Monday, July 14, 2008

Membuat fiksi = Berbohong?

Belakangan semakin marak aktivitas penulisan dan pembuatan berbagai model fiksi baik dalam bentuk novel, sinetron, cerpen dsb.

Fiksi pun kemudian laris digunakan sebagai wasilah da’wah. Berbagai kisah dan cerita ”islami” kemudian dibuat. Film, novel dan cerpen yang disebut-sebut ”mengemban misi da’wah” jamak ditemui dengan mudah. Bahkan salah satu film fiksi Islami termasuk ditonton paling banyak sepanjang sejarah perfilman Indonesia. Maka kemudian fiksi Islam membuat sebuah segmen pemasaran yang tidak dapat diremehkan. Kapitalisasi rupiahnya yang menggiurkan membuat para pemodal dunia hiburan berlomba-lomba merancang cerita Islami. Namun ada hal yang mendasar yang belum terselesaikan : bagaiman pandangan Islam terhadap pembuatan cerita fiksi? Bagi ’alim seperti DR. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan dalam link ini menulis cerita fiksi adalah haram. Kapasitas saya dalam tulisan ini bukan hendak merumuskan hukum atau fiqh tentang cerita fiksi. Saya hanya mencoba melakukan pendalaman terhadap cerita fiksi.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia (http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php) fiksi disebut sebagai : 1 Sas cerita rekaan (roman, novel, dsb); 2 rekaan; khayalan; tidak berdasarkan kenyataan. Sementara dalam wikipedia disebutkan : Fiction is the telling of stories which are not real. Semuanya mendefinisikan tentang ketidaknyataan, tentang ketiadaan fakta. Kalau mau dilihat definisi ini mirip dengan definisi kabar bohong (. كذب الخبر) dalam kitab ta’rifat yang ditulis Imam Jurjani dimana beliau mendefinisikan : عدم مطابقته للواقع
Ketiadaan fakta yang sesuai. Gampangnya cerita atau kabar yang tidak ada faktanya..

Dari sini ada sebuah indikasi bahwa pembuatan cerita fiksi adalah perekaan tentang sesuatu yang tidak ada faktanya. Dikantor, di warung, dan dalam ringkup pergaulan lain sering kita bercanda dan kemudian seseorang teman menceritakan sesuatu yang tidak ada faktanya. Semisal ketika si Badu bercerita bahwa dia adalah menantunya Presiden SBY. Maka para audience akan segera menyebut si Badu sebagai pembual, pembohong, tukang ngawaduk (sunda : bohong) dsb. Karena faktanya menantunya Presiden SBY adalah Annisa Pohan yang wanita itu. Indikasi semakin kuat bagi saya, membuat cerita fiksi adalah membuat kebualan, kebohongan, kewadukan, sehingga pelakunya tersebut sebagai pembual, pembohong dan pewaduk (maksa banget..kekekekeke). Ups..saya bukan menetapkan hukum, saya hanya menjalin sebuah indikasi.

Belum lagi kalau kita baca-baca fiksi ”Islami” atau nonton Sinetron/Film Islami, kemungkinan besar kita akan bersua dengan plot-plot cerita yang melibatkan Allah ta’ala. Seorang yang miskin kemudian jadi kaya, seorang preman kemudian jadi shaleh, pertemuan antara pria dan wanita yang berjauhan yang kemudian menjadi pasangan hidup dll, semuanya banyak yang melibatkan Allah. Pertanyaannya adalah, dalam konteks cerita di fiksi tersebut betulkah kejadian dalam plot cerita itu adalah peran Allah? Bukankah itu adalah rekaan penulis dan pembuat cerita? Dalam konteks ketetapan Allah ta’ala dikenallah istilah qadha, maka betulkah pernah ada qadha Allah seperti yang diplotkan dalam cerita fiksi tersebut? Dan ketika Allah ta’ala dilibatkan dalam suatu plot cerita apakah sudah ada izin dari Allah ta’ala? Untuk pertanyaan yang terakhir ini bagi saya agak serius. Ketika dalam suatu hadits Rasulullah menjamin neraka bagi orang yang menisbatkan suatu perkataan yang tidak pernah beliau sebutkan kepada beliau, lalu kira-kira bagaimana dengan orang-orang yang menisbatkan suatu kejadian/qadha palsu kepada Allah ta’ala? Wallahu a’lam.

Sekali lagi ini bukan fiqh tentang fiksi, masih jauh. Semoga ada ’alim yang singgah dan membaca tulisan ini kemudian membuat klarifikasinya.

Wallahu a’lam