bil ra’yi al-madzmum).
6- Teori tafsir klasik sangat menentang teori relativitas tafsir. Metode tafsir klasik menolak setiap upaya penafsiran yang merelatifkan dan menyamakan setiap pemahaman sebagai upaya subjektif penafsir. Sebab, teks agama, -menurut teori tafsir klasik- tidak akan menerima segala bentuk penafsiran yang sembarangan. Dengan kata lain, ketika terjadi perbedaan penafsiran sebuah teks, maka otoritas pemahaman tetap berada pada aspek teks dan pengarang teks itu sendiri, alias kewenangan mufasir terabaikan sama sekali.
Demikianlah, dari paparan sekilas di atas, dapat dikatakan bahwa teori penafsiran klasik sebagaimana dalam pembahasan metode takwil dalam cabang ilmu ushul fiqh dan ulumul quran, mulai digugat dan ditantang oleh aliran-aliran hermeneutika filsafat pada abad ke 20. Problem isu hermeneutika filsafat kontemporer telah melontarkan berbagai diktum yang mengkritisi dan berambisi menjadi alternatif pintas bagi kebuntuan dan kebekuan penafsiran teks agama yang rigid, kaku dan kehilangan elan vital “maqashid syariah”. Berikut ini akan kita saksikan bagaimana teori tafsir model hermeneutika mulai merangsek dan menawarkan dahaga intelektual bagi kaum muslim modernis:
1- Pemahaman teks adalah hasil perpaduan antara cakrawala pemahaman penafsir dengan cakrawala makna dalam teks. Intuisi dan cakrawala berfikir setiap penafsir dalam proses pamahaman tidak dicela, karena ia merupakan prasyarat eksistensial bagi tercapainya suatu pemahaman.
2- Upaya pemahaman teks adalah proses tiada henti; seperti halnya pluralitas pemahaman teks tidak mengenal batas-batas. Karena pemahaman adalah: upaya kreatif dan perpaduan antara cakrawala penafsir dengan wawasan teks. Dengan demikian setiap terjadi perubahan dalam diri penafsir berikut cakrawala pikirannya, maka dimungkinkan lahirnya pemahaman baru.
3- Suatu pemahaman objektif atas teks dalam arti pemahaman yang benar-benar sesuai dengan fakta ril, tidak dimungkinkan oleh karena pra konsepsi penafsir adalah syarat tercapainya suatu pemahaman.
4- Tidak ada pemahaman yang tetap dan tidak berubah; tidak dibenarkan pula suatu pembatasan dan finalisasi pemahaman yang tidak bisa berubah-ubah.
5- Tujuan penafsiran teks bukan untuk menangkap maksud pengarang teks. Sebab, penafsir saat ini menghadapi sebuah teks, dan bukannya pengarang teks. Dalam teori filsafat hermeneutika, posisi pengarang tak lebih sebagai salah satu pembaca teks yang tidak berbeda dari penafsir-pembaca teks yang lain. Teks sebagai entitas mandiri dan berdaulat, berdialog dengan penafsir sehingga melahirkan suatu pemahaman, dengan demikian setiap penafsir tidak diharuskan mencari dan menangkap maksud dan tujuan yang ingin diungkapkan si pengarang teks.
6- Tidak ada patokan dan standarisasi dalam menilai salah atau benar suatu penafsiran. Karena sejatinya tidak ada tafsir yang benar dan tunggal. Antitesa dari teori klasik yang mengandaikan maksud pengarang sebagai tujuan penafsiran, hermeneutika filsafat mengakui otoritas penafsir dan mengabaikan tujuan pengarang sama sekali. Karena setiap penafsir di setiap zaman memiliki cakrawala yang khas zamannya, maka terbuka kemungkinan pemahaman-pemahaman baru, yang tidak bisa dikatakan salah satunya lebih baik dan benar dari yang lain.
7- Hermeneutika filsafat sesuai dengan teori relatifitas penafsiran, dan membuka ruang yang sangat luas bagi penafsiran-penafsiran yang radikal sekalipun.
V. Mungkinkah aplikasi hermeneutika atas Alquran?
Para filosof hermeneutika adalah mereka yang sejatinya tidak membatasi petunjuk pada ambang batas tertentu dari segala fenomena wujud. Mereka selalu melihat segala sesuatu yang ada di alam ini sebagai petunjuk atas yang lain. Jika kita mampu membedakan dua kondisi ini satu dan yang lainnya, maka kita dapat membedakan dua macam fenomena: ilmu dan pemahaman. Masalah ilmu dikaji dalam lapangan epistemologi, sedangkan masalah pemahaman dikaji dalam lapangan hermeneutika. Sehingga dengan demikian, baik epistemologi dan hermeneutika adalah ilmu yang berdampingan. Dari sudut ini, Alquran bisa dilihat secara hermeneutis sama dengan kitab atau teks tertulis yang lain, sebab Alquran mengafirmasi kemungkinan melihat segala sesuatu yang ada dari segi petunjuknya atas hal lain. Tidakkah Alquran selalu menyeru kita untuk memikirkan segala sesuatu dan menganggap semua eksistensi dan fenomena sebagai tanda (ayat, signs) bagi keagungan Allah swt.?
Tetapi masalahnya tidak sesimpel itu. Pertanyaaan apakah filsafat hermeneutika dapat diterapkan atas Alquran atau tidak? Dan sejauh apa hermeneutika dapat diaplikasikan atas Alquran?
Meskipun beberapa kaedah hermeneutika dapat dengan mudah diaplikasikan bagi Alquran, namun menurut Musthafa Malakyan, perbedaan Alquran dengan buku-buku atau karya religius atau non-religius dalam dua hal berikut ini mengharuskan kita untuk tidak gegabah dan hati-hati dalam penerapan kaedah hermeneutika atas Alquran. Kedua distingsi penting itu adalah:
Seluruh lafal dan kalimat dalam Alquran, sesuai kepercayaan seluruh kaum muslim, berasal dan diciptakan dari Allah swt. Tidak ada klaim semacam ini bagi kitab selain Alquran. Penyusunan isi Alquran kini tidak sama dengan kronologi turunnya dan urut-urutan sejarahnya. Hemat kami, seluruh kaedah hermeneutika dapat diterapkan baik kepada teks oral atau teks tertulis semuanya jika tidak memiliki dua karakteristik di atas yang hanya dimiliki oleh Alquran. Metode hermeneutika lahir dalam ruang lingkup yang khas dalam tradisi Yahudi-Kristen. Perkembangan khusus dan luasnya opini tentang sifat dasar Perjanjian Baru, dinilai memberi sumbangan besar dalam mengentalkan problem hermeneutis dan usaha berkelanjutan dalam menanganinya. Hal ini berbeda dengan Alquran. Tidak ada alternatif pemahaman selain bahwa Alquran, seluruh redaksi dan maksudnya langsung dari Allah swt. Nabi Muhammad saw menjadi sekadar “Juru bicara ada” (loudspeaker of being). Status otoritatif yang diduduki Alquran tidak pernah dipertanyakan lagi, yang disebabkan dua hal:
1. Alquran sendiri dengan tegas menekankan teori ini dan tidak menyediakan ruang untuk spekulasi. Nabi tidak pernah gagal menarik garis yang tegas antara kata-katanya dan kata-kata dari Alquran.
2. Kaum Muslim tanpa ragu meyakini bahwa di tangan mereka, huruf, kata, kalimat dan sistematika Alquran tetap terjaga seperti keadaannya di masa Nabi.
Dua faktor ini, dan ditambah fakta bahwa Alquran mengandung prinsip-prinsip penafsiran dalam dirinya sendiri, mempersulit tematisasi problem hermeneutis dalam Islam, suatu hal yang di Barat dipaksakan kemunculannya oleh kebuTuhan mendesak. Belum ada seorang pemikir Muslim pun yang pernah mengajukan problem ini sebagai tema utama pemikirannya.
VI. Model aplikasi hermeneutika atas al-Quran ala N.H. AbuZayd (1943-…)
Di antara sekian banyak pemikir modernis muslim, kiranya Nasr Hamid paling pas mewakili sekian banyak suara intelektual yang menuntut segera diterapkannya hermeneutika dalam memahami ulang teks-teks primer agama Islam (Alquran dan Sunnah) sebagai pengganti metode tafsir dan takwil yang telah dikenal dalam literatur ulumul quran. Bahkan dalam perkembangan pemikirannya terkini, setelah dia hengkang ke Belanda karena kasus penolakan promosi guru besarnya di fakultas sastra Universitas Kairo sejak tahun 1995, ia mulai mempromosikan metode dan aplikasi ijtihad terbarunya dalam buku “Dawa’ir al-Khawf fi Khithab al-Mar’ah”.
Dinilai oleh banyak kalangan, bahwa Nasr Hamid mulai serius mengaplikasi metode hermeneutika untuk mendekonstruksi syariah Islam, setelah sebelumnya hanya bergulat dalam perdebatan-perdebatan kebudayaan di forum-forum seminar tentang perlunya hermeneutika bagi “kemajuan” syariah Islam.
Nasr Hamid dan Desakralisasi Nash Alquran
Nasr sangat menekankan aspek desakralisasi teks Alquran ketika bersenTuhan dengan bumi dan pemahaman akal manusia. Bahkan dalam perjalanannya justru aspek historisitas manusia lah yang akan mengkonstruksi teks. Bagi Nasr, teks Alquran yang sakral itu ada di level metafisis dan oleh karena itu di luar jangkauan manusia. Tidak ada yang dapat dipahami darinya kecuali apa yang telah jelas ditegasksan oleh teks secara tersurat dan sesuai dengan kenisbian manusia.
Teks Alquran menurut AbuZayd, sejak diturunkannya pertama kali yang kemudian dibaca oleh Rasul sebagai wahyu, telah otomatis berubah secara kualitatif dari teks ilahi menuju teks pemahaman insani. Dalam terminologi terkaan Nasr, dari tanzil berubah menjadi takwil. Lebih jauh lagi dengan berani AbuZayd berteori bahwa pemahaman Nabi Muhammad saw atas Alquran hanyalah sebatas periode awal gerakan teks Alquran dalam intensitas pergumulannya dengan akal manusia. (Nasr Hamid, Naqd al-Khithob al-Dini, Kairo: Maktabah Madbouli, hal. 125-126)
Alquran, lebih jauh AbuZayd menilai, sebagai teks verbal dari otoritas keagamaan konstan dan tidak berubah, tetapi pada saat ia menyentuh ranah akal manusia sehingga membentuk sebuah konsep dan abstraksi, sejatinya telah kehilangan sifat konstan, terus bergerak dan penandaannya semakin plural.
Beberapa kesimpulan yang dihasilkan oleh teori AbuZayd diatas, di antaranya:
Teks hakiki yang berfungsi secara aktif dalam ranah kemanusiaan dan kesejarahannya adalah teks hasil pemahaman (takwil) manusia, bukannya teks yang ditanzilkan lagi. Ini disebabkan karakter teks Alquran pada level metafisis yang tidak memiliki akses dan efektifitas kemanusiaan.
Teori ini berusaha memanusiawikan teks Alquran, dalam pengertian bahwa petunjuk dan kandungannya adalah hasil pencapaian dan prestasi manusia sebagai makhluk berbudaya. Meski di samping itu juga Nasr mengafirmasi sumber keilahian Alquran di tingkat verbal; sebuah afirmasi yang cukup baik tapi sangat artifisial, karena sedari awal telah menolak pengaruh teks ilahi atas kesadaran dan realitas manusia sekaligus. Karena kesadaran historis, kesiapan faktor waktu dan ruang untuk memproduksi makna teks hanya bisa, bagi Nasr, diterapkan atas teks yang dikonstruksi secara manusiawi. Dalam perspektif ini nilai penting yang ditekankan adalah sistem penandaan berupa takwil manusiawi.
Konsekwensi lain yang dihasilkannya berupa realitas sebagai produsen teks. Dengan kata lain teks suci adalah produk output akumulasi realitas dengan pelbagai symbol dan iklim yang membentuknya. Sesuai dengan alur ini faktor sejati pembentuk teks tak lain adalah realitas manusia yang historis.
Asumsi ini diperparah lagi dengan mengkategorikan pribadi Rasul sebagai penerima teks tanzili ke dalam level nisbi. Sementara itu kaedah relativisme inilah yang menjadi pemicu gerakan realitas dalam membentuk tingkatan dan substansi uji coba manusia dalam pembumian teks. Dengan demikian semua unsur realitas dalam seluruh dimensinya tergolongkan ke dalam corak takwil insani atas teks tanzili. Oleh karena itu takwil yang dihasilkan sejatinya adalah pembenaran dan pantulan dari realitas manusia.
Teori ini juga akan berujung kepada formalitas teks yang menjadi rujukan secara simbolis tanpa efektifitas petunjuk dan petanda wahyu yang konstan. Alias tidak meyakini adanya makna substantif dan objektif dari wahyu tanzili ini. Asumsi ini hanya mungkin diretas oleh teori yang menyatakan bahwa realitas manusia adalah faktor pembentuk yang mengkonstruk sistem petunjuknya sendiri. Dengan hukum realitas yang senantiasa bergerak dinamis, maka demikian pula petunjuk-petunjuk teks selalu berubah dan tidak pernah mandek atau bermakna tunggal. Menurut pandangan ini realitas insani lah yang berhak menentukan substansi dan petunjuk dari teks.
Jika digambarkan maka kita akan mendapati bahwa dialektika antara realitas pembentuk teks tanzili dengan pemahaman akal manusia berupa teks takwili ini akan menghasilkan suatu teks tanzili yang semu dan simbolik belaka yang sewaktu-waktu dapat diabaikan dan dikorbankan. Lihat bagan berikut:
REALITAS → NASH TANZILI →
NASH TAKWILI → REALITAS ═ NASH SIMBOLIK
Superioritas Realitas atas Teks: Sebuah Kritik
Nasr menulis: “Realitas lah yang menjadi pangkal mula teks dan tidak bisa diabaikan. Karena dari realitas teks terbentuk, melalui bahasa dan budaya manusia konseptualisasi teks terjadi, dan melalui dialektikanya dengan efektifitas manusia maka petunjuknya selalu up to date. Maka pangkal, pertengahan, dan ujungnya kembali kepada otoritas realitas manusia!” (Naqd al-Khithob al-Dini, hal. 130)
Jawaban bagi tesis yang diajukan Nasr adalah tidak mungkin nash wahyu dapat mengkonstruk bangunan epistemologi, ontologi dan aksiologi yang kokoh jika dirinya kehilangan komponen-komponen sistem petunjuk yang menyingkap kemauan Allah swt dibalik pesan wahyu. Bukti penting bahwa wahyu memiliki kekokohan dan objektifitas sistem penandanya adalah keberhasilannya melandasi teori dan praktek kemanusiaan sepanjang eksperimen dan historisitas manusia muslim selama berabad-abad.
Maka disini penting sekali untuk dicatat bahwa garis demarkasi antara subjek dan objek dalam kajian teks agama yang sakral, bergerak pada 2 level:
level vertikal, yang di dalamnya mencakup Allah swt (Mursil), wahyu (Risalah), Nabi Muhammad saw (Mursal).
level horisontal, yaitu upaya manusia dalam pembumian risalah ilahi.
Sehingga pada dasarnya jika kita menuruti kerangka diatas, tidak ada problematika isu memanusiawikan teks Alquran dalam pengertian eliminasi karakter petunjuk ilahiyah dari teks tanzili. Problematika ini hanya akan mungkin terjadi jika kita mengeluarkan posisi Rasul (Mursal, atau “recipient” dalam teori komunikasi modern ala Jacobson; al-Mutalaqqi al-Awwal dalam istilah Nasr) dari level vertikal hingga menjadi horisontal. Alias menisbikan penafsiran Rasul atas wahyu Allah dalam proses pembumiannya. Dalam sinaran teori ini Nabi tak lebih dari sekedar robot yang atomistis dan mekanistik berfungsi hanya pada saat tanzilnya wahyu saja, atau serupa kanal yang berguna sebagai penyampai pesan Allah kepada manusia. Pembumian nilai wahyu oleh Nabi diasumsikan masuk kategori nash takwili yang berubah-ubah, dinamis dan tidak harus sesuai petunjuk tanzil ilahiyah.
Posisi Tafsir Nabi dalam Hermeneutika Nasr Hamid
Hal ini bagi penulis akan banyak bersinggungan dengan tugas dan fungsi Nabi dalam mengemban risalah ilahi sekaligus pembumiannya. Hemat kita asumsi ini dapat dikonfirmasikan bahkan dikonfrontasikan “vis a vis” visi Alquran sendiri tentang fungsi kenabian. Allah swt berfirman: “Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman”. (Q.s. al-Nahl: 64)
Aspek humanitas Nabi sebagaimana dinyatakan oleh Alquran bahwa: Dan mereka berkata: “Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) malaikat?” dan kalau Kami turunkan (kepadanya) malaikat, tentulah selesai urusan itu, kemudian mereka tidak diberi tangguh (sedikitpun). Dan kalau Kami jadikan Rasul itu malaikat, tentulah Kami jadikan dia seorang laki-laki dan (kalau Kami jadikan ia seorang laki-laki), tentulah Kami meragu-ragukan atas mereka apa yang mereka ragu-ragukan atas diri mereka sendiri (Qs. Al-An’am: 8-9), tidak sebagaimana yang difahami Nasr, justru tidak menjadi penghalang diperolehnya petunjuk hakiki pesan wahyu (karena Nabi tidak berdiri sendiri dan selalu dibimbing oleh pemilik risalah), bahkan aspek ini menjadi bagian integral dan fundamental dalam sistem komunikasi wahyu yang mengharuskan jalur kemanusiaan dalam proses penurunan dan pembumian wahyu di level realitas manusia.
Lebih jauh Nasr Hamid menyatakan bahwa: “Tidak perlu anggapan yang menyatakan kesesuaian pemahaman Rasul atas nash mutlak sebagai petunjuk hakiki nash, karena jika pun ada, asumsi itu akan menjurus kepada “kemusyrikan” karena telah menyetarakan yang absolut dengan pemahaman yang nisbi (tafsir Nabi), antara yang konstan dengan yang dinamis, maksud Tuhan dengan pemahaman manusia, sekalipun ia seorang Rasul. Anggapan ini akan menaikkan derajat Nabi menjadi Tuhan, dan dengan itu akan mensakralkan pribadi Nabi dengan menutup-nutupi aspek manusiawinya”. (Naqd al-Khithab al-Dini: hal. 126)
Tesis Nasr menimbulkan setidaknya dua kerancuan berpikir: pertama, Nasr dengan ungkapannya telah menganggap bahwa teks ilahi tidak memiliki petunjuk hakiki. Dengan demikian petunjuk teks ilahi akan terbentuk di kemudian hari seiring dengan persinggungan dan dialektika manusia dengan pesan wahyu. Apalagi peran dan posisi penafsiran Nabi oleh Nasr dikelompokkan dalam level horisontal seperti manusia bisaa lainnya. Karena realitas manusia adalah satu-satunya acuan dalam mengkonstruk petunjuk nash, maka wahyu atau nash dalam preposisi Nasr tak lain bertugas memberi insentif dan menggerakkan potensi olah fikir manusia dalam mengkonstruk petunjuk wahyu.
Hemat kami, jika kita dapat mendudukkan aspek humanitas Rasul sesuai proporsi yang adil dan petunjuk nash-nash Qurani sendiri, tidak ada lagi klaim kesenjangan berupa ketidaksesuaian maksud Tuhan dengan pemahaman Nabi atas nash yang ditanzilkan kepadanya. Karena terang sekali bahwa fungsi utama risalah ilahi yang berupa nash-nash verbal dan Rasul pilihan Allah swt adalah untuk membina sistem kehidupan berupa din yang Ia ridhoi, yang untuk memenuhi tujuan itu nash-nash ilahi diturunkan dan Rasul-Rasul pilihan-Nya diutus ke tengah manusia.
Keterangan Alquran menyatakan bahwa dalam menyampaikan wahyu dan menjelaskan petunjuk dan kandungannya kepada manusia, Rasul tidak bekerja sendirian melainkan bekerja menyampaikan dan menjelaskan nash ilahi di bawah bimbingan dan pantauan ilahiyah. Alquran juga menegaskan bahwa proyek ilahi dalam membina sistem agama yang ia ridhoi di bumi dan untuk kemaslahatan manusia tidak cukup sampai taraf pemilihan seorang Nabi dan selesai begitu saja dengan tersampaikannya wahyu kepada manusia. Sehingga petunjuk wahyu dibiarkan berjalan secara otomatis dan terus ber-”evolusi” sesuai dengan perkembangan manusia. Sesuai dengan keterangan dari Alquran, pembinaan sistem agama dimulai dari periode “persiapan” (al-i’dad) sebagaimana tersirat dari keterangan Qs. Thoha: 39, al-Dhuha: 6-8, al-Insyiroh: 1-2, kemudian diikuti oleh fase “pemilihan” (ikhtiyar) sebagaimana dalam Qs. Thoha: 13, lalu fase dukungan dan bimbingan (tasdid ilahi) sebagaimana keterangan Qs. Thoha: 46 dan al-Tawbah: 26, hingga dipungkasi oleh fase pengawasan (riqobah ilahiyyah) agar Nabi dalam menjalankan tugasnya tidak menyeleweng dan jika keliru langsung ditegur dan diluruskan, sesuai keterangan Qs. Al-Haqqah: 43-47. Dari visi qurani tentang pentahapan pembinaan sistem agama Allah tadi dapat dilihat suatu hubungan yang abadi, hangat dan sangat intim antara Allah swt dan Rasul pilihan-Nya. Visi ini setidaknya menjadi kontra produktif dengan teori Nasr, sehingga sulit diterima dan dengan sendirinya tertolak.
Kerancuan berpikir kedua yang ditimbulkan tesis Nasr adalah “cap syirik” (menyekutukan Allah) yang dilontarkannya ketika seorang muslim menyatakan adanya kesesuaian maksud antara yang mutlak (zat ilahi yang dalam hal ini dilambangkan dalam nash tanzili) dengan yang nisbi (untuk menunjuk kepada pemahaman Rasul atas nash ilahi), dan mencampuradukkan antara keduanya. Lontaran semacam ini sungguh tidak relevan. Karena dari segi konstruksi awal, wahyu ilahi berikut penjelasannya adalah berasal dari Allah swt melalui perantara Rasul pilihan-Nya yang dibimbing dan dipantau secara terus-menerus oleh-Nya. Bahkan oleh Alquran ditegaskan bahwa manusia akan dapat sampai kepada stasiun yang mutlak (zat ilahi yang diwakili oleh maksud nash ilahi) dengan menempuh jalur ittiba’ kepada Nabi yang nisbi dan manusiawi itu. Jika mengikuti logika berpikir yang rancu ala Nasr ini bagaimana kita memahami petunjuk untuk mentaati Rasul dengan seizin Allah dalam Qs. Al-Nisa’: 64 atau perintah mentaati Rasul dan sikap ittiba’ kepada Nabi Muhammad saw sebagai indikasi kecintaan hamba kepada rob-Nya dalam Qs. Ali Imran: 31-32. Apakah petunjuk ayat-ayat tadi menyuruh umat muslim pengikut Muhammad saw untuk syirik, menduakan Allah dengan mentaati perintah selain-Nya? Atau bisa jadi pemahaman seperti itu adalah produk aplikasi hermeneutika Nasr sendiri dalam memahami ayat-ayat Alquran….!?
Padahal kekhasan din yang berkarakter ilahiyah ini memasukkan unsur Rasul sebagai bagian penting dari konstruksi risalah agama sesuai izin, restu dan pantauan-Nya. Hal ini misalnya dijelaskan secara gamblang melalui Qs. Al-Jinn: 19-28 “….. Akan tetapi (aku hanya) menyampaikan (peringatan) dari Allah dan risalah-Nya. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya baginyalah neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya…. Supaya Dia mengetahui, bahwa sesungguhnya Rasul-Rasul itu telah menyampaikan risalah-risalah Tuhannya, sedang (sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu persatu.”
Singkatnya, pandangan seperti ini hanya akan bertentangan dan meruntuhkan visi Alquran tentang fungsi kenabian dan risalah dalam pembinaan sistem agama (lihat misalnya petunjuk Qs. Al-Hasyr: 7 dan al-Ahzab: 21)
Dari uraian di atas, jelas sekali jika dipetakan bahwa Nasr Hamid sebelum meluncurkan gagasan perlunya metode hermeneutika dalam menganalisa wacana al-Quran, dia merasa perlu untuk melicinkan jalan ke arah sana dengan cara:
1) Memangkas upaya sakralisasi terhadap kitab suci hakiki yang diturunkan Allah swt kepada Rasul-Nya,
2) Mengajukan tesis bandingan bahwa realitas manusia lah yang mengkonstruk bentuk dan substansi wahyu Ilahi. Realitas manusia lebih superior dari wahyu itu sendiri.
3) Mengerdilkan posisi tafsir Rasulullah atas wahyu Ilahi yang ditanzilkan kepadanya, alias pemahaman Rasul adalah bentuk “primitif” dalam intensitas persinggungan wahyu ke dalam ranah historisitas manusia.
Metode Pembacaan Kontekstual dalam Ayat-ayat Gender
Bagi Nasr Hamid, metode pembacaan kontekstual lebih berguna dan efektif dari pada metode istinbat fikih tradisional yang mengandalkan mekanisme qiyas (memindahkan hukum dari asal ke cabangnya atas dasar kesamaan illat). Metode kontekstual dilakukan melalui dua tahap: pertama, konteks historis-sosiologis-eksternal dari teks, dan kedua, konteks semantik-internal dari teks. Ia berusaha memindahkan cakupan konsep konteks dari luar batasan klasik (seperti ilmu nasikh-mansukh, asbab nuzul, dan ilmu-ilmu bahasa) ke dalam konteks historis-sosiologis turunnya wahyu, untuk tujuan pemilahan hukum syariah antara yang benar-benar ciptaan wahyu dengan yang berasal dari adat dan tradisi sosial religius pra-Islam. (Dawa’ir al-Khawf, hlm. 202)
Nasr Hamid memandang tahap kedua dari metode kontekstual sebagai inti ijtihadnya. Metode pembacaan kontekstual meniscayakan pembedaan antara “makna” dan petunjuk historis yang digali dari konteks, dengan “signifikansi” yang ditunjukkan oleh makna dalam konteks historis-sosiologis di zaman penafsir. Ia kemudian menentukan beberapa tingkatan konteks: ada konteks universal atau sosiologis-historis pada masa pra-wahyu yang mana urgensinya untuk menemukan perkembangan makna semantik dalam struktur teks. Ada juga konteks asbab nuzul atau konteks historis-kronologis wahyu. Ada lagi konteks narasi kisah-kisah, kabar umat-umat masa lalu, yang mana urgensinya untuk memilah mana yang menjadi bagian tasyri’, bagian konteks perdebatan, ancaman atau pelajaran. Konteks terakhir adalah tingkatan konstruksi teks. (Dawa’ir al-Khawf, hlm. 202-203)
Nasr Hamid mencoba mendiskusikan ayat-ayat gender dalam Alquran secara analitis kritis historis. Metode itu jika diterima akan menjadi solusi atas dilemma yang dihadapi pemikiran Islam kontemporer. Ia berkesimpulan bahwa banyak hukum Islam terkait hak-hak perempuan yang menjadi sasaran serangan orang Barat ternyata secara historis bukanlah aturan hukum yang dibawa oleh Alquran. (hlm. 206). Untuk mengetahui posisi Islam sesungguhnya dalam menyikapi hak asasi manusia, terutama hak wanita, sewajarnya dilakukan kajian perbandingan sejarah antara hak wanita di masa pra-Islam dan hak-hak baru yang ditentukan pasca kehadiran Islam. Antara kedua fase tersebut ada area bersama yang menjadi melting-pot antara nilai lama dan baru. Proses kreatif inilah yang dinamakan proses pengembalian makna asli wacana melalui rekonstruksi konteks historis 14 abad silam. Sehingga secara latah kita mengelabui banyak orang bahwa semua hal yang disinggung Alquran tentang wanita adalah tasyri’ padahal bukan..! (hlm. 206)
Dengan pemilahan antara “makna” dan “signifikansi”, teks primer dan sekunder, yang terkait hukum pembagian waris bagi perempun, bagi Nasr Hamid, melalui tahap-tahap yang tidak teratur dan tumpang tindih satu sama lain.
“Makna”: ditafsirkan oleh Abu Zayd secara bebas dan tidak ditunjuk sama sekali oleh teks mantuqnya. Makna bagian waris perempuan 1/2 dari laki-laki adalah: laki-laki tidak boleh diberikan jatah waris lebih dari dua kali lipat bagian perempuan, dan perempuan tidak boleh diberikan jatah waris kurang dari 1/2 bagian laki-laki.
“Signifikansi”: gender equality adalah salah satu tujuan dasar tasyri’. Teks-teks persamaan religius dan humanitas laki-laki dan perempuan adalah teks yang bersifat final dan mengikat (qath’i). dengan demikian teks-teks itu mengizinkan mujtahid untuk menetapkan bahwa gender equality antara laki-laki dan perempuan tidak melanggar batasan dan ketetapan Allah swt.
“Ijtihad”: atas dasar pemikiran di atas, keharusan pemerataan jatah bagian waris laki-laki dan perempuan dengan pertimbangan realitas kontemporer yang mengharuskan demikian. Sehingga, bagi Nasr Hamid, “tidak bisa diterima ijtihad berhenti pada batas yang ditentukan oleh wahyu karena jika tidak demikian maka klaim kecocokan Islam di segala tempat dan waktu akan gugur dan jurang pemisah antara realitas yang terus berubah dan teks-teks yang difahami secara harafiah oleh diskursus agama kontemporer semakin menganga lebar…”
Istidlal dan Generalisasi: hal itu disimpulkan oleh Nasr Hamid sebagai berikut: “… setiap ijtihad yang menghendaki terciptanya persamaan penuh (antara laki-laki dan perempuan) merupakan ijtihad yang mulia dan selaras dengan orientasi tujuan-tujuan umum tasyri’. Sedangkan ijtihad atau takwil yang terpaku pada cakrawala momen historis wahyu, keduanya terjebak ke dalam kekeliruan epistemologis terlepas dari faktor niat baik dan ketulusan dogma. Karena itu, jika batasan dan ketetapan Tuhan yang tidak boleh kita langgar yaitu kita tidak boleh memberikan jatah waris laki-laki lebih dari dua kali lipat jatah perempuan dan kita tidak boleh memberi perempuan kurang dari setengah jatah laki-laki, maka hal itu tidak melanggar ketetapan allah swt. Persamaan artinya adalah persamaan batas maksimal laki-laki dan batas minimal perempuan tidak melanggar apa yang telah dibatasi allah. Secara otomatis pula hal ini mencakup semua bidang fikih Islam yang selama ini dimaknai salah kaprah, berangkat dari gambaran nilai perempuan setengah nilai laki-laki dengan sample masalah warisan. Di antara bidang-bidang itu adalah: kesaksian di depan pengadilan, kelayakan perempuan untuk mengisi bidang yang dikuasainya seperti bidang advokasi dan hakim pengadilan.
Konsep ijtihad yang ditawarkan oleh Nasr Hamid adalah ijtihad di luar pakem teks. Cukup jelas kiranya bahwa tawaran model ijtihad “modern” ala AbuZayd yang berpihak secara total kepada realitas manusia dan meminggirkan teks, semacam kredo atas aliran positifis-liberal yang sama sekali menyingkirkan hakikat dan batasan-batasan teks (batasan-batasan “makna”, dalam istilah Nasr Hamid). Berbeda dengan kredo Nasr Hamid tentang ijtihad modern, di dalam fiqih Islam, ijtihad harus berangkat dari obligasi dan mandatori teks primer Alquran dan Sunnah. Ijtihad tidak dibenarkan dalam masalah yang sudah tegas dijelaskan oleh nash yang sharih atau qath’i, seperti ayat-ayat hukum yang diperjelas oleh ayat atau Sunnah nabi sehingga tidak menerima takwil lain maka tidak diperkenankan ijtihad liberal tanpa batas secara kode etik keilmuan yang sederhana sekalipun. Anehnya, Nasr Hamid dalam banyak kasus, mengkategorikan ayat-ayat hukum sebagai teks sekunder di bawah teks-teks keimanan dan dogma sebagai teks primer..!
Sejatinya usaha reaktualisasi ijtihad yang didengungkan banyak cendekiawan muslim di berbagai kawasan dunia, telah menjadi aksioma dalam usaha pembaharuan Islam (tajdid). Aktualisasi ijtihad sebagai bagian proses hermeneutis dalam sudut pandang Islam terkait erat dengan teks/nash; baik ijtihad dalam arti reinterpretasi internal teks (berupa takwil makna nash, ‘am dan khash, mutlaq dan muqayyad, dll) maupun dalam arti reinterpretasi dengan merujuk kepada hukum teks primer dengan metode qiyas, atau yang bisa dipraktikkan secara luas dalam koridor umum nash melalui perangkat metode qiyas, istihsan, istishhab, ‘urf, dan mashlahat mursalah yang dibingkai oleh maqashid syariah.
Sementara itu, ijtihad yang dilontarkan AbuZayd adalah ijtihad di luar koridor teks; ia bergerak linear di luar teks lewat upaya pembekuan “makna” dan menghidupkan “signifikansi” yang liar dan terus berubah dengan menjadikan ideologi, budaya, dan solusi-solusi pragmatis/sosiologis sebagai pengesah dan rujukan utama. Atau dalam bahasa lain Abu Zayd, ijtihad yang berangkat dari dialektika bottom-up; dari realitas menuju teks. Metode ijtihad yang menjadikan realitas sosiologis sebagai primadona, model Abu Zayd, berangkat dari pentakwilan nash dan berakhir secara tragis kepada pengabaian nash itu sendiri. Mekanisme ijtihad semacam itu berangkat dari diktum wahyu bukan untuk meraih petunjuk darinya, melainkan untuk melampaui dan mengeleminasi wahyu atau syariah dari kehidupan manusia; alias sekulerisasi masyarakat muslim. Ungkapan Abu Zayd bahwa: “Tak bisa diterima suatu ijtihad yang berhenti pada batas-batas yang ditentukan wahyu, sebab hal itu akan merobohkan tesa kecocokan syariah Islam untuk setiap waktu dan tempat”, bagi penulis, tak lebih dari sebuah upaya pengelabuan luar biasa, baik dari segi “makna” ataupun “signifikansi” statemen tersebut. Karena secara manthuq, yang disembunyikan oleh Nasr Hamid lewat statemen itu, ijtihad “modern” yang ia tawarkan adalah bagian tak terpisahkan dari proyek dekonstruksi-kritis atas Islam sebagai sistem yang total mengatur pranata sosial, intelektual dan nilai hidup.
VIII. Upaya modernisasi Islam melalui pembacaan teks agama dengan piranti hermeneutika dan perspektif ilmu humaniora Barat.
Terakhir, penulis kutipkan beberapa buah pikiran termaju dari usaha gencar proyek modernisasi Islam melalui piranti hermeneutika menurut perspektif ilmu humaniora Barat:
Dr. Nasr Hamid Abu Zayd menulis: “…Tanpa menyoal ulang pertanyaan yang dikebiri seputar karakter firman Tuhan, takwil akan tetap sebagai alat pembacaan modernitas dalam teks-teks agama, bukan sebagai alat untuk memahami nash itu sendiri. Sesuai dengan buah pikiran Abu Zayd, pemilahan antara nilai historis dengan nilai eternalis dalam teks Alquran akan membuat kita memahami tujuan firman Tuhan dan petunjuk-petunjuk semantiknya. Dengan pendekatan ini, kita akan menyingkap bahwa hukuman hudud dalam Islam seperti: potong tangan bagi pencuri, cambuk bagi pezina, dll adalah produk nilai dan budaya masyarakat pra-wahyu. Dengan kata lain, nilai eternal Alquran adalah menciptakan keadilan dengan adanya hukuman tindak kriminal, adapun bentuk hukuman dalam Alquran adalah produk sejarah belaka. Tentu saja kita tidak dibenarkan berpihak kepada produk sejarah dengan mengabaikan nilai abadi “eternal” Alquran…”. (dalam DW-World.de.deutsche welle, tsaqafa wa mujtama, 26.11.2005)
Prof. Routhrawd Fyland dari Universitas Bamberg Jerman, ketika mengomentari kontribusi Abu Zayd dalam reformasi agama (Islam) sehingga dianugerahi “Averroes Award for Free Thinking” pada tahun 2005 silam, memuji usaha inokulasi pemikiran yang khas Nasr Hamid Abu Zayd. Ia menjelaskan bahwa konsep teks model Abu Zayd adalah perkembangan mutakhir dari prestasi Yuri Luttman dan Claud Shanon di bidang kritik sastra, yang berangkat dari diktum bahwa Alquran adalah teks peringkat atas. Oleh karena itu kaedah dan undang-undang bahasa dapat diterapkan atas Alquran sebagai teks. Kita harus memahami teks Alquran dengan menganalogikannya seperti transmisi radio yang ditulis dengan kode-kode khusus. Agar penerima/reseptor dapat memahami teks/kode yang sampai kepadanya, pengirim harus mengirimkan teks dengan kode yang difahami oleh reseptor. Di sinilah artinya teks Alquran yang ditanzilkan dalam bentuk wahyu seperti pengiriman pesan bahasa dari Tuhan kepada manusia. Akan tetapi bahasa mampu menyimpulkan makna-maknanya yang halus berdasar dari tradisi manusia penerima pesan yang mencerminkan cakrawala peradaban dan sejarah orang-orang yang berbicara dengan kode tersebut. Sehingga menjadi jelas bahwa firman Tuhan niscaya memakai kode bahasa dan peradaban yang khas bagi para reseptor risalah kenabian yang mula-mula. Nah, oleh karena bahasa dan gambaran manusia abad ke 21 berbeda sama sekali dengan manusia muslim era pertama, maka kewajiban para hermeneut adalah menerjemahkan kehendak dan maksud Tuhan yang terungkap dalam Alquran melalui kode bahasa dan budaya masa 14 abad silam ke dalam bahasa dan konteks pemikiran para pembaca dan pendengar Alquran di masa kini.
Wallahu A’lam bil Shawab
I. Mukaddimah.
Al-Qur’an seperti diyakini kaum muslim merupakan kitab hudan, petunjuk bagi manusia dalam membedakan yang haq dengan yang batil. Dalam berbagai versinya, Al-Qur’an sendiri menegaskan beberapa sifat dan ciri yang melekat dalam dirinya, di antaranya bersifat “transformatif”; yaitu membawa misi perubahan untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan-kegelapan, Zhulumât (di bidang akidah, hukum, politik, ekonomi, sosial budaya dll) kepada sebuah cahaya, Nûr petunjuk ilahi untuk menciptakan kebahagiaan dan kesentosaan hidup manusia, dunia-akhirat. Dari prinsip yang diyakini kaum muslim inilah usaha-usaha manusia muslim dikerahkan untuk menggali format-format petunjuk Allah yang dijanjikan bakal mendatangkan kebahagiaan bagi manusia. Nah dalam rangka penggalian prinsip dan nilai-nilai Qur’ani yang berdimensi keilahian dan kemanusiaan itulah penafsiran dihasilkan
Dialektika antara manusia dengan realitasnya ditengarai turut masuk mempengaruhi proses penafsiran itu. Bukankah Al-Qur’an diturunkan bagi manusia, untuk kemaslahatan manusia dan last but not least untuk “memanusiakan” manusia (bukan menjadikannya makhluk otomatis seperti robot, mesin, hewan ataupun malaikat)? Maka dari diktum itu pula lah, konsep tentang manusia dan identitasnya dalam menjabarkan misi kekhalifahan dan ubudiyyah di muka bumi menjadi faktor determinan dalam proses mengkaji dan memahami teks suci yang diyakini akan memberikan kesejahteraan bagi umat manusia.
Akan tetapi, posisi sentral manusia yang oleh peradaban Barat menjadi tema utama abad pencerahan juga bukan tanpa cela dalam sudut pandang Islam. Manusia dalam kacamata Islam tidak lah hidup dari, oleh dan untuk dirinya sendiri dan terkungkung dalam dunia yang profan ini. Falsafah hidup Islam tidak mengenal mazhab sekularisme yang memisahkan manusia dari dimensi keilahian dan melucuti aspek moral dan nilai dari kegiatan manusia. Falsafah hidup Islam menggariskan perpaduan nilai agama dan dunia, kehidupan manusia untuk misi khilâfah/’imârat al-ardl (keduniaan) dan ‘ubûdiyyah (keakhiratan). Prinsip-prinsip tersebut yang senantiasa harus diindahkan ketika kaum muslim berinteraksi dengan Al-Qur’an.
Dewasa ini pola interaksi kaum muslim dengan Al-Qur’an bukan hanya bercorak hudâ’iy, ijtimâ’iy dan ishlâhiy (mencari petunjuk untuk kebahagiaan), tetapi juga ‘ilmiy (dalam pengertiannya yang luas mencakup intellectual exercise, tidak hanya mencari pembenaran teori-teori sains dengan landasan ayat suci Al-Qur’an), bahkan cenderung filosofis murni dan tak ada kaitannya dengan misi transformatif yang menjadi ciri utama kehadiran Al-Qur’an di pentas kehidupan manusia. Hal ini bisa dilihat terutama dari berbagai kecenderungan (ittijâhât) upaya penafsiran dan penakwilan kitab suci yang terseret ke dalam diskusi panjang apakah manusia (secara umum sebagai pembaca dan penafsir teks) merupakan makhluk historis atau filosofis? Makhluk yang setiap saat berubah (sesuai dengan pengayaan pengalaman hidup) atau yang konstan? Sejauh mana posisi dan peran manusia dalam proses penafsiran; apakah tugasnya hanya menganalisa dan kemudian menerima otoritas tafsir di era pembentukannya ataukah hanya melibatkan pengetahuan dan pengalaman penafsir/pembaca teks sebagai barometer dan menganggap penafsiran otoritas di masa lalu hanya berlaku untuk saat itu (historisitas)? Apakah tugas penafsir kitab suci diarahkan semata untuk menangkap maksud pemilik dan pencipta teks ataukah justru bebas menciptakan maksud dan makna baru seiring dengan jarak waktu yang memisahkan antara pengarang dan pembaca teks, bahkan “kematian” pengarang dianggap “berkah” untuk melahirkan makna-makna segar yang tidak terkungkung oleh kehendak dan maksud pengarangnya?
Pertanyaan filosofis diatas mulai menggerogoti upaya sebagian elit muslim dalam banyak kajian mereka terhadap Al-Qur’an. Persinggungan intens dunia pemikiran muslim (yang tereleminasi dari pergaulan dunia) dengan dunia pemikiran Barat (yang dominan dan hegemonik) telah menyeret wacana ‘Hermeneutika’ masuk ke dalam kajian Al-Qur’an kontemporer. Dunia pemikiran muslim telah kehilangan world view dan jati dirinya ketika berhadapan dengan dunia pemikiran Barat yang notabene hegemonik dan kuat baik secara program/agenda maupun funding untuk tujuan ekspansinya. Sadar atau tidak, elit muslim telah masuk dalam agenda dan propaganda Barat bahwa budaya, teknologi dan bahkan metodologi Barat lebih unggul dan karena itu mesti digugu dan ditiru. Yang sungguh mengkhawatirkan bagi penulis adalah peniruan terhadap metodologi Barat di bidang Humaniora (sastra, psikologi, sosiologi, antropologi, dll) yang terbukti membawa arus sekulerisme yang tidak sesuai dengan falsafah hidup Islam.
Ide dan pemikiran untuk mencari-cari aspek kesamaan-kesamaan (Fiqh al-Muqârabât) antara metodologi Barat dan Islam di bidang kajian humaniora (sastra dan sejarah agama secara khusus, yang terkuak jelas dalam kasus hermeneutika) menjadi trend pada dekade akhir abad 20 dan awal abad 21 ini. Dalam kajian Al-Qur’an, Fiqh al-Muqârabât antara tafsir (terlebih khusus lagi takwil) dengan hermeneutika yang berkembang di Barat (baik dalam studi biblikal/teologis maupun filsafat sastra secara umum) menjadi tak terelakkan.
II. Studi komparatif antara ta’wil dalam tradisi keilmuan Islam dan hermeneutika dalam tradisi filsafat Barat.
Dalam membandingkan terminologi takwil sebagai teori penafsiran khas peradaban Islam dan hermeneutika yang lahir dari rahim dan khas miliu peradaban Barat- Kristen, kita akan bertolak dari pernyataan Mustafa Kaylani yang menerangkan proses transformasi dalam sejarah perjalanan takwil sebagai berikut:
“Dahulu takwil pada awalnya sangat kental bernuansa gramatikal sebatas penjelasan lafal dan susunan kalimat yang telah termakan zaman dengan lafal dan susunan kalimat baru sambil tetap menjaga maknanya yang cocok untuk setiap zaman. Sedangkan jenis takwil kedua (dalam peradaban Barat modern), telah merasuk jauh ke dalam dunia metafor (majaz); hermeneutika adalah takwil semiotis atas tanda-tanda (signs) yang telah terasa asing pada era terkini untuk mendapatkan makna semantik baru yang akan merujuk secara langsung kepada idea pengarang teks” (Wujud al-Nash wa Nash al-Wujud; hlm. 34).
Dari kutipan di atas, kita dapat mencandra dua aliran yang memperebutkan hakikat makna teks. Aliran pertama (tradisionalistik), berupaya membakukan makna dalam petenjuk semantik tertentu dengan cara menjadikan makna itu muhkam yang tidak bisa serampangan ditarik ke dalam wacana metaforis. Tentu saja aliran ini berupaya mempertahankan makna asli suatu teks. Sehingga takwil dalam tradisi aliran pertama difungsikan untuk mengalihkan pemahaman lahir suatu lafal dari makna aslinya kepada makna lain dengan indikasi tertentu yang menyebabkan makna aslinya ditinggalkan. Posisi dasar pemahaman teks adalah lahiriahnya, ia hanya dapat ditinggalkan jika ada indikasi kuat untuk keserasian makna itu dengan tujuan syariah. Dari situ, maka konsep takwil menurut para ahli ushul fiqh berjalin kelindan dengan pembagian tingkatan lafal teks agama:
Setiap bentuk lafal yang hanya menerima satu makna tertentu, ia disebut sebagai Nash; teks. (dari sana kita dapat menyimpulkan bahwa kosakata bahasa Arab mengidentikkan teks dengan pembakuan dan penunggalan makna suatu teks)
Jika bentuk lafal teks dapat menerima lebih dari satu makna/pemahaman yang sama-sama kuat, maka ia disebut sebagai Mujmal; teks global (yang memerlukan perincian)
Jika bentuk lafal teks menerima lebih dari satu makna/pemahaman yang salah satunya lebih kuat dari makna lain, maka makna yang kuat itu disebut Zhahir (teks yang asli) dan makna yang lemah itu disebut Mu’awwal (teks yang dialihkan maknanya). Perubahan dari makna zhahir kepada makna mu’awwal itu mensyaratkan adanya dalil; indikator yang kuat dan memperkuat satu makna atas makna lainnya.
Sedangkan aliran kedua (modernistik) dalam teori pentakwilan telah mengalami lompatan kualitatif dalam tradisi filsafat Jerman, terutama di tangan F.D.E. Schleirmacher (1768-1834 M) yang mengadakan reorientasi paradigma dari “makna” teks kepada “pemahaman” teks. Rasionalitas modern seperti dianut oleh mazhab protestantisme telah mengubah makna literal Bible yang selama ini dianggap oleh mazhab resmi gereja sebagai “makna historis” menjadi “pemahaman historis” yang segala sesuatunya merujuk kepada masa silam. Afiliasi suatu teks kepada masa silam itu menyebabkan kehadirannya di masa kini menjadi sebentuk kecurigaan; mengapa teks yang merespon kejadian masa lalu harus menjadi jawaban problem kekinian?! Tidak kah lebih baik jika teks masa silam itu dienyahkan karena realitas yang terus berubah dari waktu ke waktu?
Rasionalitas protestantisme itu telah menantang otoritas gereja yang selalu mengklaim arti Bible yang sah, serta meneguhkan semangat liberalisasi simbol-simbol otoritas agama yang eksklusif dan tertutup. Akibatnya, metodologi tafsir tradisionalis telah tergantikan dan disaingi metodologi yang lebih humanis dan memberi ruang kesadaran kritis atas keseluruhan sumber teks-teks agama. Semangat liberalisasi dan humanisasi inilah yang ikut andil merobohkan tembok sakralisasi teks sehingga teks agama tak lagi sakral dan bahkan mengalami proses humanisasi. (lihat Isykaliyyat al-Qira’ah fi al-Fikr al-’Araby al-Mu’ashir, hlm. 88)
Schleirmacher telah menubuhkan asas seni pemahaman teks; pemahaman yang selalu terkait mengikuti perkembangan dari setiap orang dan dari satu zaman ke zaman yang lain. Jarak pemisah antara zaman produksi teks dengan zaman pemahaman kekinian sedemikian meluas dan membentang, sehingga diperlukan ilmu yang mencegah kekeliruan pemahaman. Atas dasar itu, Schleirmacher meletakkan kaidah pemahaman teks yang terbatas pada dua aspek utama yaitu: aspek kebahasaan (tata bahasa yang dipakai pengarang) dan aspek kemampuan menembus karakter psikis pengarang. Kedua aspek itu saling melengkapi satu dengan lainnya. (Isykaliyyat al-Qira’ah wa Aaliyyat al-Ta’wil, hlm. 21). Tugas kaedah hermeneutik Schleirmacher-ian itu adalah untuk sejauh mungkin memahami teks seperti yang dipahami pengarangnya dan bahkan lebih baik dari apa yang dipahami oleh si pengarang. Tugas itulah yang kemudian dikenal dengan “Hermeneutical Circle”.
Lingkar hermeneutik itu akan mengubah yang konstan menjadi dinamis dan terus bergerak, dikarenakan teori “makna” dalam teori penafsiran klasik diubah menjadi “pemahaman” yang terkait dengan akal manusia yang terus berkembang dan berubah. Oleh karena itu, pemahaman teks adalah apa yang diinginkan oleh pembaca teks, bukan yang dimaksudkan oleh pengarang teks. Dikarenakan masa kelahiran teks telah menjadi bagian masa lalu, maka tidak ada makna yang tetap seperti sediakala. Lingkar hermeneutik meniscayakan produksi makna-makna baru yang tidak pernah final. Orientasi heremeneutik inilah yang kemudian dikembangkan oleh para filosof aliran eksistensialisme pasca-Schleirmacher.
Adalah Martin Heidegger (1889-1976 M) yang mencoba memahami teks dengan metode eksistensialis. Ia menganggap teks sebagai suatu “ketegangan” dan “tarik-menarik” antara kejelasan dan ketertutupan, antara ada dan tidak ada. Eksistensi, menurut Heidegger, bukanlah eksistensi yang terbagi antara wujud transendent dan horisontal. Sejak abad pencerahan dan humanisme Barat dimulai, eksistensi bersifat tunggal; eksistensi humanisme! Semakin dalam kesadaran manusia terhadap eksistensinya, maka sedalam itu pula lah pemahamannya atas teks; karena itu, teks tidak lagi mengungkapkan pengalaman historis yang terkait dengan suatu peristiwa. Dengan pengalaman eksistensialnya itulah manusia bisa meresapi wujudnya dan cara dia bereksistensi sebagai unsur penegas dalam proses memahami suatu teks.
Pemahaman eksistensialis model Heidegger teraplikasikan secara penuh terhadap semua jenis teks. Amat wajar jika kekhasan teks agama dari sudut pentakwilan menjadi terabaikan. Jika hermeneutika dahulu berarti pentakwilan teks suci yang terpasung oleh makna yang ditentukan pihak otoritas gereja, maka ia kini telah bebas dari belenggu sakralitas dan memungkinkan pentakwilan semua jenis teks, karena bagi hermeneut modern semua teks sama secara hirarkis. Sakralitas teks agama tidak lagi mendapatkan tempat dalam rasionalitas modern.
Resepsi dan pembacaan manusia adalah dasar bagi kebangkitan dan transformasi teks dari sesuatu yang diwarisi antar generasi menjadi warisan masal silam. Ketika kita membaca suatu teks kuno maka teks itu kembali dihidupkan dan berubah dari sesuatu yang tadinya mati dan asing kepada keadaan sesuatu yang hidup saat ini. Dengan demikian, pembacaan dan pemahaman adalah asas bagi transformasi teks dari ketiadaan kepada keefektifan.
Hermeneutika Heidegger kemudian dilanjutkan oleh Hans George Gadamer (1900-2002 M) yang menolak segala bentuk kepastian dan meneruskan eksistensialisme Heidegger dengan titik tekan logika dialektik antara aku (pembaca) dan teks/karya. Dialektika itu mesti difahami secara eksistensialis, karena hakikatnya memahami teks itu sama dengan pemahaman kita atas diri dan wujud kita sendiri. Pada saat kita membaca suatu karya agung, ketika itu kita lantas menghadirkan pengalaman-pengalaman hidup kita di masa silam, sehingga melahirkan keseimbangan pemahaman atas diri kita sendiri. Proses dialektika memahami karya seni berdiri atas asas pertanyaan yang diajukan karya itu kepada kita; pertanyaan yang menjadi sebab karya itu ada. (Isykaliyyat al-Qira’ah wa Aaliyyat al-Ta’wil, hlm. 40)
Filsafat hermeneutika Gadamer meniscayakan wujud kita berpijak pada asas hermeneutis, dan hermeneutika berpijak pada asas eksistensial manusia. Eksistensi yang dibangun Heidegger dan Gadamer terasa idealis yang dipengaruhi logika dialektik Hegellian, yang menyatakan historisitas yang tidak dipersyaratkan wujud materil yang dikendalikan oleh faktor sosial ekonomi. Untuk menautkan proses pemahaman dengan wujud materil, maka telah menjadi keharusan untuk keluar dari metafisika transendent yang khusus dalam konsep eksistensial. Penubuhan asas konsep wujud itu akan mengubah proses pemahaman. Selain itu ia akan disyaratkan dengan prasyarat materil yang akan mengendalikan wujud ini. (Isykaliyyat al-Qira’ah wa Aaliyyat al-Ta’wil, hlm. 44)
Menghadapi dialektika Heidegger dan Gadamer, tokoh-tokoh filsafat hermeneutika seperti: Paul Ricoer (1913-2005 M), Eric D. Hirsch (1928-….), dan Emillio Betti (1890-1968 M) mengajukan teori objektifitas dalam aliran hermeneutika. Mereka berusaha mendirikan hermeneutika sebagai ilmu penafsiran teks yang menekankan metode objektif, sehingga melampaui subjektifitas hermeneutika Gadamer. Hermeneutika, bagi mereka, tidak berdiri atas asas filsafat. Sederhananya, hermeneutika adalah ilmu penafsiran teks atau teori tafsir. (Isykaliyyat al-Qira’ah wa Aaliyyat al-Ta’wil, hlm. 49)
Jika kita kaitkan dengan Dr. Nasr Hamid AbuZayd (1943-…) yang terkenal lewat pendekatan hermeneutiknya dalam membaca teks-teks Islam, maka kita akan menemukan penekanan Nasr Hamid atas prinsip simbol teks yang berafiliasi kepada kondisi sosial dan realitas ketika teks itu diciptakan. Artinya teks adalah produk lingkungan tertentu yang dilingkupi oleh faktor ekonomi-sosial yang menjadi pra-kondisi kelahiran dan kemunculan suatu teks. Oleh sebab itu, realitas yang berdialektik dengan teks mendapat apresiasi dan perhatian serius Nasr Hamid. Untuk menuju arah tafsir yang objektif dan ilmiah atas teks agama, ia berangkat dari simbol sosial dengan penekanan melampaui makna lahiriah teks kepada makna batinnya.
Bagaimana Nasr Hamid meresepsi teks dan cara dia memperlakukannya? Pertama sekali dia mendukung orientasi Gadamer yang berangkat dari posisi penafsir saat ini karena setiap asas epistemologi pemahaman apa saja berawal dari posisi eksistensial. (Isykaliyyat al-Qira’ah, hlm. 49) Kedua, dia mengajukan upaya modifikasi terhadap orientasi hermeneutika Gadamer dengan perspektif materialisme; dua tahap yang saling mendukung itulah, dalam persepsi Nasr Hamid, titik tolak asli bagi upaya pembacaan ulang seluruh dasar agama Islam dan upaya menyingkap kepalsuan pembacaan-pembacaan masa silam atas teks Islam. (Isykaliyyat al-Qira’ah wa Aaliyyat al-Ta’wil, hlm. 49)
III. Perbedaan esensial antara ta’wil dengan hermeneutika.
Takwil dalam tradisi keilmuan Islam mengakui dan tunduk kepada kesucian teks dan keilahian sumbernya, terlebih khusus dalam masalah teks-teks agama. Sedangkan hermeneutika di Barat memperlakukan teks sebagai murni fenomena bahasa, dan tidak mengakui kesucian teks yang menuntut perlakuan khusus.
Takwil dalam tradisi keilmuan Islam mengakui jenis tingkatan lafal, dalam pengertian bahwa di antara jenis-jenis teks itu ada yang bisa menerima takwil seperti lafal “zhahir”, dan ada pula yang hanya menunjukkan satu makna dan tidak dapat ditakwil seperti lafal “nash”. Sedangkan hermeneutika Barat memukul rata semua jenis teks dengan memisahkan mana yang menjadi makna tanda (signifier) dan tujuan dasar teks (significance).
Takwil dalam tradisi keilmuan Islam menekankan makna yang tetap tidak berubah kecuali jika ada dalil lain yang mengharuskan takwil. Dan makna takwil yang baru itu masih dapat diterima oleh lafal zhahirnya dan juga sesuai dengan sirkulasi penggunaan bahasa dan adat kebisaaan yang lazim dalam syariah. Sedangkan hermeneutika di Barat berarti perpindahan orientasi dari “makna” kepada “pemahaman” yang dapat berubah setiap saat sesuai dengan perkembangan pembaca teks. Pemahaman adalah apa yang diinginkan oleh pembaca, bukan yang dimaksudkan oleh pengarang. Pemahaman tidak pernah final, karena selalu memperhatikan dimensi realitas kemanusiaan. Bahkan dalam bentuk ekstrim, hermeneutika menganggap Sunnah (yang berfungsi sebagai penjelas Alquran) sebatas ijtihad manusia dan terbatas pada skup budaya tertentu.
Takwil dalam tradisi keilmuan Islam adalah suatu cara untuk mempertahankan norma keimanan terhadap dasar-dasar keyakinan agama. Ia juga metode yang baik untuk menghilangkan keragu-raguan dan semakin menambah mantap keimanan. Jelasnya, takwil bukanlah alat untuk membatalkan keimanan atau untuk mengosongkan teks agama dari ruh agama seperti yang dipraktekkan dalam filsafat hermeneutika di Barat. (Muhammad ‘Imarah, hlm. 55)
IV. Pengaruh hermeneutika dalam pemikiran agama.
Perlu ditekankan di sini bahwa perspektif hermeneutika filosofis atas pemahaman eksistensial secara umum dan pemahaman teks secara khusus merupakan terobosan mutakhir dan tidak pernah dikenal sebelumnya. Diskusi dan perdebatan seputar sah tidaknya aplikasi hermeneutika juga betul-betul tidak ada presedennya dalam benak para ulama muslim yang masih meyakini keampuhan terminologi tafsir dan takwil klasik dalam memecahkan isu-isu kontemporer. Dengan demikian, tidak memungkinkan kita mencari berbagai perspektif hermeneutika dalam cabang-cabang Islamic Studies yang telah mapan. Sebaliknya, jika kita telusuri dan dalami filsafat pemahaman teks-teks Islam yang telah dikonstruk dan diaplikasikan selama berabad-abad oleh ulama muslim, kita dapatkan kesimpulan yang kontraproduktif dengan perspektif filsafat “pemahaman” Barat.
Pemikiran agama mutakhir saat ini menyaksikan kajian-kajian dan pertanyaan-pertanyaan baru yang memiliki akar dalam filsafat hermeneutika. Di antaranya adalah:
Kemungkinan mengajukan bacaan-bacaan yang berbeda dan tak terbatas bagi teks agama.
Historisitas pemahaman dan keajegan perubahan pemahaman itu sendiri.
Batasan legalitas terlibatnya subjektifitas penafsir dalam proses penafsiran teks.
Pengaruh pra-konsepsi, kecenderungan, dan harapan penafsir teks kepada pemahaman agama.
Sejatinya hermeneutika selalu berpusat pada fungsi penafsiran teks. Meski terjadi perubahan dan modifikasi radikal terhadap teori-teori hermeneutika, tetap saja berintikan seni memahami teks. Pada kenyataannya, hermeneutika pra-Heidegger (sebelum abad 20) tidak membentuk suatu tantangan pemikiran yang berarti bagi pemikiran agama, sekalipun telah terjadi evaluasi radikal dalam aliran-aliran filsafat hermeneutika. Sementara itu, hermeneutika filosofis dan turunannya dalam teori-teori kritik sastra dan semantik telah merintis jalan bagi tantangan serius yang membentur metode klasik dan pengetahuan agama.
Sebelum kita menyinggung tantangan pemikiran yang disebabkan hermeneutika filsafat kontemporer, ada baiknya kita menyimak secara global metode umum dalam pemahaman teks yang selama ini kita kenal:
1- Tugas mufassir adalah menangkap makna teks. Makna teks adalah apa yang dikehendaki oleh pembicara atau pengarang teks. Maksud atau makna yang pasti adalah tujuan utama pengarang teks. Makna yang final itu adalah suatu hal yang objektif dan ril, mufasir berusaha untuk sampai dan menangkap makna itu.
2- Untuk mencapai tujuan di atas, sewajarnya penafsir teks menempuh alur metode yang umum dalam menangkap teks. Hal ini diformulasikan dalam bentuk bahasa teks sebagai jembatan memahami tujuan hakiki atau makna yang diinginkan. Karena pengarang teks menjadikan bahasa sebagai sarana mengungkapkan kehendaknya, maka penafsir teks harus menguasai bahasa serta tata bahasa yang lazim dipakai oleh pengarang. Tanpanya, maka tindakan penafsir yang semena-mena akan mencederai proses pemahaman teks.
3- Kondisi penafsir yang diidealkan adalah sampai kepada pemahaman yang valid dan meyakinkan terhadap kehendak pengarang teks. Meskipun pemahaman yang valid hanya dapat ditangkap melalui bentuk “nash” yang berindikasi pemahaman objektif yang sesuai dengan fakta, dalam bentuk “zhahir”nya pun redaksi teks tetap tidak tercerabut dari objektifitas dan norma asli pemahaman.
4- Jarak waktu yang memisahkan masa penafsir dengan masa teks diproduksi tidak akan menghalangi penafsir untuk menangkap makna hakiki yang dimaksud oleh teks agama. Karena dalam sinaran metode klasik, amat dimungkinkan pemahaman objektif atas teks meski terdapat jarak waktu dan tempat antara pengarang dengan penafsir teks.
5- Perhatian penafsir harus terpusat kepada kesadaran memahami misi teks. Seperti dimaklumi, proses pemahaman teks berporos kepada dua aspek: teks dan pengarang, sehingga tugas penafsir adalah untuk menangkap maksud pengarang melalui fungsi semantik teks. Dalam teori tafsir semacam ini, tidak diperkenankan munculnya pra-konsepsi dan pra-asumsi penafsir, karena hal itu akan mengotori upaya penafsiran, sehingga dikategorikan sebagai tafsir dengan pandangan akal semata yang dicela agama (bil ra’yi al-madzmum).
6- Teori tafsir klasik sangat menentang teori relativitas tafsir. Metode tafsir klasik menolak setiap upaya penafsiran yang merelatifkan dan menyamakan setiap pemahaman sebagai upaya subjektif penafsir. Sebab, teks agama, -menurut teori tafsir klasik- tidak akan menerima segala bentuk penafsiran yang sembarangan. Dengan kata lain, ketika terjadi perbedaan penafsiran sebuah teks, maka otoritas pemahaman tetap berada pada aspek teks dan pengarang teks itu sendiri, alias kewenangan mufasir terabaikan sama sekali.
Demikianlah, dari paparan sekilas di atas, dapat dikatakan bahwa teori penafsiran klasik sebagaimana dalam pembahasan metode takwil dalam cabang ilmu ushul fiqh dan ulumul quran, mulai digugat dan ditantang oleh aliran-aliran hermeneutika filsafat pada abad ke 20. Problem isu hermeneutika filsafat kontemporer telah melontarkan berbagai diktum yang mengkritisi dan berambisi menjadi alternatif pintas bagi kebuntuan dan kebekuan penafsiran teks agama yang rigid, kaku dan kehilangan elan vital “maqashid syariah”. Berikut ini akan kita saksikan bagaimana teori tafsir model hermeneutika mulai merangsek dan menawarkan dahaga intelektual bagi kaum muslim modernis:
1- Pemahaman teks adalah hasil perpaduan antara cakrawala pemahaman penafsir dengan cakrawala makna dalam teks. Intuisi dan cakrawala berfikir setiap penafsir dalam proses pamahaman tidak dicela, karena ia merupakan prasyarat eksistensial bagi tercapainya suatu pemahaman.
2- Upaya pemahaman teks adalah proses tiada henti; seperti halnya pluralitas pemahaman teks tidak mengenal batas-batas. Karena pemahaman adalah: upaya kreatif dan perpaduan antara cakrawala penafsir dengan wawasan teks. Dengan demikian setiap terjadi perubahan dalam diri penafsir berikut cakrawala pikirannya, maka dimungkinkan lahirnya pemahaman baru.
3- Suatu pemahaman objektif atas teks dalam arti pemahaman yang benar-benar sesuai dengan fakta ril, tidak dimungkinkan oleh karena pra konsepsi penafsir adalah syarat tercapainya suatu pemahaman.
4- Tidak ada pemahaman yang tetap dan tidak berubah; tidak dibenarkan pula suatu pembatasan dan finalisasi pemahaman yang tidak bisa berubah-ubah.
5- Tujuan penafsiran teks bukan untuk menangkap maksud pengarang teks. Sebab, penafsir saat ini menghadapi sebuah teks, dan bukannya pengarang teks. Dalam teori filsafat hermeneutika, posisi pengarang tak lebih sebagai salah satu pembaca teks yang tidak berbeda dari penafsir-pembaca teks yang lain. Teks sebagai entitas mandiri dan berdaulat, berdialog dengan penafsir sehingga melahirkan suatu pemahaman, dengan demikian setiap penafsir tidak diharuskan mencari dan menangkap maksud dan tujuan yang ingin diungkapkan si pengarang teks.
6- Tidak ada patokan dan standarisasi dalam menilai salah atau benar suatu penafsiran. Karena sejatinya tidak ada tafsir yang benar dan tunggal. Antitesa dari teori klasik yang mengandaikan maksud pengarang sebagai tujuan penafsiran, hermeneutika filsafat mengakui otoritas penafsir dan mengabaikan tujuan pengarang sama sekali. Karena setiap penafsir di setiap zaman memiliki cakrawala yang khas zamannya, maka terbuka kemungkinan pemahaman-pemahaman baru, yang tidak bisa dikatakan salah satunya lebih baik dan benar dari yang lain.
7- Hermeneutika filsafat sesuai dengan teori relatifitas penafsiran, dan membuka ruang yang sangat luas bagi penafsiran-penafsiran yang radikal sekalipun.
V. Mungkinkah aplikasi hermeneutika atas Alquran?
Para filosof hermeneutika adalah mereka yang sejatinya tidak membatasi petunjuk pada ambang batas tertentu dari segala fenomena wujud. Mereka selalu melihat segala sesuatu yang ada di alam ini sebagai petunjuk atas yang lain. Jika kita mampu membedakan dua kondisi ini satu dan yang lainnya, maka kita dapat membedakan dua macam fenomena: ilmu dan pemahaman. Masalah ilmu dikaji dalam lapangan epistemologi, sedangkan masalah pemahaman dikaji dalam lapangan hermeneutika. Sehingga dengan demikian, baik epistemologi dan hermeneutika adalah ilmu yang berdampingan. Dari sudut ini, Alquran bisa dilihat secara hermeneutis sama dengan kitab atau teks tertulis yang lain, sebab Alquran mengafirmasi kemungkinan melihat segala sesuatu yang ada dari segi petunjuknya atas hal lain. Tidakkah Alquran selalu menyeru kita untuk memikirkan segala sesuatu dan menganggap semua eksistensi dan fenomena sebagai tanda (ayat, signs) bagi keagungan Allah swt.?
Tetapi masalahnya tidak sesimpel itu. Pertanyaaan apakah filsafat hermeneutika dapat diterapkan atas Alquran atau tidak? Dan sejauh apa hermeneutika dapat diaplikasikan atas Alquran?
Meskipun beberapa kaedah hermeneutika dapat dengan mudah diaplikasikan bagi Alquran, namun menurut Musthafa Malakyan, perbedaan Alquran dengan buku-buku atau karya religius atau non-religius dalam dua hal berikut ini mengharuskan kita untuk tidak gegabah dan hati-hati dalam penerapan kaedah hermeneutika atas Alquran. Kedua distingsi penting itu adalah:
Seluruh lafal dan kalimat dalam Alquran, sesuai kepercayaan seluruh kaum muslim, berasal dan diciptakan dari Allah swt. Tidak ada klaim semacam ini bagi kitab selain Alquran. Penyusunan isi Alquran kini tidak sama dengan kronologi turunnya dan urut-urutan sejarahnya. Hemat kami, seluruh kaedah hermeneutika dapat diterapkan baik kepada teks oral atau teks tertulis semuanya jika tidak memiliki dua karakteristik di atas yang hanya dimiliki oleh Alquran. Metode hermeneutika lahir dalam ruang lingkup yang khas dalam tradisi Yahudi-Kristen. Perkembangan khusus dan luasnya opini tentang sifat dasar Perjanjian Baru, dinilai memberi sumbangan besar dalam mengentalkan problem hermeneutis dan usaha berkelanjutan dalam menanganinya. Hal ini berbeda dengan Alquran. Tidak ada alternatif pemahaman selain bahwa Alquran, seluruh redaksi dan maksudnya langsung dari Allah swt. Nabi Muhammad saw menjadi sekadar “Juru bicara ada” (loudspeaker of being). Status otoritatif yang diduduki Alquran tidak pernah dipertanyakan lagi, yang disebabkan dua hal:
1. Alquran sendiri dengan tegas menekankan teori ini dan tidak menyediakan ruang untuk spekulasi. Nabi tidak pernah gagal menarik garis yang tegas antara kata-katanya dan kata-kata dari Alquran.
2. Kaum Muslim tanpa ragu meyakini bahwa di tangan mereka, huruf, kata, kalimat dan sistematika Alquran tetap terjaga seperti keadaannya di masa Nabi.
Dua faktor ini, dan ditambah fakta bahwa Alquran mengandung prinsip-prinsip penafsiran dalam dirinya sendiri, mempersulit tematisasi problem hermeneutis dalam Islam, suatu hal yang di Barat dipaksakan kemunculannya oleh kebuTuhan mendesak. Belum ada seorang pemikir Muslim pun yang pernah mengajukan problem ini sebagai tema utama pemikirannya.
VI. Model aplikasi hermeneutika atas al-Quran ala N.H. AbuZayd (1943-…)
Di antara sekian banyak pemikir modernis muslim, kiranya Nasr Hamid paling pas mewakili sekian banyak suara intelektual yang menuntut segera diterapkannya hermeneutika dalam memahami ulang teks-teks primer agama Islam (Alquran dan Sunnah) sebagai pengganti metode tafsir dan takwil yang telah dikenal dalam literatur ulumul quran. Bahkan dalam perkembangan pemikirannya terkini, setelah dia hengkang ke Belanda karena kasus penolakan promosi guru besarnya di fakultas sastra Universitas Kairo sejak tahun 1995, ia mulai mempromosikan metode dan aplikasi ijtihad terbarunya dalam buku “Dawa’ir al-Khawf fi Khithab al-Mar’ah”.
Dinilai oleh banyak kalangan, bahwa Nasr Hamid mulai serius mengaplikasi metode hermeneutika untuk mendekonstruksi syariah Islam, setelah sebelumnya hanya bergulat dalam perdebatan-perdebatan kebudayaan di forum-forum seminar tentang perlunya hermeneutika bagi “kemajuan” syariah Islam.
Nasr Hamid dan Desakralisasi Nash Alquran
Nasr sangat menekankan aspek desakralisasi teks Alquran ketika bersenTuhan dengan bumi dan pemahaman akal manusia. Bahkan dalam perjalanannya justru aspek historisitas manusia lah yang akan mengkonstruksi teks. Bagi Nasr, teks Alquran yang sakral itu ada di level metafisis dan oleh karena itu di luar jangkauan manusia. Tidak ada yang dapat dipahami darinya kecuali apa yang telah jelas ditegasksan oleh teks secara tersurat dan sesuai dengan kenisbian manusia.
Teks Alquran menurut AbuZayd, sejak diturunkannya pertama kali yang kemudian dibaca oleh Rasul sebagai wahyu, telah otomatis berubah secara kualitatif dari teks ilahi menuju teks pemahaman insani. Dalam terminologi terkaan Nasr, dari tanzil berubah menjadi takwil. Lebih jauh lagi dengan berani AbuZayd berteori bahwa pemahaman Nabi Muhammad saw atas Alquran hanyalah sebatas periode awal gerakan teks Alquran dalam intensitas pergumulannya dengan akal manusia. (Nasr Hamid, Naqd al-Khithob al-Dini, Kairo: Maktabah Madbouli, hal. 125-126)
Alquran, lebih jauh AbuZayd menilai, sebagai teks verbal dari otoritas keagamaan konstan dan tidak berubah, tetapi pada saat ia menyentuh ranah akal manusia sehingga membentuk sebuah konsep dan abstraksi, sejatinya telah kehilangan sifat konstan, terus bergerak dan penandaannya semakin plural.
Beberapa kesimpulan yang dihasilkan oleh teori AbuZayd diatas, di antaranya:
Teks hakiki yang berfungsi secara aktif dalam ranah kemanusiaan dan kesejarahannya adalah teks hasil pemahaman (takwil) manusia, bukannya teks yang ditanzilkan lagi. Ini disebabkan karakter teks Alquran pada level metafisis yang tidak memiliki akses dan efektifitas kemanusiaan.
Teori ini berusaha memanusiawikan teks Alquran, dalam pengertian bahwa petunjuk dan kandungannya adalah hasil pencapaian dan prestasi manusia sebagai makhluk berbudaya. Meski di samping itu juga Nasr mengafirmasi sumber keilahian Alquran di tingkat verbal; sebuah afirmasi yang cukup baik tapi sangat artifisial, karena sedari awal telah menolak pengaruh teks ilahi atas kesadaran dan realitas manusia sekaligus. Karena kesadaran historis, kesiapan faktor waktu dan ruang untuk memproduksi makna teks hanya bisa, bagi Nasr, diterapkan atas teks yang dikonstruksi secara manusiawi. Dalam perspektif ini nilai penting yang ditekankan adalah sistem penandaan berupa takwil manusiawi.
Konsekwensi lain yang dihasilkannya berupa realitas sebagai produsen teks. Dengan kata lain teks suci adalah produk output akumulasi realitas dengan pelbagai symbol dan iklim yang membentuknya. Sesuai dengan alur ini faktor sejati pembentuk teks tak lain adalah realitas manusia yang historis.
Asumsi ini diperparah lagi dengan mengkategorikan pribadi Rasul sebagai penerima teks tanzili ke dalam level nisbi. Sementara itu kaedah relativisme inilah yang menjadi pemicu gerakan realitas dalam membentuk tingkatan dan substansi uji coba manusia dalam pembumian teks. Dengan demikian semua unsur realitas dalam seluruh dimensinya tergolongkan ke dalam corak takwil insani atas teks tanzili. Oleh karena itu takwil yang dihasilkan sejatinya adalah pembenaran dan pantulan dari realitas manusia.
Teori ini juga akan berujung kepada formalitas teks yang menjadi rujukan secara simbolis tanpa efektifitas petunjuk dan petanda wahyu yang konstan. Alias tidak meyakini adanya makna substantif dan objektif dari wahyu tanzili ini. Asumsi ini hanya mungkin diretas oleh teori yang menyatakan bahwa realitas manusia adalah faktor pembentuk yang mengkonstruk sistem petunjuknya sendiri. Dengan hukum realitas yang senantiasa bergerak dinamis, maka demikian pula petunjuk-petunjuk teks selalu berubah dan tidak pernah mandek atau bermakna tunggal. Menurut pandangan ini realitas insani lah yang berhak menentukan substansi dan petunjuk dari teks.
Jika digambarkan maka kita akan mendapati bahwa dialektika antara realitas pembentuk teks tanzili dengan pemahaman akal manusia berupa teks takwili ini akan menghasilkan suatu teks tanzili yang semu dan simbolik belaka yang sewaktu-waktu dapat diabaikan dan dikorbankan. Lihat bagan berikut:
REALITAS → NASH TANZILI →
NASH TAKWILI → REALITAS ═ NASH SIMBOLIK
Superioritas Realitas atas Teks: Sebuah Kritik
Nasr menulis: “Realitas lah yang menjadi pangkal mula teks dan tidak bisa diabaikan. Karena dari realitas teks terbentuk, melalui bahasa dan budaya manusia konseptualisasi teks terjadi, dan melalui dialektikanya dengan efektifitas manusia maka petunjuknya selalu up to date. Maka pangkal, pertengahan, dan ujungnya kembali kepada otoritas realitas manusia!” (Naqd al-Khithob al-Dini, hal. 130)
Jawaban bagi tesis yang diajukan Nasr adalah tidak mungkin nash wahyu dapat mengkonstruk bangunan epistemologi, ontologi dan aksiologi yang kokoh jika dirinya kehilangan komponen-komponen sistem petunjuk yang menyingkap kemauan Allah swt dibalik pesan wahyu. Bukti penting bahwa wahyu memiliki kekokohan dan objektifitas sistem penandanya adalah keberhasilannya melandasi teori dan praktek kemanusiaan sepanjang eksperimen dan historisitas manusia muslim selama berabad-abad.
Maka disini penting sekali untuk dicatat bahwa garis demarkasi antara subjek dan objek dalam kajian teks agama yang sakral, bergerak pada 2 level:
level vertikal, yang di dalamnya mencakup Allah swt (Mursil), wahyu (Risalah), Nabi Muhammad saw (Mursal).
level horisontal, yaitu upaya manusia dalam pembumian risalah ilahi.
Sehingga pada dasarnya jika kita menuruti kerangka diatas, tidak ada problematika isu memanusiawikan teks Alquran dalam pengertian eliminasi karakter petunjuk ilahiyah dari teks tanzili. Problematika ini hanya akan mungkin terjadi jika kita mengeluarkan posisi Rasul (Mursal, atau “recipient” dalam teori komunikasi modern ala Jacobson; al-Mutalaqqi al-Awwal dalam istilah Nasr) dari level vertikal hingga menjadi horisontal. Alias menisbikan penafsiran Rasul atas wahyu Allah dalam proses pembumiannya. Dalam sinaran teori ini Nabi tak lebih dari sekedar robot yang atomistis dan mekanistik berfungsi hanya pada saat tanzilnya wahyu saja, atau serupa kanal yang berguna sebagai penyampai pesan Allah kepada manusia. Pembumian nilai wahyu oleh Nabi diasumsikan masuk kategori nash takwili yang berubah-ubah, dinamis dan tidak harus sesuai petunjuk tanzil ilahiyah.
Posisi Tafsir Nabi dalam Hermeneutika Nasr Hamid
Hal ini bagi penulis akan banyak bersinggungan dengan tugas dan fungsi Nabi dalam mengemban risalah ilahi sekaligus pembumiannya. Hemat kita asumsi ini dapat dikonfirmasikan bahkan dikonfrontasikan “vis a vis” visi Alquran sendiri tentang fungsi kenabian. Allah swt berfirman: “Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman”. (Q.s. al-Nahl: 64)
Aspek humanitas Nabi sebagaimana dinyatakan oleh Alquran bahwa: Dan mereka berkata: “Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) malaikat?” dan kalau Kami turunkan (kepadanya) malaikat, tentulah selesai urusan itu, kemudian mereka tidak diberi tangguh (sedikitpun). Dan kalau Kami jadikan Rasul itu malaikat, tentulah Kami jadikan dia seorang laki-laki dan (kalau Kami jadikan ia seorang laki-laki), tentulah Kami meragu-ragukan atas mereka apa yang mereka ragu-ragukan atas diri mereka sendiri (Qs. Al-An’am: 8-9), tidak sebagaimana yang difahami Nasr, justru tidak menjadi penghalang diperolehnya petunjuk hakiki pesan wahyu (karena Nabi tidak berdiri sendiri dan selalu dibimbing oleh pemilik risalah), bahkan aspek ini menjadi bagian integral dan fundamental dalam sistem komunikasi wahyu yang mengharuskan jalur kemanusiaan dalam proses penurunan dan pembumian wahyu di level realitas manusia.
Lebih jauh Nasr Hamid menyatakan bahwa: “Tidak perlu anggapan yang menyatakan kesesuaian pemahaman Rasul atas nash mutlak sebagai petunjuk hakiki nash, karena jika pun ada, asumsi itu akan menjurus kepada “kemusyrikan” karena telah menyetarakan yang absolut dengan pemahaman yang nisbi (tafsir Nabi), antara yang konstan dengan yang dinamis, maksud Tuhan dengan pemahaman manusia, sekalipun ia seorang Rasul. Anggapan ini akan menaikkan derajat Nabi menjadi Tuhan, dan dengan itu akan mensakralkan pribadi Nabi dengan menutup-nutupi aspek manusiawinya”. (Naqd al-Khithab al-Dini: hal. 126)
Tesis Nasr menimbulkan setidaknya dua kerancuan berpikir: pertama, Nasr dengan ungkapannya telah menganggap bahwa teks ilahi tidak memiliki petunjuk hakiki. Dengan demikian petunjuk teks ilahi akan terbentuk di kemudian hari seiring dengan persinggungan dan dialektika manusia dengan pesan wahyu. Apalagi peran dan posisi penafsiran Nabi oleh Nasr dikelompokkan dalam level horisontal seperti manusia bisaa lainnya. Karena realitas manusia adalah satu-satunya acuan dalam mengkonstruk petunjuk nash, maka wahyu atau nash dalam preposisi Nasr tak lain bertugas memberi insentif dan menggerakkan potensi olah fikir manusia dalam mengkonstruk petunjuk wahyu.
Hemat kami, jika kita dapat mendudukkan aspek humanitas Rasul sesuai proporsi yang adil dan petunjuk nash-nash Qurani sendiri, tidak ada lagi klaim kesenjangan berupa ketidaksesuaian maksud Tuhan dengan pemahaman Nabi atas nash yang ditanzilkan kepadanya. Karena terang sekali bahwa fungsi utama risalah ilahi yang berupa nash-nash verbal dan Rasul pilihan Allah swt adalah untuk membina sistem kehidupan berupa din yang Ia ridhoi, yang untuk memenuhi tujuan itu nash-nash ilahi diturunkan dan Rasul-Rasul pilihan-Nya diutus ke tengah manusia.
Keterangan Alquran menyatakan bahwa dalam menyampaikan wahyu dan menjelaskan petunjuk dan kandungannya kepada manusia, Rasul tidak bekerja sendirian melainkan bekerja menyampaikan dan menjelaskan nash ilahi di bawah bimbingan dan pantauan ilahiyah. Alquran juga menegaskan bahwa proyek ilahi dalam membina sistem agama yang ia ridhoi di bumi dan untuk kemaslahatan manusia tidak cukup sampai taraf pemilihan seorang Nabi dan selesai begitu saja dengan tersampaikannya wahyu kepada manusia. Sehingga petunjuk wahyu dibiarkan berjalan secara otomatis dan terus ber-”evolusi” sesuai dengan perkembangan manusia. Sesuai dengan keterangan dari Alquran, pembinaan sistem agama dimulai dari periode “persiapan” (al-i’dad) sebagaimana tersirat dari keterangan Qs. Thoha: 39, al-Dhuha: 6-8, al-Insyiroh: 1-2, kemudian diikuti oleh fase “pemilihan” (ikhtiyar) sebagaimana dalam Qs. Thoha: 13, lalu fase dukungan dan bimbingan (tasdid ilahi) sebagaimana keterangan Qs. Thoha: 46 dan al-Tawbah: 26, hingga dipungkasi oleh fase pengawasan (riqobah ilahiyyah) agar Nabi dalam menjalankan tugasnya tidak menyeleweng dan jika keliru langsung ditegur dan diluruskan, sesuai keterangan Qs. Al-Haqqah: 43-47. Dari visi qurani tentang pentahapan pembinaan sistem agama Allah tadi dapat dilihat suatu hubungan yang abadi, hangat dan sangat intim antara Allah swt dan Rasul pilihan-Nya. Visi ini setidaknya menjadi kontra produktif dengan teori Nasr, sehingga sulit diterima dan dengan sendirinya tertolak.
Kerancuan berpikir kedua yang ditimbulkan tesis Nasr adalah “cap syirik” (menyekutukan Allah) yang dilontarkannya ketika seorang muslim menyatakan adanya kesesuaian maksud antara yang mutlak (zat ilahi yang dalam hal ini dilambangkan dalam nash tanzili) dengan yang nisbi (untuk menunjuk kepada pemahaman Rasul atas nash ilahi), dan mencampuradukkan antara keduanya. Lontaran semacam ini sungguh tidak relevan. Karena dari segi konstruksi awal, wahyu ilahi berikut penjelasannya adalah berasal dari Allah swt melalui perantara Rasul pilihan-Nya yang dibimbing dan dipantau secara terus-menerus oleh-Nya. Bahkan oleh Alquran ditegaskan bahwa manusia akan dapat sampai kepada stasiun yang mutlak (zat ilahi yang diwakili oleh maksud nash ilahi) dengan menempuh jalur ittiba’ kepada Nabi yang nisbi dan manusiawi itu. Jika mengikuti logika berpikir yang rancu ala Nasr ini bagaimana kita memahami petunjuk untuk mentaati Rasul dengan seizin Allah dalam Qs. Al-Nisa’: 64 atau perintah mentaati Rasul dan sikap ittiba’ kepada Nabi Muhammad saw sebagai indikasi kecintaan hamba kepada rob-Nya dalam Qs. Ali Imran: 31-32. Apakah petunjuk ayat-ayat tadi menyuruh umat muslim pengikut Muhammad saw untuk syirik, menduakan Allah dengan mentaati perintah selain-Nya? Atau bisa jadi pemahaman seperti itu adalah produk aplikasi hermeneutika Nasr sendiri dalam memahami ayat-ayat Alquran….!?
Padahal kekhasan din yang berkarakter ilahiyah ini memasukkan unsur Rasul sebagai bagian penting dari konstruksi risalah agama sesuai izin, restu dan pantauan-Nya. Hal ini misalnya dijelaskan secara gamblang melalui Qs. Al-Jinn: 19-28 “….. Akan tetapi (aku hanya) menyampaikan (peringatan) dari Allah dan risalah-Nya. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya baginyalah neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya…. Supaya Dia mengetahui, bahwa sesungguhnya Rasul-Rasul itu telah menyampaikan risalah-risalah Tuhannya, sedang (sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu persatu.”
Singkatnya, pandangan seperti ini hanya akan bertentangan dan meruntuhkan visi Alquran tentang fungsi kenabian dan risalah dalam pembinaan sistem agama (lihat misalnya petunjuk Qs. Al-Hasyr: 7 dan al-Ahzab: 21)
Dari uraian di atas, jelas sekali jika dipetakan bahwa Nasr Hamid sebelum meluncurkan gagasan perlunya metode hermeneutika dalam menganalisa wacana al-Quran, dia merasa perlu untuk melicinkan jalan ke arah sana dengan cara:
1) Memangkas upaya sakralisasi terhadap kitab suci hakiki yang diturunkan Allah swt kepada Rasul-Nya,
2) Mengajukan tesis bandingan bahwa realitas manusia lah yang mengkonstruk bentuk dan substansi wahyu Ilahi. Realitas manusia lebih superior dari wahyu itu sendiri.
3) Mengerdilkan posisi tafsir Rasulullah atas wahyu Ilahi yang ditanzilkan kepadanya, alias pemahaman Rasul adalah bentuk “primitif” dalam intensitas persinggungan wahyu ke dalam ranah historisitas manusia.
Metode Pembacaan Kontekstual dalam Ayat-ayat Gender
Bagi Nasr Hamid, metode pembacaan kontekstual lebih berguna dan efektif dari pada metode istinbat fikih tradisional yang mengandalkan mekanisme qiyas (memindahkan hukum dari asal ke cabangnya atas dasar kesamaan illat). Metode kontekstual dilakukan melalui dua tahap: pertama, konteks historis-sosiologis-eksternal dari teks, dan kedua, konteks semantik-internal dari teks. Ia berusaha memindahkan cakupan konsep konteks dari luar batasan klasik (seperti ilmu nasikh-mansukh, asbab nuzul, dan ilmu-ilmu bahasa) ke dalam konteks historis-sosiologis turunnya wahyu, untuk tujuan pemilahan hukum syariah antara yang benar-benar ciptaan wahyu dengan yang berasal dari adat dan tradisi sosial religius pra-Islam. (Dawa’ir al-Khawf, hlm. 202)
Nasr Hamid memandang tahap kedua dari metode kontekstual sebagai inti ijtihadnya. Metode pembacaan kontekstual meniscayakan pembedaan antara “makna” dan petunjuk historis yang digali dari konteks, dengan “signifikansi” yang ditunjukkan oleh makna dalam konteks historis-sosiologis di zaman penafsir. Ia kemudian menentukan beberapa tingkatan konteks: ada konteks universal atau sosiologis-historis pada masa pra-wahyu yang mana urgensinya untuk menemukan perkembangan makna semantik dalam struktur teks. Ada juga konteks asbab nuzul atau konteks historis-kronologis wahyu. Ada lagi konteks narasi kisah-kisah, kabar umat-umat masa lalu, yang mana urgensinya untuk memilah mana yang menjadi bagian tasyri’, bagian konteks perdebatan, ancaman atau pelajaran. Konteks terakhir adalah tingkatan konstruksi teks. (Dawa’ir al-Khawf, hlm. 202-203)
Nasr Hamid mencoba mendiskusikan ayat-ayat gender dalam Alquran secara analitis kritis historis. Metode itu jika diterima akan menjadi solusi atas dilemma yang dihadapi pemikiran Islam kontemporer. Ia berkesimpulan bahwa banyak hukum Islam terkait hak-hak perempuan yang menjadi sasaran serangan orang Barat ternyata secara historis bukanlah aturan hukum yang dibawa oleh Alquran. (hlm. 206). Untuk mengetahui posisi Islam sesungguhnya dalam menyikapi hak asasi manusia, terutama hak wanita, sewajarnya dilakukan kajian perbandingan sejarah antara hak wanita di masa pra-Islam dan hak-hak baru yang ditentukan pasca kehadiran Islam. Antara kedua fase tersebut ada area bersama yang menjadi melting-pot antara nilai lama dan baru. Proses kreatif inilah yang dinamakan proses pengembalian makna asli wacana melalui rekonstruksi konteks historis 14 abad silam. Sehingga secara latah kita mengelabui banyak orang bahwa semua hal yang disinggung Alquran tentang wanita adalah tasyri’ padahal bukan..! (hlm. 206)
Dengan pemilahan antara “makna” dan “signifikansi”, teks primer dan sekunder, yang terkait hukum pembagian waris bagi perempun, bagi Nasr Hamid, melalui tahap-tahap yang tidak teratur dan tumpang tindih satu sama lain.
“Makna”: ditafsirkan oleh Abu Zayd secara bebas dan tidak ditunjuk sama sekali oleh teks mantuqnya. Makna bagian waris perempuan 1/2 dari laki-laki adalah: laki-laki tidak boleh diberikan jatah waris lebih dari dua kali lipat bagian perempuan, dan perempuan tidak boleh diberikan jatah waris kurang dari 1/2 bagian laki-laki.
“Signifikansi”: gender equality adalah salah satu tujuan dasar tasyri’. Teks-teks persamaan religius dan humanitas laki-laki dan perempuan adalah teks yang bersifat final dan mengikat (qath’i). dengan demikian teks-teks itu mengizinkan mujtahid untuk menetapkan bahwa gender equality antara laki-laki dan perempuan tidak melanggar batasan dan ketetapan Allah swt.
“Ijtihad”: atas dasar pemikiran di atas, keharusan pemerataan jatah bagian waris laki-laki dan perempuan dengan pertimbangan realitas kontemporer yang mengharuskan demikian. Sehingga, bagi Nasr Hamid, “tidak bisa diterima ijtihad berhenti pada batas yang ditentukan oleh wahyu karena jika tidak demikian maka klaim kecocokan Islam di segala tempat dan waktu akan gugur dan jurang pemisah antara realitas yang terus berubah dan teks-teks yang difahami secara harafiah oleh diskursus agama kontemporer semakin menganga lebar…”
Istidlal dan Generalisasi: hal itu disimpulkan oleh Nasr Hamid sebagai berikut: “… setiap ijtihad yang menghendaki terciptanya persamaan penuh (antara laki-laki dan perempuan) merupakan ijtihad yang mulia dan selaras dengan orientasi tujuan-tujuan umum tasyri’. Sedangkan ijtihad atau takwil yang terpaku pada cakrawala momen historis wahyu, keduanya terjebak ke dalam kekeliruan epistemologis terlepas dari faktor niat baik dan ketulusan dogma. Karena itu, jika batasan dan ketetapan Tuhan yang tidak boleh kita langgar yaitu kita tidak boleh memberikan jatah waris laki-laki lebih dari dua kali lipat jatah perempuan dan kita tidak boleh memberi perempuan kurang dari setengah jatah laki-laki, maka hal itu tidak melanggar ketetapan allah swt. Persamaan artinya adalah persamaan batas maksimal laki-laki dan batas minimal perempuan tidak melanggar apa yang telah dibatasi allah. Secara otomatis pula hal ini mencakup semua bidang fikih Islam yang selama ini dimaknai salah kaprah, berangkat dari gambaran nilai perempuan setengah nilai laki-laki dengan sample masalah warisan. Di antara bidang-bidang itu adalah: kesaksian di depan pengadilan, kelayakan perempuan untuk mengisi bidang yang dikuasainya seperti bidang advokasi dan hakim pengadilan.
Konsep ijtihad yang ditawarkan oleh Nasr Hamid adalah ijtihad di luar pakem teks. Cukup jelas kiranya bahwa tawaran model ijtihad “modern” ala AbuZayd yang berpihak secara total kepada realitas manusia dan meminggirkan teks, semacam kredo atas aliran positifis-liberal yang sama sekali menyingkirkan hakikat dan batasan-batasan teks (batasan-batasan “makna”, dalam istilah Nasr Hamid). Berbeda dengan kredo Nasr Hamid tentang ijtihad modern, di dalam fiqih Islam, ijtihad harus berangkat dari obligasi dan mandatori teks primer Alquran dan Sunnah. Ijtihad tidak dibenarkan dalam masalah yang sudah tegas dijelaskan oleh nash yang sharih atau qath’i, seperti ayat-ayat hukum yang diperjelas oleh ayat atau Sunnah nabi sehingga tidak menerima takwil lain maka tidak diperkenankan ijtihad liberal tanpa batas secara kode etik keilmuan yang sederhana sekalipun. Anehnya, Nasr Hamid dalam banyak kasus, mengkategorikan ayat-ayat hukum sebagai teks sekunder di bawah teks-teks keimanan dan dogma sebagai teks primer..!
Sejatinya usaha reaktualisasi ijtihad yang didengungkan banyak cendekiawan muslim di berbagai kawasan dunia, telah menjadi aksioma dalam usaha pembaharuan Islam (tajdid). Aktualisasi ijtihad sebagai bagian proses hermeneutis dalam sudut pandang Islam terkait erat dengan teks/nash; baik ijtihad dalam arti reinterpretasi internal teks (berupa takwil makna nash, ‘am dan khash, mutlaq dan muqayyad, dll) maupun dalam arti reinterpretasi dengan merujuk kepada hukum teks primer dengan metode qiyas, atau yang bisa dipraktikkan secara luas dalam koridor umum nash melalui perangkat metode qiyas, istihsan, istishhab, ‘urf, dan mashlahat mursalah yang dibingkai oleh maqashid syariah.
Sementara itu, ijtihad yang dilontarkan AbuZayd adalah ijtihad di luar koridor teks; ia bergerak linear di luar teks lewat upaya pembekuan “makna” dan menghidupkan “signifikansi” yang liar dan terus berubah dengan menjadikan ideologi, budaya, dan solusi-solusi pragmatis/sosiologis sebagai pengesah dan rujukan utama. Atau dalam bahasa lain Abu Zayd, ijtihad yang berangkat dari dialektika bottom-up; dari realitas menuju teks. Metode ijtihad yang menjadikan realitas sosiologis sebagai primadona, model Abu Zayd, berangkat dari pentakwilan nash dan berakhir secara tragis kepada pengabaian nash itu sendiri. Mekanisme ijtihad semacam itu berangkat dari diktum wahyu bukan untuk meraih petunjuk darinya, melainkan untuk melampaui dan mengeleminasi wahyu atau syariah dari kehidupan manusia; alias sekulerisasi masyarakat muslim. Ungkapan Abu Zayd bahwa: “Tak bisa diterima suatu ijtihad yang berhenti pada batas-batas yang ditentukan wahyu, sebab hal itu akan merobohkan tesa kecocokan syariah Islam untuk setiap waktu dan tempat”, bagi penulis, tak lebih dari sebuah upaya pengelabuan luar biasa, baik dari segi “makna” ataupun “signifikansi” statemen tersebut. Karena secara manthuq, yang disembunyikan oleh Nasr Hamid lewat statemen itu, ijtihad “modern” yang ia tawarkan adalah bagian tak terpisahkan dari proyek dekonstruksi-kritis atas Islam sebagai sistem yang total mengatur pranata sosial, intelektual dan nilai hidup.
VIII. Upaya modernisasi Islam melalui pembacaan teks agama dengan piranti hermeneutika dan perspektif ilmu humaniora Barat.
Terakhir, penulis kutipkan beberapa buah pikiran termaju dari usaha gencar proyek modernisasi Islam melalui piranti hermeneutika menurut perspektif ilmu humaniora Barat:
Dr. Nasr Hamid Abu Zayd menulis: “…Tanpa menyoal ulang pertanyaan yang dikebiri seputar karakter firman Tuhan, takwil akan tetap sebagai alat pembacaan modernitas dalam teks-teks agama, bukan sebagai alat untuk memahami nash itu sendiri. Sesuai dengan buah pikiran Abu Zayd, pemilahan antara nilai historis dengan nilai eternalis dalam teks Alquran akan membuat kita memahami tujuan firman Tuhan dan petunjuk-petunjuk semantiknya. Dengan pendekatan ini, kita akan menyingkap bahwa hukuman hudud dalam Islam seperti: potong tangan bagi pencuri, cambuk bagi pezina, dll adalah produk nilai dan budaya masyarakat pra-wahyu. Dengan kata lain, nilai eternal Alquran adalah menciptakan keadilan dengan adanya hukuman tindak kriminal, adapun bentuk hukuman dalam Alquran adalah produk sejarah belaka. Tentu saja kita tidak dibenarkan berpihak kepada produk sejarah dengan mengabaikan nilai abadi “eternal” Alquran…”. (dalam DW-World.de.deutsche welle, tsaqafa wa mujtama, 26.11.2005)
Prof. Routhrawd Fyland dari Universitas Bamberg Jerman, ketika mengomentari kontribusi Abu Zayd dalam reformasi agama (Islam) sehingga dianugerahi “Averroes Award for Free Thinking” pada tahun 2005 silam, memuji usaha inokulasi pemikiran yang khas Nasr Hamid Abu Zayd. Ia menjelaskan bahwa konsep teks model Abu Zayd adalah perkembangan mutakhir dari prestasi Yuri Luttman dan Claud Shanon di bidang kritik sastra, yang berangkat dari diktum bahwa Alquran adalah teks peringkat atas. Oleh karena itu kaedah dan undang-undang bahasa dapat diterapkan atas Alquran sebagai teks. Kita harus memahami teks Alquran dengan menganalogikannya seperti transmisi radio yang ditulis dengan kode-kode khusus. Agar penerima/reseptor dapat memahami teks/kode yang sampai kepadanya, pengirim harus mengirimkan teks dengan kode yang difahami oleh reseptor. Di sinilah artinya teks Alquran yang ditanzilkan dalam bentuk wahyu seperti pengiriman pesan bahasa dari Tuhan kepada manusia. Akan tetapi bahasa mampu menyimpulkan makna-maknanya yang halus berdasar dari tradisi manusia penerima pesan yang mencerminkan cakrawala peradaban dan sejarah orang-orang yang berbicara dengan kode tersebut. Sehingga menjadi jelas bahwa firman Tuhan niscaya memakai kode bahasa dan peradaban yang khas bagi para reseptor risalah kenabian yang mula-mula. Nah, oleh karena bahasa dan gambaran manusia abad ke 21 berbeda sama sekali dengan manusia muslim era pertama, maka kewajiban para hermeneut adalah menerjemahkan kehendak dan maksud Tuhan yang terungkap dalam Alquran melalui kode bahasa dan budaya masa 14 abad silam ke dalam bahasa dan konteks pemikiran para pembaca dan pendengar Alquran di masa kini.
Wallahu A’lam bil Shawab
Subscribe to:
Posts (Atom)